BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroba Endofit Penelitian mikroba endofit pertama kali dilaporkan oleh Darnel dkk. pada tahun 1904. Sejak itu, definisi mikroba endofit telah disepakati sebagai mikroba yang hidup di dalam jaringan internal tumbuhan hidup tanpa menyebabkan efek negatif langsung yang nyata (Prasetyoputri & Atmosukarto, 2006). Menurut Radji (2005) mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Hampir di dalam semua jaringan tanaman yang sehat, ada banyak mikro-organisme endofit. Mikroba endofit sangat sinergistik dengan inang mereka dan sebagian dari endofit mampu membuat kembali nutrisi dari tanaman dengan cara menghasilkan senyawa khusus, seperti metabolisme sekunder, untuk melindungi inangnya dari serangan jamur dan hama (Taechowisan et al., 2005). Mikroba endofit mempunyai arti ekonomis karena mikroba endofit merupakan sumber yang kaya untuk mendapatkan bahan bioaktif dan senyawa bermanfaat. Sebagai contoh Cryptocandin adalah antifungi yang dihasilkan oleh mikroba endofit Cryptosporiopsis quercina (Radji, 2005). Setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit (Tan et al., 2001 dalam Radji, 2005).
2.1.1 Bakteri Endofit Bakteri endofit menjadi perhatian utama sebagai agen biokontrol. Misalnya bakteri dari beberapa spesies tanaman, yang mendiami jaringan lokal interseluler maupun intraseluler. Karena tanaman memberikan perlindungan dan nutrisi, bakteri endofit dapat berkembang di bawah kondisi bersaing dan melindungi bagian dalam tanaman terhadap patogen (Hallmann et al., 2001). Bakteri endofit adalah bakteri yang berada dalam jaringan tanaman (Aini & Abadi, 2004). Bakteri endofit hidup intra seluler di dalam jaringan tanaman yang sehat. Sebenarnya bakteri endofit maupun rizobakteri lainnya merupakan bagian dari mikroflora alamiah dari tanaman yang sehat, mereka dapat dikatakan sebagai kontributor penting bagi kesehatan tanaman (Kloepper et al., 1999 dalam Aini & Abadi, 2004). Bakteri endofit dapat berpengaruh pada kesehatan tanaman dalam hal antagonisme langsung, menginduksi ketahanan sistematik dan meningkatkan toleransi tanaman terhadap tekanan lingkungan (Hallman et al., 2001). Kemungkinan terjadi rekombinasi genetik dengan inangnya, sehingga beberapa endofit telah terbukti menghasilkan senyawa alami yang karakteristik bagi inangnya (Tan and Zou, 2001 dalam Sugijanto et al., 2004). 2.1.2 Manfaat Mikroba Endofit Endofit dapat menjadi sumber berbagai metabolit sekunder baru yang berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang medis, pertanian dan industri (Prasetyoputri & Atmosukarto, 2006). Menurut Radji (2005) kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan dapat diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikroba endofit yang diisoilasi dari tanaman inangnya tersebut. Beberapa manfaat mikroba endofit antara lain dapat digunakan sebagai penghasil antibiotika, misalnya Crytocandin adalah antifungi yang dihasilkan oleh mikroba endofit Cryptosporiopsis quercina dan Trichopyton (Strobel et al., 1999 dalam Radji, 2005). Mikroba endofit juga dapat digunakan sebagai antivirus, misalnya
jamur endofit Cytonaema sp. yang menghasilkan metabolit Cytonic acid A dan B, Cytonic acid A dan B ini merupakan inhibitor protease dan dapat menghambat pertumbuhan cytomegalovirus manusia (Guo B et al., 2000 dalam Radji, 2005). Menurut Dwidjoseputro (1989), Bacillus sp. dapat menghasilkan zat antibiotik berupa basitrasin, subtilin, polimixin, tritosin, bulbivormin dan dapat juga menghasilkan senyawa volatil. Bakteri dari genus Bacillus sp diketahui telah banyak digunakan sebagai biokontrol pada beberapa spesies tanaman dan terbukti mampu menjadi penghambat perkembangan beberapa penyakit tanaman (Cook & Baker, 1989 dalam Aini & Abadi, 2004). 2.2 Busuk Pangkal Batang Busuk pangkal batang (basal stem rot) merupakan penyakit terpenting dalam perkebunan kelapa sawit dewasa ini. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Ganoderma boninense Pat. (Semangun, 2000) dan merupakan penyakit yang sangat merugikan (Subronto et al., 2003). Gejala yang khas, sebelum terbentuknya tubuh buah jamur, adalah adanya pembusukan pada pangkal batang (Semangun, 2000). Penyakit ini menyebabkan busuk kering pada jaringan dalam. Pada penampang bagian batang yang terserang akan tampak berwarna coklat muda dengan jalur-jalur tidak teratur yang berwarna lebih gelap. Lambat atau cepat Ganoderma penyebab penyakit ini membentuk tubuh buah (sporophore) basidiokarp, pada pangkal batang atau kadangkadang pada akar sakit di dekat batang. Tubuh buah hanya dibentuk setelah penyakit berkembang cukup lanjut, sesudah tampaknya gejala pada daun. Tubuh buah yang paling muda dibentuk di dekat tepi bagian yang membusuk (Turner, 1981 dalam Semangun, 2000). Agar timbul penyakit, patogen harus berhubungan dengan jaringan tumbuhan yang hidup dan berkembang di dalamnya. Aktivitas patogen dalam badan tumbuhan terutama bersifat kimiawi. Kelompok-kelompok utama substansi yang disekresikan oleh patogen dalam badan tumbuhan, yang menyebabkan timbulnya
