BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak bumi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap ekonomi dunia hingga saat ini. Persediaan akan panas, cahaya, dan transportasi bergantung terhadap minyak bumi dan hingga saat ini belum ada sumber energi lain yang dapat menggantikan keberadaan minyak bumi yang terintegrasi secara luas. Lebih jauh lagi, ekonomi global saat ini bergantung terhadap kemampuan memperoleh energi yang dibutuhkan, dan tidak dapat dipungkiri bahwa minyak bumi merupakan kontributor utama dalam permintaan energi ini. Hingga saat ini, tidak ada sumber energi yang tersedia yang bisa menyaingi minyak bumi, yang dapat mengubah dunia, terutama untuk konsumen energi tinggi yang mengandalkan negara dengan cadangan minyak bumi yang besar. Secara tradisional, strategi produksi minyak bumi mengikuti urutan recovery primer, recovery sekunder, dan recovery tersier. Recovery primer menggunakan energi alami dari sumur untuk menggerakkan minyak bumi berpindah dari batuan berpori ke sumur produksi (Craft et al., 1991). Rata-rata sekitar 10-20% OOiP (Original Oil in Place) dapat dikuras dari recovery primer ini. Recovery sekunder merupakan proses di mana minyak bumi dapat berpindah dengan diinjeksikan dengan larutan seperti gas atau air. Diperkirakan sekitar 30-50% OOiP dapat diproduksi melaui sumur yang telah dikembangkan dibawah metode recovery primer dan sekunder (Green and Willhite, 1998). Minyak bumi yang tersisa masih terjebak di dalam pori batuan. Hal ini menyebabkan permukaan, gaya antarmuka, kekentalan, dan heterogenitas sumur menghasilkan efisiensi perpindahan minyak bumi yang buruk (Green and Willhite, 1998). Adanya fakta-fakta ini menyebabkan penggunaan berbagai metode EOR terus berkembang. Metode-metode EOR menjanjikan recovery
dengan porsi yang signifikan dalam pengambilan minyak bumi setelah metodemetode yang konvensional dilakukan. Fakta menunjukan bahwa dari data tahun 2010 (Trimulyo, S. W. et al., 2010), diperkirakan terdapat 62% atau setara dengan 42,8 miliar barel dari OOiP (Original Oil in Place) masih tersimpan di dalam reservoir setelah tahap pengurasan primer dan sekunder. Hal yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana caranya untuk memperoleh kembali sisa minyak bumi yang masih tersimpan di dalam reservoir, baik pada sumur yang relatif masih baru ditemukan ataupun yang sudah tua. Untuk itu pegembangan metode dalam EOR mutlak diperlukan. Rencana untuk meningkatkan produksi minyak bumi melalui metodemetode EOR merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh industri. EOR tidak hanya akan memperpanjang hidup sumber energi tidak terbarukan ini, tetapi juga menunda penurunan produksi minyak bumi dunia dan pengurangan dalam suplai energi. Melihat begitu pentingnya potensi EOR, sebagian besar perusahaan minyak mulai mengembangkan proses EOR. Chemical Flooding, yang telah dikembangkan sejak awal tahun 1950, merupakan metode penting untuk EOR yang meliputi alkaline flooding, alkalisurfactant flooding, dan alkali-surfactant-polymer flooding. Surfactant flooding merupakan proses EOR yang dilakukan untuk menguras minyak bumi residu setelah proses recovery primer dan sekunder tidak lagi efektif. Konsep recovery minyak bumi dengan metode surfactant flooding diperkenalkan tahun 1929 saat De Groot mengklaim paten bahwa surfaktan yang larut dalam air dapat membantu meningkatkan recovery minyak bumi (Groot, 1929). Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara air garam dengan minyak bumi sisa. Penggunaan surfaktan yang tepat dapat secara efektif menurunkan tegangan antarmuka menghasilkan peningkatan yang sesuai dalam bilangan kapiler (Berger & Lee, 2006). Keberhasilan dari surfactant flooding bergantung pada berbagai faktor seperti formulasi, biaya produksi surfaktan, ketersediaan bahan
