BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

BAB IV PENGOLAHAN DATA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN


BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

Analisa Perubahan Tutupan Lahan di Waduk Riam Kanan dan Sekitarnya Menggunakan Sistem Informasi Geografis(SIG) dan data citra Landsat

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Perumusan Masalah Bagaimana kondisi perubahan tutupan lahan yang terjadi di daerah aliran sungai Ciliwung dengan cara membandingkan citra satelit

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA TUTUPAN LAHAN TERHADAP RENCANA INVESTASI DI KECAMATAN LABANG, KABUPATEN BANGKALAN PASCA SURAMADU DENGAN CITRA SPOT-5

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

PENDAHULUAN. Latar Belakang

II METODOLOGI PENELITIAN

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB V ANALISIS. 5.1 Analisis Pra-Pengolahan Citra Radarsat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Semarang merupakan ibukota Propinsi Jawa Tengah. Sebagai ibukota propinsi, Kota Semarang menjadi parameter kemajuan kota-kota lain di Propinsi Jawa Tengah. Penggunaan lahan di Kota Semarang dari tahun ketahun mengalami perubahan yang mengarah dari pertanian menjadi non pertanian. Selain itu, wilayah Kota Semarang yang sering dilanda banjir rob atau banjir yang disebabkan oleh luapan air laut mengakibatkan wilayah yang cepat berubah. Ketersediaan data yang akurat mengenai penutupan lahan sangat penting untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Salah satu sarana untuk menyediakan data penutupan lahan adalah dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Keuntungan penggunaan inderaja daripada cara terestris adalah penyediaan data yang lebih cepat dan relatif lebih murah serta dapat diperbaiki (update) secara periodik. Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh, khususnya citra optik yang digunakan untuk melakukan pemantauan perubahan tutupan lahan. Wilayah Indonesia yang berada pada daerah tropis menjadi salah satu kendala dalam menggunakan data citra optik. Indonesia memiliki dua musim tiap tahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, awan menjadi kendala dalam menggunakan data citra optik. Sedangkan pada musim kemarau, yang menjadi kendala adalah asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Adanya awan dan asap sangat mengganggu dalam proses identifikasi dan pemantauan obyek di permukaan bumi, hal ini seringkali membuat informasi terbaru di bawah awan atau asap tidak tersedia. Untuk mengatasi kelemahan dari citra optik maka saat ini telah tersedia suatu sistem penginderaan jauh aktif (radar). Radar memiliki kemampuan untuk melakukan perekaman pada segala cuaca, baik pada siang atau malam hari, serta mampu mengatasi kendala tutupan awan dan asap. Salah satu satelit yang membawa sensor radar adalah satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite). Satelit ALOS diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 dengan membawa tiga 1

2 jenis sensor, yaitu PRISM (Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2), PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Apeture Radar). Citra ALOS PALSAR yang merupakan citra radar diperoleh dari hasil perekaman pantulan balik gelombang mikro oleh obyek (Soenarmo, 2009). Data citra ALOS PALSAR berisikan kenampakan tingkatan karakteristik backscatter dari obyek di permukaan bumi (Soenarmo, 2009). Kelebihan dari citra ini adalah hasil dari perekaman citra tersebut tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca atmosfer bumi (kabut dan awan) dan waktu perekaman baik siang maupun malam. Dengan mempertimbangkan kelebihan tersebut, diharapkan bahwa penggunaan citra ALOS PALSAR dapat diterapkan pada pemantauan perubahan penutupan lahan yang selama ini cenderung lebih banyak menggunakan citra dengan saluran tampak. Citra radar pada umumnya direpresentasikan dalam bentuk grayscale sehingga dalam proses klasifikasi untuk mendapatkan informasi tutupan lahan cenderung menggunakan unsur tekstur sebagai unsur utama dalam proses interpretasi citra. Proses tersebut dalam praktiknya membutuhkan waktu yang lama. Pada pengolahan citra optik untuk mendapatkan informasi tutupan lahan, proses klasifikasi dilakukan secara digital dengan mengidentifikasi obyek menggunakan nilai Digital Number (DN). Proses klasifikasi digital tersebut membutuhkan waktu yang relatif lebih cepat daripada klasifikasi secara manual yang diterapkan pada citra radar. Oleh karena itu, dalam kajian ini akan mencoba proses pengolahan citra radar untuk identifikasi tutupan lahan dengan menggunakan klasifikasi berbasis DN seperti halnya proses klasifikasi yang diterapkan pada pengolahan citra optik. Proses klasifikasi citra digital ALOS PALSAR berbasis digital number setidaknya membutuhkan tiga saluran untuk dapat ditampilkan secara visual melalui citra komposit. Citra ALOS PALSAR level 1.1 yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra radar dengan tipe dual polarimetry. Data radar tipe ini terdiri dari dua saluran dengan karakteristik polarisasi tipe HH dan HV. Dengan memanfaatkan dua saluran yang dimiliki citra ALOS PALSAR maka dapat dibentuk citra komposit untuk digunakan dalam proses klasifikasi untuk identifikasi tutupan lahan. Pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan citra ALOS PALSAR dalam mengidentifikasi tutupan lahan dengan menerapkan proses

3 klasifikasi digital berbasis digital number. Karena citra radar memiliki karakteristik pola granular yang merupakan efek dari noise speckle, maka perlu ditentukan jenis filter yang tepat untuk mereduksi noise speckle tersebut agar mempermudah proses klasifikasi citra digital. I.2. Perumusan Masalah Citra radar dapat disusun sebagai citra komposit dengan memanfaatkan dua tipe polarisasi. Hasil komposit citra tersebut masih menunjukkan pola granular, tidak seperti citra optik pada umumnya sehingga dapat mempersulit proses klasifikasi citra digital. Dari rumusan masalah tersebut dapat dikemukakan dua pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimanakah kemampuan citra komposit ALOS PALSAR untuk menghasilkan tutupan lahan dengan klasifikasi berbasis Digital Number. b. Bagaimanakan strategi pemrosesan citra komposit ALOS PALSAR untuk menghasilkan tutupan lahan. I.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR untuk pemetaan tutupan lahan melalui pemrosesan citra dengan berbasis digital number dengan menerapkan penggunaan berbagai filter untuk menghasilkan tutupan lahan. I.4. Manfaat Hasil kajian mengenai pemrosesan citra ALOS PALSAR untuk tutupan lahan diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengguna citra penginderaan jauh mengenai kemampuan citra ALOS PALSAR dalam mengidentifikasi tutupan lahan dengan prosedur pengolahan data citra optik. Selain itu, manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah tersedianya informasi tutupan lahan Kota Semarang Propinsi Jawa Tengah.