penyakit, baik langsung maupun tidak langsung adalah enzim, toksin, zat pengatur tumbuh, dan polisakarida (Semangun, 1996). 2.2.1 Ganoderma boninense Pat. Busuk pangkal batang pada kelapa sawit disebabkan oleh Ganoderma boninense (Semangun, 2000). Menurut (Alexopoulos et al., 1996) G. boninense termasuk salah satu kelompok jamur kayu kelas Basidiomycetes, ordo Polyporales, famili Polyporaceae, divisi Eumycophyta. Pada umumnya famili Polyporaceae memiliki tubuh buah berbentuk seperti kipas dan kertas, papan atau payung. Tubuh buah boninense dapat ditemukan di bagian batang kelapa sawit, merupakan jamur tular tanah, berwarna putih, semakin tua badan buah akan bertambah besar ukurannya dan warnanya menjadi lebih gelap (Gambar 2.2.1). Namun gejala yang khas, sebelum terbentuknya tubuh buah jamur adalah adanya pembusukan pada pangkal batang. Gambar 2.2.1 Tanaman kelapa sawit yang terserang busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Ganoderma boninense Pat. (http://virgingreens.com/productmgbioguard) Di kalangan petani perkebunan kelapa sawit G. boninense merupakan musuh penting bagi tanaman kelapa sawit maupun kelapa. Jamur patogen ini dapat masuk ke dalam badan tumbuhan melalui luka, lubang alami seperti mulut kulit dan hidatoda, atau dengan menembus permukaan tumbuhan yang utuh. Banyak jamur yang melakukan infeksi secara langsung pada bagian tumbuhan yang masih muda dan lunak (Semangun, 1996). Ganoderma menular ke tanaman sehat bila akar tanaman sehat bersinggungan dengan tunggul-tunggul pohon yang sakit. Akar-akar tanaman kelapa sawit yang muda tertarik kepada tunggul yang membusuk karena kaya akan
hara dan mempunyai kelembapan tinggi (Semangun, 2000). Tubuh buah jamur ini dapat berumur sampai beberapa tahun (Yanti & Susanto, 2004). Kelas Basidiomycetes dicirikan oleh adanya basidiospora yang terbentuk di luar pada ujung atau sisi basidium (Pelczar & Chan, 1986). Pada tanaman yang terserang tampak tubuh buah jamur yang mula-mula tampak sebagai suatu bongkol kecil berwarna putih, pada pangkal pelapah daun atau pada batang antara puntung-puntung pelepah daun. Tubuh buah terus berkembang menjadi berbentuk kipas tebal. Tubuh buah G. boninense mempunyai lapisan kutis (lapisan atas) yang tebalnya sampai 0,1 mm, terdiri atas benang-benang rapat yang sel-selnya berukuran 20-30 x 4-10 μm. Pori bergaris tengah 150-400 μm. Basidiospora berbentuk bulat/oval, berwarna keemasan, dinding basidiospora berduri jelas, kadangkadang mempunyai vakuola yang jelas (Semangun, 2000). 2.2.2 Pengendalian Hayati Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Perkembangan hasil penelitian tentang berbagai agensia hayati yang bermanfaat untuk mengendalikan berbagai patogen pada tanaman, sebenarnya sudah cukup menggembirakan walaupun masih sedikit yang dapat digunakan secara efektif di lapangan (Sitepu, 1993). Penyakit yang disebabkan oleh jamur merupakan perhatian utama dalam produksi pertanian (Gohel et al., 2006). Jamur patogen merupakan penyebab kerugian yang besar pada produksi hasil panen, dan pengaturan fitopatogen yang baik adalah persoalan yang penting bagi semua sistem pertanian. Biologi kontrol bagi patogen tanaman ini merupakan pendekatan alternatif untuk mengurangi ketergantungan kepada pertanian modern dan penggunaan obat pembasmi jamur yang mengandung zat kimia, yang dapat menyebabkan polusi lingkungan dan berkembangnya keresistenan patogen (Harjono Widyastuti., 2001). Selain itu, enzim kitinase berperan penting dalam kontrol fungi patogen tanaman secara mikoparasitisme (Nugroho et al, 2003). Kitin (homopolimer ikatan β-1,4 dari N-asetilglukosamin) merupakan
