Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015

BAB I PENDAHULUAN. asasi tenaga kerja dalam Undang-Undang yang tegas memberikan. bahkan sampai akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

Lex Administratum, Vol. II/No.1/Jan Mar/2014

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

SILABUS. A. Identitas Mata Kuliah. 1. Nama Mata Kuliah : Perselisihan Hubungan Industrial. 2. Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Lex Privatum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013. Artikel skripsi. Dosen Pembimbing Skripsi: Soeharno,SH,MH, Constance Kalangi,SH,MH, Marthen Lambonan,SH,MH 2

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III PERAN DAN FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA (LKS) BIPARTIT DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan jumlah penduduk yang

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB I PENDAHULUAN. masa kerja maupun karena di putus masa kerjanya. Hukum ketenagakerjaan

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dan buruh sebagai tenaga kerja yang menyokong terbentuknya

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 23/PUU-XIV/2016 Perselisihan Hubungan Industrial

Jenis-Jenis Perundingan, Perundingan Kolektif, Peran Serikat Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah Dalam Perundingan dan Pengadilan Hubungan

Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

MSDM Materi 13 Serikat Pekerja dan Hubungan Industrial

Lex et Societatis, Vol. III/No. 2/Mar/2015/Edisi Khusus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

BEBERAPA CARA PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUHAN DI DALAM DAN DI LUAR PENGADILAN

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1. Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2.

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

PROSES PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JURUS MENGHINDARI BIAYA PERKARA 1 Oleh: Agus S. Primasta, S.H. 2

BAB I PENDAHULUAN. yang dibuat sendiri maupun berkerja pada orang lain atau perusahaan. Pekerjaan

PENERAPAN AZAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA MELALUI MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO

Perselisihan Hubungan Industrial

BAB I PENDAHULUAN. keperdataan. Dalam hubungan keperdataan antara pihak yang sedang berperkara

Christian Daniel Hermes Dosen Fakultas Hukum USI

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA PADANG SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan masyarakat sangat penting bagi dalam suatu Negara. Salah

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA HARI BURUH NASIONAL 0leh: Yusmedi Yusuf

BAB I PENDAHULUAN. * Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan industri pariwisata di Yogyakarta cukup pesat.

BAB I PENDAHULUAN. (sengketa hubungan industrial) di Indonesia belum terlaksana sebagaimana

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

PENERAPAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI DALAM PERSIDANGAN DI PENGADILAN AGAMA Oleh : H. Sarwohadi, SH, MH (Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

Frendy Sinaga

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan bunyi Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA. memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

Makalah Ketenagakerjaan Sengketa Hubungan Industrial (Hukum Perikatan) BAB I PENDAHULUAN

Peran Serikat Pekerja Dalam Dinamika

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

BAB I PENDAHULUAN. tersebut juga termasuk mengatur hal-hal yang diantaranya hubungan antar

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Transkripsi:

PENYELESAIAN SENGKETA TENAGA KERJA MELALUI JALUR PENGADILAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL 1 Oleh : Isshak Assa 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia dan bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur pengadilan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Pelaksanaan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memerlukan adanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang bersinergi antara pemerintah dan pengusaha serta buruh. Pemerintah harus mampu membuat dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang dapat mensejaterahkan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh harus menjalankan pekerjaannya kewajiban dan ikut memajukan perusahaan. Sedangkan pengusaha harus menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha dan memberikan kesejahteraan kepada tenaga kerja/buruh. 2. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur pengadilan brdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum yakni pengadilan negeri di setiap ibukota provinsi, yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Terhadap putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tidak ada upaya banding ke pengadilan tinggi untuk mengurangi jenjang penyelesaian yang berkepanjangan. Upaya hukum kasasi langsung diajukan ke Mahkamah Agung, itupun dibatasi khusus terhadap putusan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Josina M. Londa,SH, MH; Harly Stanly Muaja, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 14071101335 kerja. Sedangkan untuk putusan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Kata kunci: Penyelesaian Sengketa, Tenaga Kerja, Melalui Jalur Pengadilan, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan industrial adalah kemitraan antara tenaga kerja dan pengusaha atas dasar nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 Hubungan kemitraan perlu didukung dengan keterbukaan dan keterbukaan bukan berarti telanjang bulat. Keterbukaan dimaksud meliputi sikap saling menghormati, saling menghargai, saling membutuhkan dan saling menghidupi yang dilandasi rasa saling percaya untuk kepentingan bersama dan kepentingan seluruh masyarakat. 4 Hubungan industrial antara tenaga kerja dan pengusaha perlu terus menerus dibangun, dibina dan dipertahankan pelaksanaannya dan sangat penting untuk dibudayakan dalam menciptakan ketenangan kerja dan kelangsungan usaha. Hubungan industrial yang merupakan keterkaitan kepentingan antara tenaga kerja dengan pengusaha berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan, baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, maupun peraturan perundang-undangan. 5 Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Perselisihan hubungan industrial saat ini semakin meningkat dan kompleks. Kondisi ini tidak terlepas dari pasang surutnya dunia usaha yang juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan industri global sehingga 3 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm. 32-33. 4 Loc-cit. 5 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 155

