BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III MENYURUHLAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PASAL55 KUHP DAN MENURUT HUKUM ISLAM. A. Delik Menyuruh lakukan Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

1. PERCOBAAN (POGING)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. komponen yaitu Struktur, substansi dan kultur hukum. 2 Ketiga komponen tersebut

BAB II LANDASAN TEORI. terlebih dahulu diuraikan pengertian Berdasarkan literatur hukum pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. A. Tindak Pidana Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana

BAB II PEMBAHASAN. KUHP. Berikut bunyi pasal-pasal mengenai penyertaan dalam KUHP: 1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

SKRIPSI TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB II TINJAUAN UMUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi dalam

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

I. TINJAUAN PUSTAKA. pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kualitas dan masa depannya sebab anak berperan sebagai penentu masa depan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III HUBUNGAN HUKUM TURUT SERTA (DEELMENING) MEMBANTU DALAM TINDAK PIDANA PERJUDIAN

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. ke rekening pribadinya, agar mendapat previllege dalam pelayanan publik. Kedua

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB III TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENYEBABKAN KEMATIAN PADA JANIN DALAM KUHP

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB II LANDASAN TEORI. hubungan antara variabel dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. dengan cara memerinci hubungan sebab-akibat yang terjadi.

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB I PENDAHULUAN. pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus. pembunuhan, dan tahun 2015 menjadi 48 kasus pembunuhan.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN A. Ketentuan tentang Remisi menurut Keppres RI No 174 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Pasal 378, orang awam menyamaratakan Penipuan atau lebih. (Pasal 372 KUHPidana) hanya ada perbedaan yang sangat tipis.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan

BAB III REMISI DALAM KEPPRES RI NO 174 TAHUN maupun yang sudah tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, fungsi

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB I PENDAHULUAN. pihak-pihak tertentu yang dilakukan secara bersama-sama, menjadikan bentuk

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materil), serta tidak ada alasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENCEMARAN NAMA BAIK AKIBAT TRIAL BY THE PRESS. 3.1 Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

ABSTRAK ACHMAD IMAM LAHAYA, Nomor Pokok B , Tinjauan Yuridis Terhadap Penyertaan Tindak

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

I. TINJAUAN PUSTAKA. Permasalahan dalam hukum pidana adalah mengenai perbuatan pidana, pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Hukum Islam (Studi Perbandingan)

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jika kita lihat buku II tentang Kejahatan dan III tentang Pelanggaran KUH Pidana maka dijumpai beberapa rumusan perbuatan beserta sanksinya yang dimaksud untuk menunjukkan perbuatan mana yang dilarang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang. Jika hal ini kita kaitkan dengan tindak pidana pembunuhan berencana yang ada dalam Pasal 340 KUH Pidana yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Kejahatan ini dinamakan pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (moord). Boleh dikatakan ini adalah pembunuhan biasa (doadslag). Dalam Pasal 338 KUH Pidana akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu. Direncanakan terlebih dahulu (Voorbedachterade) yaitu antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pelaku untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah 1

pembunuhan itu dilakukannya. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaiknya juga tidak boleh terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempo itu si pelaku dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu. Pasal 55 KUH Pidana merupakan pasal yang tercantum dalam Buku I KUH Pidana yang mengatur tentang turut serta atau deelneming, hal ini dapat berlaku terhadap tindak pidana yang melanggar buku II dan III KUH Pidana (Kejahatan dan pelanggaran). Penyertaan atau deelneming tidak ditentukan secara tegas dalam KUHP, mereka berpendapat penyertaan adalah suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan dan dapat pula penyertaan terjadi bersamaan dilakukannya perbuatan itu. Menurut Adami Chazawi pengertian penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun secara fisik dengan melakukan masingmasing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. 1 Pada hakekatnya pengertian tentang penyertaan atau deelneming tidak ditentukan secara tegas di dalam KUHP. Adapun pengertian dari istilah pembunuhan adalah suatu tindak pidana kejahatan terhadap jiwa atau nyawa manusia. 1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 67 2

Pengertian penyertaan pembunuhan dapat diartikan turut sertanya seorang atau lebih dalam melakukan suatu tindak pidana kejahatan terhadap jiwa atau nyawa manusia yang dilakukan dengan tujuan dan waktu yang sama. Dasar hukum dari delik penyertaan terdapat dalam KUHP buku ke-1 bab V Pasal 55 dan Pasal 56, sedangkan mengenai sanksi delik penyertaan terdapat dalam Pasal 57 KUHP. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah: Pasal 55 KUHP: (1) Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana; ke-1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan itu. ke-2. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan. (2) Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu. Pasal 56 KUHP: Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana: ke-1. Orang yang dengan sengaja membantu wwaktu kejahatan itu dilakukan. ke-2. Orang yang dengan sengaja memberi kasempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. Pasal 57 KUHP: (1) Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan dikurangi sepertiganya, bagi pembantu. (2) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau dengan pidana seumur hidup, maka dijatuhkanlah pidana penjara yang selamalamanya lima belas tahun. (3) Pada menentukan pidana hanya diperhatikan perbuatan yang sengaja dimudahkan atau dibantu oleh pembantu itu, serta dengan akibat perbuatan itu. 3

