BAB I PENDAHULUAN. kematian di wilayah Asia Tenggara. Hal ini seperti yang disampaikan oleh

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. metabolisme gula akibat kurangnya sekresi hormon insulin sehingga terjadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB 1 PENDAHULUAN. tertentu dalam darah. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi pankreas

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal (Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perilaku dan gaya hidup yang dijalani oleh masyarakat. Saat pendapatan tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit degeneratif yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dunia. Menurut Golostein (2008), bahwa 5% dari populasi penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit diabetes mellitus ditetapkan oleh PBB sebagai penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan umat manusia pada abad ke 21. Diabetes mellitus (DM) adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah penderita 7,3 juta jiwa (International Diabetes Federation

BAB I PENDAHULUAN. menanggulangi penyakit dan kesakitannya. Dari data-data yang ada dapat

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun terus meningkat, data terakhir dari World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada jutaan orang di dunia (American Diabetes Association/ADA, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus merupakan sindrom metabolik yang ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya

BAB I PENDAHULUAN. menular (PTM) yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adalah diabetes melitus (DM). Diabetes melitus ditandai oleh adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. setelah India, Cina dan Amerika Serikat (PERKENI, 2011). Menurut estimasi

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin dan kerja dari insulin tidak optimal (WHO, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005;

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran/polusi lingkungan. Perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. usia harapan hidup. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, berarti semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELLITUS

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DIABETES MELLITUS PADA Ny.T DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOSARI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Taufik Hidayat, 2013

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau keduanya (Sutedjo, 2010). Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya di masyarakat. 1 Peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. memungkinkan orang hidup lebih produktif baik sosial maupun ekonomi. Meningkatnya status

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kronis menjadi masalah kesehatan yang sangat serius dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Kesehatan (Depkes, 2014) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai penyakit. cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara efektif, dan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen,

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruh i oleh. kesehatan, sikap dan pola hidup pasien dan keluarga pasien, tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) sebagai suatu penyakit tidak menular yang cenderung

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular akan terus meningkat

BAB I PENDAHULUAN. mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1

BAB I PENDAHULUAN. menurun dan setelah dibawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar glukosa

BAB I PENDAHULUAN. yang selalu mengalami peningkatan setiap tahun di negara-negara seluruh

BAB I PENDAHULUAN. resistensi insulin, serta adanya komplikasi yang bersifat akut dan kronik (Bustan,

berkembang akibat peningkatan kemakmuran di Negara bersangkutan akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan perkapita dan perkembangan gaya hidup

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu diantara penyakit tidak menular

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB I PENDAHULUAN. ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal serta gangguan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyakit masyarakat serta andil terhadap perubahan pola fertilitas, gaya hidup dan

BAB I PENDAHULUAN. DM tipe 1, hal ini disebabkan karena banyaknya faktor resiko terkait dengan DM

BAB I PENDAHULUAN. (glukosa) akibat kekurangan atau resistensi insulin (Bustan, 2007). World

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang

BAB I PENDAHULUAN. menanggulangi penyakit dan kesakitannya (Sukardji, 2007). Perubahan gaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diabetes mellitus semakin meningkat. Diabetes mellitus. adanya kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia)

BAB 1 PENDAHULUAN. yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

BAB I PENDAHULUAN. tipe 2. Diabetes tipe 1, dulu disebut insulin dependent atau juvenile/childhoodonset

BAB I PENDAHULUAN. di hampir semua negara tak terkecuali Indonesia. Penyakit ini ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 yang mulai dicanangkan pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. makan, faktor lingkungan kerja, olah raga dan stress. Faktor-faktor tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas PTM semakin meningkat baik di negara maju maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronis (asma dan. penyakit paru obstruksi kronis), dan diabetes.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut ADA (American Diabetes Association) Tahun 2010, diabetes

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kronis tidak menular merupakan penyebab utama kematian di wilayah Asia Tenggara. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Thorpe (dalam Ara, 2011), penyakit kronis dan tidak menular merupakan pembunuh terbesar di dunia. Sekitar 80 persen kematian akibat penyakit kronis dan tidak menular terjadi di negara-negara dengan penghasilan rendah dan sedang. Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan, empat penyakit kronis tidak menular yang paling banyak menyebabkan kematian adalah kanker, penyakit pernapasan kronis, penyakit jantung, dan diabetes mellitus (Ara, 2011). Penyakit kronis merupakan penyakit degeneratif yang berkembang selama kurun waktu yang lama. Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang bersifat degeneratif yang terus meningkat jumlah penderitanya (Pramono dalam Febriarni, 2016). DM ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat dari ketidakberfungsian pankreas untuk menghasilkan hormon insulin secara normal. Kondisi tersebut mengakibatkan tingginya kadar glukosa dalam darah, atau disebut hiperglikemia (Riskesdas dalam Kementerian Kesehatan RI, 2014). Kadar gula darah normal sebelum makan tidak melebihi 100 mg/dl, dan 2 jam setelah makan tidak lebih dari 140 mg/dl. (Rita, 2016). Pada 1

