TINJAUAN PUSTAKA. schwanefeldi, Barbus schwanefeldi, Systomus schwanefeldi, Puntius schwanefeldi,

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Belida (Chitala lopis) (Dokumentasi BRPPU Palembang, 2009)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

Studi Morfometrik dan Meristik Ikan Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii) di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten

1b. Bibir bagian atas terpisah dari moncongnya oleh suatu lekukan yangjelas;pangkal bibir atas tertutup oleh lipatan kulit moncong 5

I. PENDAHULUAN. pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Clarias fuscus yang asli Taiwan dengan induk jantan lele Clarias mossambius yang

IDENTIFIKASI IKAN. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA. Mata Kuliah Iktiologi

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka. wader yang ditemukan di Kabupaten Bantul yaitu Rasbora, Puntius, dan. (Okeyo, 1999 dalam Widiyani, 2007).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu ikan

II. TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.47/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA MERAH NILASA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan lentik. Jadi daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya pada

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii) menurut Kottelat

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang memiliki bentuk

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

PENGAMATAN FEKUNDITAS IKAN MOTAN (Thynnichthys polylepis) HASIL TANGKAPAN NELAYAN DARI WADUK KOTO PANJANG, PROVINSI RIAU

MANAJEMEN KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Orechromis niloticus) DI KOLAM AIR DERAS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi ikan koi (Cyprinus carpio) Ikan koi mulai dikembangkan di Jepang sejak tahun1820, tepatnya di kota

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Uji Organoleptik Ikan Mujair

I. PENDAHULUAN. sumber daya perairan, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Perikanan adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman (Widyastuti, et.al.,2008).

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Bernhard Grzimek (1973) dalam Yovita H.I dan Mahmud Amin

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

BAB I PENDAHULUAN. suatu yang sudah tidak memiliki nilai manfaat lagi, baik itu yang bersifat basah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAPORAN PRAKTIKUM BIOSISTEMATIK HEWAN. Kelas Pisces (Ikan)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

BAB II KAJIAN PUSTAKA

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi Ikan Gurami (Osphronemus gouramy) Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Klasifikasi ikan lele menurut Djatmika (1986) adalah sebagai berikut :

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengenalan Jenis Ikan, Identifikasi dan Pengamatan Ciri-Ciri Seksual Sekunder Pada Ikan Cupang (Betta sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2014.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam merupakan salah satu komoditas ikan yang dikenal sebagai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii ) Ikan Lemeduk merupakan nama lain dari ikan Lampam. Nama sinonim ikan Lampam yaitu Barbonymus schwanefeldi, Barbus pentazona schwanefeldi, Barbodes schwanefeldi, Barbus schwanefeldi, Systomus schwanefeldi, Puntius schwanefeldi, Barbodes schwanefeldii. Nama umum ikan lampam yaitu tinfoil barb dan nama lokalnya sering disebut ikan lampam, lempam, lempem, kepiat, sala, tenadak merah dan kapiek (Setiawan, 2007). Ikan Kapiek adalah salah satu spesies ikan air tawar penghuni daerah tropis. Ikan ini hidup di perairan sungai, danau, atau rawa dan ditemukan di Negara-negara Indonesia. Ikan kapiek di Indonesia ditemukan di sumatera dan Kalimantan barat. Berdasarkan evolusinya, ikan kapiek digolongkan pada ikan air tawar utama (primary freshwater fishes) yaitu golongan ikan air tawar yang telah menghuni perairan tersebut sejak awal pertama ikan telestoi muncul di perairan ini (Siregar, 1989). Barbodes schwanenfeldii atau yang baru saja dikenal sebagai Barbonymus schwanenfeldii adalah dikenal sebagai lampam sungai di Peninsular Malaysia dan tengadak di daerah Sarawak. Dari segi morfologi ikan ini sangat mirip dengan Puntius gonionotus atau biasa dikenal dengan ikan Tawes. Ikan ini tersebar di daerah Sungai dan danau sekitar Semenanjung Malaysia terutama dalam Pahang, Perak, Kelantan dan Terengganu dan Selangor (Rahim dkk., 2009). Ikan tengadak atau ikan lampam (Barbonymus schwanenfeldii) merupakan ikan air tawar yang memiliki wilayah penyebaran di Kalimantan, Sumatera, Sungai Mekong, Chao Phraya, Peninsula (Pahang, Perak, Kelantan, Terengganu, Selangor),

