BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) kini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat baik secara global, nasional, regional bahkan lokal. Global status report on NCD World Health Organization (WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa 60% penyebab kematian semua umur di dunia adalah karena PTM. Salah satu PTM yang hingga kini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat global adalah penyakit Diabetes Melitus (DM). American Diabetic Association (2011) mengemukakan bahwa DM adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang diakibatkan kurangnya sekresi insulin, gangguan metabolisme insulin, atau keduanya. Melengkapi pendapat ADA (2011) tersebut, World Health Organization (WHO, 2015) mendefinisikan DM sebagai suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh keturunan, disebabkan karena kurangnya produksi hormon insulin oleh pankreas, atau disebabkan tidak efektifnya insulin yang dihasilkan, sehingga memicu terjadinya peningkatan kadar glukosa dalam darah yang dapat merusak banyak sistem tubuh, khususnya pembuluh darah dan saraf. Penyakit DM merupakan penyakit kronis dengan prevalensi kasus yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Data terbaru dari The IDF Diabates Atlas (2015) memperkirakan bahwa saat ini sebanyak 415 juta orang dewasa di seluruh dunia hidup dengan diabetes. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 642 juta orang atau dengan kata lain 1 dari 10 orang akan hidup dengan diabetes pada tahun 2040. Sekitar 80% kematian akibat penyakit DM paling banyak di temukan di negara miskin dan berkembang dengan tingkat urbanisasi yang cepat, diet yang tidak sehat serta gaya hidup yang pasif. Fakta ini diperburuk dengan kondisi hampir setengah dari penyandang diabetes tidak terdiagnosis yang menjadikan mereka sangat rentan terhadap berbagai penyakit komplikasi hingga kematian (WHO, 2012; The IDF Diabates Atlas, 2015). 1
2 Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini juga sedang dihadapkan dengan masalah penyakit DM. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2011) memperkirakan sekitar 50% penyandang diabetes di Indonesia belum terdiagnosis. Pada tahun 2030 diperdiksikan Indonesia akan berada pada peringkat ke enam penyakit DM dengan jumlah penyandang mencapai 12 juta jiwa (The International Diabetes Federation (IDF, 2011). Data Riskesdas (2007) terdapat 17 provinsi di Indonesia yang memiiki prevalensi penyakit DM diatas prevalensi nasional (D/G 1,1%) antara lain Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi dengan Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk tertinggi di Indonesia mencapai 74 tahun (Badan Pusat Statistik DIY, 2014). Konsekuensi dari tingginya UHH yakni meningkatnya proporsi penduduk usia lanjut yang juga meningkatkan risiko terkena penyakit tidak menular salah satunya penyakit Diabetes Melitus. Kondisi ini tergambar dari data Riskesdas (2013) yang menunjukkan bahwa Provinsi DIY menempati urutan pertama prevalensi kasus DM tertinggi di Indonesia (2,6%) melebihi rerata prevalensi nasional penyakit diabetes (1,5%). Selain itu, hasil Surveilans Terpadu Penyakit Puskesmas (STP) dan laporan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Dinkes DIY tahun 2014 juga menunjukkan bahwa penyakit DM merupakan penyakit terbanyak nomor 4 di DIY dengan prevalensi kasus sebesar 9.497 kasus dan menjadi penyebab kematian nomor 7 di DIY (Profil Kesehatan DIY, 2015). Laporan dari RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang disajikan oleh Silitonga (2012) menunjukkan sedikitnya terdapat kurang lebih 1000 penyandang DM tipe 2 setiap bulanya. Kabupaten Sleman merupakan kabupaten dengan prevalensi kasus DM tertinggi kedua di Provinsi DIY mencapai 3,1% setelah Kota Yogyakarta (3,4%) (Kemenkes RI, 2013). Hal tersebut didukung dengan kondisi bahwa Kabupaten Sleman memiliki UHH tertinggi di DIY tahun 2014 (76 tahun) dengan jumlah
