PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

dokumen-dokumen yang mirip
EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting. dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, melalui proses pembuktian

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

LATAR BELAKANG MASALAH

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

Presiden, DPR, dan BPK.

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

DAFTAR PUSTAKA. Bakhri, Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH FH UMJ dan Total Media, Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang.

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM MENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN (Studi Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.

BAB III PENUTUP. bersifat yuridis adalah pertimbangan yang didasarkan pada fakta - fakta yang

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB III PENUTUP. sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan hukum ini yakni bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DAFTAR PUSTAKA. Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan, 2001.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

BAB III PENUTUP. menyimpulkan mengenai Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB III PENUTUP. korupsi dan kekuasaan kehakiman maka penulis menarik kesimpulan. mengenai upaya pengembalian kerugian negara yang diakibatkan korupsi

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

Transkripsi:

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar Email: Udinktabrani@yahoo.co.id Abstract The research was carried out in the city of Makassar, Sulawesi Sealatan that is at the State Prosecutor's Office Makassar and Makassar District Court. This study aims to determine the strength of the witness evidence of crown in legislation and to know the implementation of the crown witness in a criminal testimony in the Makassar District Court. The result of the research shows that the strength of Mahkota witness evidence is the same as the witness in general and is in accordance with the applicable law. Keywords: Mahkota Witness, Corruption Abstrak Penelitian dilakasanakan di kota Makassar, Sulawesi Sealatan yaitu pada instansi Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan alat bukti saksi mahkota dalam perundang-undangan dan untuk mengetahui implementasi saksi mahkota dalam kesaksian pidana di Pengadilan Negeri Makassar. Hasil penelitian menunjukkan pada dasarnya kekuatan alat bukti saksi Mahkota sama seperti saksi pada umumnya dan sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kata kunci : Saksi Mahkota, Korupsi Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 137

PENDAHULUAN D alam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil, maka Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem pembuktian tersndiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaran materil. 1 Dengan tercapainya kebenaran materil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. 2 Selain itu, untuk mendukung implementasi rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya harus berpedoman pada asas-asas yang berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tak bersalah (presumtion of inncence), asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, asas oportunitas, asas pemeriksaan peradilan terbuka untuk umum, asas persamaan di hadapan hukum (equlity before the law), asas peradilan hukum oleh hakim karena jabatannya dan tepat, asas tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum, asas bahwa tersangka dipandang sebagai pihak atau subjek pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas (akusator), dan asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan. 3 Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu bentuk dari adanya asas praduga tidak bersalah maka terdakwa sebagai subjek dalam setiap tingkatan pemeriksaan tidak dibebani dengan kewajiban pembuktian. 4 Hal tersebut merupakan bentuk hak asas terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan akusator dalam KUHAP. Oleh karena itu, sebagai subjek dalam pemeriksaan maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan yang ditujukan kepada dirinya. 5 Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka prihal pembuktian 1 Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta : Departemen Kehakiman RI, 1982), h. 1. 2 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), h. 9. 3 Syamsul Bahri Radjam, Hak Warga Negara Dalam Hukum Acara Pidana, Panduan Bantuan Hukum : Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum, ed. A. Patra M. Zein dan Daniel Hutagalung (Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2006), h. 273. 4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h.. 41. 107. 5 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik (Jakarta : Djambatan, 1998), h. Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 138

merupakan hal yang sangat menentukan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 6 Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang dibebani untuk membuktikan dakwaannya bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakannya. 7 Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya sebagai penasehat hukum, maka perupakan faktor yang menentukan dalam rangka melakukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa selaku kliennya. Dalam perspektif hukum Islam, orang yang mendakwa hendaklah mengajukan saksi. Maka jika yang mendakwa mempunyai saksi yang cukup, dakwaanya hendaklah diterima oleh hakim. Tetapi jika ia tidak dapat mengemukakan saksi, hakim hendaklah memberikan hak bersumpah kepada terdakwa, dan kalau dia sanggup bersumpah, dia mendapat kemenangan. Tetapi jika terdakwa tidak sanggup bersumpah, yang mendakwa berhak bersumpah, apabila ia bersumpah, ia dianggap menang. Sumpah yang mendakwa ini dalam istilah ahli fiqh dinamakan sumpah mardud (sumpah yang dikembalikan). 8 Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenanagan untuk melakukan pemeriksaan pada tingkat peradilan maka perihal pembuktian merupakan faktor yang sangat menentukan bagi hakim dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi menurut pasal 183 KUHAP, hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah tersebut. 9 Oleh karena itu, apabila ditinjau dari perspektif yuridis maka dalam perihal 6 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), h. 49-50. 7 Adami Chazawi, Kemahiran Dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana (Malang : Bayumedia, 2006), h. 201. 8 Sulaeman Sasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1998), h. 489. 9 0Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), h. 133. Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 139

pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dangan melanggar hak asasi terdakwa Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Namun dalam kenyataan penggunaan saksi mahkota masih sering kita jumpai dalam persidangan suatu tindak pidana. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitzing) sejak proses periksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum.dalam praktiknnya, pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal yang baru. Misalnya, dalam kasus yang menjerat mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar dalam tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nasrudin. Pada saat itu ketua tim penuntut umum Cirus Sinaga menggunakan alat bukti saksi mahkota Sigit Haryo Wibisono dan Wiliardi Wizard. Kesaksian Sigit Haryo Wibisono dan Wiliardi Wizard dikatakan saksi mahkota di karenakan mereka berdua berstatus terdakwa yang ikut serta dalam melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Nasruddin. 10 Dalam perkembanganya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya`rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa Hal itu disebabkan oleh karena saksi mahkota adalah berstatus terdakwa, oleh karena itu, sebagai terdakwa maka terdakwa memiliki hak untuk diam atau bahkan hak untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau berbohong. Hal ini merupakan konsekuensi yang melekat sebagai akibat dari diwajibkannya terdakwa untuk mengucapkan sumpah dalam memberikan keterangannya. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 66 KUHAP dijelaskan bahwa terdakwa tidak memiliki beban pembuktian. Sebaliknya, dalam terdakwa 10 Hukum Online, Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Hukum, Situs Resmi Hukum Online. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b4d61a6cf96f/tuntutan-aa (11 November 2012). Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 140

diajukan sebagai saksi mahkota, tentunya terdakwa tidak dapat memberikan keterangan secara bebas karena terdakwa terikat dengan kewajiban memberikan keterangan yang benar diatas sumpah dipersidangan. Konsekuensinya dari adanya pelanggaran terhadap sumpah tersebut maka terdakwa diancam dengan dakwaan baru berupa tindak pidana kesaksiaan palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 KUHPidana. Adanya keterkaitan dengan sumpah tersebut maka tentunya akan menimbulkan tekanan psikologis bagi terdakwa karena terdakwa tidak dapat lagi menggunakan hak ingkarnya untuk berbohong. Oleh karena itu, pada hakikatnya kesaksiaan yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut disamakan dengan pengakuan yang didapat dengan menggunakan kekerasan psikis. Sedangkan dalam perspektif hukum Islam, menjadi saksi terhadap kerabat, apalagi terhadap ibu bapak, terutama memberikan kesaksian yang akan melibatkan, memberatkan atau seakan mendakwa diri sendiri, adalah suatu perbuatan yang sangat benar. Wajar saja kalau tak banyak orang dapat melakukannya. PEMBAHASAN Dijelaskan di dalam pendahuluan sebelumnya bahwa semenjak Indonesia mengundang-undangkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka perihal pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah tugas dari Jaksa selaku Penuntut Umum. Hal itu merupakan konsekuensi dari dianutnya azas bahwa tersangka atau terdakwa dipandang sebagai pihak atau subjek pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas (akusator). Namun seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, terdakwa dijadikan sebagai saksi dalam perkara-perkara yang berbentuk penyertaan dan diperiksa dengan mekanisme pemisahan berkas perkara (splitzing) seperti yang terdapat dalam Pasal 142 KUHAP, terdakwa yang dijadikan saksi tersebut disebut dengan istilah saksi mahkota. Istilah saksi mahkota pada dasarnya tidak secara tegas disebutkan dalam KUHAP, namun dalam prakteknya Penuntut Umum seringkali menghadirkan alat bukti saksi mahkota ini dalam persidangan Menurut hasil wawancara dengan Amri Kurniawan, mengatakan bahwa : "saksi mahkota adalah adanya dua atau lebih terdakwa rnelakukan suatu tindak pidana, dimana berkas perkara masing-masing terdakwa dipisah, dan masing-masing terdakwa menjadi saksi terhadap terdakwa yang lain Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 141