menuntut mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, adil dan murah. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan melalui dua jalur, yaitu : 6 a. Jalur di luar pengadilan Yang ditempuh melalui upaya perundingan bipartit, konsiliasi, abitrase dan mediasi. b. Jalur pengadilan Yakni melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Lembaga bipartit, konsiliasi, arbitrase, mediasi dan pengadilan hubungan industrial merupakan pilar pelaksanaan hubungan industrial yang amat penting, khususnya dalam penegakan hukum ketenagakerjaan sehingga keberadaannya dituntut harus profesional, untuk mencapai keadilan. 7 Karena keadilan hanya dapat dicapai ketika para penegak hukum telah siap mental dan profesional dalam pelaksanaannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, para penegak hukum kita belum semua dapat bersikap profesional sehingga mengakibatkan tersendat-sendatnya penegakan hukum di negeri kita khususnya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 8 Kehadiran UU PPHI diharapkan mampu penjawab kekurangan profesionalisme penegak hukum dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan merupakan hal yang sangat menarik untuk dibahas. Dari uraian di atas telah mendorong penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul : Penyelesaian Sengketa Tenaga Kerja Melalui Jalur Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia? 2. Bagaimana penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur pengadilan 6 Abdul Khakim, Op-cit, hlm. 29. 7 Ropuan Rambe, Teknik Praktek Advokat, PT Grasindo, Jakarta, 2001, hlm. 8. 8 Loc-cit. berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu dengan melihat hukum sebagai kaidah (norma). Untuk menghimpun data digunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan mempelajari kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan, himpunan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel hukum dan berbagai sumber tertulis lainnya. Bahan-bahan yang telah dihimpun selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif, di mana hasilnya disusun dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi. PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Hubungan Industrial Pasal 102 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa: 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. 2. Dalam melaksanakan hubungan industrial, buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarga. 3. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh serta terbuka, demokratis dan berkeadilan. Dari ketentuan Pasal 102 Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut di atas dapat diketahui bahwa subjek hukum yang sentral atau para pihak dalam pelaksanaan hubungan industrial adalah pemerintah, pengusaha, serta 156

buruh. Dan mengamanatkan bahwa fungsi atau peran para pihak dalam pelaksanaan hubungan industrial sebagai berikut : 1 1. Pemerintah Mempunyai fungsi : a. Menetapkan kebijakan b. Memberikan pelayanan c. Melaksanakan pengawasan d. Melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. 2. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh Mempunyai fungsi : a. Menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya b. Menjaga ketertiban dan kelangsungan produksi c. Menyalurkan aspirasi secara demokratis d. Mengembangkan keterampilan dan keahliannya e. Ikut memajukan perusahaan f. Memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. 3. Pengusaha Mempunyai fungsi : a. Menciptakan kemitraan b. Mengembangkan usaha c. Memperluas lapangan kerja d. Memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan Sebagai subjek hukum yang sentral dalam pelaksanaan hubungan industrial adalah pemerintah, pengusaha, serta pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh. Ketiga unsur ini sangat menentukan sukses tidaknya pelaksanaan hubungan industrial dalam sistem ketenagakerjaan di negeri ini sehingga peran mereka haruslah benar-benar berada dalam situasi dan kondisi yang mendukung pelaksanaan hubungan industrial sesuai filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal yang mendasar agar pelaksanaan hubungan industrial dapat berjalan secara harmonis tentu perlu adanya kerja sama yang sinergis dari ketiga unsur tersebut. Jadi, jelas 1 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hlm. 11. tidak mungkin hubungan industrial bisa terlaksana dengan baik dan berhasil secara harmonis tanpa adanya sinergitas dari ketiganya, yakni pemerintah, pengusaha serta buruh. B. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur pengadilan, maksudnya yaitu pengadilan hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industria (UU PPHI). Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum (pengadilan negeri), yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Jadi, tegas lingkup kewenangannya sebatas menangani perselisihan hubungan industrial, bukan perselisihan yang lain, seperti perselisihan perusahaan dengan masyarakat, perselisihan perusahaan dengan pemerintah, kasus perdata umum atau pidana, dan sebagainya. 16 Dalam menghadapi perselisihan hubungan industrial sedapat mungkin para pihak menghindarkan penyelesaian melalui pengadilan, ada pepatah menang jadi arang, kalah jadi abu. Hal ini tidak saja terkait dengan: 17 1. Masalah waktu, tenaga, dan biaya. 2. Masaih adanya citra buram pengadilan di negeri ini. 3. Selalu adanya rasa ketidakpuasan terhadap putusan hakim dari pihak yang kalah untuk melakukan upaya hukum. 4. Belum lagi persoalan rumitnya eksekus putusan. Jadi, sedapat mungkin para pihak mengupayakan penyelesaian semaksimal mungkin di luar pengadilan, terutama secara bipartit. Secara bipartit maksudnya antara buruh dengan pengusaha maupun organisasi pengusaha sebagai sarana pendukung dalam pelaksanaan hubungan industrial. Pengadilan tingkat pertama berada di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan 16 Abdul Khakim, Op-cit, hlm. 97. 17 Loc-cit. 157

