14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup, berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia dan makhluk lainnya berhubungan dengan tanah. Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya tetapi pada saat meninggalpun manusia memerlukan tanah untuk penguburannya. Pentingnya tanah bagi manusia dapat dilihat dari kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah. Berbagai aktivitas manusia selalu berhubungan dengan tanah dan dilakukan di atas tanah. Rumah sebagai tempat berlindung serta berbagai gedung kantor, pabrik, pusat perbelanjaan, sekolah dan sebagainya didirikan di atas tanah. Bahan makanan yang dibutuhkan oleh manusia juga ditanam di atas tanah. Manusia juga melakukan eksploitasi bahan tambang yang ada di dalam atau di bawah permukaan tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. 4 Dewasa ini kehidupan masyarakat telah membuat tanah menjadi komoditas dan faktor produksi yang dicari oleh manusia. Peningkatan jumlah penduduk disetiap negara yang sangat pesat telah meningkatkan permintaan akan tanah guna keperluan tempat tinggal dan usaha. Namun peningkatan permintaan tanah ini 4 Siahaan, Marihot Pahala, 2003, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Teori dan Praktik, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm 2.
15 tidak diikuti oleh peningkatan penyediaan tanah. Hal ini dapat dimengerti karena tanah bukan sumber daya yang dapat diperbaharui. Persediaan tanah sangat terbatas bahkan bisa berkurang luasnya dengan adanya erosi dan abrasi. Selain itu dapat terjadi perubahan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian, hal ini membuat tanah semakin meningkat nilainya dari waktu ke waktu. Selain sebagai salah satu sumber produksi, tanah bagi kebanyakan orang merupakan simbol status yang penting untuk menunjukkan keberadaan seseorang. Semakin banyak bidang tanah yang dimiliki seseorang maka menunjukkan bahwa orang tersebut semakin berada dan dihormati orang lain. Sebagai simbol status orang selalu menginginkan memiliki tanah yang luas, bidang tanah yang banyak dan berada pada kawasan strategis. Tanah sebagai simbol status ini merupakan salah satu motif yang mendorong orang untuk memiliki tanah. 5 Selain apa yang dipaparkan di atas, mayoritas orang ingin memiliki dan menguasai tanah karena ingin memenuhi kebutuhan hidup. Bagi kebanyakan manusia tanah merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi, selain makanan dan pakaian. Kata papan sebagai satu dari tiga kebutuhan dasar manusia tentunya tidak hanya menunjuk pada bangunan rumah sebagai tempat tinggal tetapi juga dimaksudkan atas tanah dimana bangunan itu berdiri. Tanah merupakan komoditas pemenuhan kebutuhan hidup yang harus dimiliki agar hidup lebih sejahtera. Secara psikologis manusia, terutama sebuah keluarga, tidak akan merasa tenang sebelum memiliki sendiri tanah dan bangunan rumah sebagai tempat bernaung. 5 Ibid, hlm 3.
16 Tanah begitu berharga, manusia selalu berupaya untuk mendapatkannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan membuka hutan atau ladang, membeli dari pemilik tanah yang mau menjual, melakukan tukar menukar, dan upaya lain. Selain itu orang tua yang memiliki anak yang telah berkeluarga akan memberikan tanah yang dimilikinya untuk modal anaknya mandiri. Hal ini dilakukan orang tua karena ia memahami bahwa tanah penting bagi anaknya. Perbuatan diatas mengakibatkan pemilikan dan hak penguasaan tanah beralih dari satu pihak kepada pihak lain. 6 Selain tanah, bangunan juga merupakan benda yang penting bagi manusia. Bangunan yang berbentuk rumah tinggal memberikan manfaat bagi pemiliknya dengan melindunginya dari panas dan hujan, serta tempat beraktivitas, bangunan kantor, pabrik, mal dan sebagainya sangat penting bagi usaha dan aktivitas kerja; bangunan rumah sakit penting untuk merawat pasien; bangunan sekolah penting untuk tempat belajar dan pengembangan ilmu dan sebagainya. Manusia membangun berbagai bangunan, baik yang produktif dan tidak produktif untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Bangunan juga memberikan status sosial bagi pemiliknya sehingga pemilik bangunan berupaya membangun dengan bentuk, material dan konstruksi yang unik sehingga membedakannya dengan bangunan milik orang lain. Perkembangan ilmu dan teknologi membuat orang dapat mendirikan bangunan mulai dari bentuk dan konstruksi yang sederhana sampai bangunan dengan bentuk dan konstruksi yang mutakhir. Kelangkaan tanah khususnya di kota besar, telah membuat manusia mengembangkan teknologi pembangunan 6 Ibid, hlm 5.
