BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik termasuk bakteri Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan bakteri ini dalam membentuk biofilm, menyebabkan agen antimikroba dan respon sistem imun tidak efektif dalam mengeliminasi sel biofilm. Di Yogyakarta, prevalensi isolat methicillin resistance Staphylococus aureus (MRSA) pada tahun 2008 sebesar 31 % 1, dan merupakan bakteri gram positip yang sering terlibat dalam berbagai macam infeksi mulai dari foliculitis sampai pneumonia, osteomyelitis dan endokarditis. Berbagai infeksi tersebut diperantarai oleh kemampuan S. aureus untuk melekat dan berkolonisasi membentuk biofilm pada bahan organik atau anorganik, termasuk alat-alat biomedis. Biofilm juga merupakan salah satu faktor gagalnya terapi antibiotik, karena hal-hal sebagai berikut : a) terhambatnya penetrasi antibiotik; b) bakteri ada dalam keadaan pertumbuhan yang lambat (slow growth), dan c) adanya ekspresi gen-gen resisten 2. Pembentukan biofilm ini juga dapat menyebabkan bakteri terlindungi dalam suatu matriks polisakarida sehingga tidak dapat dicapai oleh sistem imun hospes (fagositosis). Strain MRSA merupakan bakteri yang mempunyai kemampuan mengubah protein PBP2 menjadi PBP2a, suatu protein pengikat penicillin yang mempunyai afinitas lebih rendah, sintesisnya dikode oleh keberadaan gen meca dalam kromosomnya, sehingga bakteri bersifat resisten terhadap antibiotik golongan beta-lactam dan derivatnya, kecuali glycopeptide 3;4. Pengobatan infeksi MRSA di berbagai rumah sakit, sekarang ini mengandalkan vancomisin, salah satu antibiotik dari golongan glycopeptide. Hal ini merupakan pemicu adanya tekanan selektif bagi bakteri sehingga akan memunculkan strain S. aureus yang resisten terhadap berbagai golongan antibiotik termasuk vancomisin. Untuk 1
2 mendukung manajemen terapi yang tepat terhadap infeksi MRSA, diperlukan adanya data yang akurat tentang pola kepekaan S. aureus, baik isolat MSSA maupun MRSA. Kemampuan bakteri dalam memproduksi biofilm merupakan salah satu faktor virulensi dari S. aureus yang akan mempersulit manajemen pengobatan 2. Menurut data yang diumumkan WHO, lebih dari 60 % infeksi mikroba disebabkan oleh biofilm 5. Produksi biofilm pada S. aureus difasilitasi oleh adanya gen ica, yang merupakan suatu gen operon terdiri atas ica A, B, C dan D 6. Banyak kasus-kasus sederhana yang disebabkan biofilm seperti infeksi saluran kencing (ISK), ISK pada pemakai kateter (sering disebabkan E. coli, S. aureus), infeksi telinga tengah (penyebab terbanyak P. aeruginosa), plak gigi/caries dental, ginggivitis; kasus-kasus ini sulit diobati dan sering menimbulkan kekambuhan/relaps. Infeksi yang lebih serius oleh karena biofilm dapat terjadi pada pasien yang memakai alat-alat biomaterial/protesa misalnya protesa sendi, katub jantung, kateter, lensa kontak dan alat hemodialisa/ambulatoir 7. Tingginya resistensi dan penyebaran infeksi sel biofilm bakteri dari tempat infeksi ke seluruh sistem tubuh merupakan masalah serius dalam manajemen infeksi biofilm. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian untuk menganalisa kemampuan pembentukan biofilm pada isolat S. aureus, baik yang resisten methicillin maupun sensitif methicillin. yang diisolasi dari spesimen klinik dari beberapa RS di Yogyakarta, bagaimana distribusi gen icaa dan D pada isolat tersebut, serta bagaimana pola kepekaan antibiotik isolat MRSA dan MSSA terhadap berbagai anti mikroba yang sering digunakan saat ini. Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh gambaran tentang patogenesis dan faktor virulensi pembentukan biofilm pada S. aureus, sehinggga diharapkan dapat menambah wawasan dalam manajemen penyakit infeksi nosokomial dan penyakit infeksi yang terkait dengan S. aureus.
