PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA ANTARA KELAS AKSELERASI DAN KELAS NON AKSELERASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL UNTUK REMAJA SISWA SMA KELAS AKSELERASI

PERBEDAAN PENYESUAIAN DIRI DAN STRES BELAJAR ANTARA SISWA KELAS AKSELERASI DENGAN SISWA KELAS REGULER DI SMU NEGERI 3 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rini Restu Handayani, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar di sekolah. Hal ini sesuai pendapat Ahmadi (2005) yang menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syifa Zulfa Hanani, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Masa usia sekolah dasar merupakan masa akhir kanak-kanak yang. berkisar antara enam tahun sampai dua belas tahun, dimana anak mulai

PENDAHULUAN Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN KEYAKINAN DIRI (SELF-EFFICACY) DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA AKSELERASI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. karena pendidikan akan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem penyelenggaraan pendidikan dasar, lanjutan, dan menengah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis.

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PERANTAU NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan dan strategi agar sesuai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rahmah Novianti, 2014

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di era yang semakin modern seperti ini di dunia pendidikan setiap

MANAJEMEN PENYELENGGARAAN PROGRAM PERCEPATAN BELAJAR BAGI SISWA YANG MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN BAKAT ISTIMEWA DI SMP NEGERI 1 WONOGIRI TESIS

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah membinatang. Orang orang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelas unggulan dalam arti secara umum merupakan kelas yang berisi anakanak

Manajemen program akselerasi belajar: studi kasus di SMA Negeri 3 Jombang / Iva Faradiana

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di

2.3.3 Tujuan Kelas Akselerasi Manfaat Kelas Akselerasi Keunggulan Kelas Akselerasi Kelemahan Kelas Akselerasi...

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas, sehingga dapat memfungsikan diri sesuai dengan kebutuhan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pendeknya mengenai segala aspek organisme atau pribadi seseorang.

PENINGKATAN KEMAMPUAN SOSIAL ANAK USIA DINI MELALUI PERMAINAN BERHITUNG DI TK GIRIWONO 2

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian dan definisi operasional variabel dalam

BAB I PENDAHULUAN. ada di atas rata-rata anak seusianya. Hal ini membuat anak berbakat membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Cipta,2008), hlm. 2.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak merupakan seorang individu dengan ciri khusus yang dalam

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari tiga ciri utama yaitu derajat kesehatan, pendidikan dan. bertumbuh dan berkembang (Narendra, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan. Ketika remaja dihadapkan pada lingkungan baru misalnya lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam setiap proses kehidupan, manusia mengalami beberapa tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. karena pada dasarnya belajar merupakan bagian dari pendidikan. Selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu

UPAYA PEMBERDAYAAN PESERTA DIDIK ISTIMEWA MELALUI PROGRAM AKSELERASI OLEH PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kontribusi yang sangat besar pada masyarakat (Reni Akbar

BAB I PENDAHULUAN. masa ini sering kali disebut dengan masa keemasan the Golden Age, masa-masa

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perhatian dalam lingkungan sekolah. Dengan memiliki para siswa dengan

BIMBINGAN DAN KONSELING DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMP AKSELERASI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nida Sholiha, 2015

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keberadaan orang lain dalam hidupnya. Dorongan atau motif sosial pada manusia,

HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN EKSTROVERT DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FKIP PBSID UMS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dengan segala kemajuan teknologi yang mengikutinya,

Pengaruh kepramukaan dan bimbingan orang tua terhadap kepribadian siswa kelas I SMK Negeri 3 Surakarta tahun ajaran 2005/2006. Oleh : Rini Rahmawati

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. prasarana, fisik sekolah, kualitas guru, pemutakhiran kurikulum,dan juga tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. formal, non-formal dan informal. Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. untuk menghasilkan sumber daya manusia yang benar-benar berkulitas guna

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Bab IV pasal 5 ayat 3 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. program tertentu. Aktivitas mereka adalah belajar. Belajar ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang tua ingin anaknya menjadi anak yang mampu. menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebuah organisasi. Karena itu, sumber daya manusia perlu dikelolah secara. organisasi dalam memenangkan berbagai macam persaingan.

Transkripsi:

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA ANTARA KELAS AKSELERASI DAN KELAS NON AKSELERASI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Oleh CYNTIA DEWI JAYATI F 100 050 197 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2009 i

