BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah. bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III. Anotasi Dan Analisis Problematika Hukum Terhadap Eksekusi Putusan. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PENYELESAIAN SENGKETA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

SUMBANGAN PEMIKIRAN UNTUK PENYUSUNAN: NASKAH AKADEMIK (ACADEMIC DRAFTING)

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAMBI NOMOR: 01/ G/ TUN/2003/PTUN.JBI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. ditarik kesimpulan yakni sebagai berikut :

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

Diskusi Mata Kuliah Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara. sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

TANGGUNG JAWAB BPN TERHADAP SERTIPIKAT YANG DIBATALKAN PTUN 1 Oleh : Martinus Hadi 2

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), yang berarti Indonesia

Praktek Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Untuk melaksanakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

Pdengan Persetujuan Bersama

PEDOMAN PENDAFTARAN GUGATAN TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA DAN TINDAKAN KONKRIT/FAKTUAL (GUGATAN UMUM) DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara. dan lain-lain Badan Kehakiman menurut undang-undang.

BERITA NEGARA. No.868, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Hukuman Disiplin. Penindakan Administratif. Pedoman. Pencabutan.

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENYANDERAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

2015, No c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pedoman Penjatuhan Hukuman Disiplin dan Penindakan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Didahului oleh pengajuan gugatan sampai dengan putusan dan eksekusi.

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

P U T U S A N Nomor : 120/B/2012/PT.TUN-MDN

Presiden Republik Indonesia,

Diskresi dalam UU Administrasi Pemerintahan. Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA dan PROSES BERPERKARA di PENGADILAN TATA USAHA NEGARA. Diterbitkan Oleh PTUN PALEMBANG

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AKTUALISASI KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERKAITAN DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMATIKA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Bahwa hal ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 untuk mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan memulihkan proses peradilan. Pengadilan sebagai lembaga yang tidak memihak dan berdasarkan kekuatan, kemampuan dan kecakapan menegakkan hukum yang benar dan adil serta memberi kepuasan kepada setiap pencari keadilan. Salah satu lembaga peradilan yang ada yaitu Peradilan Tata Usaha Negara. Lembaga ini penting sebagai instrumen kontrol perbuatan atau tindakan administrasi negara, tetapi merupakan tempat mewujudkan secara nyata keabsahan hakim dari pengaruh kekuasaan yang ada dalam perwujudan rule of law 1. Mengenai eksistensi lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, mau tidak mau penulis harus melihat di negara 1 Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 1986. 1

Perancis, suatu negara yang menurut sejarah merupakan pelopor kelahiran lembaga sejenis ini. Sejarah kelahiran lembaga Peradilan Administrasi Negara di Perancis dimulai sekitar tahun 1790, dengan Undang-Undang tanggal 16 dan 24 Agustus tahun 1790, yang memberi fungsi kepada Conseil d Etat untuk bertindak sebagai lembaga pengawas (Judiciil Controle) terhadap administrasi/pemerintah untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi. 2 Conseil d etat dapat dikatakan sebagai awal mulanya penafsiran dari prinsip yang mengakibatkan lahirnya sistem Perancis tentang kontrol administrasi yang dilakukan oleh suatu peradilan administrai yang bebas dan terpisah. Selanjutnya mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia awal mulanya dan merupakan tonggak sejarah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara yakni dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian dilakukan 2 Benjamin Mangkoedilaga. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Prospek di Masa Datang. Angkasa Bandung.1988. hal 1 2

perubahan dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya dilakukan perubahan lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara. Kehidupan demokrasi yang dikehendaki dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional dibakukan dalam UUD 1945. Kebebasan yang menjadi roh demokrasi mendapatkan tempat dalam kehidupan pergaulan hidup bernegara. Hak asasi manusia dirumuskan secara normatif sehingga menjadi landasan yuridis konstitusional bagi warga negara dalam hubungannya dengan negara. Konsekuensinya adalah negara mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi hak konstitusional warganegaranya. Atas dasar paham kesejahteraan umum sebagai keseluruhan syarat kehidupan sosial yang diperlukan 3