4 I.5. Batasan Masalah Batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengolahan citra untuk menghasilkan informasi tutupan lahan dilakukan dengan berbasis digital number (DN) dengan proses pengolahan citra mengikuti tahapan seperti pengolahan citra optik. 2. Pada saat proses koreksi geometrik tidak dilakukan orthorektifikasi. 3. Pemilihan data GCP (Ground Control Point) dalam proses rektifikasi dan penentuan training area dilakukan dengan menggunakan acuan peta Rupa Bumi Indonesia. 4. Pemrosesan citra ALOS PALSAR menggunakan beberapa filter yang tersedia dalam perangkat lunak ENVI 4.8. Filter yang digunakan antara lain filter Lee, filter Frost, filter Gamma, dan filter Kuan dengan variasi ukuran kernel sebesar 3x3 dan 9x9. 5. Skema klasifikasi mengacu pada Strandar Nasional Indonesia untuk klasifikasi penutup lahan tahun 2010. 6. Uji akurasi hasil klasifikasi menggunakan acuan Peta RBI dengan beberapa titik sampel yang dilakukan uji lapangan dan sebagian titik sampel lainnya diidentifikasi dengan peta RBI dan citra Google Earth sebagai pendukung. 7. Menurut Julzarika (2010), citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk pemetaan skala 1:30.000 atau lebih kecil. Dalam kajian ini, citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m akan diaplikasikan dalam pembuatan peta tutupan lahan Kota Semarang skala 1:150.000. I.6. Tinjauan Pustaka Arief (2010) menjelaskan bahwa klasifikasi terbimbing atau supervised classification dengan pengambilan keputusan tetangga terdekat (nearest neighborhood) adalah teknik yang telah banyak digunakan dalam remote sensing untuk pengelompokkan tematik. Metode ini mempunyai keunggulan yaitu: prosesnya cepat, memudahkan pengguna dalam menginterpretasi citra. Metode ini juga mempunyai keterbatasan yaitu: menurunkan ketelitian citra. Berdasarkan hasil perhitungan, penutup lahan (land cover) yang dapat diidentifikasi dari data satelit ALOS tertanggal 10 Mei 2007 yaitu: man made object seluas 38.077,46 ha, lahan

5 terbuka seluas 13.985,47 ha, sedangkan vegetasi jarang dan rapat berturut-turut seluas 42.988.47 ha dan 70.821,76 ha. Hendrayanti (2008) menyatakan bahwa Citra ALOS PALSAR mampu dikelaskan menjadi empat kelas tutupan lahan yang terdiri dari, tubuh air, vegetasi/ hutan biomassa tinggi, vegetasi/hutan biomassa rendah, dan lahan pertanian sedangkan hasil klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) citra Landsat 7 ETM+ menunjukan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan ALOS PALSAR dengan menghasilkan sembilan kategori tutupan lahan dapat diidentifikasi. Penelitian tersebut masih menggunakan citra ALOS PALSAR dengan ketelitian rendah yaitu 200 m. Riswanto (2009) mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 200 m dalam klasifikasi tutupan lahan skala regional di Pulau Kalimantan. Penelitian tersebut menyatakan bahwa citra ALOS PALSAR mampu membedakan obyek secara baik di permukaan bumi dalam empat kelas penutupan lahan yaitu badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang dan vegetasi rapat dengan separabilitas rata-rata 1973,84. Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) adalah 88,21%. Klasifikasi tersebut menghasilkan luas penutupan lahan berupa badan air di Kalimantan adalah 384.719 ha atau 0,71%. Selanjutnya, luas penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah 11.459.400 ha atau 21,33%. Sementara itu, luas penutupan lahan berupa vegetasi sedang sebesar 5.070.008 ha atau 9,44%. Sedangkan luas penutupan lahan berupa vegetasi rapat adalah sebesar 36.806.058 ha atau 68,52%. Nurhadiatin (2011) mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan di Kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis dan Banyumas. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa hasil penafsiran dengan menggunakan nilai digital citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m sama-sama menghasilkan lima kelas tutupan lahan yaitu badan air, vegetasi pohon, kebun campuran, pemukiman dan sawah dengan proportion correct sebesar 0,642 atau 64,2% untuk citra resolusi 50 m dan 0,650 atau 65% untuk citra resolusi 12,5 m. Secara visual citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 dapat membedakan sembilan kelas tutupan lahan yaitu badan air, hutan tanaman sedangtua, perkebunan karet muda, sawah bervegetasi, sawah diolah/ digenangi air dan

6 pemukiman dengan nilai overall accuracy sebesar 67,57% dan Kappa accuracy sebesar 63,52% untuk citra resolusi 50 m serta nilai overall accuracy sebesar 67,57% dan Kappa accuracy sebesar 63,52% untuk citra resolusi 12,5 m. Karmani (2012) mengidentifikasi mangrove pada citra ALOS PALSAR level 1.0 dan citra Landsat 7 ETM+ dengan wilayah kajian Suaka Margasatwa Sembilang, Banyuasin. Dari hasil identifikasi mangrove yang diperoleh kemudian dilakukan perbandingan hasil pada kedua citra tersebut. Dalam penelitian ini menyebutkan bahwa hasil identifikasi mangrove dengan akurasi tertinggi diperoleh dari pengolahan citra ALOS PALSAR dengan kombinasi DEM SRTM dibanding pengolahan citra Landsat 7 ETM+ ataupun citra ALOS PALSAR dengan berbagai tipe filterisasi. Hasil identifikasi mangrove Suaka Margasatwa Sembilang dengan pengolahan citra ALOS PALSAR dengan kombinasi DEM SRTM berupa nilai luasan sebesar 893,4552 km 2 dengan user accuracy sebesar 92,45 %, sedangkan klasifikasi digital citra Landsat 7 ETM+ menghasilkan nilai luas mangrove sebesar 909,5526 km 2 dengan user accuracy sebesar 86,54 %. Hasil lainnya berupa nilai estimasi biomassa mangrove Suaka Margasatwa Sembilang melalui pengolahan citra ALOS PALSAR dan DEM SRTM sebesar 164,7226 ton/ha sedangkan pengolahan citra Landsat 7 ETM+ sebesar 109,0356 ton/ha. I.7. Landasan Teori I.7.1. Penginderaan Jauh Sistem Radar 1.7.1.1. Penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tertentu tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand, 1990). Penginderaan jauh sebagai sumber data spasial memberikan kemudahan baik dari segi waktu, tenaga, dan biaya bagi penggunanya. Apalagi jika data yang dibutuhkan mencakup wilayah yang luas, penginderaan jauh menjadi alternatif pilihan terbaik untuk penyediaan data. Saat ini teknologi penginderaan jauh sudah berkembang pesat dan banyak digunakan baik pemerintah, peneliti, kalangan akademik, sampai komersil. Dengan menggunakan satelit maka akan memungkinkan untuk memonitor daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana yang lain. Satelit dengan orbit tertentu dapat