17 yang membuat bangunan tidak lagi berkembang dengan arah horizontal tetapi arah vertikal, ditandai dengan banyaknya bangunan tinggi berlantai banyak yang menjulang tinggi ke langit. Selain itu manusia juga mengembangkan teknologi pembangunan yang tidak hanya di atas permukaan tanah tetapi juga dibawah permukaan tanah. Ini semua dilakukan untuk mengoptimalkan bangunan sebagai benda yang menjadi alat pemenuhan kebutuhan aktivitas manusia. 7 Sebagai benda yang penting bagi manusia, tanah dan bangunan menjadi lebih bernilai karena dapat dialihkan dari pemiliknya kepada pihak lain yang menginginkannya. Umumnya ada pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh pihak yang menginginkan tanah dan bangunan tersebut. Tanah dan bangunan dapat beralih dan dialihkan oleh pemiliknya kepada orang lain yang menginginkannya. Peralihan pemilikan tanah dan bangunan berhubungan erat dengan ketentuan hukum untuk memberikan kepastian hak bagi seseorang yang memperoleh tanah dan bangunan. Salah satu bentuk peralihan hak terjadi karena seorang pemilik tanah dan bangunan meninggal dunia sehingga pemilikan tanah dan bangunan tersebut dengan sendirinya beralih menjadi milik ahli warisnya, dengan kata lain peralihan hak itu terjadi karena adanya peristiwa hukum, sebaliknya pemilikan yang dialihkan dengan sengaja disebut perbuatan hukum seperti jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan/hak pakai di atas hak milik, pemberian hak tanggungan dan pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Peralihan hak atas tanah dan bangunan berkaitan dengan dua aspek, yaitu pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima peralihan hak. Kedua belah pihak 7 Ibid, hlm 6
18 dihadapkan pada ketentuan, hak dan kewajiban sehubungan dengan peralihan hak tersebut. Pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dapat berupa orang pribadi maupun badan yang sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dapat memiliki suatu hak atas tanah dan bangunan. Peralihan hak atas tanah dan bangunan sangat berkaitan dengan kepastian hukum dan ditandai oleh adanya bukti. Bukti ini dapat berupa akta jual beli, hibah, fatwa waris, surat keputusan pemberian hak atas tanah dan bangunan dan lainlain. Untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum pemilikan tanah dan bangunan setiap peralihan hak harus dilakukan sesuai dengan hukum yang mengatur setiap peralihan hak. Sesuai dengan hukum, perolehan hak sebagai hasil peralihan hak harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Selanjutnya perolehan hak tersebut harus didaftarkan pada instansi yang berwenang, yaitu kantor pertanahan setempat. Dengan demikian, hak atas tanah dan bangunan secara sah ada pada pihak yang memperoleh hak tersebut dan dapat dipertahankan terhadap semua pihak. 8 Begitu tingginya nilai tanah dan kemanfaatannya, maka sudah sewajarnya perolehan hak atas tanah dan bangunan diimbangi dengan adanya kewajiban membayar pajak terhadap perolehan hak atas tanah tersebut. Pemerintah telah mengatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, dimana setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan wajib membayar pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dikenal dengan nama BPHTB. 8 Ibid, hlm 7.