masyarakat agar bisa sejahtera sehingga dapat diterima pembagian tugas-tugas negara yang disampaikan oleh para ahli ilmu negara, misalnya pembagian dalam tiga kelompok. Ketiga kelompok tugas negara tersebut adalah pertama, negara harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, negara mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan kemasyarakatan. 3 Tugas-tugas negara tersebut menyebabkan begitu banyak keterlibatan negara dalam kehidupan warganya. Tidak sebatas berinteraksi, tetapi sekaligus masuk dalam hidup dan penghidupan warganya. Pemerintah yang melaksanakan sebagian tugas negara mempengaruhi 3 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal.316-317. 4

kehidupan warga negara, sementara di sisi lain, warga juga mempengaruhi pemerintah dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya. Oleh karena itu kaitannya dengan hal tersebut dalam tulisan ini dapat dikemukakan beberapa kasus yang dapat mengilustrasikan bagaimana kebijakan dari seorang Pejabat Tata Usaha Negara yang merugikan bagi pelaku kebijakan tersebut. Pangkal sengketa Tata Usaha Negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara. Tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara adalah tolak ukur subjek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subjek dimaksud adalah para pihak yang bersengketa dalam bidang hukum administrasi negara atau Tata Usaha Negara. Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa 5

yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara 4. Sengketa administrasi dapat terjadi di dalam lingkungan administrasi itu sendiri, baik yang terjadi dalam satu departemen atau instansi maupun sengketa yang terjadi antar departemen. Dengan demikian sengketa menyangkut persoalan kewenangan yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) terhadap departemen (instansi) lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan. Selanjutnya dalam hal sengketa yang terjadi antara administrasi negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subjek-subjek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu 4 Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 93. 6

pihak harus administrasi negara yang mencakup administrasi negara di tingkat pusat, administrasi negara di tingkat daerah, maupun administrasi negara pusat yang ada di daerah. Perbuatan administrasi negara dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan yakni 5 : 1. Mengeluarkan keputusan 2. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan 3. Melakukan perbuatan materil. Dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut. Dilihat dari ketentuan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 1 angka 4 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan sebagai berikut : Sengketa Tata 5 Ibid, hal. 94 7

Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa tolak ukur subjek sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata di satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di pihak lain. Dengan demikian para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa adalah akibatnya dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian yang menjadi pangkal sengketa Tata Usaha Negara (TUN) adalah akibat dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Berdasarkan Pasal 1 angka (3) 8

UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 tahun 2009, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah : Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata 6. Bahwa suatu penetapan tertulis, terutama menunjuk kepada isi dan bukan bentuk (form). Persyaratan tertulis adalah semata untuk kemudahan dari segi pembentukan. Oleh karena itu sebuah memo atau nota saja akan dapat memenuhi syarat tertulis, yang penting diisi apabila sudah jelas dalam pengertiannya : 1. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkannya. 2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 9

3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas, berdasarkan Pasal 1 angka (4) UU No.5 Tahun 1986, para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata sebagai pihak penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat. Hal ini merupakan sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa Tata Usaha Negara adalah akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Tergugat adalah selaku badan atau Pejabatan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya itu, menunjukkan ketentuan hukum yang dijadikan dasar, sehingga badan atau jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu dianggap berwenang melakukan tindakan hukum dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara 10

(KTUN) yang menjadi pangkal sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Persoalan eksekusi Tata Usaha Negara sendiri sudah menjadi polemik di dalam penyelenggaraan negara, banyak kasus yang tidak terselesaikan di tingkat eksekusi putusan disebabkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau menjalankan perintah dari Pengadilan Tata Usaha Negara dikarenakan implementasi dari Undang-Undang yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya. Seperti contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Rote Ndao provinsi NTT, antara Silvester Wangur, S.Pd sebagai penggugat melawan Bupati Rote Ndao sebagai tergugat. Diuraikan, kejadian bermula ketika sekelompok orang menyerang penggugat, melempar rumah, menghancurkan kaca jendela, memaki-maki penggugat, dan mengancam akan membunuh penggugat. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Polsek Rote Barat Laut sehingga lokasi kejadian tersebut telah diamankan. Keesokan harinya, penggugat melaporkan kejadian yang menimpa dirinya kepada Kepala 11