7 memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang digunakan dalam penginderaan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca, dan sumberdaya alam. 1.7.1.2. Penginderaan jauh sensor aktif dan pasif. Sensor penginderaan jauh akan menangkap gelombang pantulan balik dari obyek dan merekam nilai intensitas gelombang balik tersebut. Sistem sensor adalah sistem rangkaian yang digunakan dalam pemanfaatan gelombang elektromagnetik pantul dan pancar dalam memperoleh data/informasi suatu obyek (Soenarmo, 2009). Secara umum, sistem sensor penginderaan jauh dibagi dalam dua tipe, yaitu: 1. Penginderaan jauh sensor aktif adalah sistem penginderaan jauh yang memanfaatkan gelombang yang ditransmisikan oleh sensor yang kemudian ditangkap kembali oleh sensor setelah dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi. Citra dengan sistem penginderaan jauh sensor aktif diantaranya adalah ALOS PALSAR (Advanced Land Observing Satellite Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar), ERS (Earth Resources Satellite), dan citra RADARSAT (Radio Detection And Ranging Satelit). 2. Penginderaan jauh sensor pasif merupakan sistem penginderaan jauh yang merekam pantulan gelombang dengan sumber energi yang berasal dari matahari atau obyek itu sendiri. Citra dari hasil penginderaan jauh dengan sensor pasif diantaranya adalah Landsat (Land Satellite), QUICK BIRD, dan SPOT (Sisteme Probatoire d Observation de la Terre). 1.7.1.3. Dasar sistem radar. RADAR merupakan singkatan dari Radio Detection And Ranging. Radar termasuk penginderaan jauh gelombang mikro aktif, yaitu penginderaan jauh dimana sensornya menyediakan energi atau cahayanya sendiri. Radar merupakan alat yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi keberadaan serta menentukan posisi suatu obyek (Lillesand, 1990). Proses yang termasuk di dalamnya antara lain mengirimkan pulsa energi gelombang mikro pada obyek yang diinginkan dan merekam kekuatan dan asal pantulan yang diterima oleh obyek di dalam area pencitraan. Kanal-kanal yang umum digunakan pada satelit radar disajikan pada Tabel I.1.

8 Kanal Panjang Gelombang (cm) Tabel I.1. Kanal-kanal pada satelit radar Frekuensi X 2,4 3,8 12,5 8 GHz C 3,8 7,5 8 4 GHz Contoh Satelit dan Apikasinya Satelit CCRS CV-580 SAR, untuk pertanian, kehutanan, geologi, mendeteksi gunung es, gelombang dan arus laut, mendeteksi lapisan minyak, banjir dan kebakaran ERS, untuk angin permukaan laut, suhu permukaan laut, tinggi gelombang, arus internal, topografi laut. RADARSAT untuk oseanografi, kandungan kelembaban vegetasi, bencana alam, tata guna lahan. S 7,5 15 4 2 GHz Survei lapangan komersial dan pemetaan. L 15 30 2 1 GHz Satelit SEASAT, untuk angin permukaan laut, suhu permukaan laut, arus internal dan topografi aut. JERS-1 dan ALOS PALSAR untuk sumber daya alam, geologi, pertanian, kehutanan, tata guna lahan, deteksi es di laut, pemantauan fenomena laut. P 75 133 225 400 MHz Satelit NASA JPL AirSAR, untuk fenomena oseanografi, geologi, kehutanan, hidrologi, dan arkeologi. (Sumber: Hamzah, 2004) Sistem radar mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: (1) mengirim sinyal gelombang mikro ke suatu obyek/ target, (2) menerima energi transmisi hamburan balik dari obyek/ target, (3) mengamati kekuatan/ energi (deteksi) dan waktu jeda (ranging) dari sinyal balik. Radar yang bersifat imaging disebut juga Synthetic Aperture Radar (SAR). Kelebihan-kelebihan radar antara lain bebas dari gangguan yang terjadi di atmosfer, seperti awan, asap dan hujan dan dapat mencitra pada siang hari maupun malam hari. 1.7.1.4. Parameter sistem radar. Parameter sistem radar terdiri dari polarisasi, frekuensi, resolusi, dan geometri citra radar. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai parameter sistem radar. 1. Polarisasi. Polarisasi merupakan orientasi medan elektrik dan magnetik gelombang elektromagnetik. Sistem radar dapat disusun untuk mengirim dan menerima radiasi elektromagnetik baik secara horizontal maupun vertikal. Ada 2 jenis polarisasi (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004), yaitu: a. Polarisasi yang energinya dikirim dan diterima pada bidang polarisasi yang sama. Polarisasi ini ada dua jenis, yaitu HH dimana energi ditransmisi

9 secara horizontal dan diterima secara horizontal dan VV dimana energi ditransmisi secara vertikal dan diterima secara vertikal. b. Polarisasi yang energinya ditransmisi dan diterima berbeda pada bidang polarisasi yang berbeda, atau disebut juga polarisasi silang. Polarisasi jenis ini ada dua macam yaitu, HV dimana energi ditransmisi secara horizontal dan diterima secara vertikal dan VH dimana energi ditransmisi secara vertikal dan diterima secara horizontal. 2. Frekuensi. Frekuensi radar menentukan kedalaman penetrasi gelombang untuk target yang diindera dan kekasaran relatif permukaan. Kedalaman penetrasi cenderung lebih dalam dengan panjang gelombang yang lebih panjang. Penginderaan jauh radar menggunakan frekuensi dengan kisaran antara 0,3 GHz sampai 300 GHz atau panjang gelombang 1 m sampai 0,001 m (Hamzah, 2004). 3. Resolusi. Resolusi adalah ukuran suatu kemampuan sistem untuk membedakan bentuk individual pada suatu scene. SAR mempunyai dua dimensi pada resolusi sensornya, yaitu resolusi jangkauan (range) dan resolusi azimut. Resolusi jangkauan ditentukan oleh sistem dan prosesor pada radar yang berpengaruh pada jangkauan miring (slant range). Resolusi jangkauan dipengaruhi oleh panjang pulsa. Resolusi azimut ditentukan oleh lebar beam angular dari bidang permukaan bumi yang terindera oleh beam radar. Untuk dua obyek yang terpisah maka kedua obyek tersebut harus dipisahkan pada arah azimut dengan jarak yang lebih besar dari pada lebar beam di permukaan bumi. 4. Geometri citra radar. Sensor pada radar cenderung mengindera ke bawah pada satu sisi bidang orbit. Ini disebut juga pandangan miring (oblique perspective). Slant range adalah garis lihat antara radar dan setiap elemen pada permukaan bumi yang dipantulkan. Istilah slant range dapat juga diartikan sebagai jarak dari satelit ke permukaan bumi dari arah lihat. Garis ini diukur dalam satuan waktu dari saat sinyal pertama kali ditransmisi sampai saat dikembalikan ke sensor. Ground range merupakan jarak pada permukaan bumi yang direpresentasikan oleh citra. Slant range dapat dihitung dengan persamaan berikut: SR =...(I.1) dengan: SR = Slant range (jarak langsung antara transmitter dan obyek)

