BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. terakhir United Nations Drugs Control Programme (UNDPC), saat ini kurang lebih

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA NARKOTIKA DALAM UU NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 1

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB VI PENUTUP. penulis membuat kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PENGEDAR DAN PENYALAH GUNA MAGIC MUSHROOM. 3.1 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Pengedar Magic Mushroom

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih mudah dengan berbagai macam kepentingan. Kecepatan

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

BAB I PENDAHULUAN. atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dasar menimbang Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan kemajuan teknologi. Adanya perkembangan dan kemajuan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. Panti Rehabilitasi Ketergantungan NAPZA Arsitektur Perilaku. Catherine ( ) 1

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA

17. Keputusan Menteri...

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

BAB I PENDAHULUAN. makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-

I. PENDAHULUAN. 1998, dimana banyak terjadi peristiwa penggunaan atau pemakaian barang-barang

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kepolisian

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan, perdagangan gelap narkotika merupakan permasalahan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Permasalahan penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, dari sudut medik psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psiko sosial (ekonomi politik, sosial budaya, kriminalitas dan lain sebagainya). Penyalahgunaan narkoba adalah penyakit endermik (menjangkit) dalam masyarakat modern dan merupakan penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga sekarang belum ditemukan upaya penanggulangannya secara universal dan memuaskan, dari sudut prevensi, terapi maupun rehabilitasi. Keadaan yang memprihatinkan adalah bahwa korban penyalahgunaan narkoba adalah pada remaja dan dewasa muda yang justru mereka sedang dalam usia produktif yang merupakan sumber daya manusia atau aset bangsa di kemudian hari. Narkoba di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana salah satu tujuan keberadaan undang-undang ini adalah untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dengan demikian keberadaan undang-undang tersebut diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika. Dadang Hawari memberikan istilah terhadap penyalahgunaan Narkotika 1

dengan istilah Napza yaitu Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif. Dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 200 juta orang, jumlah penyalahgunaan napza adalah 0,065% atau sama dengan 130.000 jiwa. 1 Menilai uraian pembahasan di atas maka ada dimensi yang menarik timbul dari keadaan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah sesuatu hal yang sangat tidak baik dan sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dan juga kaidah-kaidah kerohanian seseorang. Di samping itu, kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modul operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peradaran narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian, keselarasan dan peri kehidupan, hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotropi Tahun 1983 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan 1 Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 1.

Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropi. Dengan demikian, undang-undang yang baru diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika. Narkoba adalah salah satu dari bahaya terbesar yang mengancam eksistensi manusia. Bahayanya tidak hanya dalam bentuk-bentuk penyakit kronis yang ditimbulkannya, namun juga dalam bentuk hasil akhir yang sangat kronis dan menyebabkan penyakit parur-paru. 2 Sedangkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud dengan pengguna narkotika sebagai subyek (orang), yang banyak ditemukan adalah penggunaan (kata kerja). Menurut kamus bahasa Indonesia istilah Pengguna adalah orang yang menggunakan, 3 bila dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Narkotika maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna Narkotika adalah orang yang 2 Al Ahmady Abu An Nur, Saya Ingin Bertobat, tetapi, Terjemahan Fadhli Bahri, Darul Falah, Jakarta, 2005, hal. 11. 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 375.

menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Narkotika. Penggunaan istilah pengguna narkotika digunakan untuk memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika. Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika kadang juga menggunakan narkotika, namun dalam tulisan ini yang penulis maksud pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, bukan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika. 4 Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam UU Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain : 1. Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13 UU Narkotika). 2. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 UU Narkotika) 3. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan 4 Dadang Hawari,, Op.Cit, halaman 1.

narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika) 4. Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan membawa narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu. 5. Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis (Penejelasan Pasal 58 UU Narkotika) 5 Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam Undang-Undang Narkotika maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah keracuaan pengaturan dimana Pasal 4 huruf d Undang-Undang Narkotika yang menyatakan UU Narkotika bertujuan: Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, namun dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika menyebutkan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dimana berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui. Penyalah guna yang awalanya mendapatkan jaminan rehabilitasi, pada Pasal 127 UU Narkotika penyalah guna narkotika kemudiaan juga menjadi subyek yang dapat dipidana dan 5 Ibid. hal. 1-2.