negeri di setiap ibu kota provinsi. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial menggunakan hukum acara perdata pada umumnya yang mengacu pada HIR/RBg, terkecuali yang sudah diatur khusus dalam UU PPHI. Pengaturan khusus dimaksud, antara lain, terdapat dalam Pasat 57, 58, 60, 63, 81, 83, 84, dan 87 UU PPHI. Terhadap putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri tidak ada upaya banding ke pengadilan tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jenjang penyelesaian yang berkepanjangan. Di samping itu, dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak lagi mengenal gugatan administrasi ke pengadilan tata usaha negara sebagaimana sistem lama yang membuat penyelesaian perselisihan semakin tidak menentu. Upaya hukum kasasi langsung diajukan ke Mahkamah Agung, itu pun dibatasi khusus terhadap putusan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan UU PPHI tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan proses pemeriksaan acara biasa pada pengadilan negeri (tingkat pertama) dengan rincian tahapan sebagai berikut : 18 1. Upaya perdamaian 2. Pembacaan isi gugatan 3. Jawaban tergugat 4. Replik 5. Duplik 6. Pembuktian 7. Pemeriksaan saksi-saksi 8. Kesimpulan (konklusi) dari Penggugat dan Tergugat 9. Putusan Pada saat sidang pertama dibuka majelis hakim berkewajiban menawarkan dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk kembati melakukan upaya damai atas perselisihan yang dihadapi, termasuk melalui upaya mediasi di pengadilan. Kewajiban hakim untuk mengupayakan perdamaian ini diatur dalam Pasal 130 ayat (1) HIR dan Pasal 154 ayat (1) RBg. Apabila tercapai perdamaian, dibuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak. Berdasarkan akta perdamaian inilah majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut menjatuhkan putusan yang isinya menghukum 18 Ibid, hlm. 133-137. para pihak yang beperkara melaksanakan isi perdamaian tersebut. Putusan perdamaian mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) karena putusan tersebut didasarkan pada perdamaian yang dibuat oleh para pihak yang beperkara, bukan karena pertimbangan atau penerapan hukum positif oleh majelis hakim. Oleh sebab itu, putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun. 19 Apabila tidak berhasil dan para pihak tetap berpendirian sebagaimana gugatan yang diajukan penggugat, acara dilanjutkan dengan pembacaan isi gugatan. Setelah isi gugatan dibacakan dan penggugat membenarkannya serta menyatakan tetap pada gugatannya, selanjutnya tergugat atau para tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban. Dalam praktik biasanya tidak dibacakan, tetapi dianggap dibacakan karena pihak tergugat jauh nan sebelum waktu persidangan sudah diberikan surat gugatan sehingga dengan sendirinya pihak tergugat sudah membaca dan memahami isi gugatan. Setelah pembacaan isi gugatan dilanjutkan dengan jawaban tergugat. Jawaban tergugat dilakukan dengan pokok materi yang benar-benar terkait dengan pokok materi gugatan, artinya setiap jawaban tergugat dibuat langsung menjawab atau menanggapi materi gugatan penggugat. Jangan sampai gugatannya berbunyi "A" dijawab "X" sehingga tidak match. Intinya, apakah tergugat setuju atau tidak dengan setiap pernyataan atau uraian dalam gugatan penggugat. Apabila tidak setuju, yang disanggah atau disangkal sesuai fakta atau peristiwa, dasar hukum yang relevan, dan alat-alat bukti yang menguatkan. Pasal 90 ayat (1) UU PPHI menentukan bahwa majelis hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli. Namun, penggunaan pasal ini tampaknya tidak populer di mata majelis hakim. Apakah ini persoalan kebiasaan dalam menangani perkara perdata umum atau karena majelis hakim tidak mau repot? Apabila mengacu pada hukum acara perdata, memang majelis hakim bersifat pasif. Artinya, majelis hakim tidak berkewajiban memanggil saksi atau saksi ahli. Masalah pemanggilan saksi atau saksi ahli adalah kepentingan para pihak sehingga para pihak sendiri yang harus berupaya 19 Ibid, hlm. 137. 158

