BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
OPTIMASI WADUK REGULATING DAM DI KABUPATEN PRINGSEWU, PROVINSI LAMPUNG. Dharmawan Setiyoko 1) Gatot Eko Susilo 2) Ahmad Zakaria 2)

Proses Pembuatan Waduk

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang diperoleh dapat bermanfaat. Metode penelitian dilakukan guna menunjang

BAB I PENDAHULUAN. daya alam yang sangat besar terutama potensi sumber daya air. Pelaksanaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. DEFINISI BENDUNGAN

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGEMBANGAN POTENSI SUMBER DAYA AIR PERMUKAAN DANAU, WADUK DAN BENDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Studi Optimasi Operasional Waduk Sengguruh untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran Umum Daerah Irigasi Ular Kabupaten Serdang Bedagai

Bendungan juga bermanfaat untuk melakukan konservasi air. Dengan menahan air lebih lama di darat sebelum mengalir kembali ke laut akan memberikan

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ABSTRAK Faris Afif.O,

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

ABSTRAK. Kata Kunci : DAS Tukad Petanu, Neraca air, AWLR, Daerah Irigasi, Surplus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Embung berfungsi sebagai penampung limpasan air hujan/runoff yang terjadi di

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012

BAB I SIKLUS HIDROLOGI. Dalam bab ini akan dipelajari, pengertian dasar hidrologi, siklus hidrologi, sirkulasi air dan neraca air.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan kemajuan zaman serta bertambahnya jumlah penduduk dengan

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

BAB III METODOLOGI. Dalam pengumpulan data untuk mengevaluasi bendungan Ketro, dilakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, antara lain :

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB III TINJAUAN DAERAH STUDI

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) ISSN: Perencanaan Embung Bulung Kabupaten Bangkalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

PENGANTAR PENGEMBANGAN SUMBERDAYA AIR

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kata kunci : Air Baku, Spillway, Embung.

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (PSDA) Dosen : Fani Yayuk Supomo, ST., MT ATA 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Air merupakan unsur yang sangat penting di bumi dan dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

Bab III Metodologi Analisis Kajian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I-1. Laporan Tugas Akhir Kinerja Pengoperasian Waduk Sempor Jawa Tengah dan Perbaikan Jaringan Irigasinya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. prasarana pengairan seperti waduk. Sejumlah besar waduk di Indonesia saat ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab 1 Pendahuluan I - 1

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan penelitian dari Nippon Koei (2007), Bendungan Serbaguna

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

METODE PELAKSANAAN KONSTRUKSI BENDUNG

BAB III STUDI KASUS III-1

BAB II PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA AIR PERMUKAAN DANAU, WADUK DAN BENDUNG

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

SESSION 8 HYDRO POWER PLANT. 1. Potensi PLTA 2. Jenis PLTA 3. Prinsip Kerja 4. Komponen PLTA 5. Perencanaan PLTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 UMUM

DESAIN BANGUNAN IRIGASI

2015 ANALISA PENGISIAN AWAL WADUK (IMPOUNDING) PADA BENDUNGAN JATIGEDE

PERENCANAAN BENDUNGAN PAMUTIH KECAMATAN KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

Bab IV DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HYDRO POWER PLANT. Prepared by: anonymous

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Waduk atau Bendungan 2.1.1 Pengertian Umum Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Pasal 1 Tahun 2010 tentang Bendungan, bahwa bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk. Bendungan atau waduk merupakan wadah buatan yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan. Menurut Peraturan Menteri Nomor 72/PRT/1997, bendungan adalah setiap bangunan penahan air buatan, jenis urugan atau jenis lainnya yang menampung air atau dapat menampung air, termasuk pondasi, bukit/tebing tumpuan, serta bangunan pelengkap dan peralatannya, termasuk juga bendungan limbah galian, tetapi tidak termasuk bendung dan tanggul. Sebuah bendungan berfungsi sebagai penangkap air dan menyimpannya di musim hujan waktu air sungai mengalir dalam jumlah besar dan yang melebihi kebutuhan baik untuk keperluan, irigasi, air minum, industri atau yang lainnya. Dengan memiliki daya tampung tersebut sejumlah besar air