kehilangan hak rehabilitasinya, kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban narkotika. Pembuktiaan penyalahguna narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur dalam Undang-Undang narkotika, merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktiaan bahwa penggunaan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam implementasinya Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran No 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial yang menjadi pegangan Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam memutus narkotika. 6 Banyaknya istilah tersebut juga membingungkan aparat penegak hukum dan masyarakat, di lapangan aparat penegak hukum tidak memberikan hak orang yang positif menggunakan narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi, walaupun dalam Undang-Undang Narkotika adanya jaminan rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Pengaturan wajib lapor bagi orang tua atau wali dari pecandu narkotika, juga berimplikasi membingungkan bagi orang tau atau wali, karena untuk menentukan apakah anaknya pecandu atau bukan pecandu haruslah ditentukan oleh ahli dan sangat sulit bila dilihat dari kacamata awam. 6 Ibid, hal. 3.

Perdebatan yang sering muncul dalam membahas UU Narkotika adalah kedudukan Pengguna Narkotika apakah sebagai pelaku atau sebagai korban, dan apa akibat hukumnya. Bila dilihat alasan yang mengemuka dilakukannya pergantiaan Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika adalah untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 7. Antara Penyalahgunaan dan peredaran narkotika memang sulit dipisahkan namun hal tersebut tidak dapat disamakan dan upaya penanggulangannya juga harus dibedakan. Hal tersebut selaras dengan amanat tujuan Undang-Undang narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Narkotika yang menyatakan Undang-Undang Narkotika bertujuan: 1. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi. 2. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika. 3. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, dan 4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. Berdasarkan tujuan Undang-Undang Narkotika tersebut dan melihat posisi pengguna narkotika dapat dilihat pemberantasan narkotika ditujukan bagi peredaran gelap narkotika. Sedangkan upaya pencegahan, perlindungan dan penyelamatan 7 Ibid.

bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika, sehingga perlu adanya pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (pengguna narkotika). 8 Tarik menarik apakah pengguna narkotika merupakan korban atau pelaku sangat terasa dalam Pasal 127 Undang-Undang Narkotika yang menyatakan : (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial Penyalahguna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi, namun, dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaanya pengguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Narkotika. Bila pengguna narkotika dianggap pelaku kejahatan, maka yang menjadi pertanyaan kemudiaan adalah siapa yang menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pengguna narkotika, karena dalam hukum pidana dikenal tidak ada kejahatan tanpa korban. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat 8 Ibid.

tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. 9 A. Pengertian dan Penegasan Judul Adapun judul yang diajukan sehubungan dengan penulisan skripsi ini adalah ASPEK HUKUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA HAK MEMBAWA NARKOTIKA GOLONGAN I (Studi Kasus Putusan No. 469/Pid.B/2011/PN.LP/LD). Adapun pengertian atas judul tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: - Aspek Hukum adalah telaah terhadap peraturan positif yang hidup di tengah masyarakat. 10 - Pertanggungjawaban Pidana merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban pelaku atas tindakan atau perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang dan menyebabkan adanya kerugian dan korban bagi orang lain. 11 - Tanpa Hak Membawa Narkotika Golongan I adalah narkotika yang digolongkan sebagai golongan I. Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang adalah perbuatan yang menempatkan, mempergunakan, mengedarkan dan lain kegiatan yang dilarang oleh undang-undang tentang narkotika. Narkotika menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 adalah : 9 Arif Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, hal. 41. 10 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 391. 11 Ibid, hal. 552.

Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sentetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. - Studi Kasus Putusan No. 469/Pid.B/2011/PN.LP/LD adalah kasus yang akan diteliti. Dengan demikian pembahasan skripsi ini adalah sekitar akibat hukum bagi pelaku tindak pidana yang membawa narkotika golongan I tanpa hak dengan mengambil kasus Putusan No. 469/Pid.B/2011/PN.LP/LD. B. Alasan Pemilihan Judul Dalam hal kejahatan dalam bidang penyalahgunaan narkotika ini pemerintah Indonesia telah berusaha untuk memberantas kejahatan narkotika tersebut sebagaimana dengan diterbitkannya undang-undang yang baru tentang narkotika ini yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Secara garis besarnya alasan pemilihan judul ini adalah : 1. Judul ini menurut penulis adalah suatu keadaan yang masih baru dan masih hangat-hangatnya untuk dibicarakan. Meskipun pada dasar sebenarnya pembahasan tentang narkotika telah banyak tetapi apabila dilihat dari segi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 masih belum ada. Dari hal tersebutlah penulis ingin melihat bagaimana sebenarnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini mengatur tentang narkotika terutama tentang perkembangan narkotika itu

