PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH DI ERA REFORMASI

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

STRUKTUR PEMERINTAHAN DAERAH MUCHAMAD ALI SAFA AT

BAB II TINJAUAN KEBERADAAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN UMUM TERHADAP DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. A. Fungsi dan Peranan Undang-Undang Dasar 1945

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN 2012 PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Muchamad Ali Safa at

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. otonom (locale rechtgemeenschappen) yang pembentukannya ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

I. U M U M PASAL DEMI PASAL II.

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi

Muchamad Ali Safa at

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DPRD SEGERA BENTUK PANSUS TEMUAN BPK

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 05 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 159 TAHUN : 2013 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

K E P U T U S A N DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 03/SB/2006

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Transkripsi:

PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH DI ERA REFORMASI Oleh : Santoso Budi NU 1 Abstrak : Controlling towards legal product based on UU No. 32 year 2004 covers reventive aspect and represive aspect. Preventive aspect refers to Perda before used in regency level, a governor is indirectly called as authority while in province level, the authority is domestic minister. Represive aspect refers to Perda after used and as the authority is Mahkamah Agung. Keywords: Pengawasan, Produk Hukum Daerah dan Era Reformasi PENDAHULUAN Salah satu berkah reformasi adalah adanya paradikmatik hubungan Pemerintah Pusat dan daerah dari sentralistik ke arah desentralisasi, dengan dilahirkannya UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah orde baru yang memaksakan penyeragaman penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melalui UU No, 5 tahun 1974 ternyata telah gagal mengemban misi sentralistiknya. Sejak kelahirannya hingga sampai ± 24 tahun UU No. 5 tahun 1974 diberlakukan, daerah tidak pernah diberdayakan dan dipandang secara berlebihan terhadap potensi daerah yang kemudian hasil daerah dikirim ke pusat (Jakarta). Melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian muncul UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah diberdayakan dengan memberikan kewenangan yang besar mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. 1 Dosen Fakultas Hukum 31

Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah-daerah itu masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain. Meskipun masing-masing daerah itu bersifat otonom yaitu memiliki kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsanya sendiri dan oleh karenanya, masing-masing daerah tidak memiliki hubungan hierarki dengan organ-organ satuan pemerintahan tingkat lebih atas, namun demikian, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah selalu ada pengawasan yang dilakukan oleh organ pemerintahan tingkat lebih tinggi. Bahkan dapat dikatakan tidak ada pemerintahan berotonomi tanpa pengawasan, padahal antara pengawasan dengan desentralisasi akan memungkinkan timbulnya spanning. PERMASALAHAN Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana pengaturan tentang pengawasan terhadap produk perundang-undangan daerah menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. PEMBAHASAN Untuk menghindari jangan sampai terjadi kekosongan aturan hukum di daerah, UU No. 32 tabun 2004 melimpahkan semua urusan ke daerah atau menghindari kesewenang-wenangan Pemerintah Daerah dalam mengelola potensi dan kekayaan daerah, maka daerah diberi kesempatan untuk menerbitkan Perda, yang mana Perda 32

tersebut harus dibahas dan disetujui bersama oleh DPRD dan Bupati / Walikota. Dengan kata lain, supaya tindakan Bupati/Walikota atau DPRD sah dan dapat diterima oleh rakyat di daerahnya, maka semua kebijakan di daerah harus ada dasar pijakan yuridisnya, sehingga memudahkan daerah mengatur dirinya sesuai aspirasi masyarakatnya. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dari keseluruhan Perda yang diterbitkan oleh sejumlah daerah ada beberapa Perda yang dipandang bermasalah, sebagaimana yang disinyalir oleh Kadin dan direkomendasikan oleh Tim Kerja Pengkajian Perda dan Keputusan Kepala Daerah Depdagri. Pada tahun 2001 Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah membatalkan 68 Perda yang dipandang bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan pengawasan terhadap, daerah, UU No. 32 tahun 2004 pasal 144 telah menggariskan sebagai berikut: (1) Rancangan Perda yang telah disetujui bersama, oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubemur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda. (2) Penyampaian rancangan Perda, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. (3) Rancangan Perda, sebagaimana dimaksud pada, ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama. (4) Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah. (5) Dalam hal sahnya rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4), rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, Perda ini dinyatakan sah, dengan mencantumkan tanggal sahnya. 33

(6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Perda sebelum pengundangan naskah Perda ke dalam lembaran daerah. Kemudian MPR dalam Sidang Tahunan 1-9 Nopember 2001 telah mengeluarkan Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, yang merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk melakukan Uji Material (Judicial review) terhadap semua peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tanpa melalui proses peradilan kasasi sesuai pasal 5 Tap MPR Nomor III/MPR/2000. Pengawasan pusat terhadap daerah disini lebih ditekankan pada pengawasan preventif untuk lebih memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Berkaitan dengan pengaturan pembatalan Perda maka dalam pasal 145 UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan sebagai berikut: (1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enarn puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Paling lama 7(tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daemh mencabut perda dimaksud. (5) Apabila propinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 34