10 c = kecepatan cahaya (3 x 108 m/s) t = beda waktu antara pulsa transmisi dan penerimaan echo (faktor 2 karena waktu dihitung untuk perjalanan pulsa ke dan dari target) Prosesor SAR diharuskan membuat konversi geometrik yang dibutuhkan dari slant range ke ground range. Parameter utama untuk konversi slant range ke ground range adalah sudut jatuh (incidence angle). Sudut jatuh merupakan sudut antara cahaya iluminasi radar dan permukaan bumi. Sudut jatuh tergantung dari tinggi satelit radar dari permukaan bumi. Sudut ini akan berubah dari near range ke far range dimana perubahan ini mempengaruhi geometri citra radar. Sudut jatuh ini ditentukan oleh sistem radar itu sendiri dan sudut jatuh lokal (Gambar I.2) Gambar I.1. Geometri citra radar (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004) Sudut jatuh lokal (local incidence angle) berkaitan dengan kemiringan lokal dari obyek pada lokasi di dalam citra. Sudut jatuh tergantung pada daerah lokal dan parameter radar. Sudut jatuh lokal merupakan salah satu faktor yang menentukan kecerahan citra atau warna tiap piksel. Sudut depresi (depression angle) merupakan sudut antara bidang horizontal dan garis yang menghubungkan sensor radar dan obyek yang diindera. 5. Efek bayangan (Shadowing). Efek bayangan terjadi bila obyek vertikal mengaburkan obyek yang lebih kecil pada saat diindera oleh sensor (Gambar I.2). Efek bayangan pada citra radar menunjukkan daerah-daerah di permukaan bumi yang tidak terkena cahaya oleh radar. Karena tidak ada sinyal pengembalian yang diterima maka efek bayangan terlihat sangat gelap pada citra radar. Efek bayangan terjadi pada arah down-range di belakang obyek yang tinggi.

11 Gambar I.2. Shadowing (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004) Karena sudut jatuh meningkat dari near range ke far range, iluminasi obyek menjadi lebih miring, sehingga efek bayangan menjadi lebih mencolok pada far range. Efek bayangan sering menjadi indikator dari mana iluminasi radar berasal. Efek bayangan pada radar berisi informasi tentang radar, misalnya system noise dan dapat berguna pada detil citra, analisis sistem dan tinggi obyek. 6. Efek pemendekan lereng depan (Foreshortening). Pemendekan lereng ke depan pada citra radar adalah kenampakan pemendekan dari obyek-obyek di citra yang miring ke depan (Gambar I.3). Efek ini akan menyebabkan obyek terlihat lebih kecil dari ukuran sebenarnya. Pemendekan lereng ke depan menyebabkan kemiringan yang terkena pengaruh akan tampak lebih cerah pada citra. Efek ini akan maksimum bila kemiringan tajam ortogonal terhadap bim radar, atau sudut jatuh lokal nol, sehingga dasar, kemiringan dan puncak terindera secara bersamaan dan menempati tempat yang sama pada citra. Gambar I.3. Foreshortening (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004)

12 7. Efek rebah ke dalam (Layover). Efek ini terjadi bila energi yang dipantulkan dari bagian lebih tinggi suatu obyek diterima oleh sensor sebelum pengembalian sinyal dari bagian rendah dari obyek (Gambar I.4). Efek ini akan menyebabkan suatu obyek menumpuk obyek lain yang lebih dekat ke sensor (terjadi lebih sering pada near range). Puncak dari suatu obyek akan digantikan atau ditumpuk relatif terhadap dasarnya bila diproses ke dalam suatu citra. Pada umumnya efek rebah ke dalam lazim terjadi pada sudut jatuh yang kecil. Gambar I.4. Layover (GlobeSAR, et al dalam Hamzah, 2004) Hubungan antara pemendekan lereng depan (foreshortening) dengan efek rebah ke dalam (layover) pada pencitraan radar adalah sebagai berikut: 1. Bila sudut kemiringan yang menghadap radar lebih kecil dari sudut jatuh bim radar, maka pemendekan lereng depan terjadi. 2. Bila kedua sudut yang disebutkan di atas sama besar, puncak dan dasar obyek akan menempati posisi jangkauan miring (slant range) yang sama, sehingga posisi pada citra akan sama. Pada kasus ini pemendekan lereng depan mencapai maksimum. 3. Bila sudut kemiringan yang menghadap radar lebih besar daripada sudut jatuh bim radar, efek rebah ke dalam akan terjadi. 1.7.1.5. Parameter target radar. Besarnya energi radar yang diterima dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain: 1. Kekasaran Permukaan. Kekasaran permukaan dari pantulan target ditentukan oleh hubungan antara panjang gelombang radar dengan sudut jatuh (Gambar I.3).