19 BPHTB secara efektif diberlakukan di Indonesia sejak tanggal 1 Juli 1998 berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB. Undang-Undang BPHTB menggantikan Bea Balik nama atas Pemindahan Harta Tetap berdasarkan Ordonansi Bea Balik Nama menurut Staatsblad 1924 Nomor 291. Perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan baru dapat dibuktikan apabila dibuat oleh PPAT sebagaimana tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 9 Perbuatan hukum yang dimaksud adalah jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan dan pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Di luar delapan macam akta tersebut, PPAT tidak berwenang membuatnya. PPAT hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti bukti setor pembayaran pajak. Apabila hal tersebut tidak dilakukan dan PPAT menandatangani akta peralihan hak tersebut, PPAT akan memperoleh sanksi administratif berupa denda 9 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 2 ayat (1)
20 sebesar Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Mengingat besarnya jumlah denda yang dikenakan kepada PPAT apabila melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini, maka PPAT sangat berkepentingan sebelum menandatangani akta, PPAT telah menerima bukti pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh wajib pajak. Hal inilah yang menyebabkan PPAT terkadang membantu wajib pajak yang menjadi kliennya untuk membayar dan melaporkan pajak BPHTB mereka, walaupun sebenarnya itu bukan tugas dan kewenangan PPAT. Terkadang tidak hanya membantu membayarkan pajak BHTB tersebut, tetapi juga membantu menghitung pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Sistem pemungutan pajak yang diberlakukan pada BPHTB adalah sistem self assesment yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang berbunyi : wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Keterangan tersebut lebih diperjelas dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB-BPHTB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan
21 diterbitkannya surat ketetapan pajak. Dalam hal ini terlihat jelas wajib pajak dipercayakan untuk menghitung sendiri besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayarkan sebagai akibat adanya perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dengan demikian pembayaran BPHTB tidak menunggu tagihan dari Kantor Pelayanan Pajak. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010 menandai reformasi perpajakan daerah dan retribusi daerah di Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini. BPHTB baru diterapkan sebagai pajak kabupaten/kota berdasarkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009, pemerintah kabupaten/kota diharapkan dapat segera membahas dan menerbitkan peraturan daerah mengenai BPHTB sebagai dasar hukum pemungutan BPHTB. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB merupakan kewenangan daerah yang pengaturannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Oleh sebab itulah Pemerintah Kabupaten Barito Kuala menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan yang kemudian untuk pelaksanaannya ditetapkan Peraturan Bupati Barito Kuala Nomor 30 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah
22 Dan Bangunan sebagai landasan hukum operasional dan teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan BPHTB di Kabupaten Barito Kuala. Kabupaten Barito Kuala merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan, ibu kota kabupaten adalah Marabahan, dengan jarak tempuh dari Banjarmasin ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan ke Marabahan kurang lebih 1 (satu) jam 30 (tiga puluh) menit, dengan luas wilayah 3.284 Km 2 dan jumlah penduduk sekitar 303.609 jiwa. Dipilihnya Kabupaten Barito Kuala karena menurut penulis Kabupaten tersebut merupakan Kabupaten yang masih terus berkembang dan melakukan pembangunan baik struktur maupun infrastruktur dan peralihan hak di daerah Kabupaten Barito Kuala intensitasnya cukup tinggi. Pemungutan pajak BPHTB pada saat ini di Kabupaten Barito Kuala dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang BPHTB tersebut, sepanjang pengetahuan penulis tetap berjalan seperti sebelum diundangkannya peraturan tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB (SSPD BPHTB) yang harus divalidasi pada fungsi pelayanan di Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kabupaten Barito Kuala. Prosedur Penelitian SSPD BPHTB merupakan proses verifikasi kelengkapan dokumen dan kebenaran data terkait objek pajak yang tercantum dalam SSPD BPHTB. Prosedur ini dilakukan setelah wajib pajak melakukan pembayaran BPHTB terutang melalui Bank Rakyat Indonesia Cabang Marabahan. Jika semua kelengkapan dan kesesuaian data objek pajak terpenuhi maka fungsi pelayanan akan menandatangani SSPD BPHTB tersebut.
