6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BUPATI BANGKA TENGAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

PERATURAN DAERAH PROPINSI SULAWESI UTARA NOMOR : 14 TAHUN 2000 TENTANG PUNGUTAN MASUK PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL BUNAKEN

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 6 TAHUN 2014 TENTANG

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut 2008

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 14/MEN/2009 TENTANG MITRA BAHARI

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

Transkripsi:

6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Potensi Sumberdaya Hayati Laut dan Ekosistemnya Salah satu parameter yang berpengaruh bagi pengembangan kawasan konservasi laut adalah kandungan potensi kekayaan bawah laut yang memiliki nilai konservasi dan ekonomi tinggi. Taman Nasional Bunaken dan Daerah Perlindungan Laut Blongko memiliki kekayaan sumberdaya alam laut yang cukup baik, seperti ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang berfungsi sebagai habitat bagi kehidupan berbagai jenis ikan dan asosiasinya. Hasil penelitian Mitra Pesisir di desa-desa pesisir TN Bunaken tahun 2005 menyatakan bahwa tutupan karang keras di perairan tersebut memiliki tutupan karang hidup yang relatif masih bagus yaitu berkisar 51-75% (Gambar 6). Adanya kesamaaan faktor kekuatan, basis hukum yang kuat bagi pengelolaan taman nasional yang didukung dengan potensi sumberdaya alam laut yang khas, sebagai nilai penting dalam pengembangan wisata bahari berbasis keindahan alam di TN Bunaken dan DPL Blongko. Kekayaan alam bawah laut tersebut perlu dijaga dan dilestarikan dari gangguan para perusak lingkungan melalui penerapan sanksi hukum yang tegas. Pentingnya aspek legalitas ini didukung Lowe (2003) yang meneliti aspek pengawasan di TN Bunaken. Aspek pengawasan di KKL sangat erat kaitannya dengan aksi penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya penyadaran masyarakat melalui penyuluhan, penyebarluasan informasi dan pendidikan formal maupun nonformal tentang hukum dan lingkungan (Silalahi, 2001). Demikian juga menurut Sievanen (2003), terdapat hubungan yang erat antara potensi keanekaragaman hayati, konservasi dan aktivitas pariwisata bahari di TN Bunaken. Pengembangan kawasan konservasi laut dengan skala besar (nasional) seperti TN Bunaken maupun sekala kecil (daerah) seperti DPL Blongko, diharapkan dapat membangun jaringan KKL yang mendukung pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan peran dan fungsi kawasan konservasi laut sebagai penyedia produksi telur, larva, benih dan induk ikan, yang secara ekologis menyediakan habitat yang tidak terganggu untuk pemijahan, tempat berkembang biak dan membesarkan larva ikan yang kemudian 83

berpindah (spill over) ke areal sekitarnya. Masyarakat dapat menangkap ikan diluar zona inti TN Bunaken dan di sekitar DPL Blongko dengan menggunakan alat penangkapan yang selektif seperti pancing, set net dan sejenisnya. Oleh karena itu menjadi penting agar kawasan konservasi laut di rancang dalam kerangka pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. 6.2 Definisi dan Pengertian Kawasan Konservasi Laut Merujuk uraian pada tinjauan pustaka, saat ini belum ada definisi KKL yang dikeluarkan secara resmi oleh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Istilah yang digunakan menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA), dijabarkan lebih lanjut dengan status kawasan dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menggunakan istilah taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 menggunakan istilah kawasan lindung. Masyarakat pesisir menggunakan istilah daerah perlindungan laut untuk tujuan perlindungan habitat ikan berupa mangrove, lamun maupun terumbu karang. IUCN mendefinisikan KKL dengan pengertian spesifik, yaitu sebagai sebuah areal yang berada di wilayah pasang surut atau diatasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk kebudayaan, yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik sebagian maupun keseluruhannya. Berdasarkan definisi KKL tersebut, pembentukan kawasan konservasi laut dapat mencakup berbagai tujuan atau kepentingan, seperti ilmu pengetahuan, perlindungan peninggalan/situs sejarah, perlindungan jenis-jenis biota perairan dan ekosistemnya bahkan kepentingan perikanan. Ukuran KKL bervariasi, dari kawasan sangat luas seperti taman nasional sampai dengan ukuran yang relatif kecil seperti daerah perlindungan laut (desa). Definisi kawasan konservasi laut yang dirumuskan melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan pakar Komnasko-Laut lebih berorientasi 84