13 Permukaan halus akan memantulkan energi menjauhi sensor, sedangkan permukaan yang lebih kasar akan mengembalikan energi ke berbagai arah. Gambar I.5. Jenis hamburan permukaan (a) permukaan halus atau hamburan spekular (b) permukaan sedang (c) permukaan kasar (Robinson, 1985 dalam Hamzah, 2004) Permukaan yang kasar akan terlihat cerah pada citra radar dibandingkan dengan permukaan yang lebih halus. Umumnya, permukaan dianggap halus bila variasi tingginya lebih kecil dibandingkan panjang gelombang radar. Pada panjang gelombang single, permukaan lebih halus sebanding dengan meningkatnya sudut jatuh. Pada permukaan dianggap kasar bila mempunyai variasi tinggi sekitar setengah dari panjang gelombang radar. 2. Konstanta dielektrik. Kekasaran permukaan adalah faktor yang berhubungan dengan kelembaban. Kelembaban dapat memperbesar konstanta dielektrik kompleks suatu material. Konstanta dielektrik mempengaruhi kemampuan material untuk menyerap, memantulkan dan mengirimkan energi gelombang mikro. Kekuatan pantulan dan kecerahan pada hampir semua vegetasi alami dan permukaan makin tinggi dengan kelembaban yang makin tinggi juga. 3. Sudut Jatuh telah dijelaskan pada sub bab 1.7.3.2 dalam geometri citra radar. 4. Hamburan Permukaan (Surface Scattering). Pada citra radar ada dua jenis pantulan permukaan, yaitu hamburan tersebar dan hamburan diskret (Gambar I.4). Hamburan tersebar terdapat pada hampir seluruh obyek alami, sedangkan hamburan diskret terdapat pada obyek dengan bentuk geometris yang relatif sederhana, seperti bangunan. Hamburan diskret banyak diwakili oleh pantulan sudut.

14 Gambar I.6. Pantulan pada berbagai jenis permukaan (a), (b) hamburan tersebar (c) hamburan diskret (Lillesand, 1990) Pantulan sudut ada dua jenis, yaitu pantulan sudut dihedral dan pantulan sudut trihedral. Pantulan sudut dihedral terjadi bila dua permukaan terbentuk pada sudut yang benar dan terbuka ke arah radar. Sinyal pengembalian pantulan sudut dihedral kuat hanya bila permukaan pantulan hampir tegak lurus arah iluminasi. Pantulan paling besar dihasilkan oleh pantulan sudut trihedral. Pantulan jenis ini terbentuk oleh pertemuan tiga permukaan datar yang sama tegak lurus dan terbuka ke arah radar. Pantulan sudut akan memberikan rona yang lebih terang pada suatu obyek di citra radar. 5. Hamburan Volume (volume scattering). Hamburan volume berhubungan dengan proses hamburan multipel pada suatu medium. Tipe hamburan ini dapat terjadi di kanopi vegetasi di hutan, lapisan tanah yang sangat kering, pasir, atau es. 6. Teori Hamburan Resonansi Bragg. Teori ini diterapkan pada obyek permukaan laut. Sudut jatuh pada SAR adalah miring terhadap sudut rata-rata lokal permukaan laut, oleh karena itu hampir tidak ada pantulan spekuler langsung kecuali pada kondisi laut tinggi. Menurut pernyataan tersebut, resonansi Bragg antara radar dan gelombang laut diasumsikan sebagai mekanisme utama untuk pulsa hamburan balik radar. I.7.2. Citra ALOS PALSAR ALOS (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit penginderaan jauh milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 (Japanese Earth Resources Satellite-1) dan ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite). Satelit

15 ALOS diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegasima Spaca Center, Jepang bagian selatan (JAXA, 2013). Periode orbit satelit untuk kembali pada satu titik tertentu adalah 46 hari dengan ketinggian orbit 691 km. Karakteristik satelit ALOS secara lebih rinci disajikan pada Tabel I.2. Item Orbit Equator pass time Altitude Inclination Recurrence cycle Orbital control GPS orbital position accuracy Star Tracker attitude determination accuracy Attitude stability Time accuracy (abs.) High-speed Solid State Recorder (HSSR) Data transmission Ka-band antenna X-band antenna Solar Array Paddle Generated power Total weight Tabel I.2. Karakteristik satelit ALOS (Sumber: Rosenqvist et al, 2004) Characteristic Sun synchronous, Sub recurrent ~10,30 m (desc); ~22,30 (asc.) 691,65 km 98,16 deg 46 days 14+ 27 / 46 rev./day; 671 rev./cycle +/- 2,5 km (at equator) 1 m (off-line) 0,0002 deg (off-line) (~2,5 m on the ground) 0,0004 deg/ 5 sec 1 ms Capacity: 96 Gbytes Data rate (max): 360 Mbps (recording) 240 Mbps (playback) 240 Mbps (via DRTS) 120 Mbps (direct GS down-link) 3 m x 22 m, 9 segments >7kW at EOL 4000 kg Satelit ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dengan resolusi along track 2,5 meter, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type- 2 (AVNIR-2) dengan resolusi 10 meter, dan Phased-Array type L-band Synthetic Apeture Radar (PALSAR). Untuk dapat bekerja dengan ketiga jenis sensor di atas, ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat. Peluncuran satelit ALOS ditujukan untuk memberikan kontribusi

16 terhadap aplikasi kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, dan penelitian sumber daya alam. Sensor PALSAR merupakan sensor geombang mikro aktif yang bekerja pada frekuensi Band L. Sensor PALSAR dapat melakukan observasi siang dan malam serta mempunyai kemampuan untuk menembus awan sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat tanpa terpengaruh kondisi cuaca. Sensor PALSAR yang dipasang pada satelit ALOS merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. PALSAR dioperasikan dalam tiga mode polarimetri yaitu single polarisation (HH atau VV), dual polarisation (HH+HV atau VV+VH), dan full polarimetry (HH+HV+VH+VV). Karakteristik observasi PALSAR diilustrasikan pada gambar I.5. Gambar I.7. Karakteristik observasi PALSAR (JAXA, 2013) Data PALSAR dapat digunakan untuk pembuatan DEM, interferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), kelembaban tanah, mineral, dan lain-lain. Produk standar ALOS PALSAR terdiri dari beberapa level. Level 1.0 merupakan data yang belum dalam format SLC (single look complex). SLC merupakan tipe data citra radar yang merupakan kompresi dari raw data terhadap matriks karakteristik backscater. Pada data level 1.0, susunan data sinyal belum dipadatkan dan dilengkapi dengan koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik dalam mode polarimetri dengan data polarimetri yang dipisahkan. Level 1.1 merupakan data yang