Sekolah, Kepala Dinas Rote Ndao, dan Bupati Rote Ndao, namun sayang dari semua pejabat yang penggugat temui tak satupun yang bersedia melindungi dan menjamin keselamatan penggugat. Karena masih trauma pada tanggal 4 Desember 2002, penggugat menyelamatkan diri ke Kupang. Selama menyelamatkan diri ke Kupang, penggugat belum pernah menerima surat panggilan dari sekolah maupun dari Dinas Pendidikan Rote Ndao. Selama di Kupang penggugat mengajukan permohonan untuk mengabdi di Kota Kupang dan dikabulkan oleh Walikota Kupang, dengan surat rekomendasi No.BKD.824/1379/III/2004 tertanggal 4 Agustus 2004, sejak saat itu penggugat mengajar di SMA 3 Kota Kupang tanpa terima gaji karena gaji masih ada di DAU Rote Ndao dan daftar hadir setiap bulan dikirim ke SMA 1 Rote Barat Laut. Setelah penggugat mengajar di SMA 3 Kota Kupang, penggugat mengajukan surat permohonan pembayaran gaji 12

ke Bupati Rote Ndao sebanyak empat kali yaitu tanggal 20 April 2005, 25 Juni 2009, 10 Februari 2010, dan 20 Mei 2013 namun semua surat tersebut tidak pernah ditanggapi. Penggugat juga berusaha untuk menemui Bupati Rote Ndao pada tanggal 25 Mei 2009, tanggal 10 Oktober 2009, dan tanggal 23 Maret 2011 untuk menjelaskan masalah yang menimpa penggugat namun usaha terbut tidak berhasil. Pada akhirnya penggugat tidak tahan lagi menjalankan hidup dibawah tekanan karena tidak adanya kepastian hukum sehingga pengugat terpaksa mengikuti tawaran dari pihak Bupati Kabupaten Rote Ndao agar pengugat bersedia menanda tangani surat pernyataan tidak menuntut gaji selama 75 bulan (bulan Februari 2003 sampai April 2009) tertanggal Kupang 22 Januari 2009, setelah ditanda tangan baru keluar surat persetujuan pindah yang dikeluarkan tanggal 19 Januari 2009 dengan No.824.3/022/63.O/2009/UP. 13

Setelah penggugat menyadari telah melakukan tindakan keliru, maka tanggal 30 Agustus 2013, penggugat mengirim surat pernyataan mencabut/menarik kembali surat pernyataan tidak menuntut gaji yang penggugat buat tanggal 22 Januari 2009, kepada Bupati Rote Ndao tertanggal 30 Agustus 2013. Penggugat juga selalu mencari informasi dan berusaha untuk bertemu para pihak, agar mendapat kembali hak-hak penggugat selama bekerja. Setelah penggugat berusaha semaksimal mungkin akhirnya menemukan bukti kwitansi penyetoran gaji penggugat ke Bank NTT cabang Rote Ndao. Dalam sengketa tersebut penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan batal atau tidak sah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No. KU.900/87/IV/2009 dan memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang pembayaran gaji selama 75 bulan mulai dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan April 2009. Sebagaimana putusan Pengadilan 14

Tata Usaha Negara dengan Nomor : 20/G/2013/PTUN- KPG telah mengadili dan mengabulkan gugagatan penggugat dengan mewajibkan tergugat untuk memproses permohonan penggugat dan menerbitkan surat keputusan Tata Usaha Negara tentang pembayaran gaji penggugat. Dalam contoh kasus tersebut dapat ditemui permasalahan, yaitu tidak dieksekusi oleh tergugat dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara sebagai eksekutor dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, padahal putusan tersebut sudah inkracht atau telah berkekuatan hukum tetap karena tidak ada lagi upaya hukum lainnya dari pihak Tergugat, seperti upaya banding. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah dijelaskan Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khususnya dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengajukan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah. Ini 15

berarti setelah 14 (empat belas) hari setelah Panitera Pengadilan memberikan salinan putusan tersebut, tergugat dalam hal ini Bupati Rote Ndao tidak melakukan upaya hukum apa-apa sehingga Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu menjadi inkrach. Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang juga telah mengeluarkan surat No. W3.TUN3/211/HK.06/IV/2014 pada tanggal 1 April 2014 kepada Bupati Rote Ndao dalam hal ini sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, perihal pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undung-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 166 ayat (3) menyatakan Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana 16

dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Disini dibutuhkan pengertian dan keaktifan dari penggugat sendiri untuk memahami Pasal 166 ayat (3). 17