3 lansia terbanyak mencapai 10,7% atau 122.934 jiwa dari total penduduk Kabupaten Sleman 1.141.733 jiwa (Badan Pusat Statistik DIY, 2014). Sleman juga merupakan salah kabupaten dengan persentase aktifitas fisik masyarakat terendah (79,5%) di Provinsi DIY. Selain itu konsumsi makanan/minuman manis (77,6%) serta konsumsi makanan berlemak (53,3%) juga banyak ditemukan pada masyarakat Kabupaten Sleman (Kemenkes RI, 2013). Sebagaimana penelitian Fajrinayanti & Ayubi (2008) membuktikan bahwa seseorang dengan aktivitas fisik rendah (< 120 menit per hari) berisiko 13,7 kali lebih besar untuk mengalami pradiabetes daripada orang dengan aktivitas fisik tinggi. Penelitian yang dilakukan Nuryati (2009) mengungkapkan bahwa perilaku makan makanan/minuman manis secara signifikan berisiko menyebabkan terjadinya penyakit DM baik pada orang dengan obesitas (OR 0.4(0.3-0.7) maupun orang non obesitas (0.4(0.2-0.6). Penyakit DM tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling banyak diderita di seluruh dunia. Penelitian Shaw & Sicree (2008) mengungkapkan bahwa sekitar 90% kasus DM yang terjadi di dunia adalah jenis DM tipe 2. Tingginya prevalensi kasus DM khususnya DM tipe 2 tidak lepas hubungannya dengan gaya hidup yang berubah sesuai dengan meningkatnya kemakmuran dan pendapatan perkapita. Di negara berkembang khususnya Indonesia, westernisasi berdampak perubahan pola makan masyarakat yang telah bergeser dari pola makanan tradisional yang banyak mengandung karbohidrat, serat dari sayuran, ke pola makan modern yang begitu instan dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat. Komposisi makan seperti ini terutama pada makanan siap saji yang saat ini semakin digemari oleh masyarakat (Waspadji et al., 2007). Dengan demikian penerapan diet merupakan salah satu komponen utama dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Penyakit DM jika tidak dikelola dengan baik akan dapat mengakibatkan terjadinya berbagai komplikasi dan penyakit menahun berupa kerusakan saraf (neuropati), kerusakan ginjal (nefropati), kerusakan mata (retinopati), penyakit jantung koroner (PJK), sroke, hipertensi, penyakit pembuluh darah kapiler, gangguan pada hati, penyakit paru, gangguan saluran cerna, dan infeksi (Ndraha,
4 2014). Dengan penatalaksanaan yang sesuai, baik secara medis maupun nutrisional, kadar gula darah dan berat badan dapat selalu dikendalikan dan dipertahankan dalam keadaan normal, diharapkan timbulnya komplikasi dan berbagai penyakit menahun tersebut dapat dicegah, paling sedikit dihambat (Waspadji, 1999). Menurut PERKENI (2011) terdapat empat pilar utama penatalaksanaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pengaturan makan merupakan komponen utama dalam terapi gizi medis sebagai salah satu pilar penatalaksanaan DM. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Pengaturan makan bertujuan untuk membantu penyandang diabetes memperbaiki kebiasaan makan sehingga dapat mengendalikan kadar glukosa darah, lemak, dan tekanan darah (PERKENI, 2011). Pengaturan makan yang baik menjadikan kontrol glikemik penyadang diabetes menjadi lebih optimal. Optimalnya kontrol glikemik pada penyandang diabetes menurunkan risiko terjadinya komplikasi diabetes. Sebagaimana penelitian Greenfield et al. (2009) menyimpulkan bahwa pada pada kelompok penyandang DM ( 5 tahun) dengan komorbiditas rendah, kadar HbA1c terkontrol ( 6,5% dan 7,0%) secara signifikan menurunkan kejadian kardiovaskular yang merupakan salah satu komplikasi kronis DM (adjusted HR, 0.60 [95% CI, 0.42 to 0.85]; P <0.005). Kadar HbA1c merupakan parameter yang tepat untuk menilai kepatuhan pasien DM dalam mengontrol glukosa darah. Kadar HbA1c merupakan gambaran konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode 8-12 minggu sebelumnya (WHO, 2011). Kadar HbA1c lebih dari 7% menunjukkan bahwa kepatuhan penyandang DM memiliki kontrol glukosa yang buruk. Fakta yang ada target pencapaian kontrol glikemik di Indonesia belum optimal. Rerata HbA1c penyandang diabetes di Indonesia masih berkisar 8%, diatas rerata HbA1c yang ditargetkan yakni 7%. Penelitian yang dilakukan oleh Soewondo (2011) menunjukkan rata-rata pencapaian kadar HbA1c pasien DM di Indonesia sebesar 8,27% dan hanya 37,4% pasien yang mencapai target HbA1c kurang dari 7%.
