Surat Edaran Kapolri Tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), Akankah Membelenggu Kebebasan Berpendapat? Oleh: Zaqiu Rahman *

dokumen-dokumen yang mirip
SURAT EDARAN Nomor: SE/ 06 / X /2015. tentang PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)

SURAT EDARAN. Nomor: SE/06/X/2015. tentang PENANGANAN UJARAN HATE KEBENCIAN SPEECH ( ) Rujukan:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SURAT EDARAN KAPOLRI NOMOR:SE/06/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MEDIA SOSIAL

Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015

1. BAB I PENDAHULUAN. tentang kebebasan umat beragama dalam melaksanakan ibadahnya. Dasar hukum

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

No. Aturan Bunyi Pasal Catatan 1. Pasal 156 KUHPidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

Masih Dicari Hukum Yang Pro Kemerdekaan Berpendapat Friday, 21 October :50 - Last Updated Tuesday, 04 September :19

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK. Oleh: Muchamad Ali Safa at

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH

Program Bela Negara Sebagai Perwujudan Hak Dan Kewajiban Warga Negara. Dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Oleh: Zaqiu Rahman *

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Fungsi bidang pembinaan..., Veronica Ari Herawati, Program Pascasarjana, 2008

Asep Sugiarto Wina Puspitasari Universitas Negeri Jakarta ABSTRAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PASAL-PASAL BERMASALAH PADA NASKAH RUU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME NO. 15/2003

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 52/PUU-XI/2013

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

Penanganan Politik Uang oleh Bawaslu Melalui Sentra Gakkumdu

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

BAB I PENDAHULUAN. berdiri di atasnya. Para fouding father ( pendiri bangsa) percaya dan menyakini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG TEKNIS PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. berada di tangan rakyat. Dalam sistem demokrasi, hak-hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN. Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia meliputi: Hak untuk

Ringkasan Putusan.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 28/PUU-XV/2017 Makar dan Permufakatan Jahat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH [LN 2004/125, TLN 4437]

POLRI DAN PENANGGULANGAN UJARAN KEBENCIAN Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 9 Tahun Tentang. Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menyoal Delik Penodaan Agama dalam Kasus Ahok. Husendro Hendino

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

, No dan/atau Wilayah Perbatasan, perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

RINGKASAN PUTUSAN.

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

POLEMIK PENGELOLAAN SAMPAH, KESENJANGAN ANTARA PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI Oleh: Zaqiu Rahman *

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

Pembahasan : 1. Cyberlaw 2. Ruang Lingkup Cyberlaw 3. Pengaturan Cybercrimes dalam UU ITE

[

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 2/PUU-XVI/2018 Pembubaran Ormas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

kliping ELSAM KLP: RUU KKR-1999

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

BAB I PENDAHULUAN. media yang didesain secara khusus mampu menyebarkan informasi kepada

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA NOMOR : 03 TAHUN 2009 TENTANG ETIKA DAN TATA TERTIB PERGAULAN MAHASISWA DI KAMPUS

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB V KESIMPULA DA SARA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

FENOMENA PENYESATAN BERITA DI MEDIA SOSIAL

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2007 TENTANG BIMBINGAN PENYULUHAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN MASYARAKAT

Transkripsi:

1 Surat Edaran Kapolri Tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), Akankah Membelenggu Kebebasan Berpendapat? Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 23 November 2015; disetujui: 7 Desember 2015 Di era kebebasan informasi dan kemerdekaan mengemukakan pendapat yang sedang dialami bangsa Indonesia saat ini, sangat mudah ditemukan ujaran kebencian berupa tindakan-tindakan penghinaan; pencemaran nama baik; penistaan; perbuatan tidak menyenangkan; memprovokasi; menghasut; dan penyebaran berita bohong yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, baik diucapkan atau dilakukan secara langsung maupun melalui media terutama media sosial. Ujaran kebencian marak terjadi pada saat Pilpres 2014, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai masa kampanye paling brutal dalam sejarah demokrasi Indonesia. Belum lagi penyebaran beritaberita yang bernada menghujat, kebohongan, memecah belah, menebar kebencian, dan permusuhan sudah merupakan hal lazim yang dapat ditemui di media sosial. Sudah banyak kasus terkait dengan ujaran kebencian yang dijerat KUHP. Salah satunya adalah kasus Tabloid Obor Rakyat yang dituding melakukan fitnah kepada salah satu calon presiden semasa kampanye Pilpres 2014. Begitu juga UU ITE yang sudah banyak memakan korban, sedikitnya 116 (seratus enam belas) orang telah terjerat oleh UU yang penerapannya dinilai terlalu eksesif, khususnya menyangkut kasus pencemaran nama baik (Media Indonesia, Selasa, 3 November 2015). Tindakantindakan tersebut apabila dibiarkan secara terus-menerus lama-kelamaan dapat menjadi penyebab timbulnya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantain etnis atau