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. (7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan berlaku. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang DPRD diatur sebagai berikut: Pasal 40 DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 41 DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Pasal 42 (1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah; d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah / wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/kota; e. memilih Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah; f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian Internasional di daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama Internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; 35

h. meminta laporan keterangan pertanggung jawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; i. membentuk panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah; j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah; k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. (2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya DPRD berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 43 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai hak yaitu: (1) DPRD mempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; c. menyatakan pendapat. (2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurangkurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. (3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD. (4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki. 36

(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. (6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. (8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak anggota DPRD berdasarkan pasal 44 di atas sebagai berikut: (1) Anggota DPRI) mempunyai bak; a. mengajukan rancangan Perda; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; dan h. keuangan dan administratif. (2) Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Peraturan Pemerintahan. Hak-hak DPRD ketika berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 tidak pernah bisa dilaksanakan karena adanya berbagai kendala dan tekanan politis dari Pemerintah. Hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD sangat tidak seimbang, Hal ini dapat dimengerti karena konteks politik yang terjadi pada masa Orde Baru tidak memberi peluang bagi terciptanya kelembagaan politik yang seimbang. Lembaga legislasi hanya dijadikan semacam sparring partner saja, bukan sebagai pembentuk kebijaksanaan publik yang menentukan. 37

Ditinjau dari hubungan Pusat dan Daerah, pengawasan merupakan pengikat kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan (unitary): Apabila pengikat tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus. Apabila hal itu terjadi, pengawasan bukan lagi merupakan satu sisi dari desentralisasi tetapi menjadi pembelenggu desentralisasi. Untuk itu, pengawasan harus disertai pembatasanpembatasan. Pembatasan-pembatasan tersebut akan mencakup pembatasan macam atau bentuk pengawasan, yang sekaligus mengandung pembatasan tata cara menyelenggarakan pengawasan, dan pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah, termasuk keputusan Kepala daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan daerah, merupakan suatu akibat mutlak dan adanya Negara Kesatuan. Di dalam Negara Kesatuan kita tidak mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar dengan Negara, tidak pula mungkin ada Negara di dalam Negara. Dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan pada umumnya, haruslah diusahakan selalu adanya keserasian atau harmoni antara tindakan Pusat atau Negara dengan tindakan daerah, agar dengan demikian kesatuan negara dapat tetap terpelihara. 2 Oppenheim mengatakan. 3 Kebebasan bagian-bagian Negara sama sekali tidak boleh berakhir dengan kehancuran hubungan Negara. Di dalam pengawasan tertinggi letaknya jaminan, bahwa selalu terdapat keserasian antara pelaksanaan bebas dari tugas Pemerintah daerah dan kebebasan tugas Negara otch Penguasa Negara itu. Dalam kaitannya dengan persoalan tersebut Van Kempen mengatakan sebagai berikut. 4...bahwa otonomi mempunyai arti lain dari pada kedaulatan (souvreiniteit), yang merupakan attribut dan Negara, akan tetapi tidak pernah merupakan attribut dari 2 Irawan Soejito, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dalam Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983, Hlm. 9. 3 Oppenhiem, Nederlans Gemeenterecth dikutip kembali oleh Irawan Soejito, Ibid. 4 Van Kempen, Inleiding tot het Nederlandsch Indisch Gemeenterecht, dalam Irawan Soejito, Ibid. 38

bagian-bagiannya seperti Gemeente, Provincie dan sebagainya, yang hanya dapat memiliki hak-hak yang berasal dari negara, bagian-bagian mana justru sebagai bagian-bagian dapat berdiri sendiri (zelfstandig), akan tetapi tidak mungkin dapat dianggap merdeka (onafhankelijk). Lepas dari, ataupun sejajar dengan Negara. Di dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diatur model pengawasan preventif dan represif. Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Jadi, pengawasan preventif dilakukan sesudah Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah ditetapkan, tetapi sebelum Peraturan dan Keputusan itu berlaku. Bagi Perda khususnya, pengawasan preventif terhadap Perda dilakukan sesudah Perda itu ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD tetapi sebelum Perda itu diundangkan. Pelaksanaan pengawasan preventif berada pada posisi lebih awal dari pengawasan represif. Daya campur tangan terhadap daerah juga menjadi lebih besar. Pengawasan preventif mengandung prasyarat agar keputusan daerah di bidang atau yang mengandung sifat tertentu dapat dijalankan pembatasan terhadap pengawasan preventif lebih ketat dibanding pengawasan represif. Salah satu bentuk pembatasan adalah dengan cara mengatur atau menentukan secara pasti jenis atau macam keputusan daerah yang memerlukan pengawasan. 5 Pengawasan represif dilaksanakan dalam bentuk penangguhan/penundaan (schorsing) dan pembatalan (vernietiging). UU No. 32 tahun 2004 mengatur dengan tegas alat kelengkapan (organ) pemerintahan yang berwenang melaksanakan pengawasan represif. Secara tidak langsung Gubernur disebut sebagai pemegang wewenang preventif kaitannya dengan pembentukan perda tingkat Kabupaten/Kota atau Peraturan Bupati/Wali Kota, sedangkan untuk Perda tingkat Propinsi ada pada Menteri Dalam Negeri. 5 Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah Universitas Bandung, LPPM,1995, Hlm. 53-54. 39

DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta, 1994, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, Universitas Bandung, LPPM, Bandung, 1995., Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001. Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983. Sekretariat Jenderal MPR RI, Putusan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, Jakarta, 2001. Syaukani, Afan Gaffar dan M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. 40