menghadirkan saksi atau saksi ahli, bukan majelis hakim. Kehadiran Pasal 90 ayat (1) UU PPHI ini merupakan salah satu kekhususan beracara di pengadilan hubungan industrial sehingga dalam penerapannya hakim tidak harus terpaku dengan ketentuan hukum acara perdata. Secara faktual dapat dipahami bahwa pengusaha sebagai pihak yang paling banyak alat bukti, mulai dari surat perjanjian kerja, daftar hadir masuk kerja, daftar gaji, slip gaji, saksi (karyawan), dan bukti-bukti lain. Apalagi jika ada kesengajaan pengusaha dari sejak awal hubungan kerja, di mana surat perjanjian kerja pun sudah tidak diberikan kepada pekerja/buruh, demikian pula slip gaji, dan sebagainya. Apabila majelis hakim hanya terpaku dengan alat bukti dari pihak pekerja/buruh, tentu minim dan akan mengalami kesulitan untuk mencari atau menggali kejelasan duduk perkara yang diperselisihkan para pihak. Dari sinilah perlunya kewenangan majelis hakim berdasarkan Pasal 90 ayat (1) UU PPHI dilakukan, dari semula bersikap pasif menjadi aktif dalam mencari atau menggali agar suatu perselisihan atau perkara yang ditangani menjadi lebih terang. Acara kesimpulan (konklusi) merupakan tahapan penting di mana tahapan ini juga merupakan tindak lanjut dari upaya meyakinkan majelis hakim agar membuat putusan sesuai fakta-fakta yang dimiliki oleh pihak-pihak. Acara kesimpulan bukan merupakan keharusan, melainkan sudah menjadi kebiasaan dalam proses beracara dalam pengadilan. Tujuan kesimpulan (konklusi) untuk menyampaikan pendapat pihak-pihak kepada majelis hakim tentang terbukti atau tidaknya suatu gugatan sehingga dengan kesimpulan tentu yang dibuat secara jujur dan benar diharapkan mempermudah hakim untuk membuat putusan yang adil terhadap perkara yang sedang diperiksa. Persoalannya dalam praktik, terkadang para pihak membuat kesimpulan secara subjektif sehingga mempersulit hakim. Bahan-bahan untuk menyusun kesirnpulan diambil dari sejak acara jawab menjawab hingga tahap pembuktian. Isi kesimpulan memuat kesimpulan jawab menjawab, kesimpulan bukti-bukti tertulis, dan kesimpulan dari keterangan saksi/saksi ahli. Selain itu, isi kesimpulan juga memuat penilaian terhadap alat bukti secara lengkap, seperti penilaian terhadap alat bukti lawan. Untuk itu pada tahap pembuktian, terutama pada saat pemeriksaan saksi atau saksi ahli, para pihak perlu mencatat poin-poin penting untuk menjadi bahan penyusunan kesimpulan tersebut. Setelah kesimpulan dilanjutkan dengan putusan. Mengenai pengambilan putusan dalam UU PPHI telah diatur dalam Pasal 100 sampai Pasal 112, di antaranya : a. Dalam mengambil putusan, majelis hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan (Pasal 100 UU PPHI) Secara eksplisit sudah jelas bahwa pertimbangan putusan majelis hakim, di antaranya, berdasarkan hukum, tidak hanya dan terbatas dengan undang-undang sebagai hukum tertulis, tetapi juga hukum tidak tertulis. Kemudian, juga berdasarkan perjanjian, baik tertulis maupun tidak tertulis, kebiasaan yang sudah berlaku selama ini, dan yang prinsip juga berdasarkan keadilan. b. Putusan majelis hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 101 ayat (1) UU PPHI) Apabila tidak dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, konsekuensinya putusan majelis hakim menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. c. Majelis hakim pengadilan hubungan industrial wajib memberikan putusan selambat-lambatnya 50 hari kerja sejak sidang pertama (Pasal 103 UU PPHI) Telah penulis uraikan sebelumnya bahwa pembuktian dalam acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial termasuk dalam sistem pembuktian perdata yang berlaku sistem positif, maka yang dicari oleh hakim adalah suatu kebenaran formal. Akibatnya, putusan hakim mengedenankan penegakan hukum yang bersifat formal prosedural saja. Dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan telah diatur dalam Pasal 86, 96, dan Pasal 108 UU PPHI bahwa : - Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan diikuti perselisihan pemutusan hubungan kerja, 159