5 Sebagian besar pasien diabetes tipe 2 tidak mencapai target glikemik sesuai rekomendasi. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa terdapat kesenjangan antara kepatuhan rekomendasi diet dari dokter maupun tenaga gizi dengan praktik diet sehari-hari penyandang DM. Edukasi kepada pasien dan keluarga sangat penting maknanya dalam meningkatkan pemahaman terkait perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan DM yang juga dapat meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan penyakit DM (PERKENI, 2011). Pemahaman yang baik dari pasien dan keluarga mengenai diet diabetes merupakan esensi dari terbentuknya perilaku diet tersebut (Primandana et al., 2011). Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak (Ndraha, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Primanda et al. (2011) menggambarkan perilaku diet penyandang DM di Yogyakarta yang dibagi dalam 4 dimensi yakni mengenali jumlah kebutuhan kalori, memilih makanan sehat, perencanaan makan, dan mengatasi hambatan perilaku diet. Hasilnya menunjukkan penyandang DM sebagian besar telah terdiagnosa DM selama 10 tahun. Dari ke empat dimensi perilaku diet tersebut, semuanya menunjukkan kategori sedang, yang berarti bahwa penyandang DM di Yogyakarta masih perlu meningkatkan perilaku dietnya terkhusus dalam dimensi mengatur perencanaan makan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Parajuli et al. (2014) dan Alsunni et al. (2014) mengungkapkan bahwa 87,5-89% penyandang diabetes tidak melaksanakan nasihat diet yang dianjurkan oleh dokter maupun ahli gizinya. Motivasi yang rendah serta tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar, turut menjadi faktor yang menghambat penyandang diabetes untuk melaksanakan anjuran diet yang diberikan (Booth et al., 2013). Pihak Puskesmas Ngaglik II telah melakukan beragam program guna meningkatkan pengetahuan dan manajemen diri masyarakat terhadap penyakit DM. Program tersebut antara lain edukasi gizi diabetes, kegiatan posbindu,
6 posyandu lansia serta konseling psikologis. Namun demikian, prevalensi penyakit DM belum menunjukkan penurunan yang optimal. Banyak kasus ditemui di lapangan, penyandang telah menderita diabetes dalam waktu lama (tahunan) namun demikian belum mampu melakukan diet dengan baik sehingga berdampak pada timbulnya beragam komplikasi diabetes. Survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, dari total 1.260 total kunjungan pasien di Puskesmas Ngaglik II selama tahun 2015, sebanyak 27,6% adalah pasien DM yang mengalami komplikasi diabetes dengan kondisi kronis yang perlu segera di rujuk ke RS. Setelah diamati lebih lanjut, penyandang DM dengan komplikasi tersebut umumnya telah mengikuti konseling DM yang diadakan oleh pihak Puseksmas. Sesuai dengan informasi dari dokter Puskesmas Ngaglik II bahwa saat pasien memeriksakan diri di Puskesmas tersebut dan terdiagnosis DM, mereka kemudian akan dirujuk ke ruang konseling gizi untuk mendapatkan edukasi terkait penyakit DM yang dialami. Namun meskipun telah mendapat edukasi, kenyataannya pasien berulang kali kembali ke puskesmas dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol. Fakta ini tentu menjadi sebuah kontra dimana ragam upaya kegiatan penanggulangan DM yang dilakukan oleh pihak puksesmas sepatutnya menjadikan penyandang diabetes lebih mampu dalam mengatur makanan yang dikonsumsinya serta menjadikan keluarga berpartisipasi dalam mendukung perilaku diet penyandang DM. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka peneliti terdorong untuk mengeksplor lebih dalam perilaku diet penyandang DM Tipe 2 di Kabupaten Sleman Provinsi DIY. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku diet penyandang DM Tipe 2 di Kabupaten Sleman DIY? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini untuk memperoleh pemahaman mendalam mengenai perilaku diet penyandang DM Tipe 2 di Kabupaten Sleman DIY.