Tabel 1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG No. Putusan PTUN Kupang Nomor : 20/G/2013/PT UN-KPG Penggugat Tergugat Isi Gugatan Putusan Silvester Wangur, S.Pd 1. Bupati Rote Ndao 2. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Rote Ndao 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya 2. Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan batal atau tidak sah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No. KU.900/87/IV/2009 3. Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang membayar gaji selama 75 bulan mulai dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan April 2009. 4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini 1. Mengabulkan Gugatan Penggugat sebagian 2. Menyatakan batal sikap diam Tergugat I dan Tergugat II yang disamakan dengan keputusan penolakan Tergugat I dan Tergugat II terhadap surat permohonan penggugat no :13/SW/V/2003 tertanggal 20 Mei 2013, perihal : Mohon pembayaran gaji 3. Mewajibkan Tergugat untuk memproses permohonan Penggugat dan menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara tentang pembayaran gaji Penggugat terhitung bulan Oktober 2004 sampai dengan Januari 2009. 4. Menghukan Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar RP 141.000,- (Seratus Empat Puluh Satu Ribu Rupiah) 18

Pelaksanaan putusan pengadilan menurut ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut membawa implikasi hukumnya masing-masing. Untuk memahami hal itu, berikut dibawah ini akan dikemukakan pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini perlu dikemukakan agar dapat diketahui apakah perubahan tersebut menjadi lebih baik atau sebaliknya. Lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan pengadilan TUN dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan : (1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya 19

dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari. (2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum. (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. 20

(4) Jika Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakanya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. (5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut, (6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut. 21

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka menurut Paulus Efendi Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang dikenal dalam Peradilan Tata Usaha Negara: 7 1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. 2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu : huruf b : pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau huruf c : penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. 7 Paulus Efendi Lotulong, Pejabat yang tidak mematuhi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, (17 Januari 2006), portal berita Hukum Online 22

Paulus Efendi Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakantindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab Keputusan Tata Usaha Negara itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis. Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu Ayat (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan 23

permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Ayat (4) Jika Tergugat masih tetap tidak melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Ayat (5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Ayat (6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah 24

tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Dengan cara adanya surat perintah dari Ketua Pengadilan yang ditujukan kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan Pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan Pejabat Tata Usah Negara tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkn Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Jika dikaitkan dengan contoh kasus diatas, maka akan ditemukan beberapa proses yang tidak ditempuh dari penggugat dan Pengadilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Dimana ketika diwawancarai, penggugat dalam hal ini Silvester Wangur hanya mengajukan satu kali surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dan tidak mengajukan surat permohonan lagi dengan alasan 25

ketidak tahuan dan keputus asaanya dengan eksekusi putusan tersebut. Masih menurut Penggugat, Panitera Pengadilan juga tidak memberikan arahan baginya agar mengajukan surat permohonan seperti surat permohonan yang pertama. Lebih lanjut lagi Lotulung menjelaskan bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pejabat TUN terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. 8 Meskipun dikatakan bahwa proses eksekusi yang ditempuh menurut cara tersebut diatas merupakan original buah pikiran pembuat Undang-Undang di Indonesia, sebab sistem seperti itu tidak dikenal di luar negeri. Namun ketentuan tersebut sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan. Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan. 8 Ibid, hal.17 26

Dibalik larangan, terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sedikit banyak dapat mempengaruhi kewibawaan Pengadilan, pelecehan terhadap Peradilan, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, maka masyarakat semakin tidak percaya kepada Pengadilan Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti lebih lanjut mengapa putusan dari Peradilan Tata Usaha Negara tersebut tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan padahal dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 116 terkhususnya ayat (3) sampai ayat (6), yang berbunyi : (3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 27