23 PPAT yang bertugas dan berwenang membuat akta, juga menghadapi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut. Sehingga menghambat pelayanan yang diberikan oleh PPAT kepada kliennya, yang berakibat terlambatnya proses peralihan hak atas tanah yang seharusnya bisa lebih cepat dan selesai dalam waktu relatif lebih singkat, oleh karena itu PPAT juga melakukan upaya-upaya untuk mengatasi hal-hal yang menjadi hambatan dalam pelayanan kepada klien yang datang ke kantornya. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DI KABUPATEN BARITO KUALA DALAM PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN. B. Perumusan masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Kabupaten Barito Kuala dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 2. Apa hambatan yang dihadapi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut. 3. Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan peraturan daerah tersebut.
24 C. Keaslian penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan melalui perpustakaaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tesis dengan judul Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Kabupaten Barito Kuala Dalam Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, belum pernah diteliti atau harus dinyatakan tegas bedanya dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan, mungkin terdapat kemiripan judul dengan tesis lain namun permasalahan yang dikaji berbeda, tesis-tesis tersebut antara lain : 1. Tesis atas nama Enyda dengan judul Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sebagai Mitra Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam Pendaftaran Tanah, yang ditulis tahun 2010 pada program studi S2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada. 10 Rumusan masalah dari tesis tersebut adalah : 1. Bagaimana peranan PPAT sebagai mitra BPN dalam melaksanakan pendaftaran tanah. 2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh PPAT sebagai mitra BPN untuk pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kota Padang. 3. Apakah usaha-usaha yang dilakukan oleh PPAT dalam mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kota Padang. 11 10 Enyda, 2010, Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sebagai Mitra Badan Pertanahan Nasional (BPN) Dalam Pendaftaran Tanah, Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 11 ibid
25 2. Tesis atas nama Mafruchah Mustikowati dengan judul Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pelaksanaan Kebijakan Landreform di Kabupaten Temanggung, yang ditulis tahun 2008 pada program studi S2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada. Rumusan masalah dari tesis tersebut adalah : a. Bagaimanakah peranan PPAT dalam mencegah kepemilikan tanah yang melebihi batas maksimal dan kurang dari batas minimal, dan kepemilikan tanah absentee di Kabupaten Temanggung. b. Faktor apa yang mendorong dan menghambat peranan PPAT dalam mencegah kepemilikan tanah yang melebihi batas maksimal dan kurang dari batas minimal, dan kepemilikan tanah absentee di Kabupaten Temanggung. 12 D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini penulis mengharapkan manfaat antara lain : 1. Manfaat teoritis atau keilmuan diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam bidang keilmuan yang didalami khususnya dibidang kenotariatan. 2. Manfaat Praktis diharapkan dapat menyelesaikan persoalan lain yang sejenis terutama bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu sendiri, atau bagi PPAT di daerah lain di Indonesia. 3. Bagi pemerintah, akademisi dan pembuat kebijakan pajak secara khusus dengan melalui hasil penelitian ini dapat menambah bahan kajian, baik secara 12 Mustikowati, Mafruchoh, 2008, Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pelaksanaan Landreform di Kabupaten Temanggung, Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
26 teori maupun praktik sehingga membantu dalam membuat peraturan yang berkaitan dengan pajak BPHTB. E. Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Untuk memahami dan memperoleh gambaran secara jelas Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Kabupaten Barito Kuala dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 2. Mengetahui hambatan yang dihadapi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut. 3. Mengetahui upaya-upaya apa yang telah dilakukan PPAT dalam mengatasi hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan peraturan daerah tersebut.