pengadilan hubungan industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan (Pasal 86 UU PPHI). - Apabila dalam persidangan pertama secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 96 ayat (1) UU PPHI). - Ketua majelis hakim pengadilan hubungan industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi (Pasal 108 UU PPHI). Dalam beracara di pengadilan hubungan industrial tidak berlaku upaya hukum banding pada pengadilan tinggi. Hal ini dimaksudkan agar proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan secara cepat, tepat, adil dan murah. Upaya kasasi langsung diajukan ke Mahkamah Agung, itupun dibatasi khusus terhadap putusan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan untuk putusan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir yang tidak dapat dimintakan banding ke Mahkamah Agung. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pelaksanaan hubungan industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memerlukan adanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang bersinergi antara pemerintah dan pengusaha serta buruh. Pemerintah harus mampu membuat dan mengawasi pelaksanaan peraturan yang dapat mensejaterahkan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh harus menjalankan pekerjaannya kewajiban dan ikut memajukan perusahaan. Sedangkan pengusaha harus menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha dan memberikan kesejahteraan kepada tenaga kerja/buruh. 2. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur pengadilan brdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum yakni pengadilan negeri di setiap ibukota provinsi, yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Terhadap putusan pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri tidak ada upaya banding ke pengadilan tinggi untuk mengurangi jenjang penyelesaian yang berkepanjangan. Upaya hukum kasasi langsung diajukan ke Mahkamah Agung, itupun dibatasi khusus terhadap putusan perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan untuk putusan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. B. Saran 1. Seyogianya pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh menjalin kerjasama yang baik dan harmonis serta bersinergi agar pelaksanaan hubungan industrial dapat terlaksana dengan baik. Karena tidak mungkin hubungan industrial dapat terlaksana dengan baik dan berhasil secara harmonis tanpa adanya sinergitas dari ketiganya. 2. Seyogianya dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada sidang pertama Majelis Hakim harus memberikan kesempatan kepada para pihak untuk melakukan upaya damai atas perselisihan yang dihadapi, termasuk upaya mediasi di pengadilan. 160

DAFTAR PUSTAKA Boulton J. Alan, Struktur Hubungan Industrial Di Indonesia Masa Mendatang, DSS Publishing, Jakarta, 2007. Djumadi, Kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) Dalam Hubungan Industrial Pancasila (HIP), PT Raja Grafindo, Jakarta, 1955. Fuady Munir, Teori Hukum Pembuktian Pidana Hukum Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Husni Laki, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015. Khakim Abdul, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015. Laki Husni, Hukum Penempatan TKI, Pascasarjana Universitas Brawijaua, Malang, 2010. Nurhadi, Peranan Keyakinan Hakim Dalam Memutus Perkara Perdata Ditinjau Dari Hukum Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Print Darwan, Menyusun Dan Menanggapi Gugatan Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Rahardjo Dawam, Tiga Faktor Menentukan Hubungan Industrial, Trade Union Center, Jakarta, 2003. Rambe Ropuan, Teknik Praktek Advokat, PT Grasindo, Jakarta, 2001. Shamad Yunus, Hubungan Industrial Indonesia, PT Sumberdaya Manusia, Jakarta, 1955. Simanjuntak J. Payman, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 1985. Soleh So on, Moral Penegak Hukum Di Indonesia Dalam Pandangan Islam, Agung Ilmu, Bandung, 2004. Subekti R., Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2008. Suwarto, Hubungan Industrial Dalam Praktek, Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia (AHII), Jakarta, 2005. Syahrani Riduan, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1999. Tjandra Surya, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial, Trade Union Centre, Jakarta, 2007. Yustisia Visi Tim, Hak dan Kewajiban Pekerja Kontrak, PT Visimedia Pustaka, Jakarta, 2016. Sumber Lain : Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 161