17 sudah dikalibrasi secara radiometrik pada masukan sensor serta sudah dalam format SLC. Level 1.5 dari citra ALOS PALSAR merupakan data yang sudah dikoreksi geometrik secara sistematik atau dengan kata lain telah siap digunakan untuk berbagai aplikasi penginderaan jauh. Karakteristik berbagai mode observasi ALOS PALSAR secara ringkasnya dapat dilihat pada Tabel I.3. Tabel I.3. Karakteristik citra ALOS PALSAR berbagai mode Mode Fine ScanSAR Center Frekuensi Chirp Bandwidth Polarization 28 MHz 14 MHz HH atau VV HH+HV atau VV+VH 1270 Mhz (L-Band) 14 MHz, 28 MHz HH atau VV Polarimetric (Experimental mode)*1 14 MHz HH+HV+VH+VV Incidence angle 8 to 60 deg. 8 to 60 deg. 18 to 43 deg. 8 to 30 deg. Range 100 m 7 to 44 m 14 to 88 m Resolution (multi look) 24 to 89 m Observation Swath 40 to 70 km 40 to 70 km 250 350 km 20 to 65 km Bit Length 5 bits 5 bits 5 bits 3 or bits Data rate 240 Mbps 240 Mbps 120 Mbps, 240 Mbps 240 Mbps NE sigma zero *2 S/ A *2, *3 Radiometrik accuracy (Sumber: JAXA, 2013) <- 23 db (Swath Width 70 km) <- 25 db (Swath Width 60 km) <- 16 db (Swath Width 70 km) <- 21 db (Swath Width 60 km) Scene: 1 db/ orbit: 1,5 db <- 25 db <- 29 db <- 21 db <- 19 db I.7.3. Pengolahan citra Pengolahan citra dilakukan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dari suatu data penginderaan jauh sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pada penelitian ini, pengolahan citra digital diperlukan untuk mendapatan informasi berupa penutup lahan pada area penelitian. Adapun tahapan-tahapan pengolahan citra secara digital akan diuraikan pada sub-bab berikutnya. I.7.3.1. Koreksi radiometrik. Koreksi radiometrik citra merupakan suatu koreksi yang digunakan untuk membuat kualitas citra menjadi lebih baik secara visual, numerik, maupun secara digital. Koreksi radiometrik ditujukan untuk

18 memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan obyek yang seharusnya. Pada umumnya, koreksi radiometrik mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan merupakan nilai aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan. Citra yang perlu dikoreksi radiometrik pada umumnya nilai digital number terendahnya melebihi nol. Nilai lebih tersebut dihitung sebagai nilai offset dan nilai tersebut merupakan besarnya pengaruh gangguan atmosfer (Djurdjani dan Kartini, 2004). I.7.3.2. Koreksi geometrik (rektifikasi). Citra yang digunakan dalam pemrosesan data biasanya belum terkoreksi secara geometrik, sehingga perlu dilakukan koreksi geometrik terlebih dahulu. Koreksi geometrik dilakukan agar citra mempunyai koordinat sama dengan peta dengan datum World Geodetic System 1984 (WGS 84) serta sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Acuan yang digunakan dalam proses rektifikasi dapat dibedakan atas: (1) rektifikasi citra ke citra (image to image retification) dan (2) rektifikasi citra ke peta (image to map rectification). Resampling merupakan suatu proses transformasi citra dengan memberikan nilai piksel terkoreksi. Pelaksanaan resampling dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem koordinat ke sistem koordinat yang lain (Jaya, 2007). Tahap-tahap melakukan koreksi geometrik terdiri dari tiga prosedur berikut ini: a. Memilih titik kontrol lapangan (Ground Control Point) pada citra dengan syarat tersebar merata di seluruh citra, relatif permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu pendek (misal: jalan, jembatan, sudut bangunan, dan sebagainya). b. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk melakukan interpolasi spasial. Persamaan ini umumnya berupa persamaan polinomial baik orde 1, 2, dan 3. c. Menghitung kesalahan RMSE (Root Mean Squared Error) dari GCP yang terpilih. Nilai RMSE tidak boleh lebih dari 0.5 piksel. RMS error =... (I.2)

19 Keterangan : pi = nilai piksel prediksi yang dihasilkan pada citra. ai = nilai piksel yang dihasilkan pada citra acuan (base image) n = jumlah titik kontrol tanah. I.7.4.3. Band Ratio. Band Ratio adalah salah satu metode perhitungan matematis nilai spektral citra multi saluran. Band Ratio dihitung dengan persamaan pembagian dari nilai spektral citra setelah citra teregistrasi (Putra, 2010). Persamaan matematis metode ini adalah sebagai berikut (Putra, 2010): DN f = DN 1 / DN 2...(I.3) Keterangan: DN f = nilai digital number citra baru hasil band ratio DN 1 = digital number dari citra pertama DN 2 = digital number dari citra kedua Band ratio sering kali digunakan untuk mentransformasi nilai spektral dari dua saluran untuk keperluan tertentu. Jhonnerie dkk (2006) dalam Karmani (2012) mengungkapkan bahwa proses ini merupakan metode transformasi yang umum dikenal dalam pemrosesan data penginderaan jauh. Hal ini dikarenakan perbedaan nilai spektral pada permukaan yang berbeda akan memperjelas tampilan obyek dan dapat mengurangi efek variasi topografi. I.7.3.4. Cropping (Pemotongan citra). Cropping citra merupakan tahapan pemrosesan penginderaan jauh pada citra berupa pemotongan citra dari sebuah scene citra penuh yang mencakup area yang dibutuhkan untuk pemrosesan citra lebih lanjut. Hal ini bertujuan untuk membatasi daerah penelitian yang dilakukan sehingga dapat memfokuskan perhatian pada area yang dikaji sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain itu, cropping citra dapat meringankan beban komputer dalam proses pengolahan data selanjutnya serta menghemat kapasitas penyimpanan hasil karena pemrosesan tidak dilakukan pada seluruh area dalam citra yang memiliki memory size penyimpanan yang cukup besar. I.7.3.5. Mosaik. Mosaik (Mosaic) merupakan suatu proses penggabungan dari beberapa citra secara bersama membentuk satu kesatuan (1 lembar) peta atau citra yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid, dan koordinatnya terinterkoneksi) (Jaya, 2007).