dan Sarawak Malaysia. Keberadaan ikan tengadak sudah mulai berkurang akibat tingginya tingkat penangkapan di alam dan tingginya tingkat pencemaran di habitat aslinya (Alavi dkk., 2009 diacu oleh Hapsari, 2013 ). Adapun Klasifikasi ikan tersebut adalah sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus Spesies : Animalia : Chordata : Actinopterygi : Ostariophysi : Cyprinidae : Barbodes : Barbodes schwanenfeldii Gambar 2. Ikan Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii) Ikan kapiek merupakan ikan yang hidup di sungai dan danau. Pada musim banjir ikan ini masuk ke rawa-rawa dan tempat-tempat yang baru tergenang. Ikan ini sering tertangkap di tempat-tempat yang digunakan untuk keperluan rumah tangga dan pada malam hari berada di daerah pinggir dan tempat bervegetasi. Distribusi ikan kapiek terdapat diperairan Indonesia yaitu di Riau, Padang, Palembang, lampung, Sungai Kapuas, Sungai Mahakam, Pontianak, dan Samarinda. Sumber lain

mengatakan bahwa ikan lampam tersebar di wilayah Asia seperti Sungai Mekong, Chao Praya, Semenanjung Malaysia, Sumatera dan Kalimantan (Setiawan, 2007). Genus Puntius termasuk sub famili Cyprininae dari famili Cyprinidae dengan ciri khas mempunyai dua pasang sungut (Nelson, 1994). Menurut Kottelat, Whitten, Kartikasari dan Wirjoatmodjo (1993) Puntius mempunyai karakteristik pada sisik yang mempunyai proyeksi dari pusat ke pinggir terlihat seperti jari-jari pada roda, jari-jari yang ke arah samping tidak melengkung ke belakang dan tidak terdapat tonjolan keras (Vitri dkk., 2012). Ikan ini memiliki ciri bentuk tubuh pipih dan berwarna putih keperak-perakan atau kuning keemasan, sirip punggung berwarna merah keperak-perakan, sirip punggung berwarna merah dengan bercak hitam pada ujungnya, sirip dada sirip perut dan sirip dubur berwarna merah, sirip ekor berwarna orange atau merah dengan pinggiran garis hitam dan putih sepanjang sirip ekor (Setiawan, 2007). B. schwanenfeldii adalah ikan air tawar yang terdapat di danau dan sungai pada kisaran ph antara 6,5 dan 7.0, di daerah tropis pada suhu 20,4-33,7º C. Ukuran rata-rata adalah antara 10 cm dan 25 cm dan berat sekitar 200-600 g. Ikan ini dapat mencapai ukuran maksimal dengan panjang 30 cm dan bobot lebih dari 1,0 kg. Ikan ini merupakan ikan yang berkembang biak dengan cepat, dua kali dalam 15 bulan. Menurut Steven dkk., ( 1999), betina memiliki indung telur matang sesekali sedangkan jantan dari semua ukuran memiliki testis matang sepanjang tahun. Induk betina biasanya menumpahkan telur mereka di hulu sungai (Isa dkk., 2012). Di daerah Riau, ikan kapiek (Barbodes schwanenfeldii) merupakan salah satu ikan hasil utama sungai Kampar dan pada perairan umum lain di sekitarnya. Ikan kapiek tertangkap dengan alat tangkap seperti rawai, jala, jaring insang dan pancing.

Penangkapan ikan dilakukan sepanjang tahun. Puncak penangkapannya adalah pada musim kemarau yaitu pada saat permukaan air sungai mencapai titik yang paling rendah. Pada waktu tersebut kadang-kadang penangkapan dilakukan beramai-ramai dengan menggunakan jaring atau alat penangkap yang terbuat dari daun kelapa. Dengan jaring atau alat tersebut terdahulu, gerombolan ikan digiring ke bagian pinggir sungai yang berkerikil atau berpasir beramai-ramai (Siregar, 1989). Morfometrik Karakterisasi populasi bisa dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya menggunakan analisis morfometrik (Tschibwabwa, 1997; Sudarto, 2003; Gustiano, 2003). Morfometrik adalah perbandingan ukuran relatif bagian-bagian tubuh ikan yang mencerminkan perbedaan morfologi antar individu dan data yang dihasilkan adalah data yang tidak terpisah atau continous data (Manly, 1989 diacu oleh Muflikah dan Arif, 2009). Karakter morfologi (morfometrik dan meristik) telah lama digunakan dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam pengkategorian variasi dalam taksonomi. Hal ini juga banyak membantu dalam menyediakan informasi untuk pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi dalam tingkat intra species (ras) adalah variasi fenotip yang tidak selalu tepat dibawah kontrol genetik tapi dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Pembentukan fenotip dari ikan memungkinkan ikan dalam merespon secara adaptif perubahan dari lingkungan melalui modifikasi fisiologi dan kebiasaan. Lingkungan mempengaruhi variasi fenotip, walau bagaimanapun karakter morfologi