kepada pemahaman wilayah pesisir (coastal zone). Ruang lingkup dan batasan kawasan konservasi laut sangat terbatas pada wilayah pasang surut, walaupun didalamnya termasuk kawasan pesisir dan pulau pulau kecil. Batasan ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi pengertian KKL. Pertama, pengertian KKL dimaksud sangat sempit, hanya mencakup wilayah pasang surut (intertidal zone). Kedua, definisi di atas belum mengakomodasikan pengertian KKL untuk perairan di dalam dan di luar 12 mil laut serta perairan laut dalam (high seas). Saat ini sedang dibahas inisiasi pembentukan KKL di perairan laut dalam oleh para pakar konservasi dunia melalui forum pertemuan internasional, sehingga definisi yang dirumuskan FGD belum mengantisipasi wacana yang berkembang. Sejalan dengan pengertian KKL menurut IUCN dan rumusan tim pakar, serta mengantisipasi perkembangan KKL ke depan, maka penulis menyampaikan gagasan definisi KKL sebagai kawasan pesisir dan lautan tertentu, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara-cara lain yang efektif, baik sebagian maupun seluruh lingkungan alamnya. Pengertian kawasan pesisir mengacu pada kesepakatan umum di dunia yang dikemukakan Dahuri et al. (2001) dengan memodifikasi kata wilayah menjadi kawasan, definisi kawasan pesisir adalah suatu kawasan peralihan antara daratan dan lautan. Penggunaan istilah kawasan konservasi laut (KKL) disepakati pula sebagai terjemahan resmi dari marine mrotected area (MPA). KKL dapat mencakup areal yang cukup luas seperti taman nasional (> 1 juta ha), maupun kawasan konservasi laut yang berskala kecil seperti daerah perlindungan laut (<10 ha). Dengan demikian pengertian KKL di Indonesia antara lain meliputi KSA, KPA, kawasan konservasi laut daerah (KKLD) serta daerah perlindungan laut (DPL) pada skala desa. Penulis menyarankan pula penggunaan satuan ukuran luas KKL dari hektar menjadi satuan luas km2 dengan satuan jarak mil laut. Penggunaan satuan luas hektar umumnya digunakan di daratan. 6.3 Dukungan Peraturan Perundang-undangan dan Kelembagaan Aspek regulasi yang mengatur KKL dikelompokan sebagai sumber hukum utama yang mengatur secara langsung kawasan konservasi laut dan sumber 85

hukum pendukung. Sumber hukum utama TN Bunaken adalah UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Khusus untuk DPL Blongko diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat dan Peraturan Desa Blongko. Beberapa produk legalitas lainnya yang terkait dengan kawasan konservasi di Indonesia, baik produk nasional seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden atau peraturan presiden maupun dalam bentuk produk daerah seperti peraturan daerah, keputusan/peraturan bupati, serta keputusan desa. Menurut Knight dan Lowry (2003) serta Patlis (2003), terdapat 22 undang-undang yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Terdapat 3 (tiga) undang-undang yang menjadi sumber hukum utama yang terkait langsung dengan KKL, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAH dan E, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Ketiga undang-undang tersebut memiliki kesamaan pada obyek pengaturan konservasi. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan bahwa UU No 5 Tahun 1990 lebih menekankan pada perlindungan biodiversitas dengan bertumpu pada tiga misi strategi konservasi dunia tetapi tidak memberikan pengaturan yang tegas bagi masyarakat lokal untuk pemanfaatan perikanan. Pendekatan manajemen yang dikembangkan sangat sentralistis. Pasal 13 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan secara jelas memberikan mandat bahwa dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetika ikan. Dengan demikian pengelolaan kawasan konservasi laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan (inherent) dari perikanan berkelanjutan. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang sedang disusun sebagai turunan dari Undang Undang Perikanan memberikan mandat kepada pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola kawasan konservasi laut yang berada di wilayah kewenangannya, termasuk kawasan konservasi sekala desa maupun lingkungan masyarakat adat. 86