20 Proses mosaik ini diterapkan pada peta rupa bumi untuk mendapatkan peta Kota Semarang dalam satu kesatuan yang utuh mengingat wilayah Kota Semarang terbagi ke dalam empat lembar peta rupa bumi. Hasil mosaik peta rupa bumi ini akan digunakan sebagai acuan koreksi geometri cita ALOS PALSAR. I.7.3.6. Filterisasi citra radar. Salah satu karakteristik citra SAR adalah timbulnya noise speckle, yang tampak sebagai tekstur bintik-bintik terang-gelap yang terdistribusi secara random dalam citra. Noise tersebut timbul akibat interferensi konstruktif dan destruktif diantara sinyal-sinyal hamburan balik dari berbagai obyek secara random dalam suatu sel/ area tertentu (resolution cell) yang disinarinya (Wahyudi, 2010). Salah satu cara untuk mereduksi noise tersebut adalah melalui proses speckle filtering dengan menggunakan beberapa algoritma pemfilteran. Filtering dilakukan untuk mengekstraksi bagian data tertentu dari suatu himpunan data dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan. Filtering sangat efektif digunakan untuk mengurangi speckle (noise) yang menjadi salah satu masalah pada pengolahan citra radar, karena hal ini dapat menyebabkan kesalahan informasi yang diperoleh. Filter yang digunakan, diharapkan mampu menghilangkan speckle pada daerah yang homogen dan dalam daerah heterogen, selain menghilangkan speckle juga mampu mempertahankan serta meningkatkan informasi tersebut. Filter dioperasikan pada berbagai ukuran jendela piksel (kernel size) yang akan dihitung satu nilai yang mewakili luasan piksel tersebut. Semakin besar kernel size yang diterapkan maka akan menghasilkan citra yang semakin halus. Filter yang digunakan untuk menghilangkan noise speckle pada citra radar antara lain: 1. Filter Lee, digunakan untuk menghaluskan noise (bintik) pada data yang memiliki intensitas yang berhubungan dengan citra dan juga memiliki komponen aditif dan/ atau multiplikatif. Filterisasi Lee merupakan filter yang berbasis standar deviasi (sigma) yang menyaring data berdasarkan hitungan statistik dalam jendela filter secara individu. Tidak seperti filter jenis low-pass filter, filter Lee dan filter lainnya yang menggunakan sigma, mempertahankan ketajaman gambar dan detail sekaligus menekan noise. Pixel yang disaring digantikan oleh nilai yang dihitung dengan menggunakan piksel sekitarnya.

21 2. Filter Frost, digunakan untuk mengurangi noise dengan mempertahankan tepi dalam citra radar. Filter Frost merupakan filter yang secara simetris sirkuler teredam secara eksponensial dengan menggunakan statistik lokal. Piksel yang disaring diganti dengan nilai yang dihitung berdasarkan jarak dari pusat filter, faktor redaman, dan varian lokal. 3. Filter Gamma, digunakan untuk mengurangi noise dengan mempertahankan tepi dalam citra radar. Filter Gamma mirip dengan filter Kuan tetapi diasumsikan bahwa data memiliki distribusi gamma. Piksel yang disaring diganti dengan nilai yang dihitung berdasarkan statistik lokal. 4. Filter Kuan, digunakan untuk mengurangi noise dengan mempertahankan tepi dalam citra radar. Filter ini mengubah model noise multiplikatif dalam model noise aditif. Filter ini mirip dengan filter Lee tetapi menggunakan fungsi pembobotan yang berbeda. Piksel yang disaring diganti dengan nilai yang dihitung berdasarkan statistik lokal (Help file ENVI 4.8). I.7.3.7. Klasifikasi Citra. Klasifikasi citra digital dapat diartikan sebagai cara mengenali, menentukan letak dan melakukan pengelompokan obyek menjadi kelaskelas tertentu yang didasarkan pada kesamaan nilai spektral tiap piksel (Djurdjani dan Kartini, 2004). Secara umum, klasifikasi dibedakan menjadi dua, yaitu: a. klasifikasi terkontrol atau supervised classification yaitu klasifikasi yang berpedoman pada nilai piksel yang sudah diketahui kategori obyeknya atau penutup lahannya, b. klasifikasi tidak terkontrol atau unsupervised classification yaitu klasifikasi yang dilakukan tanpa menggunakan daerah contoh dengan proses klasifikasi yang didasarkan pada pembagian kelas dengan rentang nilai piksel sesuai banyaknya kelas yang ditentukan. Klasifikasi yang sering digunakan dalam pengolahan citra digital adalah klasifikasi terkontrol karena dapat meningkatkan hasil klasifikasi serta lebih akurat dari klasifikasi tidak terkontrol. Kriteria pengelompokan kelas dalam klasifikasi terkontrol ditetapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh melalui pembuatan area contoh (training area). Penentuan training area dilakukan berdasarkan interpretasi foto udara, peta rupa bumi atau hasil dari survei lapangan.

22 Sebaiknya luasan minimal untuk setiap training area mencakup piksel berjumlah sepuluh kali jumlah band yang digunakan untuk klasifikasi (Barbosa et al, 1996). Beberapa metode klasifikasi yang sering digunakan dalam klasifikasi terkontrol adalah minimum distance, parallelepiped, dan maximum likelihood. Klasifikasi dengan pendekatan minimum distance yaitu klasifikasi yang didasarkan pada jarak minimum dari nilai rata-rata pada setiap kelas. Klasifikasi dengan pendekatan parallelepiped yaitu klasifikasi yang didasarkan pada nilai standar deviasi dari nilai rata-rata untuk setiap kelas pada setiap kanalnya. Klasifikasi dengan pendekatan maximum likelihood merupakan klasifikasi yang mengasumsikan bahwa nilai statistik untuk setiap kelas pada setiap kanal terdistribusi secara normal dan menghitung nilai probabilitas suatu piksel untuk dikelompokkan pada kelas tertentu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Maximum Likehood (Kemungkinan Maksimum). Metode klasifikasi ini pada dasarnya merupakan pengelompokan piksel berdasarkan nilai pantulan yang sesuai dengan daerah contoh atau training area. Metode ini dipilih karena merupakan metode standar yang paling umum digunakan. Metode ini memperhatikan berbagai faktor dalam menentukan peluang suatu piksel dikelaskan sebagai obyek tertentu. Piksel dikelaskan sebagai obyek tertentu bukan karena jarak euklidian seperti metode lain, melainkan berdasarkan bentuk, ukuran, serta orientasi sampel pada feature (Shresta, 1991 dalam Karmani, 2012). Algoritma maximum likelihood secara statistik dikatakan sebagai algoritma yang paling mapan karena mendasarkan perhitungan kemiripan tiap piksel dengan asumsi bahwa obyek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal (Danoedoro, 2012) I.7.4. Uji ketelitian hasil klasifikasi citra Uji ketelitian hasil klasifikasi citra dilakukan untuk mengevaluasi ketepatan hasil klasifikasi dengan data ukuran di lapangan. Seberapa besar ketelitian yang diperoleh dari uji ketelitian hasil klasifikasi citra tersebut dapat mempengaruhi besarnya kepercayaan terhadap data yang digunakan. Menurut Sutanto (1994), uji ketelitian hasil klasifikasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: (1) melakukan pengecekan lapangan pada beberapa titik sampel yang dipilih dari setiap kelas tutupan lahan, (2) menilai kecocokan hasil klasifikasi citra dengan kondisi