sendiri. 2. Penulis merasa tertarik terhadap permasalahan pemakaian penyalahgunaan narkotika ini terlebih-lebih di kalangan remaja, sehingga dengan pembahasan yang diadakan oleh penulis dapat memberikan sumbangan jalan keluar bagi masa depan para remaja yang menjadi lebih cerah lagi. 3. Penulis juga ingin secara mendalam mengetahui dimana sebenarnya pengaturan perihal narkotika ini dalam ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dan bagaimana pula dapat dikatakan perbuatan penyalahgunaan pemakaian narkotika tersebut merupakan perbuatan pidana. C. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain : a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan orang membawa narkotika Golongan I tanpa Hak? b. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi orang yang membawa narkotika Golongan I tanpa hak? D. Hipotesa Hipotesa merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang dikemukakan. Kebenaran hipotesa masih memerlukan pengujian atau pembuktian dalam suatu penelitian yang dilakukan untuk itu, karena inti dari hipotesa adalah

suatu dalil yang dianggap belum menjadi dalil yang sesungguhnya sebab masih memerlukan pembuktian dan pengujian. 12 Adapun hipotesa yang diajukan sehubungan dengan permasalahan diatas adalah : 1. Faktor-faktor yang menyebabkan orang membawa narkotika Golongan I tanpa Hak adalah untuk dipakai sendiri atau bertindak sebagai pengedar. 2. Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang membawa narkotika Golongan I tanpa hak adalah terpenuhinya unsur dakwaan yang didakwakan kepada pelaku serta adanya kemampuan bertanggungjawab pelaku tindak pidana. E. Tujuan Pembahasan Adapun tujuan pembahasan yang dilakukan dalam pembahasan skripsi ini adalah pada dasarnya : 1. Sebagai suatu pemenuhan persyaratan untuk menjalani ujian skripsi ini di Fakultas Hukum Universitas Medan Area dalam hal mencapai gelar sarjana Hukum dengan program pendidikan S-1 Bidang kepidanaan. 2. Sebagai bentuk sumbangsih kepedulian penulis terhadap perkembangan hukum pidana secara khususnya dalam hal perkembangan penyalahgunaan narkotika. 3. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat tentang apa sebenarnya tujuan dibentuk dan diadakannya undang-undang baru tentang narkotika ini yaitu 12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2005, hal. 148.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. F. Metode Pengumpulan data Dalam penulisan skripsi ini penulis mempergunakan metode penelitian dengan cara : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research). Pada metode penelitian ini penulis mendapatkan data masukan dari berbagai bahan-bahan bacaan yang bersifat teoritis ilmiah, baik itu dari literatur-literatur, peraturan-peraturan maupun juga dari majalah-majalah dan bahan perkuliahan penulis sendiri. 2. Penelitian Lapangan (Field Research) Pada penelitian lapangan ini penulis turun langsung pada objek penelitian yang merupakan studi kasus di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini penulis bagi dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu : Sistematika penulisan dalam skripsi ini penulis bagi dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu : BAB I. PENDAHULUAN. Dalam bab yang pertama ini diuraikan tentang:

Pengertian dan Penegasan Judul, Alasan pemilihan Judul, Permasalahan, Hipotesa, Tujuan Pembahasan Metode Pengumpulan Data serta Sistematika Penulisan. BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA Dalam bab yang kedua ini diuraikan tentang : Pengertian Pertanggung Jawaan Pidana, Keadaan-Keadaan Yang Dapat Melepaskan Pertanggung Jawaban Pidana serta Pertanggung Jawaban Pidana Pelaku Yang Membawa Narkotika Golongan I Tanpa Hak. BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA. Yang dibahas dalam bab ini adalah tentang : Pengertian, Jenis, dan Golongan Narkotika, Peran Masyarakat Untuk mengungkap Keberadaan Tindak Pidana Narkotika serta Dampak Penyalahgunaan Narkotika Bagi Korban dan Negara. BAB IV. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TANPA HAK MEMBAWA NARKOTIKA GOLONGAN I Dalam bab yang keempat ini diuraikan tentang : Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Orang Membawa Narkotika Golongan I, Kendala- Kendala Yang timbul Dalam Proses Penyidikan, Sanksi/Hukuman terhadap Pelaku Yang Membawa Narkotika Golongan I, Upaya-Upaya Penanggulangan Untuk Mencegah Terjadinya Penyalahgunaan Narkotika serta Kasus dan Tanggapan Kasus.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab yang terakhir ini penulis akan memberikan Kesimpulan dan Saran.