penderita DM, kadar gula darah lebih tinggi dari keadaan normal, baik sebelum maupun sesudah makan. Survei mengenai jumlah penderita DM (diabetisi) di dunia dilakukan oleh berbagai badan atau organisasi. International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan pada tahun 2013 terdapat 382 juta orang di dunia dengan diabetes, dan jumlah tersebut akan bertambah pada tahun 2035 yaitu sebesar 592 juta orang (Riskesdas dalam Kementerian Kesehatan RI, 2014). Askandar (dalam Ros, 2015) dapat diprediksi bahwa 1 dari 10 orang ialah diabetisi. Tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah tersebut akan terus bertambah tiap tahunnya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes pada tahun 2013 menunjukkan bahwa dari sekitar 176 juta penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 15 tahun pada tahun 2013, sebanyak 2,6 juta jiwa diantaranya telah terdiagnosa diabetes. Sejumlah 1 juta jiwa belum terdiagnosa namun memiliki gejala yang mengarah pada DM, seperti sering merasa lapar dan haus, sering buang air kecil dengan jumlah yang banyak, serta mengalami penurunan berat badan yang signifikan. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi di Indonesia dengan jumlah diabetisi terbanyak se-indonesia pada 2013, yaitu sejumlah 605.974 jiwa (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Terdapat tiga tipe DM, yaitu DM Tipe 1, DM Tipe 2 dan diabetes gestasional (International Diabetes Federation dalam Sibuea, Walujo, Suzanna, 1997). DM tipe 1 disebut juga insulin-dependent diabetes 2

mellitus. Penderita DM tipe 1 sangat bergantung pada insulin. Diabetisi hanya dapat menghasilkan sedikit insulin atau bahkan tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. DM tipe 1 tidak dapat dikendalikan melalui gaya hidup ataupun diet diabetes, namun harus menggunakan suntikan insulin setiap hari. Jumlah penderita DM tipe 1 sekitar 2-3%. Jumlah penderita DM tipe 2 sebesar 90-95% dari total populasi pengidap DM. Sekitar 80% dari penderita DM tipe 2 adalah orang dengan obesitas dan hal ini dipercaya merupakan penyebab meningkatnya jumlah penderita diabetes. Obesitas akan menyebabkan resistensi insulin yang dapat meningkatkan kadar gula darah. Oleh karena itu, pengaturan pola makan (diet DM) serta olah raga teratur untuk menjaga berat badan sangat diperlukan bagi penderita DM tipe 2 (Suzanne dan Dawn dalam Llewelyn dan Kennedy, 2003). Sebanyak 2-3% penderita DM merupakan diabetes dengan tipe gestasional (Carpenter, Robert, Joseph, 2004). DM tipe ini sangat jarang ditemui. Gestational Diabetes Mellitus (GDM) adalah suatu bentuk diabetes dengan kadar gula dalam darah tinggi selama masa kehamilan dan akan kembali normal setelah melahirkan. Bila tidak ada penanganan yang baik pada GDM, akan membahayakan kesehatan ibu dan janin, serta melahirkan bayi yang beresiko menderita DM tipe 2 saat dewasa. DM dapat timbul pada orang tanpa riwayat DM dalam keluarga (Suyono dalam Sudoyo, dkk, 2006). Perubahan gaya hidup seperti pola makan dan berkurangnya aktivitas fisik dianggap sebagai faktor pemicu 3