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain dan berinteraksi dengan orang lain dalam hidupnya. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, individu dalam berhubungan dengan orang lain, harus dapat melakukan penyesuaian terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal ini disampaikan Meichati (dalam Hartati, 2006) bahwa penyesuaian sosial dapat berlangsung karena ada dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan. Tujuan individu memenuhi kebutuhannya adalah untuk mencapai keseimbangan antara harapan di dalam dirinya dengan tuntutan sosial. Diungkapkan oleh Hurlock (2008) Penyesuaian sosial sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya. Salah satu contoh penyesuaian sosial individu adalah peyesuaian sosial seorang anak di sekolah sebagai siswa. Pendidikan formal sangat penting dalam kehidupan individu, oleh karenanya selama menjadi bagian dari sekolah, siswa dituntut harus dapat melakukan penyesuaian terhadap lingkungan sekolah dengan baik. Tidak mudah bagi siswa melakukan penyesuaian sosial di sekolah. Diperlukan faktor-faktor pendukung yang dapat memperlancar siswa dalam melakukan penyesuaian sosial. Schneiders (dalam Asyanti, Sofiati, dan Sudardjo, 2002) menyebutkan bahwa faktor yang mendukung penyesuaian sosial siswa di antaranya kondisi fisik dan

2 penentu-penentunya yang meliputi ketentuan, konstitusi fisik, dan kesehatan; dan faktor psikologis yang meliputi pengalaman, belajar, frustrasi dan konflik. Di samping itu perkembangan dan kemasakan individu juga mempunyai peran terhadap penyesuaian sosial, terutama kematangan intelektual, sosial, moral dan emosi. Ditambahkan oleh Scheneider (1964) bahwa faktor lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat juga dapat mempengaruhi penyesuian sosial. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) berada pada fase perkembangan remaja mempunyai tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh setiap siswa. Tugas perkembangan ini akan mempengaruhi penyesuaian sosial siswa seperti yang diungkapkan oleh Havighurst (dalam Masyhuri dan Suprihatin, 1990) bahwa sukses yang diperoleh dalam melaksanakan tugas perkembangan mencapai hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin akan membawa remaja dalam penyesuaian sosial yang lebih baik sepanjang hidupnya. Diungkapkan oleh Hurlock (dalam Asyanti, Sofiati, dan Sudardjo, 2002), siswa yang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan dapat mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya, dibandingkan dengan siswa yang ditolak atau diabaikan oleh teman sekelasnya. Ditambahkan pula bahwa siswa yang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan memiliki dasar untuk meraih keberhasilan pada masa dewasa. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian sosial di sekolah akan berakibat yang tidak baik. Siswa dapat merasa tidak

3 bahagia, dan tidak menyukai dirinya sendiri. Akibatnya, siswa akan mengembangkan sikap egois, tertutup, unsocial atau bahkan anti-sosial. Widyastono (2001) mengungkapkan ditinjau dari aspek kemampuan dan kecerdasan, siswa dapat dikelompokkan kedalam tiga strata, yaitu yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di bawah rata-rata, rata-rata, dan di atas rata-rata. Siswa yang berada di bawah rata-rata, memiliki kecepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa-siswa pada umumnya. Di sisi lain, siswa yang berada di atas rata-rata, memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar siswa-siswa lainnya. Melihat dari aspek kemampuan dan kecerdasan itu, setiap siswa membutuhkan layanan pendidikan yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yang menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus (pasal 8 ayat 2) dan setiap peserta didik mempunyai hak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan (pasal 24 ayat 6) (Widyastono, 2001). Oleh karenanya pada tahun 1998 Depdiknas memberikan Surat Keputusan Penetapan Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar (Akbar & Hawadi, 2004). Tirtonegoro (2001) menyampaikan Percepatan (akselerasi) yaitu cara penanganan anak supernormal dengan memperbolehkan naik kelas secara meloncat atau menyelesaikan program reguler di dalam jangka waktu yang lebih singkat. Sebagai suatu program pendidikan, maka program akselerasi memiliki

4 tujuan atau harapan khusus yang ingin dicapai, yaitu menyelesaikan program pendidikan lebih cepat sesuai dengan potensinya, efisiensi dan efektivitas proses pembelajaran, mencegah rasa bosan terhadap iklim kelas yang kurang mendukung berkembangnya potensi siswa, dan memacu mutu siswa untuk meningkatkan kecerdasan spiritual, itelektual, dan emosional secara berimbang (Suralaga, 2006). Di indonesia, program akselerasi masih menekankan kemampuan kognitif siswa. Siswa diberi materi pelajaran yang lebih padat agar waktu belajarnya lebih awal selesainya. Hal ini didukung oleh pernyataan Hawadi (dalam Alanda, Dewi, dan Hastuti, 2007) yang menyatakan, program akselerasi yang diadakan pemerintah Indonesia saat ini masih terbatas pada tipe telescoping curriculum. Ditambahkan oleh Evans (dalam Alanda, Dewi, dan Hastuti, 2007), dalam telescoping curriculum, siswa menyelesaikan bahan pelajaran untuk satu tahun menjadi dapat dipelajari selama satu semester. Menurut pengamatan penulis, di lapangan terdapat permasalahan di kelas akselerasi yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik. Soleh (2007) menjelaskan fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akeselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada parampasan hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya. Malang Raya (2008) juga menyebutkan bahwa siswa kelas akselerasi (percepatan) cenderung memiliki masalah dalam interaksi sosial. Dalam hubungan sosial,