7 sungai yang melebihi kebutuhan dapat disimpan dalam waduk dan baru dilepas mengalir ke dalam sungai lagi di hilirnya sesuai dengan kebutuhan pada saat diperlukan. Sebuah bendungan dapat dibuat dari bahan bangunan urugan tanah campur batu berukuran kecil sampai besar atau dari beton. Bila aliran sungai yang masuk ke dalam waduk tersebut melebihi air yang dialirkan ke luar waduk sesuai dengan kebutuhan, maka isi waduk makin lama makin penuh dan dapat melampaui batas daya tampung rencananya, sehingga permukaan air dalam waduk akan naik terus dan akhirnya melimpas. Untuk mencegah terjadinya limpasan air pada sebuah bendungan, limpasan air itu dilokalisir pada bangunan pelimpah yang lokasinya dipilih menurut kondisi topografi yang terbaik. Panjang bangunan pelimpah dihitung menurut debit rencana sedemikian rupa hingga tinggi muka air waduk tidak akan naik lebih tinggi dari pusat bendungan dan bahkan biasanya direncanakan agar muka air waduk itu lebih rendah dari puncak bendungan minimum 5 m. Beda tinggi bervariasi dari 5-20 m. Tinggi bendungan bervariasi dari sekitar 15 m sampai ratusan meter. Disebut dengan tinggi bendungan adalah perbedaan elevasi antara puncak bendungan dengan dasar sungai lama. Pembagian tipe bendungan dilihat dari 7 (tujuh) kondisi, yaitu: 1. Tipe bendungan berdasarkan ukurannya; a. Bendungan besar (large dams) Definisi menurut ICOLD, bendungan besar adalah bendungan yang tingginya lebih dari 15 m, diukur dari bawah pondasi sampai

8 ke puncak bendungan. Bendungan antara 10 15 m dapat disebut sebagai bendungan besar bila memenuhi kriteria, yaitu: 1) Panjang puncak bendung lebih dari 500 m; 2) Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 1 juta m 3 ; 3) Debit banjir maksimum yang diperhitungkan tidak kurang dari 2000 m 3 /det; 4) Bendungan menghadapi kesulitan kesulitan khusus pada pondasinya atau mempunyai spesifik; 5) Desain bendung tidak seperti biasanya. b. Bendung kecil (small dams, weir, bendung) Adalah semua syarat bendungan besar tidak dipenuhi. 2. Tipe bendungan berdasarkan tujuan pembangunan; a. Bendung dengan tujuan tunggal, (single purpose dams), yaitu bendungan dibangun dengan satu tujuan saja. Misalnya untuk pembangkit listrik, untuk irigasi, dan pengendali banjir; b. Bendungan serba guna (multipurpose dams), adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya pembangkit tenaga listrik dan irigasi, pengendalian banjir dan PLTA, air minum dan industri, pariwisata. 3. Tipe bendungan berdasarkan penggunaan; a. Bendungan untuk membentuk waduk (storage dams), adalah bendungan yang dibangun untuk membentuk waduk yang berguna untuk menyimpan air pada waktu kelebihan dan dapat dipakai pada waktu diperlukan;