karena kurangnya alat bukti atau yang dikenal dengan istilah saksi mahkota". 11 Penggunaan saksi mahkota menurut Jaksa Penuntut Umum Amri Kurniawan tidak bertentangan dengan hukum, karena penggunaan saksi mahkota baru dapat dilakukan jika berkas perkara masing-masing terdakwa dipisah, jadi siapapun dapat didengarkan keterangannya sebagai saksi. Dalam hal Pasal 168 KUHAP yang menyatakan bahwa yang bersamasama sebagai terdakwa tidak dapat didengarkan keterangannya sebagai saksi bilamana berkas perkara masing-masing terdakwa tidak dipisah, namun jika telah mengaiami mekanisme pemisahan (splitzing) penggunaan saksi mahkota dimungkinkan untuk dijadikan sebagai alat bukti karena statusnya tidak dalam hal sebagai terdakwa melainkan telah menjadi saksi. Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan saksi mahkota tidak begitu saja dipaksakan oleh Penuntut umum kepada terdakwa. Keterangan saksi mahkota baru mempunyai nilai pembuktian yang sah jika mereka dalam hal ini para terdakwa tidak keberatan untuk diajukan sebagai saksi dan Penuntut Umum rnenyetujuinya. Jika seorang terdakwa bersedia menjadi "saksi mahkota" maka umumnya Penuntut Umum memberikan keringanan tuntutan kepada mereka. Sedangkan menurut wawancara yang dilakukan dengan Joko Pramudhiyanto, mengatakan bahwa : "Penggunaan saksi mahkota di persidangan tidak diatur dalarn KUHAP, namun penggunaan alat bukti saksi diatur secara tegas dalam Pasal 185 KUHAP. Namun dalam pemisahan berkas perkara (splitzing) yang terdapat dalam Pasal 142 KUHAP dimungkinkan penggunaan saksi yang berasal dari terdakwa yang dikenal dengan istilah saksi mahkota. Maka pasal 142 KUHAP secara implisit dapat dijadikan dasar hukum penggunaan saksi mahkota" 12 Lebih lanjut dijelaskan bahwa Penuntut Umum tidak pernah memaksakan terdakwa untuk mau menjadi saksi dalam persidangan terhadap rekannya sesama terdakwa, tidak menjadi suatu kewajiban menurut KUHAP menjadi "saksi mahkota" tetapi terdakwa berhak menjadi "saksi mahkota" jika ia menginginkannya. Pada umumnya dalam berbagai kasus terdakwa bersedia menjadi saksi mahkota setelah mendapat penjelasan dari Penuntut Umum. Namun kadangkala 11 Amri Kurniawan, Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Makassar, Sulsel, wawancara oleh penulis di Makassar, 3 Desember 2012. 12 Joko Pramudhiyanto, Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Makassar, Sulsel, wawancara oleh penulis di Makassar, 3 Desember 2012. Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 142

dalam suatu perkara, terdakwa tidak bersedia menjadi saksi mahkota terhadap sesama terdakwa. Jika hal itu terjadi maka Penuntut Umum dapat memaksa tersangka untuk menjadi saksi dalam hat ini dikenal sebagai saksi mahkota dan hal itu dimungkinkan dengan catatan berkas perkara masing-masing terdakwa dipisah Untuk dapat memaksa terdakwa bersaksi, Penuntut Umum menggunakan Pasal 159 KUHAP tentang kewajiban untuk menjadi saksi. Dalam hal ini Penuntut Umum mengutamakan tujuan hukum yakni keadilan dan kemanfaatan sebagai prioritas disamping tetap menghormati tujuan hukum yang lainnya yakni kepastian hukum dan dengan tetap memperhatikan hak-hak dari terdakwa. Namun jika mendengar hasil wawancara dengan Jaksa Joko Pramudhiyanto, maka terdapat inkonsistensi dalam pernyataan Jaksa tersebut, dimana di satu pihak beliau mengatakan tidak memaksa terdakwa untuk mau menjadi "saksi mahkota" terhadap rekannya sesama terdakwa, namun di lain pihak Jaksa tersebut setelah memisah berkas perkara masing-masing terdakwa menurut ketentuan Pasal 142 KUHAP, Jaksa mewajibkan kepada terdakwa untuk menjadi "saksi mahkota" terhadap sesama terdakwa dengan menggunakan Pasal 159 KUHAP karena status terdakwa telah menjadi berubah menjadi saksi melaui proses pemisahan berkas perkara tersebut. Dalam hukum acara pidana, Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan kebenaran atas jawaban surat dakwaannya. Dengan kata lain yang dibebani pembuktian untuk menyatakan bahwa terdakwa bersalah adalah Penuntut Umum. Dalam kaitannya dengan penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti adalah dalam beberapa kasus tindak pidana seringkali Penuntut Umum tidak memiliki alat bukti yang cukup. Oleh karena itu Penuntut Umum melakukan pemisahan berkas perkara karena dalam hat itu dimungkinkan dalam Pasal 142 KUHAP, dengan memisah perkara tersebut Penuntut Umum yang sebelumnya kurang memiliki alat bukti dapat menggunakan kesaksian sesama terdakwa untuk menjadi alat bukti saksi dalam persidangan. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Acara Pidana hanya dikenal pengertian saksi sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 26 KUHAP yaitu : "Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri". Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 143