Pasal-pasal tersebut merupakan dasar hukum yang menjadi acuan hakim untuk menentukan kedudukan pelaku dalam melakukan tindak pidana dan sanksi yang akan dikenakan terhadap pelaku tindak pidana penyertaan. Hakim dalam menentukan sanksi pidana terlebih dulu harus melakukan penafsiran pasal-pasal tersebut, pelaku termasuk kategori apa, dan kemudian dapat mengambil putusan sanksi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas maka delik penyertaan dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu: 1. Yang Melakukam Perbuatan (dader, plegen) Pengertian yang melakukan perbuatan (pleger) adalah: orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud. 2 Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. 3 Menurut Pasal 55 KUH Pidana, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu, jika dilihat dari segi perbuatan maka mereka berdiri sendiri dan perbuatan mereka hanya memenuhi sebagian dari syarat-syarat tindak pidana. Terdapat perbedaan 2 Ibid, hal. 82. 3 Ibid, hal. 83. 4

antara pleger dengan Pembuat Tunggal (dader), perbedaan itu adalah seorang pleger masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal satu orang, baik secara psikis atau secara fisik. Jadi, seorang pleger memerlukan sumbangan perbuatan peserta lain untuk mewujudkan tindak pidana. Akan tetapi perbuatan tersebut haruslah sempurna sehingga perbuatan itu tidak hanya untuk menentukan terwujudnya tindak pidana yang dituju tersebut. 4 2. Yang Menyuruh Melakukan (doenplegen, medelijke dader) Menurut Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya. 5 Wujud dari penyertaan (deelneming) yang pertama disebutkan dalam Pasal 55 KUHP ialah menyuruh melakukan perbuatan (doenplegen). Hal ini terjadi apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana yang dilarang oleh undang-undang. Dalam undang-undang tidak menerangkan secara tegas mengenai apa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan, akan tetapi banyak ahli hukum mengambil pengertian dan syarat orang yang menuruh melakukan yang merujuk pada ketetapan MvT WvS Belanda yang menyatakan: Yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat 4 Ibid, hal. 78. 5 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hal. 49. 5

dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan. 6 Menurut keterangan MvT tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jelas orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana dikarenakan adanya unsurunsur yang menunjukkan adanya daya paksa terhadap orang yang disuruh. Menurut Hazewinkel-Suringa dan beberapa penulis terkemuka seperti Simons, Van Hamel dan Trapman, bahwa yang menyuruh melakukan dapat dipersalahkan menyuruh melakukan suatu tindak pidana apabila padanya terdapat semua unsur dari tindak pidana. 7 3. Yang Turut Serta Melakukan (medeplegen, mede dader) Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (mede plegen), oleh MvT WvS Belanda diterangkan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakuakn suatu tindak pidana. Keterangan ini belum menberikan penjelasan yang tuntas, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan. 8 Begitu halnya menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa dalam KUHP sendiri tidak ada penegasan secara jelas mengenai maksud dari turut serta melakukan (mede plegen). Adapun Martiman Prodjohamidjoyo memberikan pengertian yang dimaksud dengan yang turut serta melakukan (mede plegen) adalah apabila 6 Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 85 7 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 108 8 Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 96. 6

beberapa orang pelaku perserta bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 9 Perbedaan pendapat mengenai maksud yang turut serta melakukan terdiri dua golongan; pandangan pertama yang bersifat subjektif dengan menitik beratkan pada maksud dan tabiat dari para turut serta pelaku (mede dader). Sedangkan pendapat yang kedua merupakan pendapat yang bersifat objektif yang lebih melihat pada wujud dari perbuatan dari para turut serta pelaku, wujud tersebut harus sama sengan rumusan tindak pidana dalam undang-undang (delicts omschrijving). Masing-masing pendapat ini memiliki pandangan yang berbeda dalam menafsirkan maksud dari turut serta melakukan. Turut serta pada mulanya disebut dengan turut berbuat (meedoet) yang berarti bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama memenuhi rumusan tindak pidana, ini merupakan pandangan yang bersifat sempit yang dianut oleh Van Hamel dan Trapman yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua unsur tindak pidana dan pandangan ini condong pada pandangan yang bersifat obyektif. Adapun pandangan yang bersifat luas tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak pidana, sudah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana asalkan adanya unsur kesengajaan yang sama dengan kesengajaaan pembuat pelaksana. Pandangan ini condang pada pandangan yang bersifat subjektif. 10 9 Martiman Prodjohamidjoyo, Op.Cit, hal. 55. 10 Adami Chazawi, Op.Cit, hal. 97. 7