9 b. Bendungan penangkap atau pembelok air (diversion dams), bendungan dibangun agar permukaan air tinggi sehingga dapat mengalir masuk ke dalam saluran air atau terowongan. Banyak dipakai untuk irigasi, PLTA, penyediaan air industri; c. Bendungan untuk memperlambat jalannya air (detension dams), adalah bendungan yang dibangun untuk memperlambat jalannya air sehingga dapat mencegah banjir besar. Untuk menyimpan air sementara dan dialirkan dalam saluran air bagian hilir. Untuk menyimpan air selama mungkin agar dapat meresap di daerah sekitarnya. Apabila dipakai untuk menangkap lumpur dan pasir maka disebut sebagai debris dam, checkdam, sabo dam. 4. Tipe bendungan berdasarkan jalannya air; a. Bendungan untuk dilewati air (overflow dam) adalah bendungan yang dibangun untuk dilimpasi air, misalnya bangunan pelimpah; b. Bendungan untuk menahan air (non overflow dam) adalah bendungan yang sama sekali tidak boleh dilimpasi air. 5. Tipe bendungan berdasarkan konstruksinya; Tipe bendungan berdasarkan kostruksinya ada tiga tipe yaitu: a. Bendungan urugan (fill type dam) adalah bendungan yang dibangun dari hasil penggalian bahan tanpa bahan tambahan lain yang bersifat campuran secara kimia, jadi betul-betul bahan pembentuk bendungan asli. Bendungan ini dapat dibagi menjadi: 1) Bendungan urugan berlapis-lapis (zone dams, rockfill dams), yaitu bendungan urugan yang terdiri atas beberapa lapisan,

10 yaitu lapisan kedap air (water tight layer), lapisan batu (rock zones, shell), lapisan batu teratur (rip rap), dan lapisan pengering (filter zones); 2) Bendungan urugan serba sama (homogeneous dams), yaitu bendungan yang lebih dari setengah volumenya terdiri atas bahan bangunan yang seragam; 3) Bendungan urugan batu dengan lapisan kedap air di muka (impermeable face rockfill dams, decked rockfill dams), yaitu bendungan urugan batu berlapis-lapis yang lapisan kedap airnya diletakkan di sebelah hulu bendungan. Lapisan kedap air yang sering dipasang adalah aspal dan beton bertulang. b. Bendungan beton (concrete dam) adalah bendungan yang dibuat dengan konstruksi beton dengan tulang maupun tidak. Ada 4 tipe bendungan beton: 1) Bendungan beton berdasarkan berat sendiri (concrete gravity dam) adalah bendungan beton yang direncanakan untuk menahan beban dan gaya yang bekerja padanya hanya berdasar atas berat sendiri; 2) Bendungan beton dengan penyangga (concrete buttress dam) adalah bendungan beton yang mempunyai penyangga untuk menyalurkan gaya-gaya yang bekerja padanya. Banyak dipakai apabila sungainya sangat lebar dan geologinya baik; 3) Bendungan beton berbentuk lengkung atau busur (concrete arch dam) adalah bendungan beton yang direncanakan untuk

11 menyalurkan gaya yang bekerja padanya melalui pangkal tebing (abutment) kiri dan kanan bendungan; 4) Bendungan beton kombinasi (combination concrete dam atau mixed type concrete dam) adalah kombinasi lebih dari satu tipe bendungan. Apabila suatu bendungan beton berdasar berat sendiri berbentuk lengkung disebut concretearch gravity dam dan kemudian apabila bendungan beton merupakan gabungan beberapa lengkung, maka disebut concrete multiple arch dam. c. Bendungan lainnya, misalnya bendungan kayu (timber dams), bendungan besi (steel dams), bendungan pasangan batas (bricks dams), dan bendungan pasangan batu (masonry dams). Earth fill dam Concrete dam Masonry dam Gambar 2.1. Tipe bendungan berdasarkan konstruksinya (Wikipedia, 2015a) 6. Tipe bendungan berdasarkan fungsinya; Bendungan berdasarkan fungsinya ada 8 tipe, yaitu : a. Bendungan pengelak pendahuluan (primary coffer dam) adalah bendungan yang pertama-tama dibangun di sungai pada debit air rendah agar lokasi rencana bendungan pengelak menjadi kering yang memungkinkan pembangunan secara teknis.