Dalam perkembangannya menurut ajaran teori dan praktek yang terjadi adalah kita mengenal berbagai bentuk dan macam saksi, seperti:saksi utama, saksi tambahan, saksi ahli, saksi a charge I a de charge, dan saksi mahkota. Menurut hasil wawancara dengan Pudjo Hunggul Hendrowasisto, mengatakan bahwa dasar hukum saksi mahkota dalam KUHAP tidak dijelaskan secara tegas, namun dalam prakteknya saksi mahkota dapat didefinisikan sebagai berikut : "Saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersanaka atau terdakwa dalam suatu tindak pidana penyertaan yang berkas perkaranya telah dipisah atau di splits karena kurangnya alat bukti dan kepadanya diberikan "mahkota", dimana mahkota yang dimaksud adalah suatu kehormatan untuk menjadi saksi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, berdasarkan visi praktik maka dimensi saksi ini memilikidua arti. Pertama, "saksi mahkota" adalah seseorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Kedua, "saksi mahkota" diambil dari salah seorang terdakwa yaitu seorang yang karena perbuatan atau keadaannya. PENUTUP Kekuatan alat bukti saksi Mahkota sama seperti saksi pada umumnya, hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur saksi dan disini saksi mahkota memenuhi semuanya yakni saksi yang mendengar, melihat dan mengalami langsung peristiwa dan manakala ia berada di bawah sumpah dalam mengungkapkan keterangan dalam persidangan. Jadi disini kekuatan alat bukti saksi mahkota sangat kuat. Apalagi hal itu dimungkinkan oleh KUHP, Yurisprudensi Mahkamah Agung dan dianggap tidak bertentangan dengan hak asasi Terdakwa, dengan catatan Jaksa Penuntut Umum tidak memakasa terdakwa untuk menjadi saksi mahkota di persidangan meskipun berkas perkara diantara masing - masing terdakwa telah dipisah oleh Penuntut Umum, karena jika dipaksakan hal itu bertentangan dengan azas akusator yang dianut oleh sistem hukum acara kita. Implementasi atau penerapan penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yakni dalam perkara delik penyertaan, terdapat kekurangan alat bukti dan diperiksa dengan mekanisme pemisahan berkas perkara. Akan tetapi Implementasi penggunaan saksi mahkota di Pengadilan Negeri Makassar tidak sesuai dengan syarat-syarat penggunaan saksi mahkota. Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 144

DAFTAR PUSTAKA Abdoerraef. Al Qura an dan Ilmu Hukum. Jakarta: Karya Unipress, 1970. Al, Wisnubroto dan G, Widiartana. Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bandung: Citra Aditya, 2005. Anwar, Yasmin dan Adang. Sistem peradilan Pidana. Bandung: Widya Padjadjaran, 2011. Chazawi, Adami. Pelajaran hukum pidanan bagian 3, percobaan dan penyertaan. Jakarta: raja grafindo persada, -------------. Kemahiran Dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana. Malang: Bayumedia, 2006. Fauzan, Ahmad. Fair Trial : Prinsip-Prinsip Peradilan Yang Adil Dan Tidak Memihak. Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2001. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. -------------. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Hukum Online, Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Hukum, Situs Resmi Hukum Online. www.hukumonline.com/spilitsing (12 Novmber 2012). Indonesia, Ikatan Hakim. Varia Peradilan No.300, November 2010. Jakarta: IKAHI, 2010. Kehakiman Republik Indonesia, Departemen. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta, 1982. Lamintang. Dasar-dasar hukum pidana. Bandung: Sinar baru, 1984. Loqman, Loebby. Saksi Mahkota Forum Keadilan, (Nomor 11, 1995). Marwan dan Jimmy. Kamus Hukum.Surabaya: Publisher, 2009. Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007. ------------.Hukum acara pidana normatif, teoritis, praktik, dan permasalahannya. Bandung: Alumni, 2007. Muin, Rahayu. Tinjauan Yuridis Terhadap Pemisahan Berkas Perkara Pidana (Splitsing) Oleh Penuntut Umum. Makassar: Skipsi Sarjana, Fakultas Hukum Unhas, 2008. Jurisprudentie Volume 4 Nomor 2 Desember 2017 145