timbulnya DM, khususnya DM tipe 2. Pola makan yang banyak mengandung lemak, gula, garam, dan sedikit mengandung serat menjadi makanan yang digemari oleh masyarakat dewasa ini. Selain itu, cara hidup yang sangat sibuk dan terlalu lama duduk saat bekerja menyebabkan minimnya waktu untuk berolahraga. Meski DM bukan merupakan penyakit menular, namun kemunculannya menjadi momok tersendiri bagi tiap individu, khususnya yang memiliki pola hidup yang kurang sehat. DM, tipe 2 khususnya, dapat berkembang menjadi suatu kondisi yang kompleks dan berbahaya bagi penderitanya. Infeksi merupakan masalah yang dapat muncul pada diabetisi, seperti infeksi saluran kencing, infeksi paru dan infeksi kaki. Selain menyebabkan infeksi, DM juga dapat menimbulkan kelainan pada pembuluh darah retina. Kelainan tersebut dapat membuat penderitanya mengalami kebutaan (Rahmad, 2010). DM dapat dikendalikan dengan kontrol yang rutin pada kadar gula darah. Terdapat dua terapi yang diberikan pada diabetisi, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis dilakukan dengan pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi tersebut dilakukan beriringan dengan terapi non farmakologis yang bersifat mengubah gaya hidup diabetisi. Terdapat empat pilar dalam penatalaksanaan DM (Rita, 2016), yaitu perencanaan makan, olah raga, obat dan edukasi. Makanan sangat 4

berpengaruh terhadap kadar gula darah dalam tubuh. Hal ini yang mengharuskan diabetisi untuk selalu menjaga pola makan. Menjaga pola makan juga akan berpengaruh pada berat badan diabetisi. Kegemukan akan mengakibatkan gula darah menjadi sulit dikendalikan. Menjaga pola makan pada diabetes disebut juga dengan diet DM. Diet DM berfungsi menjaga dan mengontrol kadar gula darah dalam tubuh diabetisi. Diet DM memiliki pola tersendiri dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh diabetisi. Beberapa penelitian menunjukkan angka ketidakpatuhan pada program diet diabetes. Tingkat kepatuhan diet diabetes pada diabetisi tipe 2 yang didapat dari penelitian Cross-National Diabetes Attitudes, Wishes, and Needs (DAWN) adalah sebesar 39% untuk kepatuhan diet pada penderita DM tipe 1, dan 37% untuk kepatuhan diet penderita DM tipe 2 (Delamater, 2006). Diabetisi pada DM tipe 2 memiliki ketidakpatuhan lebih tinggi dibanding ketidakpatuhan diabetisi tipe 1. Penelitian mengenai kepatuhan penderita DM yang dilakukan Purba, Endah, dan Heni (2010) mendapatkan hasil bahwa 36 dari 61 responden dengan lama menderita DM kurang dari 72 bulan, tidak patuh menjalani diet. Responden dengan lama menderita DM lebih dari 72 bulan yang tidak patuh pada diet DM sebanyak 18 dari 19 responden. Diabetisi dengan lama menderita DM lebih atau sama dengan 6 tahun memiliki kecenderungan 1,25 kali tidak patuh dibandingkan dengan penderita 5

dengan lama menderita DM kurang dari 6 tahun. Makin lama seorang menderita diabetes, maka perilaku kepatuhan makin rendah. Jika ditinjau dari jenis kelamin penderita DM, pria memiliki kepatuhan diet lebih tinggi dari wanita. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 9 dari 20 responden pria patuh dengan diet DM. Sedangkan pada wanita, 6 dari 20 wanita responden memiliki kepatuhan diet DM. Kepatuhan diet DM pada pria sebesar 45%, sedangkan kepatuhan wanita sebesar 30% (Darusman, 2009). Terdapat beberapa alasan yang menjadikan seseorang berperilaku tidak patuh terhadap proses pengobatan. Kurangnya komunikasi antara dokter dengan pasien berpengaruh pada perilaku kepatuhan seseorang. Beberapa alasan lain perilaku ketidakpatuhan antara lain, yaitu kurangnya pemahaman tentang manfaat jangka panjang dari pengobatan/treatment yang harus dilakukan, biaya pengobatan, dan persepsi negatif mengenai proses pengobatan (Luis, dkk, 2013). Kepatuhan diet DM berhubungan dengan keyakinannya dalam melakukan perilaku kesehatan, atau disebut dengan efikasi diri. Efikasi diri merupakan fokus utama dalam diri penderita penyakit kronik, khususnya diabetes (Taylor, 2006). Efikasi diri yang tinggi pada diabetisi dapat membuat DM yang disandangnya bukan sebagai sebuah ancaman, sehingga lebih mudah mengikuti petunjuk penatalaksanaan DM dan tidak mudah mengalami masalah psikologis (Bandura, 2006). 6

