48 BAB IV ANALISIS PERAN HAKAM DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN SYIQAQ DI PENGADILAN AGAMA KUDUS A. Analisis Peran Hakam Dalam Penyelesaian Perselisihan Syiqaq Di Pengadilan Agama Kudus. Pada dasarnya setiap gugatan yang didasarkan atas alasan syiqaq, untuk proses penyelesaiannya adalah dengan menggunakan Hakam sebagai penengah perselisihan antara kedua belah pihak, namun permasalahan yang terjadi adalah adanya anggapan bahwa setiap gugatan yang diajukan itu ujungujungnya adalah ada yang kalah dan menang. Padahal untuk berproses dalam persidangan itu membutuhkan waktu yang sangat lama dan sangat tidak efektif karena harus mengikuti prosedur yang ada. Perkara-perkara yang menjadi wewenangan Pengadilan Agama sebagaimana termaktub dalam pasal 49 undang-undang No. 7 Tahun 1989 beserta penjelasannya dapat digolongkan dalam dua jenis perkara, yaitu : perkara voluntair dan perkara contensius. 1 Perkara voluntair adalah perkara yang sifatnya permohonan dan didalamnya tidak ada sengketa, sehingga tidak ada lawan. Secara umum peran Hakam dalam perkara ini tidak diperlukan. Pada dasarnya perkara voluntair tidak dapat diterima karena tidak ada sengketa berarti tidak ada perkara. Namun karena ada kepentingan masyarakat akan kepastian terhadap suatu 1 Drs. H. Abdul Manan, S.H. Mhum, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2000, hal. 96.
49 persoalan yang dihadapi, maka peraturan perundang-undangan memberikan alternatif terhadap persoalan-persoalan yang tentunya telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Walaupun tidak ada sengketa, perkara tersebut dapat diajukan kepengadilan, misalnya : istbat nikah, dispensasi nikah dan lain-lain. Yang dimaksud perkara contensius adalah suatu perkara yang di dalamnya berhadapan kedua belah pihak yang bersengketa. Perkara inilah yang masuk kategori gugatan yang didasarkan karena alasan syiqaq, bahkan terhadapa perkara contensius ini seorang hakim tidak boleh menolak menolak dan menyelesaiakan perkara tersebut dengan alas an tidak ada peraturan yang mengaturnya. Secara khusus dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, upaya perdamaian dengan menggunakan Hakam ini diatur dalam pasal 65, 70 (1), 82, 83 UU No. 7 Tahun 1989, Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam dan surat an Nisa ayat 35. Dalam perkara syiqaq, upaya Hakam di Pengadilan Agama dapat kita lakukan dengan mengoptimalkan lembaga yang selama ini telah ada, yakni BP 4, cara yang ditempuh misalnya ketika perkara sudah diterima oleh majelis, maka para pihak diperintahkan untuk hadir pada sidang di Pengadilan Agama. Dalam sidang pertama tersebut tetap dilakukan upaya perdamaian sebagaimana biasanya, namuan karena waktunya sangat terbatas maka bila upaya perdamaian pada sidang pertama tersebut tidak berhasil, majelis memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk datang ke BP 4 yang
50 mewilayahi tempat tinggal para pihak dan menunjuk BP 4 tersebut sebagai Hakam terhadap perkara tersebut dengan tenggang waktu disesuaikan dengan permasalahan yang ada. Apabila upaya damai berhasil, maka perkara tersebut di cabut dan apabila memang bernar-benar tidak bisa didamaikan maka sidang dilanjutkan kembali oleh majelis hakim dengan tetap terbuka kemungkinan untuk berdamai pada sidang-sidang berikutnya. 2 Dari jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Agama Kudus antara tahun 2004 sampai 2005 dapat kita lihat bahwa hampir 90 % yaitu perkara perceraian, dari seluruh perkara yang harus diselesaiakan pada dua tahun terakhir adalah 1343 perkara. 1049 perkara diputus oleh majelis hakim (17 perkara banding, 3 perkara kasasi), 64 perkara dicabut (berhasil didamaikan), 24 perkara ditolak dan 26 perkara gugur. 3 Dari data diatas dapat kita lihat bahwa 64 perkara yang di cabut atau yang berhasil didamaikan menggunakan proses perdamaian dengan menggunakan upaya Hakam, ini menunjukkan bahwa diantara sekian banyak perkara yang masuk itu masih bisa di damaikan, meskipun tidak begitu signifikan. Namun secara tidak langsung hal ini berpengaruh terhadap prosentase penumpukan perkara yang nantinya terjadi di tingkatan Banding dan Kasasi, karena ternyata hanya 17 perkara yang masuk ke Banding dan 3 perkara yang sampai kepada Kasasi. 4 Dari kesekian perkara yang naik Banding dan Kasasi itu kebanyakan didominasi oleh orang-orang yang tidak puas terhadap putusan masjelis hakim 2 Lihat bagan (terlampir) 3 Register PA Kudus, Tahun 2004-2005. 4 Wawancara dengan H. Abdul Wahid S.H. M.H. tgl 25 Januari 2006