telah dapat memberikan manfaat dalam identifikasi stok dalam suatu populasi yang besar (Turan, 1998 diacu oleh Akbar, 2008). Evaluasi berbagai karakteristik ikan merupakan bagian penting dari setiap studi aspek biologi yang bertujuan untuk perbaikan genetik dari stok ikan. Variasi fenotipe antara strain dan korelasi antara studi karakteristik, baik di alam maupun di dalam ruangan memiliki pertumbuhan tertentu berupa karakteristik yang paling menonjol, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk meningkatkan Reproduksi dalam budidaya (Akhter dkk., 2003). Morfometrik merupakan salah satu cara untuk mendeskripsikan jenis ikan dan menentukan unit stok pada suatu perairan dengan berdasarkan atas perbedaan morfologi spesies yang diamati. Pengukuran morfometrik dapat dilakukan antara lain panjang standar, moncong atau bibir, sirip punggung, atau tinggi batang ekor (Rahmat, 2011). Studi morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat yaitu membedakan jenis kelamin dan spesies, mendeskripsikan pola-pola keragaman morfologis antar spesies, dan mengklasifikasikan serta menduga hubungan filogenik. Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan ukuran dan umur (Strauss and Bond 1990 diacu oleh Rachmawati, 2009).

Karakter morfometrik dapat membantu dalam menyediakan informasi untuk pendugaan stok sebaran populasi dalam habitat atau lingkungan perairan tempat hidupnya. Hasil dari kajian morfometrik dapat digunakan sebagai salah satu perangkat manajemen sumberdaya biota di alam, menjadikan kajian morfometrik ini cukup banyak dipelajari oleh para ahli perikanan (Anggraini 1991diacu oleh Muzammil, 2010). Ciri morfometrik pada ikan merupakan beberapa ukuran baku, antara lain panjang. Tinggi dan lebar badan. Tiap spesies ikan mempunyai ukuran mutlak yang berbeda-beda yang disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya. Faktor lingkungan yang dimaksud antara lain makanan, suhu, ph dan salinitas. Ukuran tiap individu ikan berbeda sehingga ukuran ikan mutlak tidak dapat digunakan sebagai patokan dalam perbandingan (Affandi dkk., 1992 diacu oleh Surawijaya, 2004). Menurut Kusrini dkk., (2008) Pengukuran secara morfometrik merupakan suatu teknik yang lebih baik untuk membedakan bentuk tubuh pada populasi. Pengukuran keragaman genetik berdasarkan karakter fenotipe dengan metode morfometrik lebih mudah dilakukan dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pengukuran berdasarkan karakter genotipenya. Morfometrik dapat dilakukan dengan tujuan antara lain untuk membedakan strain/spesies/populasi menentukan jarak genetik dan mencari indikator morfologi untuk tujuan seleksi. Perbedaan morfologi antar populasi atau spesies digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau dengan anatomis tertentu. Jika suatu spesies mempunyai bentuk tubuh lebih sempit dan lebih dalam daripada spesies lainnya atau memiliki mata yang relative besar ukurannya merupakan deskripsi

kualitatif. Deskripsi kualitatif dianggap belum memadai, sehingga seringkali diperlukan ekpresi kuantitatif dengan mengambil ukuran dari individu. Manfaat dari studi morfometri secara kuantitatif yaitu dapat membedakan individu antar jenis kelamin atau spesiesnya, menggambarkan pola-pola keragaman morfometrik antar populasi maupun spesies (Suci, 2007). Yuliana dkk., (2013) menyatakan bahwa morfometri untuk setiap individu sering menunjukkan hasil pengukuran yang berbeda-beda, beberapa hal yang mempengaruhinya adalah umur, jenis kelamin, makanan yang cukup, persentase unsur kimia dalam perairan dan keadaan lingkungan hidupnya. Pengukuran karakter morfometrik perlu diperhatikan, agar tidak terjadi kesalahan. Hal tersebut penting karena karakter morfometrik salah satu cara identifikasi. Cara pengukuran yang dipakai harus mengikuti kaidah yang berlaku, contoh: untuk mengukur panjang standar diukur dari bagian terdepan moncong atau bibir atas sampai pangkal sirip ekor. Pangkal sirip ekor dapat diketahui dengan cara menekukkan sirip ekornya (Nurdawati dkk., 2007). Genus Barbodes mempunyai ciri morfologi mulut kecil, terminal/ sub terminal, celahnya tidak memanjang melebihi garis vertical yang melalui pinggiran depan mata, mempunyai bibir halus berpapila atau tidak tetapi tanpa lipatan, bibir bagian atas terpisah dari moncongnya oleh satu lekukan yang jelas, pangkal bibir atas tertutup oleh lipatan kulit moncong, pada ujung rahang bawah tidak ada ada tonjolan. Bagian perut di depan sirip perut datar atau membulat tidak memipih membentuk geligir tajam, jika terdapat geligir hanya di bagian belakang sirip perut (Surawijaya, 2004).