Beberapa penelitian dilakukan untuk membuktikan sejauhmana efikasi diri diabetisi berkaitan dengan perilaku kesehatan. Cahyani, Ekwantini, dan Harjanto (2015) mendapat hasil penelitian bahwa efikasi diri berhubungan dengan kepatuhan pengelolaan DM Tipe 2. Hasanat (2015) menemukan hubungan yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan manajemen diri diabetisi. Manajemen diri diabetisi merupakan seluruh usaha diabetisi dalam mengelola penyakitnya, termasuk proses pengobatan, kepatuhan, perubahan dalam peran sosial dan pekerjaan, serta coping (Taylor, 2006). Penelitian Senecal, dkk (dalam Ariani 2011) dan Pertiwi (2015) menyimpulkan bahwa efikasi diri mempengaruhi kepatuhan pasien DM dalam menjalani diet dan meningkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2. Ariani (2011) menyatakan bahwa efikasi diri yang tinggi akan meningkatkan manajemen perawatan diri DM, sehingga dapat mencegah komplikasi. Seorang diabetisi yang menilai bahwa dirinya mampu melaksanakan pengobatan lebih berpotensi untuk melakukan proses pengobatan sesuai anjuran medis, yang berarti bahwa perilaku kepatuhan dapat muncul. Penelitian Sejati (2012) menyebutkan bahwa faktor yang paling berpengaruh pada kepatuhan diabetisi adalah faktor pertimbangan untung-rugi (benefit and cost). Individu, khususnya diabetisi, akan mempertimbangkan manfaat yang dapat diperoleh dari diet DM sebelum berperilaku patuh ataupun tidak patuh. Bila diet DM dinilai sebagai 7

perilaku yang merugikan, diabetisi akan cenderung tidak patuh pada diet DM. Diabetisi yang tidak patuh pada diet diabetes akan memiliki risiko komplikasi yang tinggi. Sebagaimana hasil penelitian dari Risnasari (2014) mengenai hubungan tingkat kepatuhan diet DM dengan munculnya komplikasi di puskesmas pesantren II Kota Kediri, mendapat hasil dari 57 responden penelitian, 32 diabetisi tidak patuh pada diet DM. Semua diabetisi yang tidak patuh, mengalami komplikasi. Penelitian tersebut membuktikan bahwa makin tidak patuh seorang penderita DM, maka kemungkinan munculnya komplikasi makin tinggi. Bila terjadi komplikasi pada seorang diabetisi, tidak menutup kemungkinan bahwa proses pengobatan yang dijalani akan semakin rumit dan membutuhkan banyak biaya. Beberapa penyakit serius yang dapat ditimbulkan dari tidak terjaganya kadar gula dalam darah seorang diabetisi antara lain, jantung koroner, gagal ginjal, kebutaan, gangren luka, dan bahkan kematian. Diabetisi 17 kali lebih beresiko untuk menderita kelainan ginjal, 25 kali lebih beresiko mengalami kebutaan, dan 5 kali lebih beresiko timbul gangren luka yang dapat mengarah pada amputasi. Sebanyak 50-70% jumlah penderita jantung koroner merupakan diabetisi (Permana, 2006). Kematian pada diabetisi tidak secara langsung ditimbulkan oleh tingginya kadar gula darah, namun oleh komplikasi yang diakibatkan dari kadar gula darah yang tidak terkendali. 8

Selain permasalahan fisik yang dapat dialami, diabetisi juga rentan terhadap permasalahan psikologis. Hal ini disebabkan karena DM sebagai penyakit kronis membutuhkan penanganan seumur hidup. Respons psikologis yang dapat dialami oleh diabetisi antara lain depresi, kecewa, bahkan stres (Lubkin dan Larsen, 2013). Stres pada penderita DM Tipe 2 dalam melaksanakan program diet diungkapkan melalui penelitian Widodo (2012) di klinik penyakit dalam RSUP dr. Kariadi Semarang. Keenam subjek dalam penelitian tersebut mengalami stres menjalani diet diabetes. Hal-hal yang membuat stres berupa jumlah makanan yang harus diukur, pembatasan jenis makanan, pola kebiasaan makan yang salah sebelum sakit dan selama menderita diabetes. Stres pada diabetisi dapat dimunculkan dalam dua perilaku makan, yaitu dengan makan berlebih dan tidak napsu makan (Mitra, 2008). Ketika diabetisi memilih makan berlebih sebagai cara untuk mengurangi stres, sangat dimungkinkan kadar gula darah dalam tubuhnya meningkat. Demikian pula dengan berkurangnya napsu makan, tentunya juga dapat berpengaruh pada kondisi gula darah diabetisi. Kemampuan diabetisi dalam mengelola stres tergantung pada strategi koping yang digunakan. Strategi koping adalah kemampuan individu dalam mengelola situasi yang menekan, yang berupa ketidaksesuaian antara tuntutan dengan kemampuan yang dimiliki individu (Lazarus dan Folkman dalam Glanz dkk, 2008). Tuntutan-tuntutan dapat 9