51 tingkat pertama dan itu banyak dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi. Ini berarti di pengadilan agama kudus upaya Hakam dalam penyelesaian perselisihan hususnya karena alasan syiqaq bisa berjalan degan baik. Dari penjelasan Abdul Wahid S.H. MH mengatakan bahwa sebetulnya upaya Hakam itu sangat efektif untuk menyelesaiakan perselisihan, khusunya yang berkaitan dengan gugatan syiqaq, hanya saja terkadang masih banyak orang-orang yang mengajukan gugatan itu belum begitu memperhatikan arti sebuah perdamain. Begitupun juga para pihak yang berhasil didamaikan ratarata mereka mengaku ketika mengajukan gugatan hanya didasarkan atas emosi sesaat tanpa memperhatikan aspek perasaaan, 5 padahal sebetulnya setiap perkara yang diaujukan ujung-ujungnya adalah mereka sendiri yang akan rugi. Begitupun juga dengan orang yang ditunjuk sebagai Hakam, mereka berpendapat bahwa selama masih ada keinginan untuk berdamai dari kedua belah pihak ataupun salah satu pihak, kebanyakan perkara syiqaq dapat di damaikan. Dari sini dapat diambil pengertian bahwa untuk penerapan upaya Hakam dalam penyelesaian perselisihan membutuhkan dukungan dari banyak pihak, lebih-lebih dari pihak yang berselisih. 6 B. Analisis Peran Hakam Dalam Penyelesaian Perselisihan Karena Syiqaq di PA Kudus Relevansinya Terhadapa Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 5 Wawancara dengan Jayadi (salah satu pihak yang berhasil didamaikan). Pada tanggal 27 Januari 2006 6 Wawancara dengan Drs. Nur Hadi pada tanggal 27 Januari 2006
52 Sampai saat ini, fungsi Hakam pada Pengadilan Agama berjalan secara limitif yaitu hanya perkara perceraian yang mempunyai alasan syiqaq (pertengkaran terus menerus), hal itupun jarang sekali dilakukan mengingat lembaga Hakam tidak bersifat imperatif (keharusan) melainkan bersifat fakultatif, terserah kepada majelis hakim tentang perlu tidaknya mengangkat Hakam. 7 Artinya pengangkatan Hakam bukan merupakan keharusan pada setiap perkara perceraian yang mempunyai alasan syiqaq melainkan bersifat kasuistik. Hal ini disebabkan karena keterbatasan landasan Hukum untuk menerapkan lembaga Hakam pada Pengadilan Agama, sebagaimana disebutkan pada pasal 76 ayat (1 dan 2) : (1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri. (2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi Hakam. 8 Apabila diperhatikan pasal 76 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 secara limitif hanya memfungsikan lembaga Hakam pada perkara perceraian karena alasan syiqaq. Namun tidak pula secara eksplisit melarang 7 Drs. H.A Mukti Arto, SH, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, 1996, hal. 213 8 Undang-Undang Peradilan Agama N0. 7 Tahun 1989, Sunar Grafika, 2004, hal. 26
53 menerapakannya pada perkara yang lain. Dengan kata lain berarti membolehkan penerapan lembaga Hakam dalam bentuk perkara selain yang disebutkan dalam pasal tersebut. Penafsiran ini didukung dengan berbagai argumen : 1. Tampaknya perumusan undang-undang terpaku dengan landasan qur an mengenai lembaga Hakam pada surat an-nisa ayat 35 : 2. Dalam Undang-uadang No. 14 Tahun 1970 pasal 27 ayat (1) hakim sebagai penegak Hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai Hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut dalam penjelasan ayat tersebut Dalam masyarakat yang masih mengenal Hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai Hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal dan merasakan dan mampu menyelami perasaan Hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan Hukum dan rasa keadilan. Dalam penjelasan tersebut yang dimaksud dengan nilai yang hidup adalah suatu pemikiran, paham yang telah melekat pada suatu komunitas masyarakat. 3. Penerapan Hakam sebagai salah satu mekanisme penyelesaian perselisihan karena alasan syiqaq di pengadilan agama tidak akan menyimpang dari