5 siswa-siswa akselerasi kurang memiliki sikap toleran terhadap lingkungan. Itu sesuai dengan karakter siswa akselerasi yang masuk dalam kategori anak cerdas istimewa (CI). Latifa (dalam KOMPAS, 2009) menerangkan jika anak-anak akselerasi merasa kurang bersosialisasi terutama pada waktu mereka kelas akhir karena mereka satu level dengan kakak kelasnya, kedua masih ada anggapan kelas yang eksklusif, tuntutan agar nilai selalu baik, membutuhkan keterampilan khusus menghadapi anak yang kreatif, pandai dan bahkan hiperaktif. Diungkapkan pula oleh Republika Online (2004) bahwa seorang Wakil Kepala Sekolah salah satu penyelenggara program akselerasi mengisahkan jika selama pelaksanaan akselerasi di sekolahnya, ditemukan siswa kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul, dan tidak suka pada pelajaran olah raga. Siswa akselerasi tegang seperti robot dan orang tua sulit berkomunikasi dengan anaknya. Diungkapkan juga oleh Sutopo (2002) yang menyebutkan,.anak hanya berkumpul dengan anak pandai. Tatkala melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harus berada satu kelas dengan murid yang usianya lebih banyak, ternyata anak mengalami hambatan proses sosialisasi. Di sisi lain, siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang berada di kelas non akselerasi diungkapkan oleh Widyastono (2001) sebagaimana anak pada umumnya mempunyai kebutuhan pokok akan pengertian, penghargaan, dan perwujudan diri. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, siswa akan menderita kecemasan dan keragu-raguan. Seagoe (dalam Widyastono, 2001) menjelaskan siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat

6 atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu, seperti sikap meragukan terhadap diri sendiri dan orang lain, tidak menyukai atau bosan terhadap tugas-tugas rutin, keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya, mudah tersinggung, kurang sabar dan kurang tenggang rasa, merasa ditolak atau kurang dimengerti, dan sikap acuh tak acuh, serta malas. Penelitian Herry (dalam Widyastono, 2001) menunjukkan jika siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata suka mengganggu teman-teman sekitarnya, karena mereka lebih cepat memahami materi pelajaran yang diterangkan guru di depan kelas ketimbang teman-temannya. Akbar & Hawadi (2004) anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata cenderung ngotot, berpikir bebas, dan introver. Siswa-siswa ini lebih banyak menyendiri dan meskipun memperoleh energi dan kesenangan dari kehidupan mental yang menyendiri itu, tetapi juga merasa kesepian. Dijelaskan oleh Munandar (1993) karena usia mental pada anak berbakat lebih tinggi dari usia sebenarnya, maka mudah timbul perasaan tidak puas belajar bersama dengan anak-anak lain yang seumurnya. Pada mata pelajaran tertentu, bahkan mungkin semua mata pelajaran dianggap terlalu mudah dan membosankan dan berakibat timbulnya rasa malas untuk belajar dan kebiasaan belajar yang santai. Hal ini terkadang membawa permasalahan pada penyesuaian sosial yang terdapat kecemburuan dari teman sebaya sehingga berpengaruh terhadap pengembangan sikapnya. Bardasarkan permasalahan yang dipaparkan di awal, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: apakah ada perbedaan

7 penyesuaian sosial siswa antara kelas akselerasi dan kelas non akselerasi, sehingga penulis memutuskan untuk lebih fokus dalam mengungkap penyesuaian sosial siswa kelas akselerasi dan non akselerasi. Penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul Perbedaan Penyesuaian Sosial Siswa antara Kelas Akselerasi dan Non Akselerasi. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui perbedaan penyesuaian sosial siswa antara kelas akselerasi dan kelas non akselerasi. 2. Mengetahui penyesuaian sosial siswa yang berada di kelas akselerasi. 3. Mengetahui penyesuaian sosial siswa yang berada di kelas non akselerasi. C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi: 1. Ketua Program Akselerasi, sebagai informasi dalam menetapkan dan menjalankan program yang tepat kepada siswa akselerasi sehingga kemampuan siswa dapat berkembang secara optimal. 2. Psikolog Sekolah, sebagai informasi dalam melakukan pemantauan, terutama pemantauan terhadap perkembangan perilaku dan kinerja akademik siswa akselerasi.

8 3. Guru BK, sebagai informasi dalam memberikan layanan dan pembinaan yang tepat kepada siswa non akselerasi sehingga kemampuan siswa dapat berkembang secara optimal. 4. Kepala Sekolah, sebagai informasi dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dalam sekolah sehingga dapat membantu mengoptimalkan kemampuan penyesuaian sosial anak didiknya. 5. Peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat memberikan dan memperkaya kerangka pemikiran bagi penelitian yang sejenis.