Meristik Ciri-ciri meristik adalah jumlah bagian-bagian tubuh ikan misalnya jari-jari sirip dan sisik yang akan digunakan untuk mengidentifikasi serta mengklasifikasinya. Dengan sifat-sifat meristik dapat diketahui kemantapan sifat suatu spesies tertentu, yang mungkin berubah karena seleksi habitat atau tekanan-tekanan pengelolaan sumberdaya perairan itu (Surawijaya, 2004). Karakter meristik juga merupakan cara untuk mengidentifikasi ikan. Adapun bagian tubuh ikan yang sering dilakukan secara meristik adalah sirip. Penghitungan sirip yang sering digunakan dalam identifikasi adalah sirip punggung, sirip perut, sirip dubur, dan sirip dada. Sedang sirip ekor hanya dihitung pada kelompok ikan tertentu. Perhitungan sirip dibedakan antara jumlah jari-jari keras dan jari-jari lunak (Nurdawati dkk., 2007). Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomis tertentu. Terdapat perbedaan mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik lebih stabil jumlahnya selama masa pertumbuhan, sedangkan karakter morfometrik berubah secara kontinu sejalan ukuran dan umur (Widiyanto, 2008). Genus Barbodes mempunyai sisik dengan struktur beberapa jari-jari sisik sejajar atau melengkung ke ujung, sedikit atau tidak ada proyeksi jari-jari ke samping. Ada tonjolan sangat kecil yang memanjang dari tulang mata sampai ke moncong dan dari dahi sampai ke antara mata. Bibir bagian atas terpisah dari moncongnya oleh suatu lekukan yang jelas. Pangkal bibir atas tertutup oleh lipatan kulit moncong. Bagian perut di depan sirip perut datar atau membulat tidak memipih membentuk geligir tajam. jika terdapat geligir hanya terbatas di bagian belakang sirip

perut. Tidak ada tonjolan di ujung rahang bawah. Terdapat 5 81/2 jari-jari bercabang pada sirip dubur. Tidak ada duri mendatar di depan sirippunggung. Jarijari terakhir sirip punggung lemah atau keras, tapi tidak bergerigi. Jari-jari terakhir sirip punggung halus atau bergerigi di belakangnya, 7-10,5 jari-jari bercabang pada sirip punggung. Gurat sisi tidak sempurna, tidak ada atau berakhir di pertengahan pangkal sirip ekor. Tidak ada pori tambahan pada sisik sepanjang gurat sisi. Pori-pori pada kepala terisolasi, tidak membentuk barisan sejajar yang padat. Mulut terminal atau subterminal. Mempunyai bibir halus berpapila atau tidak, tetapi tanpa lipatan. Mulut kecil, celahnya tidak memanjang melebihi garis vertical yang melalui pinggiran depan mata. Jari-jari sirip dubur tidak mengeras (Kottelat dkk., 1993). Barbodes schwanenfeldii memiliki ciri meristik yaitu gurat sisi sempurna, 13 sisik sebelum awal sirip punggung, 8 sisik antara sirip punggung dan gurat sisi, badan berwarna perak dan kuning keemasan, sirip punggung merah dan bercak hitam pada ujungnya, sirip dada, sirip perut dan sirip dubur berwarna merah, sirip ekor berwarna oranye atau merah dengan pinggiran garis hitam dan putih sepanjang cupang sirip ekor (Kottelat dkk., 1993). Perbedaan karakter meristik bilateral dapat terjadi karena tidak stabilnya perkembangan individu bagi faktor gentik maupun faktor lingkungan. Keadaan organisme yang memiliki perkembangan genetik yang teratur disebut Homeostatis, dimana kondisi stabilitas perkembangan tetap terjaga dan fisiologis organisme terhadap fluktuasi lingkungan dalam kisaran normal. Organisme yang dikatakan normal adalah organisme yang memiliki ciri-ciri fenotipe mendekati ciri-ciri fenotip yang dimiliki oleh populasi normal dan memiliki daya homeostatis yang tinggi (Yusuf, 2010).