3 B. Perumusan Masalah S. aureus mampu memproduksi berbagai toksin dan enzim yang akan berperan dalam patogenesis infeksinya. Keberadaan gen meca dalam kromosom bakteri akan mengubah protein pengikat penicillin menjadi tidak mampu lagi mengikat penicillin dan obat golongan beta-lactam yang lain, sehingga S. aureus menjadi resisten terhadap antibiotik beta lactam dan derivatnya, selain itu dengan adanya reaksi silang antar molekul antibiotik, bakteri ini juga dapat resisten terhadap antibiotik golongan lain, seperti quinolon, makrolide, aminoglycosida, cephalosporin dan sebagainya. Untuk menunjang keberhasilan terapi, perlu diketahui pola kepekaan strain MRSA dan MSSA terhadap berbagai antibiotik. Biofilm adalah kolonisasi bakteri yang terorganisir dan heterogen. Bakteri biofilm terlindungi dalam matriks yang kaya polisakarida, asam nukleat, dan protein, yang dikenal sebagai zat polimer ekstraseluler. Matriks ini menjamin kelangsungan hidup koloni biofilm dan melindunginya terhadap aktivitas fagosistosis makrofag, antibiotik, suhu dan fluktuasi ph. Bakteri Biofilm 10-1000 kali lebih tahan terhadap pengobatan antibiotik jika dibandingkan dengan bakteri planktonik. Biofilm bakteri memainkan peran penting dalam infeksi di rumah sakit, terutama sebagai penyebab infeksi nosokomial dan infeksi terkait peralatan medis. S. aureus ditemukan sebagai salah satu penyebab infeksi nosokomial di rumah sakit, dan banyak studi yang melaporkan tentang kemampuan bakteri ini dalam memproduksi biofilm. C. Pertanyaan Penelitian Bagaimanakah analisa kemampuan strain MRSA dan MSSA dalam membentuk biofilm? Bagaimanakah pola kepekaan antibiotik strain MRSA dan MSSA terhadap antibiotik yang digunakan di rumah sakit saat ini? (Amikacin, Amoxicillin, Ampicillin-
4 asam klavulanat, Ampicillin, Eritromisin, Gentamisin, Levofloxacin, Chloramphenicol, Meropenem, Penicillin G, Cefepime, Cefadroxil, Cefixime, Ceftriaxone, cefuroxim, ciprofloxacin, Sulfamet-Trimetoprim, Tetracyclin. Bagaimanakah distribusi gen icaa/d, penyandi pembentukan biofilm pada isolat MRSA dan MSSA? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa kemampuan pembentukan biofilm pada isolat MRSA dan MSSA, distribusi gen yang terkait pembentukan biofilm, sehingga memberikan data awal tentang perbandingan kapasitas pembentukan biofilm pada kedua strain bakteri ini. Selanjutnya kedua strain bakteri akan diuji kepekaannya terhadap bermacam-macam golongan antibiotik, sehingga diketahui pola resistensinya. Kepentingan dari penelitian ini adalah identifikasi faktor virulensi berupa kapasitas pembentukan biofilm yang terdapat pada strain MRSA dan MSSA, dan selanjutnya akan dianalisis uji kepekaan terhadap antibiotika. Identifikasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu indikator terhadap evaluasi terapi dan pemilihan terapi yang lebih baik. E. Keaslian Penelitian Survey yang dilakukan pada tahun 2008 1 di sepuluh kota di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi MRSA cukup tinggi, yaitu sekitar 27 %, dengan perincian sebagai berikut : Makasar (100%), Jakarta (54%), Surabaya (40%), Semarang (36%), Yogyakarta (31%), Bandung (23%), Padang (21%), Malang (19%), Solo (17%) and Denpasar (7%). Pus, darah dan sputum merupakan spesimen yang paling banyak ditemukan MRSA (78%,
5 7%, dan 5%). Penanganan infeksi MRSA saat ini belum mendapatkan hasil yang optimal karena para klinisi masih mengandalkan pilihan obat vancomisin, yang banyak dipublikasikan oleh peneliti di luar negeri seperti Amerika dan Eropa. Pola resistensi antibiotik suatu bakteri tidak sama antar daerah, antar waktu, bahkan antar bangsal di suatu rumah sakit, karena perbedaan faktor pemicu resistensi di lingkungan, seperti penggunaan antibiotik dan pemasangan alat medis invasif. Sementara itu, sejauh pengamatan penulis, data mengenai pola resistensi isolat MRSA di Yogyakarta belum pernah dipublikasikan termasuk keberadaan gen meca dan ica. F. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan data epidemiologi tentang pola kepekaan antibiotik strain MRSA dan MSSA, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar terapi empirik infeksi MRSA di Yogyakarta, terutama untuk pemilihan antibiotik yang tepat serta mengevaluasi penatalaksaan yang selama ini diberikan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang faktor virulensi dan patogenesis infeksi MRSA dibandingkan dengan strain MSSA, terkait dengan kapasitas pembentukan biofilm dan distribusi gen penyandi resistensi methiciline dan produksi biofilm.