7 2. Tujuan Khusus a. Mengkaji secara mendalam gambaran perilaku diet penyandang DM Tipe 2 di Kabupaten Sleman DIY b. Mengkaji secara mendalam persepsi penyandang DM Tipe 2 tentang diet di Kabupaten Sleman DIY c. Mengkaji secara mendalam hambatan atau kesulitan yang dirasakan oleh penyandang DM tipe 2 dalam melakukan diet di Kabupaten Sleman DIY d. Mengkaji secara mendalam berbagai dukungan dalam perilaku diet penyandang DM Tipe 2 di Kabupaten Sleman DIY D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai perilaku diet penyandang DM Tipe 2 di kabupaten Sleman. b. Menambah ilmu pengetahuan dan sebagai dasar dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan. c. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti. 2. Manfaat Praktis Menjadi bahan acuan bagi Dinas Kesehatan setempat khususnya bagi puskesmas setempat dalam menyusun/merancang program promosi kesehatan khususnya tentang strategi pelayanan gizi pada penyandang diabetes mellitus. E. Keaslian Penelitian Adapun penelitian yang terkait dengan diet pada penyandang diabetes melitus antara lain : a. Primanda et al. (2011) melakukan penelitian tentang Dietary Behaviors among Patients with Type 2 Diabetes Mellitus in Yogyakarta, Indonesia. Variabel penelitian adalah perilaku diet penyandang DM tipe 2 dan faktor yang mempengaruhi perilaku diet. Jenis penelitian tersebut adalah kuantitatif yang menggunakan rancangan analitik deskriptif. Persamaan penelitian ini adalah pada variabel yang diteliti yaitu perilaku diet penyandang DM Tipe 2. Adapun perbedaan dengan penelitian ini yakni adanya variabel persepsi,
8 hambatan dan dukungan sosial yang diteliti, desain penelitian menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan grounded theory, dan lokasi penelitian yang difokuskan di Wilayah Kerja Puskesmas Ngaglik II Kabupaten Sleman. b. Gardiani (2014) melakukan penelitian tentang Kualitas Diet, Sosio- Demografi dan Dukungan Keluarga Hubungannya dengan Pengendalian Gula Darah pada Penyandang Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan. Variabel penelitian adalah kualitas diet, sosio demografi, dukungan keluarga dan pengendalian gula darah Jenis penelitian tersebut adalah kuantitatif yang menggunakan rancangan crosssectional. Persamaan penelitian ini pada variabel dukungan keluarga penyandang DM Tipe 2. Perbedaannya lokasi dan desain penelitian yang menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan grounded theory. c. Rondhianto (2013) melakukan penelitian tentang Faktor yang Berhubungan dengan Hambatan Diet Diabetes Melitus Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskesmas Wonosari Kabupaten Bondowoso. Variabel yang diteliti yaitu faktor penghambat diet DM. Jenis penelitian tersebut yakni kuantitatif menggunakan rancangan analisis korelasi. Persamaannya pada variabel yang diteliti yaitu hambatan perilaku diet pada penyandang DM tipe 2. Adapun perbedaanya penelitian yang akan dilakukan tidak terbatas pada variabel hambatan diet namun mengkaji pula persepsi, perilaku diet, dan dukungan sosial. Selain itu penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan grounded theory yang berlokasi di Wilayah Kerja Puskesmas Ngaglik II Kabupaten Sleman DIY. d. Fukuoka et al. (2014) melakukan penelitian dengan judul Perception and Sense of Control Over Eating Behaviors Among a Diverse Sample of Adults at Risk for Type 2 Diabetes. Variabel penelitian tersebut adalah pengetahuan dan sikap, hambatan dan motivasi menurunkan risiko penyakit DM tipe 2. Jenis penelitian adalah kualitatif dengan teknik diskusi kelompok. Persamaan dengan penelitian ini yaitu teknik yang digunakan, variabel hambatan, serta jenis penyakit DM yang diteliti. Perbedaannya pada lokasi penelitian,
9 menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan grounded theory, menggunakan berbagai metode pengumpulan data (wawancara medalam, DKT, observasi) dan variabel yang diteliti lebih luas. e. Frank et al. (2014) melakukan penelitian dengan judul Dietary Patterns in Urban Ghana and Risk of Type 2 Diabetes. Variabel penelitian ini yaitu perilaku diet dan faktor risiko penyakit DM tipe 2. Jenis penelitian yakni kuantitatif dengan pendekatan case-control study. Persamaannya pada jenis penyakit yang diteliti serta perilaku diet sebagai salah satu variabel yang diteliti. Perbedaannya pada lokasi penelitian, serta jenis penelitian yang akan dilakukan adalah kualitatif dengan pendekatan grounded theory.