Faktor Fisika dan Kimia Perairan Suhu Suhu mempengaruhi aktifitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran organisme baik dilautan maupun di perairan air tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota air. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan hewan budidaya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrim (Ghufran dkk., 2010). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (Effendi, 2003). ph (Derajat Keasaman) ph singkatan dari Puissance negatif de H yaitu logaritma dari kepekatan ionion hydrogen yang terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau ph air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hydrogen pada suhu tertentu (Ghufran dkk., 2010). ph juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki ph rendah. Ammonium bersifat toksik. Namun pada suasana alkalis (ph tinggi) lebih banyak

ditemukan amoniak yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap kedalam tubuh organism akuatik dengan ammonium. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai ph sekitar 7-8,5. Nilai ph sangat berpengaruh pada proses biokimiawi perairan (Effendi, 2003). Nilai ph air tidak berpengaruh langsung terhadap kehidupan biota akuatik, tetapi melalui mekanisme peningkatan daya racun misalnya peningkatan ammonia tidak terionisasi pada ph diatas 7. Sedangkan ph air yang rendah menyebabkan peningkatan H 2 S dan daya racun nitrit, gangguan fisiologis sehingga dapat mengalami setress dan peningkatan kematian pada perairan. (Chien, 1992 diacu oleh Ameliawati, 2003). DO (Disolved oxygen) Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota tidak boleh kurang dari 6 ppm (Fardiaz, 1992 diacu oleh Umiyati, 2002). Ketersediaan DO berperan penting dalam penguraian proses bahan organik. Pada kadar DO yang rendah, proses penguraian bahan organik akan menjadi lambat. Jika proses penguraian berlangsung secara anaerob, maka perairan akan menghasilkan H 2 S dan NH 3 N yang bersifat reduktif dan toksik (Purnomo, 1998 diacu oleh Ameliawati, 2002).

Arus Arus adalah gerakan massa air yang arah gerakannya horizontal maupun vertikal. Arus sungai adalah gerakan massa air sungai yang arahnya searah dengan aliran sungai menuju hilir atau muara. Faktor yang mempengaruhi arus, yaitu tahanan dasar, perbedaan densitas (Agustini dkk. 2013) Kecepatan arus penting diamati sebab menurut Angelier (2003) merupakan faktor pembatas kehadiran organism di dalam sungai. Kecepatan arus sungai berfluktuasi (0,09-1,40 m/detik) yang semakin melambat ke hilir. Faktor gravitasi, lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai membuat kecepatan arus di hulu paling besar (Siahaan dkk, 2012) Kekeruhan Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan intensitas cahaya sampai pada suatu nilau optimum tertentu (cahaya saturasi). Diatas nilai tersebut, cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan dibawahnya merupakan cahaya pembatas pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi. Penetrasi sinar matahari kedalam kolom air dipengaruhi oleh tingkat kekeruhan air (Ameliawati, 2003). Kecerahan air sungai dipengaruhi oleh banyaknya material tersuspensi yang ada di dalam air sungai. Material ini akan mengurangi masuknya sinar matahari ke air sungai. Semakin ke hilir semakin banyak material yang ada di dalam air sungai yang semakin menurunkan kecerahan air sungai berakibat pada penurunan kecerahan air sungai (Siahaan dkk., 2012).

Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan-bahan tarsuspensi yang bervariasi, dari ukuran kolodial sampai dispersi kasar, tergantung dari derajat turbulensinya. Kebanyakan bahan-bahan ini berupa zat organik dan anorganik. Didaerah pemukiman, kekeruhan disebabkan oleh buangan penduduk dan buangan industri baik yang telah diolah maupun belum mengamati pengolahan. Kekeruhan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem pernafasan organisme akuatik, menghalangi penetrasi cahaya dan menurunkan kualitas perairan (Umiyati, 2002). Menurut Boyd (1982) diacu oleh Johan dan Edirmawan (2011) perairan yang memiliki kecerahan 0,60 m 0,90 m dianggap cukup baik untuk menunjang kehidupan ikan dan organisme lainnya. Akan tetapi jika kecerahan < 0,30 m, maka dapat menimbulkan masalah bagi ketersediaan oksigen terlarut diperairan. Kisaran kekeruhan 13,65 18,94 NTU secara umum cukup baik dan masih mendukung kehidupan organisme aquatik. Alearts dan Santika (1984) menambahkan bahwa nilai minimum untuk kekeruhan adalah 5 NTU dan maksimum yang diperbolehkan adalah 25 NTU.