2 genosida terhadap kelompok yang menjadi sasaran ujaran kebencian. Selain itu, apabila ujaran kebencian tidak ditangani secara baik dan segera, dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara Indonesia yang Berbhineka Tunggal Ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa ini, terlebih pada era masyarakat yang belum sepenuhnya matang memahami demokrasi dan perbedaan. Untuk itu, pada tanggal 8 Oktober 2015, Kapolri Jendral Badrodin Haiti menandatangani Surat Edaran Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) (SE Kapolri) yang ditujukan untuk Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia. Surat edaran itu menjelaskan cara penanganan sebuah pernyataan yang dinilai menyebar kebencian agar tidak meluas dan berpotensi menimbulkan konflik sosial (Media Indonesia, Senin, 2 November 2015). Hal ini dilakukan Kapolri untuk mengantisipasi maraknya ujaran kebencian yang selama ini semakin tumbuh subur, misalnya dengan terjadi pembakaran masjid di Tolikara Papua dan gereja di Aceh Singkil yang kesemuanya berawal dari provokasi massa. Belum lagi pada tanggal 9 Desember 2015 akan diadakan pilkada secara serentak, di mana pada peristiwa politik ini, ujaran kebencian diprediksi akan semakin marak terjadi antara pihak-pihak pendukung suatu pasangan kepala daerah dengan pendukung kepala daerah yang lain. Berdasarkan SE Kapolri ini pun, Kepolisan telah mendeteksi 180.000 (seratus delapan puluh ribu) akun di media sosial yang diduga menyebar ujaran kebencian dan tengah dilakukan penyelidikan (Media Indonesia, Rabu, 4 November 2015). Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian Di Indonesia, kebebasan berpendapat dan mengutarakan pikiran dengan cara lisan dan tulisan telah di atur dan dijamin dalam konstitusi. Pasal 28 dan UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian di dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, hal

3 tersebut kembali ditegaskan, dengan menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal senada pun juga ditegaskan di dalam Pasal 23 ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menyatakan setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Juga berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Hanya saja hak atau kekebasan untuk mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan tetap saja harus memperhatikan hak-hak orang lain, Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pengaturan mengenai pembatasan hak tersebut juga kembali di tegaskan dalam Pasal 70 UU HAM. Dalam konteks kebebasan berpendapat dan mengungkapkan pikiran secara lisan dan tulisan, hal tersebut harus juga dibatasi sepanjang tidak mengganggu hak atau kebebasan yang dimiliki orang lain. Adapun pembatasan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran secara lisan itu salah satunya dibatasi dengan tindakan-tindakan yang dapat digolongkan

4 sebagai ujaran kebencian (hate speech). Di dalam SE Kapolri, ujaran kebencian dibatasi meliputi perbuatan berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: penghinaan; pencemaran nama baik; penistaan; perbuatan tidak menyenangkan; memprovokasi; menghasut; penyebaran berita bohong; dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang diatur di dalam Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, dan Pasal 311 KUHP, Pasal 28 jis. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Ras dan Etnis) (huruf f SE Kapolri). Adapun tujuan dari ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, adalah untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: suku; agama; aliran keagamaan; keyakinan/kepercayaan; ras; antar golongan; warna kulit; etnis; gender; kaum difabel (cacat); dan orientasi seksual (huruf g SE Kapolri). Ujaran kebencian tersebut dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain dalam orasi kegiatan kampanye; spanduk atau banner; jejaring media sosial; penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi); ceramah keagamaan; media masa cetak maupun elektronik; dan pamphlet (huruf h SE Kapolri). Perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa (huruf i SE Kapolri), untuk itu Polri dituntut untuk bisa mengatasai segala hal terkait tindakan ujaran kebencian yang dilakukan melalui upaya prefentif dan represif.