kimia, dan harga minyak di pasaran. Sistem EOR memungkinkan surfaktan dapat digunakan dalam beberapa formulasi untuk meningkatkan produksi minyak bumi yaitu dengan kombinasi polimer dan alkali. Umumnya, surfaktan yang telah banyak digunakan untuk EOR berbahan dasar dari petroleum. Fakta ini bertolak belakang dengan latar belakang sebelumnya, di mana produksi minyak bumi harus ditingkatkan namun minyak bumi itu sendiri digunakan sebagai bahan dasar surfaktan yang juga digunakan untuk mengambil minyak bumi. Hal ini juga berpengaruh terhadap harga minyak mentah dunia. Penggunaan surfaktan yang berbahan dasar minyak bumi ini juga akan merusak lingkungan di sekitar sumur karena sifatnya yang sukar untuk terdegradasi. Dilihat dari segi harganya, surfaktan jenis ini bisa mencapai jutaan rupiah perliternya, bergantung juga dengan harga minyak mentah dunia. Sifat beberapa surfaktan yang berbasis petroleum adalah tidak tahan pada air formasi dengan tingkat kesadahan dan salinitas tinggi, sehingga surfaktan jenis ini menggumpal saat diaplikasikan pada sumur-sumur minyak Indonesia yang sebagian besar memiliki karakteristik salinitas 5 10 3-3 10 4 ppm dan kesadahan yang tergolong tinggi (>500 ppm), sehingga dikhawatirkan merusak batuan formasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dibutuhkan surfaktan dengan bahan dasar yang bukan berasal dari minyak bumi, melainkan dari bahan dasar lain yang dari segi bahan bakunya berlimpah dan mudah didapatkan. Dilihat dari segi harga, surfaktan tersebut lebih murah dan tidak terpengaruh dengan fluktuasi harga minyak dunia karena surfaktan dibutuhkan dalam jumlah besar untuk proses recovery minyak bumi dari sumur. Apabila dilihat dari segi keramahan lingkungan, surfaktan tersebut juga harus mudah terdegradasi dan tidak merusak lingkungan. Surfaktan berbasis minyak nabati merupakan salah satu alternatif pengganti surfaktan berbasis petroleum. Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik berbasis minyak nabati, dalam hal ini minyak sawit, yang mengandung asam lemak sampai C 18 sehingga ramah lingkungan dan bersifat
biodegradable. Biaya proses produksinya juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi surfaktan berbasis petroleum. Biaya proses produksi surfaktan berbasis petroleum sebesar 928 dollar/ton. Sedangkan MES sebesar 525 dollar/ton (Watkins, 2001). Pemanfaatan minyak sawit menjadi surfaktan MES dapat dilakukan mengingat kandungan asam lemak C 16 dan C 18 yang terkandung pada asam palmitat, asam stearat, dan asam oleat mempunyai kemampuan deterjensi yang sangat baik (Watkins, 2001). Bila menggunakan minyak sawit sebagai bahan dasar dalam pembuatan surfaktan MES, maka Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan surfaktan jenis ini. Seperti yang telah diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara pemasok minyak sawit terbesar di dunia. Kebijakan pemerintah mengharuskan 60% CPO harus diolah menjadi produk turunannya di dalam negeri. Sementara 40% masih boleh diekspor dalam bentuk mentah. Bila perusahaan minyak sawit dan perusahaan minyak teliti dalam melihat potensi pengembangan surfaktan MES yang selanjutnya digunakan dalam proses Enhanced Oil Recovery, maka 40% merupakan angka yang cukup besar. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mempelajari kompatibilitas surfaktan Na-MES terhadap garam KCl 2. Mempelajari kestabilan emulsi surfaktan Na-MES beserta konsentrasi optimumnya 3. Mempelajari kemampuan surfaktan campuran Na-MES dan tween 20 dalam membentuk emulsi minyak dalam air 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan baru bagi perusahaan minyak sawit dalam mendiversifikasi produk CPO turunannya menjadi surfaktan Na-MES. Selain itu diharapkan juga penelitian ini dapat memberikan informasi kinerja surfaktan Na-MES dari sisi kompatibilitasnya terhadap salinitas tinggi,
kestabilan emulsi yang dapat dicapai, dan efektivitasnya dalam membentuk emulsi minyak dalam air (O/W).