(9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. (4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. (5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua 28

Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari ayat (3) sampai ayat (6) telah menjelaskan jika Pejabat Tata Usaha Negara tidak melaksanakan putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara maka akan diberikan sanksi, namun mengapa masih saja kita temui banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang belum dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara dan bagaimana sanksi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, jika Pejabat Tata Usaha Negara tidak mau mengeksekusi putusan tersebut. Pertanyaan diatas akan dikaji lebih mendalam oleh penulis untuk mendapatkan suatu jawaban di dalam masalah tersebut. 29

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : Apa persoalan hukum yang terjadi didalam proses penerapan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara pada studi kasus putusan Nomor 20/G/2013/PTUN-KPG? C. Tujuan Penelitian Berikut tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan laporan penelitian ini. Tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan problematika hukum terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 20/G/2013/PTUN- KPG tidak dapat dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara. 2. Memberikan solusi guna mengatasi masalah-masalah didalam pelaksanaan putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara. 30

D. Manfaat Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah yang dianalisis, maka hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berikut: 1. Manfaat Teoretis Adapun hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dalam rangka penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara yang dianggap masih memiliki kekurangan. Dengan bahan hukum yang terkumpul, manfaat lain yang diharapkan yakni dapat dipergunakan sebagai pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara. 2. Manfaat Praktis Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk tindakan eksekusi hukum Tata Negara dari suatu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. 31

E. Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Deskriptif dengan Pendekatan Normatif Menurut Maria S.W. Sumardjono, penelitian merupakan suatu proses penentuan kebenaran yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan yang sistematis yang terencana dengan dilandasi oleh metode ilmiah. Seluruh proses penelitian merupakan kegiatan terkait. Ada suatu benang merah yang dapat ditarik berawal dari pemilihan judul serta perumusan masalah yang harus sinkron dengan tujuan penelitian. Dengan tinjauan pustaka yang dikemukakan, dapat dilihat kerangka berpikir yang berhubungan dan menunjang penelitian. Kerangka berpikir ini dapat diwujudkan tanpa merinci cara-cara melakukan penelitian yang menerangkan tentang dari mana serta bagaimana cara data diperoleh, variabel apa saja yang menjadi fokus penelitian, serta bagaimana data yang 32

terkumpul akan dianalisis untuk dapat menjawab masalah penelitian 9. Dengan demikian inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang cara bagaimana suatu penelitian hukum harus dilakukan. Disini penulis menentukan metode apa yang akan digunakan, spesifikasi/tipe penelitian yang dilakukan, metode populasi dan sampling, bagaimana pengumpulan data akan dilakukan dan analisa data yang dipergunakan. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka atau data sekuder, sedangkan data sekunder adalah data yang siap digunakan di dalam acuan penelitian. b. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipergunakan, adalah berupa penelitian deskriptif-analitis. Deskriptif penelitian 9 Nawawi Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1996) hal.23 33

ini, terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya, sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki. Istilah analitis mengandung makna mengelompokkan, menghubungkan dan membandingkan data-data yang diperoleh baik dari segi teori maupun dari segi praktek. Penelitian terhadap teori dan praktek, adalah untuk memperoleh gambaran tentang faktor pendukung dan faktor penghambatnya. Spesifikasi penelitian yang bersifat analitis, bertujuan melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada atau realitas sosial dan menggambarkan obyek yang menjadi pokok permasalahan. 34

C. Sumber Data Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah : 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum utama berupa peraturan perundangundangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan dasar hukum yang terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009,Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 35

e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia f. Putusan Pengadilan Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG Tentang pembayaran gaji oleh Bupati Rote Ndao sebagai Tergugat kepada Silvester Wangur sebagai penggugat 2. Bahan Hukum Sekunder Semua publikasi tentang hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti pendapat para ahli, hasil penelitian, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum. 3. Bahan Hukum Tersier, Bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penejlasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus lengkap bahasa Indonesia. 36

37

38