23 sebenarnya di lapangan, dan (3) membuat matrik perhitungan kesalahan (confusion matrix) pada setiap kelas tutupan lahan dari hasil klasifikasi sehingga diketahui tingkat ketelitiannya. Bentuk matrik kesalahan untuk menghitung besarnya nilai akurasi disajikan dalm Tabel I.5. Kelas Referensi A B C Tabel I.4. Bentuk matriks kesalahan (Confusion Matrix) Dikelaskan ke Kelas (Data Klasifikasi di Peta) A B C X 11 X 12 X 13 X 21 X 22 X 23 X 31 X 32 X 33 Jumlah Piksel Total Piksel X +1 X +2 X +3 N Akurasi Pengguna X 11 / X +1 X 22 /X +2 X 33 /X +3 (Sumber: Jaya, 2007) X 1+ X 2+ X 3+ Akurasi Pembuat X 11 /X 1+ X 22 /X 2+ X 33 /X 3+ Beberapa persamaan akurasi yang digunakan adalah: User s Accuracy...(I.4) Prodecer s Accuracy...(I.5) Overall Accuracy...(I.6) Kappa Accuracy.(I.7) Keterangan: N : Jumlah piksel yang diuji X i+ : Jumlah piksel dalam baris ke-i X +i : Jumlah piksel dalam kolom ke-i X ii : Nilai diagonal dari matrik kontingesi baris ke-i dan kolom ke-i Keakuratan hasil klasifikasi citra dapat dihitung melalui tabel Confusion Matrix. Dalam tabel Confusion Matrix ini, dapat dihitung besarnya akurasi pembuat (producers accuracy) dan akurasi pengguna (users accuracy) dari setiap kelas. Producers accuracy merupakan nilai yang menyatakan jumlah data lapangan yang telah terklasifikasi secara benar pada suatu kelas klasifikasi. Producers accuracy diperoleh dengan membagi piksel yang benar (X ii ) dengan total piksel (X +i ) daerah contoh per kelas. Hitungan akurasi jenis ini menghasilkan kesalahan residual yang

24 disebut sebagai omission error. Users accuracy adalah nilai yang menyatakan jumlah piksel pada suatu kelas klasifikasi yang merupakan nilai yang sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Users accuracy diperoleh dengan membagi piksel yang benar (X ii ) dengan jumah piksel (X i+ ) daerah contoh per kelas. Hitungan akurasi jenis ini menghasilkan kesalahan residual yang disebut sebagai comission error. Selain itu, tabel I.5 juga memberikan informasi nilai akurasi keseluruhan (overall accuracy) serta nilai akurasi Kappa pada masing-masing metode filterisasi yang digunakan. Overall accuracy menunjukkan banyaknya jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar pada tiap kelas dibanding jumlah sampel yang digunakan untuk uji akurasi pada semua kelas. Kappa accuracy menunjukkan konsistensi akurasi hasil klasifikasi. I.7.5. Klasifikasi penutupan lahan dalam penginderaan jauh Dalam berbagai wacana sering ditemukan percampuran pemakaian kata antara penutupan lahan dan penggunaan lahan. Penutupan lahan tidak sama dengan penggunaan lahan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penutupan lahan (land cover) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan kenampakan suatu obyek secara fisik, baik kenampakan alami maupun kenampakan buatan manusia yang ada di permukaan bumi sedangkan penggunaan lahan (land use) merupakan bentuk pemanfaatan atau fungsi dari perwujudan suatu bentuk penutup lahan. Pada citra penginderaan jauh informasi penutupan lahan umumnya mudah dikenali sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsirkan secara tepat pada citra namun dapat diperkirakan berdasarkan kenampakan penutupan lahan. Klasifikasi penutupan lahan dilakukan berdasarkan sistem klasifikasi penutup lahan sesuai Standar Nasional Indonesia tahun 2010 yang disusun oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). BSN menyusun sistem klasifikasi penutup lahan mengacu pada Land Cover Classification System United Nation Food and Agriculture Organization (LCCS-UNFAO) dan ISO 19144-1 Geographic information Classification System Part 1: Classification system structure dan dikembangkan sesuai dengan fenomena yang ada di Indonesia (BSN, 2010). Sistem klasifikasi penutup lahan sesuai SNI ditunjukan pada Tabel I.6.

25 Tabel I.5. Sistem klasifikasi kelas penutup lahan skala 1:250.000 Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV 1. Daerah 1.1. Daerah 1.1.1. Sawah bervegetasi pertanian 1.1.2. Sawah pasang surut 1.1.3. Ladang 1.1.4. Perkebunan - 2. Daerah tak bervegetasi 1.2. Daerah bukan pertanian 1.1.5. Perkebunan campuran 1.2.1. Hutan lahan kering 1.2.1.1. Hutan lahan kering primer 1.2.1.2. Hutan lahan kering sekunder 1.2.2. Hutan lahan basah 1.2.2.1. Hutan lahan basah primer sekunder 1.2.2.2. Hutan lahan basah 1.2.3. Semak dan belukar 1.2.4. Padang rumput, alang-alang, sabana 1.2.5. Rumput rawa 2.1. Lahan terbuka 2.1.1. Lahar dan lava 2.2. Permukiman dan lahan bukan pertanian yang berkaitan 2.1.2. Hamparan pasir pantai - 2.1.3. Beting pantai 2.1.4. Gumuk pasir 2.2.1. Lahan terbangun 2.2.1.1. Permukiman 2.2.1.2. Bangunan industri 2.2.1.3. Jaringan jalan 2.2.2. Lahan tidak terbangun 2.2.2.1. Pertambangan 2.2.2.2. Tempat penimbunan sampah/ deposit 2.3. Perairan 2.3.1. Danau atau waduk 2.3.2. Tambak 2.3.3. Rawa 2.3.4. Sungai 2.3.5. Anjir pelayaran 2.3.6. Terumbu karang 2.3.7. Gosong pantai Sumber: SNI Klasifikasi penutup lahan (2010) - - I.8. Hipotesis Pemrosesan citra komposit ALOS PALSAR untuk klasifikasi tutupan lahan menggunakan nilai digital tidak sebaik dibandingkan dengan citra optik. Citra komposit ALOS PALSAR diperkirakan mampu mengklasifikasikan obyek pada tingkat I sesuai Standar Nasional Indonesia untuk klasifikasi penutup lahan.