komponen struktural dari sebagian besar dinding sel cendawan patogen (Yanai et al., 1994 dalam Wijaya, 2002). Mikroorganisme antagonistik memegang peranan sangat penting dan cukup berkembang dalam pengendalian hayati penyakit tanaman. Bahan organik atau residu tanaman adalah media yang kondusif untuk mikroorganisme yang antagonistik terhadap patogen, pada dasarnya beraspek majemuk, yaitu sebagai pencegah berkembangnya patogen. Dampak positif dari pengendalian hayati penyakit tanaman diperoleh secara berangsur-angsur dan berkesan lambat (dibandingkan penggunaan pestisida). Pengendalian hayati terhadap patogen pada umumnya dapat melalui antibiosis dan kompetisi, kadang-kadang melalui hiperparasitisme (Sitepu, 1993). Menurut Friendlender et al., (1989) dalam Susanto et al., (2002) bakteri Bacillus sp dapat mengeluarkan enzim litik berupa kitinase dan β-1-3 glukanase yang dapat mendegradasi masing-masing kitin dan glukan yang terdapat dalam sel jamur. Hal ini menunjukkan bahwa Bacillus sp. memiliki kemampuan menghambat berbagai golongan mikroba termasuk bakteri dan jamur. Ganoderma spp. merupakan patogen busuk akar yang menyebabkan kerusakan serius pada banyak perkebunan di Malaysia, India, Australia dan Indonesia. Banyak metode dikembangkan untuk mengatasi penyakit ini, namun tidak satu pun memberikan hasil yang baik. Penggunaan mikroba sebagai sumber suatu produk akan memudahkan proses dan mengurangi biaya produksi, sehingga pada akhirnya menghasilkan produk dengan harga yang lebih murah (Prasetyoputri & Atmosukarto, 2006). Kemampuan mikroba endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan dapat diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman inangnya tersebut (Radji, 2005). 2.3 Mekanisme Antagonis Dalam Pengendalian Penyakit Tumbuhan Ada banyak cara bagaimana organisme antagonis bekerja antara lain mendahului laju kolonisasi patogen, dengan kompetisi, mungkin menghasilkan antibiotik, atau
mungkin dengan mikoparasit atau lisisnya patogen (Campbell, 1989). Mekanisme umum biologi kontrol dapat dibagi menjadi efek langsung dan tidak langsung agen biokontrol pada patogen tanaman. Efek langsung termasuk kompetisi untuk nutrisi atau tempat, produksi antibiotik, dan litik enzim, inaktivasi enzim patogen dan parasitisme. Yang termasuk efek tidak langsung yaitu semua aspek morfologi dan perubahan biokimia pada tanaman inang, seperti toleran terhadap tekanan hingga pemanjangan akar dan perkembangan tanaman, penyerapan nutrisi anorganik dan penyebab resisten (Viterbo et al., 2002 dalam Gohel et al., 2006). Parasitisme dan produksi enzim ekstraselular penting pada mekanisme biokontrol untuk pengendalian penyakit tanaman. Kemampuan bakteri khususnya aktinomycetes yang bersifat parasit dan mampu menurunkan spora jamur patogen tanaman memperlihatkan awal yang baik (Nelson et al., 1986 dalam Gohel et al., 2006). Kitin tidak hanya berperan penting pada mekanisme pertahanan tanaman, tetapi juga pada proses mycoparasit jamur. Contoh Bakteri penghasil enzim kitinase antara lain Bacillus cereus (Chang et al., 2003 dalam Aini & Abadi, 2004) dan Pantoea agglomerans yang diperlukan sebagai biokontrol jamur patogen (Bonatera et al., 2003 dalam Gohel et al., 2006) dan Bacillus sp. (Frindlender et al., 1989 dalam Aini & Abadi, 2004). Filamen jamur Trichoderma spp. bersifat mikoparasit bagi patogen tanaman dan merupakan salah satu agen yang digunakan untuk biokontrol terhadap penyakit busuk akar (Papavizas, 1985 dalam Harjono et al., 2001). Walaupun mekanisme mikoparasit belum dimengerti secara lengkap, namun pada proses ini ekspresi ekstraseluler dinding sel melibatkan enzim, yaitu termasuk enzim kitinolitik dan glukanolitik. Endokitinase (EC 3.2.1.14) sangat efektif untuk antifungi (Harjono et al., 2001). Mekanisme penghambatan agen biokontrol pada bakteri tidak melalui hiperparasitik, tetapi melalui antibiosis dengan mengeluarkan antibiotik. Hifa G. boninense yang mengalami kontak langsung dengan antibiotik akan mengalami kerusakan dan membran hifa menjadi pecah sehingga cairan sel keluar (Susanto et al., 2002).
Mekanisme penghambatan mikroorganisme oleh senyawa antimikrobial dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penghambatan terhadap sintesis penyusun dinding sel, peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktivasi enzim dan destruksi (Ardiansyah, 2007) atau penghambatan terhadap sintesis protein (misalnya, penghambatan translasi dan transkripsi material genetik) dan penghambatan terhadap sintesis asam nukleat (Brooks et al., 2005). Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sitoplasma yang berperan sebagai barrir permeabilitas selektif, membawa fungsi transfor aktif, dan kemudian mengontrol komposisi internal sel. Jika fungsi integritas membran sitoplasma dirusak maka makromolekul dan ion keluar dari sel, kemudian sel akan rusak (Brooks et al., 2005).