5 Edaran Kapolri Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) menyatakan bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian dalam Pasal 4 kembali ditegaskan Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi HAM. Selain itu, Kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 UU Kepolisian). Dalam rangka melaksanakan fungsinya, terkait dengan penanganan tindakan ujaran kebencian yang terjadi di masyarakat, Kepolisian mengeluarkan SE Kapolri sebagai acuan sekaligus petunjuk teknis atau pedoman bagi penanganan tindakan-tindakan yang terkait dengan ujaran kebencian untuk dilakukan langkalangkah pencegahan (preventif) maupun penegakan hukum (represif). Kedudukan SE Kapolri hanya bersifat sebagai petunjuk teknis atau pedoman yang bersifat internal mengikat ke dalam organisasi Kepolisian sendiri, dan tidak mengikat keluar (masyarakat). Dalam konteks perundangundangan, keberadaan SE Kapolri bukanlah bersifat pengaturan yang bisa mengikat masyarakat. Melainkan hanya bersifat sebagai petunjuk teknis atau pedoman yang mengikat ke dalam, agar setiap anggota Polri memiliki pemahaman dan pengetahuan atas bentuk-bentuk ujaran kebencian, yang merupakan salah satu hal penting yang harus dimiliki oleh personel Polri selaku aparat Negara. Sehingga Polri dapat mengambil tindakan pencegahan

6 sedini mungkin sebelum timbulnya tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian tersebut. Kekuatan mengikat Surat Edaran Kapolri itu berada jauh di bawah UU yang merupakan dasar hukum pengaturan dari perbuatan-perbuatan ujaran kebencian dimaksud. Hal ini juga kembali ditegaskan oleh Agus Rianto (Karo Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri), yang memastikan Surat Edaran Kapolri bukanlah dasar hukum yang menjadi landasan penanganan pidana. Surat Edaran Kapolri hanya merupakan acuan bagi Polisi dalam mengantisipasi potensi konflik akibat ujaran kebencian. Surat Edaran Kapolri ditujukan kepada anggota Polri yang selama ini masih ragu untuk menangani kasus berkait ujaran kebencian untuk meredam ancaman konflik sosial sejak dini (Kompas, Kamis, 5 November 2015). Jadi kekhawatiran SE Kapolri ini akan membelenggu kebebasan berbicara maupun berpendapat tentulah sangat tidak beralasan, karena perbuatan-perbuatan ujaran kebencian yang disebutkan di atas kesemuanya diatur dalam UU, yaitu KUHP, UU ITE, dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang secara hirarkis Surat Edaran Kapolri ini keberadaanya jauh di bawah UU (lihat Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) sehingga Surat Edaran Kapolri tidak akan mungkin dapat dijadikan pedoman untuk membuat norma baru yang bisa membelenggu kebebasan dan kemerdekaan masyarakat dalan berpendapat. Adapun Surat Edaran Kapolri ini hanya berfungsi sebagai petunjuk teknis atau pedoman bagi pelaksanaan tugastugas anggota Polri dalam penanganan tindak pidana yang terkait dengan ujaran kebencian. Selain itu, delik terkait ujaran kebencian keseluruhannya termasuk delik aduan, artinya hanya pihak yang bersangkutan dan nyata-nyata dirugikan dengan perbuatan yang bersangkutan yang dapat mengadukan perbuatan dimaksud untuk diproses oleh penegak hukum, adapun Polisi tidak dapat serta merta untuk memproses delik yang dimaksud tanpa adanya aduan dari pihak yang merasa dirugikan terlebih dahulu.