Pasal 18 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas memberikan mandat dan legitimasi yang kuat kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut yang menjadi kewenangan daerah, termasuk konservasi. Taman Nasional Bunaken yang memiliki luas lebih kurang 89.065 Ha, pengelolaannya dirancang dengan sistem zonasi. Pengelolaan kawasan dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Bunaken, Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Secara historis sektor kehutanan dan perikanan berada dalam satu atap, yaitu berada dibawah Departemen Pertanian. Kehutanan berkembang lebih awal menjadi departemen tersendiri dan melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi sejak tahun 1970-an. Strategi konservasi laut dikembangkan mengacu pada strategi konservasi dunia sebagai berikut: (1) Perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2) Pengawetan keanekaragaman jenis sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia; (3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu pengendalian cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam laut dan ekosistemnya yang dilakukan secara serasi dan seimbang, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Namun demikian, fakta di lapangan masih sering terjadi konflik antara masyarakat lokal yang bermata pencaharian sebagai nelayan dengan pengelola kawasan taman nasional yang bertugas mengamankan kawasan konservasi. Untuk mengantisipasi konflik dengan masyarakat nelayan, perlu adanya perubahan kebijakan dan paradigma pengelolaan TN Bunaken yang dapat memberikan peluang bagi mata pencaharian nelayan melalui pengaturan zonasi dan alat tangkap yang selektif di TN Bunaken. Sejalan dengan mandat Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2001, Departemen Kelautan 87

dan Perikanan (DKP) memiliki tugas pokok dan fungsi serta tanggung jawab melaksakan konservasi sumberdaya ikan, termasuk didalamnya menetapkan taman nasional laut. Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi di atas, DKP telah membentuk Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen KP3K. DKP memfasilitasi pemerintah daerah untuk membangun kawasan konservasi laut sesuai dengan kewenangannya. Sampai dengan akhir tahun 2006 terdapat 17 bupati yang telah mendeklarasikan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) dengan luas keseluruhan lebih kurang 2 juta hektar, termasuk kawasan konservasi laut berskala kecil yang dikukuhkan oleh peraturan desa. Terbitnya sumber hukum yang memberikan mandat kepada departemen teknis yang berlainan tupoksi dalam mengelola kawasan konservasi, terkesan telah menimbulkan dualisme pengelolaan KKL. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan secara historis telah merintis upaya konservasi, khususnya pengelolaan kawasan konservasi daratan (hutan) memiliki kekuatan hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam untuk mengelola kawasan konservasi, termasuk di dalamnya kawasan konservasi di perairan. DKP sebagai departemen teknis memiliki tanggung jawab dan kewenangan di bidang kelautan dan perikanan DPL Blongko merupakan kawasan konservasi laut yang memiliki luas kawasan relatif kecil sekitar 25 ha, berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi habitat sumberdaya ikan. Pengelolaan DPL Blongko dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Daerah Perlindungan Laut berdasarkan Keputusan Hukum Tua Desa Blongko. Pengawasan daerah perlindungan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang dibentuk masyarakat Desa Blongko sendiri, sehingga dapat lebih efektif. Aktifitas penangkapan ikan dilakukan diluar daerah perlindungan laut. Melalui pengaturan desa yang disepakati bersama, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi ditangani oleh kelompok pengelola DPL dengan penggunaan anggaran biaya relatif lebih kecil. Penanganan perkara dimulai dengan pemberian peringatan (1 sampai 3) dan proses pengadilan dilaksanakan apabila pelaku pelanggaran tidak mengindahkan peringatan sebelumnya. 88

Tujuan utama penetapan DPL blongko sangat jelas, yaitu untuk kepentingan perikanan, sedangkan tujuan penetapan TN Bunaken lebih berorientasi pada pengembangan pariwisata bahari. Kesadaran tentang manfaat konservasi laut telah dimiliki oleh masyarakat Desa Blongko, bahkan mereka menyebut kawasan DPL sebagai daerah tabungan ikan yang harus mereka jaga dan lindungi untuk masa depan anak cucu mereka. Pengembangan kawasan konservasi laut berbasis masyarakat semacam ini agar tetap dipertahankan dan dikembangkan agar dapat mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, karena secara ekologis akan menghasilkan habitat yang tidak terganggu untuk pemijahan, meningkatkan jumlah stok ikan, serta dapat memperbanyak jumlah induk dan larva ikan. Pengembangan kawasan konservasi laut yang dikembangkan masyarakat tidak hanya terbatas pada pola budaya masyarakat setempat seperti penerapan adat istiadat yang sudah lama dikenal dan dipraktekan, akan tetapi juga mencakup pada pola-pola yang dikembangkan oleh para praktisi lingkungan bersama-sama dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu pada era otonomi daerah ini, pengembangan kawasan konservasi laut dengan rancangan multi-tujuan sangatlah tepat, karena akan menyeimbangkan antara semangat untuk melindungi, memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya alam laut di daerah. Perda pengelolaan wilayah pesisir juga sangat dibutuhkan untuk memayungi pengembangan konservasi laut di daerah. 6.4 Faktor Dominan, Strategi dan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut Strategi dalam pengembangan konservasi laut di Indonesia mengacu kepada strategi konservasi dunia sebagai berikut : 1) Perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia 2) Pengawetan keanekaragaman jenis sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe 89

ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia 3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu pengendalian cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam laut dan ekosistemnya yang dilakukan secara serasi dan seimbang, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Kenyataannya sering kali kepentingan konservasi dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Oleh karena itu upaya untuk penetapan dan pengembangan konservasi laut harus serius direncanakan dan ditangani dengan baik dan terintegrasi. Untuk melakukan penetapan dan pengembangan kawasan konservasi laut terlebih dahulu kita harus memahami kriteria-kriteria kawasan konservasi laut. Kriteria taman nasional, sebagai bagian dari kawasan konservasi laut adalah adanya keterwakilan, keaslian dan kealamiahan, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya, luasan kawasan, keindahan alam, kenyamanan, kemudahan pencapaian, nilai sejarah dan ancaman manusia. Jadi pengembangan kawasan konservasi di Indonesia membutuhkan pendugaan untuk menganalisa keterwakilan dari habitat yang dilindungi dan mengidentifikasi kesenjangan sistem. Pengelolaan kawasan konservasi laut merupakan proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada pengelola kawasan di lokasi tertentu. Pembagian wewenang dan tanggung jawab dibedakan menurut skala luasan areal kawasan konservasi yang dikelola mulai dari skala sangat kecil yang dikelola desa sampai skala nasional. Kawasan Taman Nasional Bunaken memiliki areal 89.065 ha, meliputi bagian utara seluas 75.265 ha dan bagian selatan seluas 13.800 ha. Bagian utara terdiri dari 5 (lima) buah pulau: Bunaken, Manado Tua, Siladen, pesisir Tanjung Pisok (Kecamatan Bunaken, Kota Manado), Pulau Mantehage, Pulau Nain; dan Desa Tiwoho di daratan Sulawesi (Kec. Wori, Kab. Minahasa Utara). Bagian selatan terdiri dari pesisir Tanjung Kalapa (mulai dari pesisir Desa Poopoh, Kec. Tombariri, Kab. Minahasa sampai Desa Popareng, Kec. Tumpaan, Kab. Minahasa Selatan) merupakan kawasan yang cukup luas sehingga pengelolaannya dilakukan oleh UPT pusat. DPL Blongko 90

memiliki luas areal relatif kecil dan pengelolaannya dilakukan oleh kelompok masyarakat desa. Berdasarkan kajian SWOT terhadap faktor-faktor dominan serta rekomendasi alternatif kebijakan yang dihasilkan bagi pengelolaan Taman Nasional Bunaken dan DPL Blongko antara lain terdapat kesamaan prioritas kebijakan, yakni perlunya peningkatan kerjasama dan membangun comanagement dengan seluruh pemangku kepentingan. Hasil analisis SWOT memberikan gambaran yang mengkhawatirkan dengan adanya ketergantungan pengelolaan TN Bunaken dan DPL terhadap kehadiran LSM dan peran negara donor (faktor luar negeri), khususnya dalam dukungan pendanaan. Apabila situasi ini dibiarkan berkembang dan dukungan faktor luar negeri semakin berkurang, dikhawatirkan pengelolaan DPL Blongko yang telah dibangun dengan kerja keras semua pihak akan kembali mundur. Untuk mengantisipasi hal ini, maka penggalian sumber sumber pendanaan yang berasal dari dalam negeri, baik yang bersumber dari APBN, APBD, dana swasta/perusahaan yang bergerak di bidang sumberdaya alam, serta dana masyarakat perlu digalakkan. Kebijakan Departemen Kehutanan melalui dukungan program dan pembiayaan pengelolaan TN Bunaken perlu dikembangkan dengan membangun program yang lebih menekankan pada pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan serta pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan pemanfatan sumberdaya alam laut secara langsung dari alam serta mengantisipasi tekanan msyarakat terhadap penggunaan dan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak. Dalam upaya keterpaduan program antar sektor, kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Departemen Kehutanan dalam penguatan pengelolaan kawasan konservasi laut yang telah dibangun sejak tahun 2003 di 6 (enam) taman nasional perlu terus dibina dengan pembagian peran dan tugas yang jelas sehingga dapat menjadi faktor kekuatan untuk mendorong efektifitas pengelolaan taman nasional. Terkait dengan revitalisasi DPL Blongko, dukungan DKP melalui dana pembantuan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Selatan untuk mendukung kegiatan pengelolaan DPL Blongko merupakan perhatian 91

