6. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) 7. Tindak Pidana Anak TINDAK PIDANA KHUSUS. 1. Pengertian Tindak Pidana Khusus

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar. Tindak Pidana Khusus. 2. Alex Mulandar Manalu (2013) 2. Indra Permana Raja Gukguk (2014)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003

Perpustakaan LAFAI

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) Jawablah pertanyaan dibawah ini!

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Undang Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tanggal 17 April ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

1.4. Modul Mengenai Pengaturan Pemberantasan Pencucian Uang Di Indonesia

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan di bidang komunikasi dan informasi dalan era globalisasi ini telah

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PEMBUKTIAN TERBALIK Disusun Oleh Riono Budisantoso (PPATK) dan Yunus Husein (Mantan Ka PPATK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

MENGENALI PROSES PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DARI HASIL TINDAK PIDANA. Oleh: Muhammad Fuat Widyaiswara Utama pada Pusat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. perorangan saja, akan tetapi juga bisa terdapat pada instansi-instansi swasta dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individuindividu

Peranan Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Pemberantasan Money Laundry. Amir Ilyas

I. UMUM. Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 25 TAHUN 2003 (25/2003) TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia dalam rangka memerangi tindak pidana pencucian uang

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PEMBUKTIAN TERBALIK


RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG PIHAK PELAPOR DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau corruptus yang mempunyai arti kerusakan atau kebobrokan. sebagainya. Selain itu korupsi juga diartikan sebagai:

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

BAB I PENDAHULUAN. adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

PENANGANAN KEJAHATAN ALIRAN DANA PERBANKAN, KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG. Oleh : Yenti Garnasih

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN DALAM BERBAGAI PERATURAN. A. Pengaturan dan Jenis-jenis Tindak Pidana Di Bidang Perbankan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

REZIM ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Modul E-Learning 1. Modul bagian pertama yaitu Pengenalan Pencucian Uang bertujuan untuk menjelaskan:

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

Transkripsi:

TINDAK PIDANA KHUSUS 1. Pengertian Tindak Pidana Khusus Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan, apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materiil maupun dari segi Hukum Pidana Formil. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut Hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan: Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri. 2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Beberapa hukum tindak pidana khusus: 1. Hukum Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 Tahun 1955) 2. Tindak Pidana Korupsi 3. Tindak Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika 4. Tindak Pidana Perpajakan 5. Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai 6. Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) 7. Tindak Pidana Anak 3. Dasar Hukum serta Keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan Tindak Pidana Khusus Dasar hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian: 1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepanjang UU itu tidak menentukan lain. 2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana didalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap). 4. Kekhususan Tindak Pidana Khusus Hukum Tindak Pidana Khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap Hukum Pidana Umum, baik dibidang hukum pidana materiil maupun dibidang hukum pidana formal. Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan/orang-orang tertentu. 4.1 Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hukum Pidana Materiil Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan Hukum Pidana Umum (HPU) dan dapat berupa menentukan sendiri yang sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketentuan khusus. 1. Hukum Pidana bersifat elastis (ketentuan khusus). 2. Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman (menyimpang). 3. Pengaturan tersendiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ketentuan khusus). 4. Perluasan berlakunya asas territorial (ektrateritorial) (menyimpang/ketentuan khusus). 5. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara (ketentuan khusus).

6. Pegawai Negeri merupakan sub. Hukum tersendiri (ketentuan khusus). 7. Mempunya sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain menentukan menjadi tindak pidana (ketentuan khusus). 8. Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi (menyimpang). 9. Perampasan barang bergerak, tidak bergerak (ketentuan khusus). 10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu (ketentuan khusus). 11. Tindak Pidana bersifat transnasional (ketentuan khusus). 12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi (ketentuan khusus). 13. Tidak dipidananya dapat bersifat politik 14. Dapat pula berlaku asas retroactive 4.2 Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal 1. Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain. 3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa Tindak Pidana Korupsi. 4. Penuntutan kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara. 5. Perkara pidana khusus diadili di Pengadilan Khusus (HPE). 6. Dianutnya peradilan in absentia. 7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank. 8. Dianut pembuktian terbalik. 9. Larangan menyebutkan identitas pelapor. 10. Perlunya pegawai penghubung. TINDAK PIDANA EKONOMI 1. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tidak memberikan atau merumuskan dalam bentuk definisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi ialah pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasarkan Ps. 1 sub 1e, Ps. 1 sub 2e, dan Ps. 1 sub 3e. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps. 1 UU Drt. No. 7 Tahun 1955 adalah tindak pidana ekonomi. Hukum Pidana Ekonomi diatur dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU Drt. No 7 Tahun 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pidana ekonomi, oleh karena UU Drt. No. 7 Tahun 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana Formal disamping adanya ketentuan Hukum Pidana Formal dalam Hukum Pidana Umum (Hukum Acara Pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan Hukum Pidana Materiil (KUHP). 2. Kekhususan Tindak Pidana Ekonomi Tindak Pidana Ekonomi (Hukum Pidana Ekonomi) mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain. Menurut Andi Hamzah kekhususan Hukum Pidana Ekonomi yang dimaksud adalah: 1. Peraturan Hukum Pidana Ekonomi bersifat elastis, mudah berubah-ubah. 2. Perluasan subyek hukum pidana (pemidanaan badan hukum). 3. Peradilan in absentia; peradilan in absentia berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak dikenal. [5] 4. Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi. 5. Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran. 6. Perluasan berlakunya hukum pidana. 7. Penyelesaian di luar acara (schikking). 8. Perkara Tindak Pidana Ekonomi diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang, belum ada Pengadilan Ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Drt. No 7 Tahun 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang Panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata

diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Menurut Ps. 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi. 9. Hakim, Jaksa dan Panitera adalah Hakim, Jaksa dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi, berarti bukan Hakim, Jaksa dan Panitera umum. 10. Hakim, Jaksa dan Panitera pada Pengadilan Ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu Pengadilan Ekonomi. 11. Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi. TINDAK PIDANA KORUPSI 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi berasal dari kata Latin corruptio artinya penyuapan, dan corrumpere diartikan merusak. Gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya. Pengertian korupsi menurut pendapat para ahli : (1) Andi Hamzah: Korupsi berasal dari kata corruption atau corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, dan tidak bermoral ; (2) Robert Klitgaard: Korupsi ada apabila seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diketahui bahwa pengertian korupsi adalah penyalahgunaan wewenang demi kepentingannya sendiri. Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada Sembilan tipe korupsi yaitu: 1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka. 2. Political kickbacks, yaitu kegiatankegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan. 3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan umum. 4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan Negara. 5. Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijakan. 6. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim. 7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok. 8. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal diatas dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja yang dinyatakan sebagai korupsi, kita harus merujuk pada undang-undang pemberantasan korupsi. Pengertian korupsi diatur juga dalam Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yaitu: 1. Pasal 2 ayat (1): Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana 2. Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana.. 3. Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik sebagai tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP. 4. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Pasal 1 butir 3, dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah korporasi dan pegawai negeri. 2. Subyek Hukum dan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam ketentuan Bab I, II, III dapat disimpulkan bahwa subyek hukum dalam tindak pidana korupsi adalah: 1. Setiap orang adalah orang perorangan : Setiap orang yang dimaksud disini adalah orang per orang atau individu-individu. Menurut Moelyatno, pengertian diatas mengandung arti bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), kalau dia tidak melakukan delik, tetapi meskipun dia melakukan delik tidak selalu dipidana. 2. Korporasi : kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 3. Pegawai Negeri : - Menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pegawai negeri adalah orang yang memenuhi syarat perundang-undangan diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas jabatan negeri atau tugas lainnya serta digaji menurut undangundang yang berlaku. - Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 92, pegawai negeri adalah: - Orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan pemerintahan, badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan sah. - Hakim termasuk ahli memutus perselisihan (wasit) yang menjalankan peradilan administrasi, ketua/anggota peradilan agama. - Anggota angkatan perang. - Penerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. - Penerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. - Penerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 3. Sistem Peradilan Tindak Pidana Korupsi Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat menerapkan sistem pembuktian terbalik. Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering van het Bewijslast atau Reversal Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi Pembalikan Beban Pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila

diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik. Disini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut Umum, namun mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai Pembalikan Beban Pembuktian yang bagi masyarakat awam hukum (lay-man) cukup dikenal dengan istilah Sistem Pembuktian Terbalik. Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai pembuktian terbalik dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut: Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem pembuktian terbalik, terdakwa harus membuktikan bahwa gratifikasi bukan merupakan suap. Jadi, dengan demikian berlaku asas praduga tak bersalah. Selain yang disebutkan diatas, pembuktian terbalik juga diberlakukan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 15-21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan Fungsi Sistem Pembuktian Terbalik atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti Terbatas atau Khusus dari implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian (di Indonesia nantinya) adalah: 1. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik gratification (pemberian) yang berkaitan dengan bribery (suap), dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum. 2. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap perampasan dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan pula bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, apabila Terdakwa berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti melakukan pelanggaran salah satu dari delik-delik tersebut dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya. Terdakwa wajib membuktikan (berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian) bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. 3. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas penerapan asas Lex Temporis-nya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif (berlaku surut) karena potensiel terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran terhadap asas legalitas, dan menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balas dendam). 4. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas Daaddaderstrafrecht. KUHPidana yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu, artinya Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini sebagai realitas yang tidak dapat dihindari, khususya terjadinya minimalisasi hak-hak dari dader yang berkaitan dengan asas non self-incrimination dan presumption of innocence, namun demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut, dan apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem

pembalikan beban pembuktian adalah potensiel terjadinya pelanggaran HAM. Dari penjelasan tersebut diatas, ada 2 (dua) hal pokok yang harus menjadi atensi semua pihak berkaitan dengan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang rencananya akan diterapkan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian diterapkan secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 (dua) perbuatan saja, yaitu penyuapan dan perampasan harta benda terdakwa. Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formil), baik sistem kontinental maupun anglo-saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum, hanya saja dalam certain cases (kasuskasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai Reversal of Burden Proof ( Omkering van Bewijslast ), itupun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/Terdakwa. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menerapkan asas pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 yang mengatur terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Apabila terdakwa mampu membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi, hal ini dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan terdakwa dan apabila terdakwa gagal membuktikan harta benda yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, hal ini dapat memperkuat alat bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Disebut pembuktian terbalik yang terbatas karena jaksa masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, baik terdakwa berhasil maupun gagal membuktikan tindak pidana korupsi maupun dalam hal pemilikan harta benda. Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan menentukan, karena dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa dinyatakan telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau tidak. Pembuktian terbalik yang terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan dari asas yang dianut dalam KUHAP, terutama terkait dengan kedudukan terdakwa. Dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan kewajiban Jaksa Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa mempergunakan haknya dan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal tersebut merupakan hal yang menguntungkan posisinya demikian juga sebaliknya apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi maka hal tersebut akan memperlemah posisinya. Disisi yang lain terdakwa wajib untuk memberikan keterangan tentang harta bendanya, isteri, suami, dan anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga berhubungan dengan perkara yang didakwakan, hal itu termuat dalam Pasal 37 ayat (3) Undang- Undang No. 31 Tahun 1999: Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda isteri atau suami, anakanaknya serta harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Terhadap pembuktian terdakwa penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya seperti yang termuat dalam Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut: Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. UU No. 20 Tahun 2001 menerapkan pembuktian terbalik murni dan pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian terbalik diterapkan dalam tindak pidana gratifikasi

dan tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang bukan didakwakan tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik diberlakukan terhadap harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi, dan terdakwa wajib membuktikan sebaliknya. Apabila terdakwa berhasil membuktikan harta benda bukan berasal dari tindak pidana korupsi, tidak dapat dilakukan perampasan, tetapi tidak demkian apabila sebaliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 38 B ayat (1) sampai ayat (6) UU No. 20 Tahun 2001. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan Karakteristiknya Istilah cuci uang atau juga disebut dengan pemutihan uang adalah merupakan peralihan dari bahasa imggris yaitu money laundering kedalam bahasa Indonesia sebagai suatu istilah yag pada mulanya digunakan di America Serikat dalam khazanah kejahatan. Lalu mengapa uang harus dicuci?, tentu saja karena uang tersebut dalam keadaan kotor. Kotor dalam arti uang haram yang biasanya disebut dengan dirty money atau juga disebut secret money, yaitu uang yang dapat dari berbagai bentuk kejahatan mulai dari blue collar crime hingga white collar crime.[46] Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang- Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1). 2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan cara demikiaan, membuat suatu kejelasan pembenaran untuk pengawasan atau kepemilikan uang yang dicuci, Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau atau menyamarkan asal-asal hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan untuk penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntnungan-keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata secara ilegal, penyelundupan, dan kegiatan kejahatan terorganisasi, contohnya perdagangan obat dan prostitusi, dapat menghasilkan jumlah uang yang banyak. Adapun metode proses pencucian itu meliputi tiga tahap, yaitu : 1. Placement harta kekayaan ke dalam sistem keuangan melalui bank atau lembaga keuangan lainnya. Negara-negara harus ada persyaratan pelaporan terhadap transaksi tunai yang besar. 2. Layering yaitu memisahkan dana (kekayaan) dari asalnya dan dilakukan untuk menyamarkan apa yang sebenarnya dan membuat tidak jelas dalam melakukan penelusurannya. 3. Integration yang membutuhkan penempatan kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan ke dalam ekonomi yang sah

tanpa menimbulkan kecurigaan asal mula perolehannya. Pada mulanya, memang kejahatan pencucian uang selalu dikaitkan dengan perdagangan narkotika atau psikotropika, tetapi dalam perkembangannya diperluas hingga meliputi uang haram dari hasil kejahatan terorganisasi yang lain. 3. Pertanggungjawaban pidana Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002, mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Pendefinisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1. Pelaku, dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata setiap orang, dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2. Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan seolaholah menjadi harta kekayaan yang sah. Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK. Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003): 1. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau 3. kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; 4. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau 5. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan 6. definisi Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 25 Tahun 2003 adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan uang tunai atau instrument pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan. 7. Merupakan hasil tindak pidana Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian

disini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.