12 b. Bendungan pengelak (coffer dam) adalah bendungan yang dibangun sesudah selesainya bendungan pengelak pendahuluan sehingga lokasi rencana bendungan utama menjadi kering, yang memungkinkan pembanguna secara teknis; c. Bendungan utama (main dam) adalah bendungan yang dibangun untuk satu atau lebih tujuan tertentu; d. Bendungan (high level dam) adalah bendungan yang terletak di sisi kiri atau kanan bendungan utama, yang tinggi puncaknya juga sama; e. Bendungan di tempat rendah (sadlle dam) adalah bendungan yang terletak ditepi waduk yang jauh dari bendungan utama yang dibangun untuk mencegah keluarnya air dari waduk, sehingga air waduk tidak mengalir kedaerah sekitarnya; f. Tanggul merupakan bendungan yang terletak di sisi kiri atau kanan bendungan utama dan di tempat dari bendungan utama yang tinggi maksimum 5 m dengan panjang mercu maksimum 5 kali tingginya; g. Bendungan limbah industri (industrial waste dam) merupakan bendungan yang terdiri atas timbunan secara bertahap untuk menahan limbah yang berasal dari industri; h. Bendungan pertambangan (main tailing dam) adalah bendungan yang terdiri atas timbunan secara bertahap untuk menahan hasil galian pertambangan dan bahan pembuatannya berasal dari hasil galian pertambangan itu.

13 7. Tipe bendungan menurut ICOLD (The International Commission on Large Dams). Tipe bendungan menurut ICOLD, yaitu : a. Bendungan urugan tanah (earthfill dams), yaitu bendungan yang lebih dari setengah volume terdiri atas urugan tanah atau tanah liat; b. Bendungan beton berdasar berat sendiri adalah bendungan beton yang direncanakan untuk menahan beban dan gaya yang bekerja padanya hanya berdasar atas berat sendiri; c. Bendungan urugan batu (rockfill dams), adalah bendungan yang kekuatan konstruksinya didasarkan pada urugan batu dan sebagai lapisan kedap air memakai tanah liat, tanah liat bercampur pasir/kerikil, lapisan aspal, beton bertulang atau geotextile; d. Bendungan beton dengan penyangga (concrete buttress dam) adalah bendungan beton yang mempunyai penyangga untuk menyalurkan gaya-gaya yang bekerja padanya; e. Bendungan beton berbentuk lengkung atau busur (concrete arch dam) merupakan bendungan beton yang direncanakan untuk menyalurkan gaya yang bekerja padanya melalui pangkal tebing (abutment) kiri dan kanan bendungan. f. Bendungan beton kombinasi (combination concrete dam atau mixed type concrete dam) adalah kombinasi lebih dari satu tipe bendungan. Bendungan secara umum merupakan tempat pada permukaan tanah yang digunakan untuk menampung air saat terjadi kelebihan air di musim

14 penghujan sehingga air tersebut dapat dimanfaatkan saat musim kering. Sumber air bendungan pada umumnya berasal dari aliran air permukaan ditambah dari air hujan langsung. Pemanfaatkan bendungan antara lain : 1. Irigasi Hujan yang turun di daerah tangkapan air sebagian besar akan mengalir ke sungai. Kelebihan air yang terdapat di bendungan merupakan sumber persediaan sehingga pada saat musim kemarau tiba air tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan salah satunya yaitu sebagai irigasi lahan pertanian. 2. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bendungan yang berfungsi sebagai PLTA dikelola untuk mendapatkan kapasitas listrik yang dibutuhkan. PLTA bendungan merupakan sistem pembangkit listrik yang sistem pengoprasiannya terintegrasi dalam bendungan dengan memanfaatkan energi mekanis dari aliran air saat memutar turbin yang kemudian hasilnya akan diubah menjadi tenaga listrik oleh generator. 3. Penyedia air baku Air baku atau air bersih yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air minum dan air rumah tangga. Bendungan selain sebagai sumber pengairan persawahan juga dimanfaatkan sebagai sumber penyediaan air baku untuk bahan baku air minum dan air rumah tangga. Air yang dipakai harus memenuhi persyaratan sesuai dengan kegunaannya.