pemerintah pusat terhadap upaya konservasi pesisir dan laut di Kabupaten Minahasa Selatan perlu dikembangkan dan secara perlahan peran tersebut dapat digantikan oleh pemerintah daerah. Peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan di bidang konservasi pesisir dan laut agar ditingkatkan dengan memberikan fokus yang lebih besar terhadap program konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam dalam bentuk dukungan dana APBN yang memadai. Sejalan dengan era reformasi dan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pelimpahan sebagian besar wewenang pengelolaan pesisir dan laut kepada daerah otonom merupakan peluang bagi pelaksana pengelola pesisir dan laut secara terpadu. Kewenangan daerah tersebut dijelaskan bahwa daerah otonom memiliki kewenangan terhadap laut dalam hal : (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut (provinsi) dan kabupaten/kota (1/3 dari wilayah laut provinsi). (2) Pengaturan kepentingan administratif. (3) Pengaturan tata ruang. (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. (5) Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. Kewenangan ini harus disertai dengan tanggung jawab dalam memelihara kelestarian lingkungannya, dengan terlebih dahulu menyiapkan sarana dan prasarana, sumberdaya manusia dan pembinaannya. Pelibatan masyarakat luas, pemerintah daerah diharapkan dapat mendorong dan memunculkan calon-calon kawasan konservasi laut baru untuk dijadikan aset dan kebanggaan bagi daerah tersebut. Selain itu pemerintah daerah dapat menggali kearifan tradisional yang dimiliki oleh daerah untuk diangkat kepermukaan sebagai maskot dan kebanggaan daerah. Penerapan UU Nomor 32 Tahun 2004 memiliki implikasi terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonomi menyadari arti penting dari 92

pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidahkaidah pembangunan berkelanjutan. Beberapa permasalahan yang menjadi kendala bagi daerah dalam pengembangan konservasi laut, sebagai berikut : (1) Tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan antara berbagai pihak khususnya yang menyangkut pemanfaatan kawasan dan potensi sumberdaya alam di daerah. (2) Kurangnya aspirasi dan pengakuan masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan konservasi laut, sebagai akibat kurang dilibatkannya masyarakat lokal dalam proses penetapan kawasan konservasi laut daerah. Selain ini, penentuan KKL kurang memotivasi dan mendorong partisipasi masyarakat lokal. (3) Meningkatnya gangguan keamanan terhadap fisik kawasan konservasi laut, antara lain penangkapan ikan dengan bahan peledak dan potasium sianida, penambangan karang secara liar, pembuangan limbah, membuang jangkar perahu dan kapal motor secara sembarangan. (4) Terbatasnya database potensi kawasan koservasi laut sebagai akibat kurangnya kemampuan dalam melakukan identifikasi, monitoring dan evaluasi baik dari instansi pengelola maupun instansi pemerintah lainnya, LSM ataupun swasta. Pemanfaatan kawasan konservasi laut belum dapat dimanfaatkan secara optimal guna menarik minat pengunjung dan investor yang lebih intens dalam pendayagunaan dan pemanfaatan wisata alam laut. (5) Berkaitan dengan institusi baik kelembagaan, ketersediaan tenaga kerja, sarana dan prasarana serta penegakan hukum di laut (law inforcement) saat ini belum berfungsi secara optimal. (6) Peredaran biota laut dilindungi secara ilegal. (7) Penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang tidak selektif (pukat harimau dan sebagainya). 93

Sejalan dengan penerapan otonomi daerah, pengembangan konservasi laut pada skala besar dan skala kecil sangat tepat, karena akan menyeimbangkan antara semangat untuk memanfaatkan sumberdaya alam laut oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dengan tetap menjaga, memelihara serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap kelestarian sumbernya. Target pemerintah Indonesia untuk mengembangan kawasan konservasi laut seluas 10 juta ha pada tahun 2010 pada skala besar (nasional) maupun skala kecil (daerah) menunjukkan komitmen yang kuat pemerintah Indonesia untuk mengembangan model pengelolaan KKL pada skala besar (nasional) maupun skala kecil (daerah). Langkah ini perlu dukungan kuat dari berbagai pihak mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi agar pengelolaan kawasan konservasi tersebut efektif. 94