54 aturan Hukum yang ada, bahkan menunjang terhadap proses penyelesaian perselisihan sesuai dengan undang-undang No. 7 Tahun 1989. Penerapan Hakam harus diikuti oleh I tikat baik dari semua unsur penegak Hukum, tidak hanya aparatur peradilan yang terkait melainkan melibatkan penasihat Hukum atau kuasa Hukum. 9 I tikad baik dari aparatur peradilan dalam hal ini hakim, harus nampak pada upaya mereka memberdayakan asas perdamaian kepada para pihak. Asas ini merupakan yang paling mendasar dalam praktek peradilan. Pada pengadilan agama tercatat dua landasan hukum mengenai asas perdamaian, pasal 82 ayat 4 undang-undang No. 7 Tahun 1989 dan pasal 31 ayat 2 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Tidak terpenuhinya asas perdamaian dalam pemeriksaan perkara mengakibatkan putusannya batal demi hukum karena belum memenuhi tata tertib beracara. Sekurang-kurangnya peradilan tingkat banding atau kasasi harus memerintahkan pemeriksaan ulang melalui putusan sela untuk mengusahakan perdamaian secara optimal. 10 Namun sangat disayangkan bahwa pada kedua landasan itu tidak sesuai dengan bunyi ayatnya. Sehingga meskipun asas ini pijakan hukumnya kuat dan implikasi hukumnya sangat fatal, tidak jarang hakim melaksanakannya sebatas untuk memenuhi syarat formil belaka. Secara filosofis asas kewajiban mendamaikan merupakan dorongan moral bagi hakim untuk tidak menempatkan para pihak pada posisi menang 9 Bismar Siregar, Hukum Acara Pidana, Tahun 1983, hal 107 10 M. Yahya Harahap, S.H, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, PT Sarana Bakti Semesta, 1997, hal 51.
55 atau kalah. Keputusan yang dihasilkan dari upaya damai sedikitnya memberikan kesan sama-sama menang, sehingga kedua belah pihak kembali dalam suasana rukun kembali. Dengan melihat uraian diatas, sangat penting adanya I tikat baik dari hakim untuk mendamaikan secara optimal terutama untuk menerapkan lembaga Hakam. Jika hal ini berhasil atau dilaksanakan maka secara psikologis akan memberikan dorongan kepada para pihak untuk secara nyata mengusahakan persengketaannya dengan jalan damai. Unsur lain yang mendorong efektifnya lembaga Hakam adalah dari faktor para pihak itu sendiri. Dengan demikian dapat dilihat unsur-unsur lembaga Hakam : 1. Ada kemauan dari para pihak untuk menyelesaiakan sengketa secara baikbaik. 2. Sikap dari para pihak yang tidak menginginkan posisi menag atau kalah. 3. Adanya kesadaran para pihak untuk mengikut sertakan pihak ketiga (Hakam). 4. Kedudukan Hakam lebih baik dipegang oleh kerabat dekat masing-masing. 5. Hakam harus orang yang kredibel dan tahu tantang persengketaan yang dihadapi. Proses pembentukan lembaga Hakam dapat diangkat dengan putusan sela, sebagaimana yang dikemuakakan oleh M Yahya Harahap pada pengangkatan Hakam untuk kasus perceraian. Keputusan Hakam tidaklah bersifat final. Akan tetapi pada saat keputusan Hakam diterima oleh masing-
56 masing pihak, keputusan tersebut dapat diambil oleh majelis hakim baik sebagai putusan maupun sebagai akta perdamaian yang mempunyai nilai eksekutorial. Menurut pendapat ulama Madzhab Maliki dan Hambali 11, apabila keputusan yang dihasilkan oleh Hakam melalui proses tahkim tidak bertentangan dengan kandungan al qur an, hadits, dan ijma maka hakim pengadilan tidak berhak membatalkan putusan Hakam, sekalipun hakim pengadilan tersebut tidak sependapat dengan putusan Hakam. Namun pada saat para pihak tidak menerima keputusan Hakam, maka majelis hakim sebagai pengambil keputusan terahir menyelesaikan perkara tersebut sesuai peraturan yang berlaku. Untuk itu Pengadilan Agama kudus senantiasa mengoptimalakan upaya Hakam dalam penyelesaian perselisihan karena alasan syiqaq di Pengandilan Agama Kudus karena Hakam dianggap sebagai salah satu upaya yang efektif untuk mendamaikan perselisihan. 11 Ensiklopedi hokum islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 5, 1997, hal 1752