15 2.1.2 Karakteristik dan Klasifikasi Penggunaan Bendungan Karakteristik suatu bendungan merupakan bagian pokok dari bendungan yaitu volume hidup (live storage), volume mati (dead storage), tinggi muka air (TMA) maksimum, TMA minimum, tinggi mercu bangunan pelimpah berdasarkan debit rencana. Dari karakteristik fisik bendungan tersebut didapatkan hubungan antara elevasi dan volume tampungan yang disebut juga liku kapasitas bendungan. Liku kapasitas tampungan bendungan merupakan data yang menggambarkan volume tampungan air di dalam waduk pada setiap ketinggian muka air. Berdasarkan fungsinya penggunaannya, waduk diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu : 1. Waduk eka guna (single purpose) Waduk eka guna merupakan waduk yang dioperasikan untuk memenuhi satu kebutuhan saja, misalnya untuk kebutuhan air irigasi, air baku atau PLTA. Pengoperasian waduk eka guna lebih mudah dibandingkan dengan bendungan multi guna dikarenakan tidak adanya konflik kepentingan di dalamnya. Pada waduk eka guna pengoperasian yang dilakukan hanya mempertimbangkan pemenuhan satu kebutuhan. 2. Waduk multi guna (multi purpose)

16 Waduk multi guna (multi purpose) merupakan waduk yang berfungsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan, misalnya waduk untuk memenuhi kebutuhan air, irigasi, air baku dan PLTA. Kombinasi dari berbagai kebutuhan dimaksud untuk dapat mengoptimalkan fungsi waduk dan meningkatkan kelayakan pembangunan suatu waduk. 2.2 Pola Operasi Waduk Suatu waduk dapat dimanfaatkan dengan mengoptimalkan semua elemen dan potensi waduk yang ada dengan menggunakan pola operasi tertentu. Biasanya studi optmalisasi waduk dilakukan dengan mengkaji operasi waduk melalui metode simulasi. Dalam penyusunan simulasi operasi waduk, hal yang perlu diketahui adalah ketersediaan air, pemanfaatan air, kehilangan air, dan karakteristik waduk. Secara umum persamaan neracaair di waduk diberikan sebagai: S = I O (Harto, 1981) Di mana: S = perubahan volume di tampungan waduk I = volume air yamg masuk tampungan waduk O = volume air yamg keluar tampungan waduk Untuk simulasi waduk pada Regulating Dam, komponen-komponen inflow adalah (Bina Buana Raya Consultant, 2013) : Debit limpasan Bendung Argoguruh (I1).

17 Adapun komponen-komponen outflownya adalah sebagai berikut: a. Debit untuk PDAM Pringsewu sebesar 0,45 m 3 /detik (O1) (MDGs, 2013); b. Debit untuk PDAM Metro dan Branti sebesar 0,50 m 3 /detik (O2) (MDGs, 2013); c. Debit untuk PDAM Bandar Lampung sebesar 2,25 m 3 /detik (O3) (MDGs, 2013); d. Debit evaporasi sebesar 4,00 mm/hari (O4); e. Debit untuk irigasi sawah di sekitar waduk dengan NFR 1,2 liter/ha dan efisiensi saluran primer, sekunder, dan tersier masing-masing 90%, 80%, dan 80% (O5); Berdasarkan komponen-komponen inflow dan outflow di atas maka neraca air pada waduk Regulating Dam dapat diformulasikan sebagai: S = I1 O1 O2 O3 O4 O5 Berikut adalah skenario-skenario yang direncanakan dalam simulasi waduk Regulating Dam: a. Simulasi 1 dengan neraca air: S = I1 + I2 O1 O2 O3 O4 b. Simulasi 2 dengan neraca air:

18 S = I1 + I2 O1 O2 O3 O4 O5 2.3 Daerah Aliran Sungai Apabila kita berbicara hujan yang jatuh di suatu daerah, maka daerah yang dimaksud merupakan suatu daerah aliran sungai. Daerah aliran sungai atau DAS atau catchment area atau watershed adalah suatu daerah yang dibatasi oleh batas topografi yang tinggi, di mana hujan yang jatuh ke dalam daerah tersebut akan terkumpul di badan-badan airnya dan dialirkan ke arah hilir melalui jaringan pelepasan atau outlet. Komponen-komponen dari suatu DAS adalah: batas-batas DAS, sungai utama beserta badan air yang lainnya, outlet, dan daerah DAS itu sendiri (Susilo, 2006). Ilustrasi sederhana dari sebuah DAS dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 2.2. Gambar Daerah Aliran Sungai (DAS) Bentuk dan luas DAS berbeda satu dengan yang lainnya. Luas DAS biasanya dikategorikan menjadi DAS kecil, DAS sedang, dan DAS besar. Tetapi batasan-batasan mengenai hal tersebut tidaklah begitu jelas sehingga

19 orang biasanya menilai besar kecilnya DAS dari jumlah sub-das nya. Sebagai contoh: DAS Brantas di Jawa Timur dapat dikategorikan sebagai DAS besar karena merupakan gabungan dari beberapa sub-das atau DAS yang lebih kecil seperti DAS Lesti. DAS-DAS kecil biasanya ditemukan di daerah pantai yang berbukit seperti DAS-DAS di daerah Panjang, Propinsi Lampung. DAS-DAS ini biasanya hanya terdiri dari satu sungai utama dengan beberapa anak sungai kecil. Luas dari DAS kecil biasanya berkisar belasan atau puluhan hektar tetapi di bawah seratus hektar. Daerah aliran sungai dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau pola dimana bentuk ini akan menentukan pola hidrologi yang ada. Corak atau pola DAS dipengaruhi oleh faktor geomorfologi, topografi dan bentuk wilayah DAS. Sosrodarsono dan Takeda (1977) mengklasifikasikan bentuk DAS sebagai berikut : DAS bulu burung. Anak sungainya langsung mengalir ke sungai utama. DAS atau Sub- DAS ini mempunyai debit banjir yang relatif kecil karena waktu tiba yang berbeda. DAS Radial. Anak sungainya memusat di satu titik secara radial sehingga menyerupai bentuk kipas atau lingkaran. DAS atau sub-das radial memiliki banjir yang relatif besar tetapi relatif tidak lama. Das Paralel. DAS ini mempunyai dua jalur sub-das yang bersatu.

20 2.4 Koefisien Pengaliran DAS Suatu DAS biasanya terdiri dari areal yang mempunyai tataguna lahan bervariasi seperti hutan, tanah pertanian, dan pemukiman. Setiap tipe tataguna lahan ini mempunyai nilai koefisien pengaliran yang berbeda-beda. Ini berarti apabila terjadi hujan di suatu DAS maka respon permukaan tanah terhadap hujan akan menghasilkan aliran permukaan yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh hujan yang jatuh di daerah pemukiman yang mempunyai koefisien permukaan yang lebih besar daripada hutan akan menghasilkan aliran permukaan yang lebih besar daripada aliran permukaan yang dihasilkan oleh hujan yang jatuh di hutan. Variasi koefisien pengaliran yang ada di DAS akibat keragaman tataguna lahan kadang menimbulkan kesulitan dalam perhitungan debit di DAS. Hanya model-model hidrologi mutakhir yang mampu menghitung debit di DAS dengan memperhitungkan variasi tataguna lahan secara detail. Untuk perhitungan debit sederhana, koefisien pengaliran di DAS biasanya diratarata dengan memperhitungkan luas daerah tataguna lahan. Nilai-nilai koefisien pengaliran (C) tersebut, untuk penggunaan secara umum dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:

21 Tabel 2.1. Harga koefisien pengaliran Type daerah aliran Perumputan Tanah pasir, datar, 2% Tanah pasir, rata-rata, 2-7% Tanah pasir, curam, 7% Tanah gemuk, datar, 2% Tanah gemuk, rata-rata, 2-7% Tanah gemuk, curam, 7% Business Daerah kota lama Daerah pinggiran Perumahan Daerah single family Multi units, terpisah-pisah Multi units, tertutup Suburban Daerah rumah-rumah apartemen Industri Daerah ringan Daerah berat Pertamanan, kuburan Tempat bermain Halaman kereta api Daerah yang tidak dikerjakan Jalan Beraspal Beton Batu Untuk berjalan dan naik kuda Atap Harga C 0,05 0,10 0,10 0,15 0,15 0,20 0,13 0,17 0,18 0,22 0,25 0,35 0,75 0,95 0,50 0,70 0,30 0,50 0,40 0,60 0,60 0,75 0,25 0,40 0,50 0,70 0,50 0,80 0,60 0,90 0,10 0,25 0,20 0,35 0,20 0,40 0,10 0,30 0,70 0,95 0,80 0,95 0,70 0,85 0,75 0,95 Sumber : Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air, 1980

22 2.5 Evaporasi Penguapan atau evaporasi adalah proses perubahan dari zat cair atau padat menjadi gas. Lebih spesifik dapat diartikan penguapan adalah proses transfer air (moisture) dari permukaan bumi ke atmosfir (Harto, 2000). Rata-rata molekul tidak memiliki energi yang cukup untuk lepas dari cairan. Bila tidak cairan akan berubah menjadi uap dengan cepat. Ketika molekulmolekul saling bertumbukan mereka saling bertukar energi dalam berbagai derajat, tergantung bagaimana mereka bertumbukan. Terkadang transfer energi ini begitu berat sebelah, sehingga salah satu molekul mendapatkan energi yang cukup untuk menembus titik didih cairan. Bila ini terjadi di dekat permukaan cairan molekul tersebut dapat terbang ke dalam gas dan "menguap". Ada cairan yang kelihatannya tidak menguap pada suhu tertentu di dalam gas tertentu (contohnya minyak makan pada suhu kamar). Cairan seperti ini memiliki molekul-molekul yang cenderung tidak menghantar energi satu sama lain dalam pola yang cukup buat memberi satu molekul "kecepatan lepas" - energi panas - yang diperlukan untuk berubah menjadi uap. Namun cairan seperti ini sebenarnya menguap, hanya saja prosesnya jauh lebih lambat dan karena itu lebih tak terlihat. Penguapan adalah bagian esensial dari siklus air. Uap air di udara akan berkumpul menjadi awan. Karena pengaruh suhu, partikel uap air yang berukuran kecil dapat bergabung (berkondensasi) menjadi butiran air dan turun hujan. Siklus air terjadi terus menerus. Energi surya menggerakkan penguapan air dari samudera, danau,

23 embun dan sumber air lainnya. Dalam hidrologi penguapan dan transpirasi (yang melibatkan penguapan di dalam stomata tumbuhan) secara kolektif diistilahkan sebagai evapotranspirasi. Jumlah evaporasi dapat dihitung secara langsung maupun secara teoritis. Cara langsung dapat dilakukan dengan pan evaporation sedangkan cara teoritis biasanya dilakukan dengan metode perhitungan Penmann atau Hargreaves. 2.6 Debit Andalan Debit andalan adalah besarnya debit yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan air dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Tujuan penetapan debit andalan adalah untuk menentukan debit perencanaan yang diharapkan selalu tersedia di sungai (Soemarto,1987). Misalkan debit andalan ditetapkan sebesar 80%, maka akan dihadapi resiko adanya debitdebit yang lebih kecil dari debit andalan sebesar 20% dari pengamatan yang ada. Menurut pengamatan, besarnya debit andalan untuk penyelesaian optimum penggunaan air di beberapa macam proyek adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Debit Andalan untuk Penyelesaian Optimum Penggunan Air Jenis Penggunaan Air Debit Andalan Untuk penyediaan air minum 99% Untuk penyediaan air industri 95 88% Untuk penyediaan air irigasi bagi - daerah beriklim setengah lembab 70 85% - daerah beriklim terang 80 95% Untuk pembangkit listrik tenaga air 85 90% Sumber : Hidrologi Teknik, 2013