4. Yang Membujuk Melakukan Perbuatan (Uitlokker) Orang yang membujuk melakukan perbuatan merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan suatu tindak pidana. Orang ini menempati posisi yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Karena dia memiliki peran akan dilaksanakan atau tidaknya suatu tindak pidana selain orang yang melakukan dan orang yang menyuruh melakukan tindak pidana. Yang dimaksud dengan yang membujuk melakukan tindak pidana atau disebut pembujuk adalah setiap perbuatan yang menggerakkan yang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Orang yang sengaja membujuk melakukan tindak pidana disebut juga auctor intellectualis, seperti pada orang yang menyuruh melakukan tindak pidana tidak mewujudkan tindak pidana secara meteriel tetapi melalui orang lain. 11 Menurut Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP dirumuskan bahwa penganjur atau pembujuk adalah orang yang dengan pemberian, upah, perjanjian, penyalah gunaan kekuasaan, paksaan ancaman dan tipu daya atau karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan dengan sengaja menganjurkan orang lain melakukan perbuatan. Dari rumusan Pasal 55 KUHP tersebuat diatas dapat dirumuskan bahwa adanya daya upaya untuk terjadinya penganjuran dalam melakukan perbuatan tindak pidana, daya upaya tersebut menurut Moeljatno adalah: 1. Memberi atau menjanjikan sesuatu. 2. Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat. 11 Moeljatno, Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 2003. hal. 52. 8

3. Dengan kekuasaan. 4. Memakai ancaman atau penyertaan. 5. Memberi kesempatan, sarana dan keterangan. 12 Seperti diketahui bahwa dalam melakukan sesuatu perbuatan tindak pidana khususnya tindak pidana pembunuhan adakalanya dilakukan oleh beberapa orang, sehingga dalam melakukan perbuatan tersebut mungkin ada pihak yang disuruh dan ada pihak yang menyuruh, ada yang membujuk dan ada yang dibujuk untuk melakukan. Untuk membedakan hal ini bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, tetapi harus meneliti serta harus mengetahui peristiwa tersebut mulai dari latar belakang, cara melakukan, oknum pelaku serta akibatnya dan lain sebagainya. Tetapi walaupun demikian di dalam kenyataan di praktek masih sering timbul masalah atau pertentangan pendapat tentang keempat jenis deelneming tersebut. Di samping itu mengenai sanksi pidananya terhadap pelaku deelneming ini sering menimbulkan masalah bagi praktisi hukum yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat. Dengan berbagai ragam perbedaan pendapat atau penafsiran tentang turut serta yang mengakibatkan timbulnya masalah di masyarakat. Sebagai bahan kajian dalam penelitian ini maka diajukan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 292 /Pid.B/2014/PN.Mdn, dimana terdakwa diduga melakukan tindak pidana Yang melakukan Pembunuhan sebagaimana dalam dakwaan yang diajukan berdasarkan Pasal 338 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1)Ke-1 KUHP. 12 Ibid, hal. 55. 9

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang "Analisis Hukum Terhadap Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Turut Serta Melakukan Pidana Pembunuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 292/Pid.B/2014/Pn.Mdn)". 1.2. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah yang diajukan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana bagi pelaku turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan. 2. Upaya penegakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana bagi pelaku turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan. 1.3. Pembatasan Masalah Disebabkan keterbatasan waktu, dana dan juga pengetahuan maka penelitian ini dibatasi pada bidang sanksi pidana bagi pelaku turut serta dalam perbuatan tindak pidana pembunuhan dengan penelitian pada Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 292/Pid.B/2014/Pn.Mdn. 1.4. Perumusan Masalah Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya skripsi ini untuk mempermudah pembahasan perlu dibuat suatu permasalahan. Adapun masalahmasalah pokok yang dimaksud dalam skripsi ini adalah seperti yang disebutkan di 10

bawah ini : 1. Bagaimana faktor penyebab terjadinya tindak pidana bagi pelaku turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan? 2. Bagaimana upaya penegakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana bagi pelaku turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan? 1.5. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui adanya suatu bentuk deelneming dalam suatu tindak pidana pembunuhan. 2. Untuk mengetahui sanksi pidananya atau pertanggungjawaban pidananya bagi mereka yang turut serta atau deelneming dalam hal pembunuhan dan sanksi pidananya terhadap orang yang dibujuk melakukan pembunuhan. Untuk setiap permasalahan-permasalahan yang diteliti atau dibahas sudah tentu mempunyai manfaat. Demikian juga halnya dengan skripsi ini, hal mana dapat penulis kemukakan, bahwa manfaat penulisan skripsi ini antara lain : 1. Sesuai dengan kewajiban bagi setiap mahasiswa yang duduk di tingkat akhir pada Fakultas Hukum Universitas Medan Area, untuk membuat suatu karya ilmiah berupa skripsi yang akan dipertahankan di depan penguji guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. 2. Ingin mengetahui lebih jauh apakah latar belakangnya sehingga seseorang melakukan pembunuhan, karena alasan-alasan tersebut di ataslah penulis membahasnya. 11

3. Penulisan ini juga ditujukan untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi almamater Fakultas Hukum Universitas Medan Area khususnya dan perguruan tinggi lain pada umumnya. 12