7 Untuk itu dalam penanganan tindak pidana terkait ujaran kebencian, nantinya Polri harus benar-benar melakukan tahapan penindakan yang terdiri dari, pertama, melakukan tindakan preventif, apabila tindakan preventif sudah dilakukan oleh anggota Polri namun tidak menyelesaikan masalah yang timbul akibat dari tindakan ujaran kebencian, penyelesaian dapat dilakukan melalui tahapan kedua, yaitu tindakan represif (penegakan hukum) atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian, dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Penegakan Hukum Kedepan Surat Edaran Kapolri dimaksud tidak akan dapat membelenggu kebebasan berpendapat dimasyarakat, karena hanya berfungsi sebagai pedoman atau petunjuk teknis dilapangan bagi setiap anggota Polri dalam penanganan kasus-kasus ujaran kebencian. Selain itu, secara hierarki peraturan perundang-undang posisi Surat Edaran Kapolri jauh berada di bawah UU yang merupakan dasar hukum bagi penegakan hukum ujaran kebencian, sehingga tidak akan mungkin bisa menerapkan norma baru atau sesuatu yang menyimpang terhadap UU yang secara hierarki berada jauh di atasnya. Selain itu, seluruh delik ujaran kebencian kesemuanya termasuk delik aduan, sehingga Polisi tidak bisa serta merta melakukan penindakan tanpa terlebih dahulu mendapat laporan dari pihak yang dirugikan dengan adanya perbuatan dimaksud. Hanya saja pelaksanaan Surat Edaran Kapolri ini jangan sampai dilakukan secara multitafsir sehingga berpotensi melanggar demokrasi, membungkam kebebasan masyarakat untuk berbicara dan berpendapat, sehingga pada gilirannnaya akan melanggar HAM. Untuk itu dalam implementasinya, Surat Edaran Kapolri harus benar-benar dilaksanakan dengan berlandaskan kepada: Pertama, setiap anggota Polri harus benarbenar memiliki pemahaman dan persepsi yang sama bahwa Surat Edaran Kapolri ini hanya sebatas petunjuk teknis atau pedoman bagi penanganan dan pengusutan perkara terkait ujaran kebencian. Adapun acuan yang digunakan untuk mengurai

8 unsur-unsur dari tindak pidananya haruslah tetap berpedoman kepada UU. Kedua, seluruh anggota Polri dalam melakukan penegakkan hukum terhadap tindakan ujaran kebencian harus mengedapankan tindakan preventif sebagai sesuatu yang pertama kali dilakukan. Dalam hal tindakan preventif dimaksud tidak cukup untuk mencegah segala hal yang dikhawatirkan akan terjadi, tindakan represif (penegakan hukum) dapat dilakukan sebagai tindakan terakhir, dengan tetap berpegang kepada ketentuan peraturan perundang-undangan, serta dilakukan secara berhati-hati agar tidak salah sasaran serta memperhatikan konteksnya. Hal ini dilakukan agar tidak muncul tafsir bahwa hal ini dilakukan untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap pemerintah atau membatasi kebebasan rakyat untuk berpendapat. Ketiga, Kepolisian harus melakukan sosialisasi delik-delik pidana yang terkait dengan ujaran kebencian agar masyarakat tidak terjebak dalam tindakan kejahatan dimaksud, dengan menggandeng tokoh agama, masyarakat, pemuda, organisasi masyarakat sipil, dan perguruan tinggi sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi jatuhnya korban akibat pertikaian dan konflik horizontal terkait ujaran kebencian. Masyarakat perlu diedukasi agar bijaksana di media sosial atau dalam setiap menyampaikan aspirasinya secara lisan dan setiap tindakan ujaran kebencian sesungguhnya telah diatur secara jelas dalam hukum positif kita dan masih memiliki kekuatan hukum mengikat seperti yang diatur di dalam KUHP dan UU ITE. Selain itu, Pemerintah bersamasama DPR harus segera melakukan analisis atau kajian (constitutial review) terhadap berbagai UU yang berpotensi melakukan pembungkaman terhadap suara-suara kritis di masyarakat. Diantaranya mendorong Kementerian Komunikasi dan Informasi agar segera menyelesaikan kajian terhadap perubahan beberapa pasal yang ada di UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik lewat media sosial dan Pasal 45 ayat (1) tentang ancaman pidananya yang mencapai 6 (enam) tahun penjara. Delik ini mengakibatkan tersangka

9 dapat terlebih dahulu ditahan baru diintegrogasi (lihat Pasal 21 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), sehingga berpotensi menimbulkan kesewenangwenangan dalam proses penegakan hukumnya. Untuk itu ke depan, ancaman pidana dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE ini akan direvisi dengan ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun, sehingga terhadap pelakunya tidak perlu dilakukan penahanan terlebih dahulu pada saat penanganan kasusnya. * Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya (Legislative Drafter), Pusat Perancangan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI (e-mail: zaqiu_dpr@yahoo.com).