bersumber dari luar diri individu (eksternal), dan dapat pula berasal dari dalam diri individu (internal). Bagi seorang diabetisi, tuntutan eksternalnya adalah dari saran dan rekomendasi dokter untuk melakukan diet DM. Sedangkan tuntutan internalnya bisa berbeda pada tiap diabetisi. Seorang diabetisi akan membangun pengalaman-pengalaman tersendiri mengenai penyakitnya, termasuk pada aspek emosional dan kognitif. Aspek tersebut yang akan menjadi pertimbangan bagi diabetisi untuk menentukan strategi koping yang ia gunakan dalam mengelola permasalahannya (Coelho, dkk, 2003). Terdapat dua tipe strategi koping menurut Lazarus dan Folkman (dalam Rice, 2000), yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Masing-masing strategi koping tersebut memiliki fungsi tersendiri terhadap stres yang dihadapi. Diabetisi yang menilai diet DM sebagai suatu stressor yang sulit diatasi dan kurang bisa mengubah kondisi yang mengharuskan ia melakukan diet DM, akan menggunakan emotion focused coping dengan cara mengatur emosinya dan mengubah pola pikir (kognitif) yang bisa mengurangi beban emosional dari stressor (Smet, 1994). Seorang diabetesi yang menilai bahwa ia mampu mengubah kondisi yang membuatnya tertekan, menggunakan problem focused coping sebagai strategi koping. Cara yang digunakan untuk mengubah situasi stressful antara lain dengan mencari alternatif solusi dan menjalankan solusi yang telah dipilih (Smet, 1994). Kedua strategi koping tersebut memiliki efektivitas berbeda dalam pengelolaan stres. Strategi koping 10

yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi yang dihadapi (Rutter dalam Smet, 1994). Peneliti menentukan PFC sebagai variabel dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan PFC merupakan suatu strategi pemecahan masalah melalui sebuah tindakan (action) yang langsung menuju pada permasalahan, dan sesuai dengan perilaku kepatuhan diet DM yang menuntut adanya perubahan perilaku sebagai usaha memecahkan masalah atau sumber stres. Strategi koping memiliki peran penting bagi kondisi psikologis seorang penderita penyakit tertentu. Hal ini berkaitan dengan bagaimana individu tersebut menyikapi stressor yang dapat berpengaruh pada status kesehatannya. Penelitian mengenai hubungan tingkat stres dengan strategi koping pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis oleh Sari, Veny dan Riri (2011), memperoleh hasil bahwa makin adaptif mekanisme koping pasien hemodialisis, maka makin rendah stres yang dialami. Romani, Sri dan Fajarina (2012) juga melakukan penelitian serupa, dengan hasil ada hubungan antara mekanisme koping individu dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik. Jika individu dapat merespons stressor dengan baik, maka kemungkinan untuk memiliki kondisi kesehatan yang stabil dapat terpenuhi. Kepatuhan diet diabetes dapat muncul dari diri diabetisi ketika tuntutan diet diabetes tidak dinilai sebagai suatu stressor yang sulit diatasi. Respon terhadap stres sangat menentukan individu dalam 11

bersikap. Seorang diabetisi akan memberi respon patuh pada diet diabetes jika individu tersebut mampu mengelola stresnya secara efektif dengan menggunakan strategi koping yang tepat. Begitu pula sebaliknya, saat diabetisi tidak mampu menentukan koping dan pengelolaan yang kurang tepat pada stresnya, kemungkinan munculnya perilaku ketidakpatuhan diet diabetes makin besar. B. Rumusan Masalah Berdasarkan data dan uraian tersebut, maka muncul pertanyaan bagaimana hubungan antara efikasi diri dan problem focused coping (PFC) dengan perilaku kepatuhan diet DM pada penderita DM Tipe 2? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dan problem focused coping (PFC) dengan perilaku kepatuhan diet diabetes pada penderita DM Tipe 2. D. Manfaat Penelitian a) Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam bidang ilmu psikologi, mengenai efikasi diri dan strategi koping yang digunakan oleh diabetisi, khususnya problem focused coping (PFC), dalam menyikapi masalah kesehatan yang terkait dengan perilaku kepatuhan diet penderita DM Tipe 2. 12

b) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan dalam penyusunan intervensi psikologi, yang berfokus pada peningkatan kepatuhan diet penderita DM Tipe 2 dan disesuaikan dengan kebutuhan psikologis tiap diabetisi khususnya pada aspek efikasi diri dan problem focus coping. Intervensi psikologi dapat diberikan dalam bentuk usaha preventif seperti psikoedukasi dan promosi kesehatan, maupun usaha yang bersifat rehabilitatif berupa program pelatihan. 13