BAB IV HUKUM PERJODOHAN PAKSA MENURUT SYARI AT ISLAM A. Analisis Praktik Perjodohan Paksa Anak Gadis di Desa Brokoh Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Perjodohan yang dialami oleh informan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Perjodohan Pasangan Kelompok Pertama adalah pasangan SD dengan RH dan pasangan AN dengan AR (Nama inisial). Praktik perjodohan yang dialami pasangan SD dengan RH dan pasangan AN dengan AR mempunyai masalah yang sama dalam perjodohannya. Mereka dijodohkan murni oleh kedua orang tua masing-masing karena faktor ekonomi dan kondisi umur perempuan yang sudah cukup dewasa. Praktik perjodohan ini belum sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dilihat dari kasus yang dialami mereka yang berdampak pada perceraian. Hak dan kewajiban mereka kurang terpenuhi antara suami-istri. Pihak istri tidak bisa menjadi istri yang baik. Dikarenakan perjodohan ini tidak dilandasi dengan adanya cinta dan komunikasi yang baik, maka istri enggan untuk berhubungan badan dengan suaminya. Selain itu, di dalam bahtera rumah tangganya sering terjadi pertengkaran yang menyebabkan hubungan tidak harmonis antara keduanya. Kasus itu juga menyebar sampai ke ranah orang tua. Hubungan antara orang tua dengan anak maupun menantu pun menjadi tidak harmonis juga. Pasangan ini tidak seperti selayaknya pasangan-pasangan pada umumnya. Adanya perjodohan yang tidak 74
75 dilandasi dengan cinta dan komunikasi yang baik maka perkawinannya pun tidak mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah seperti yang didambakan oleh pasangan suami istri pada umumnya. Bahkan sampai memunculkan terjadinya konflik antara keluarga pihak perempuan dan pihak laki-laki. Perjodohan pasangan SD dengan RH dan pasangan AN dengan AR termasuk kategori perjodohan paksa murni atas kehendak orang tua, tanpa melibatkan persetujuan anak terlebih dahulu dalam hal ini anak tidak bisa ikut andil memilih dan menentukan dengan siapa seorang anak akan menikah. Alasan wali atau orang tua pasangan tersebut menjodohkan paksa mereka yaitu demi terpeliharanya kemaslahatan dari segi ekonomi dan nasab keturunannya nanti. Pasangan Kelompok kedua terdiri dari dua pasangan yaitu pasangan LF dengan VV dan WR dengan DI (Nama inisial). Praktik perjodohan yang dialami mereka mempunyai latar belakang masalah yang sama. Pasangan ini mengalami perjodohan karena adanya unsur paksaan dari pihak perempuan. Bahkan, pihak perempuan mendesak pihak laki-laki agar cepat menikahinya dikarenakan sudah hamil, padahal orang yang menghamili perempuan tersebut bukanlah dia saja. Pasangan Kelompok ketiga terdiri dari tiga pasangan yaitu pasangan JI dengan TH, KN dengan NH, dan NC dengan SM (Nama inisial). Praktik perjodohan yang dialami mereka mempunyai latar belakang masalah yang sama. Mereka memiliki faktor penyebab
76 perjodohan yang sama, yaitu dipaksa oleh orang tua masing-masing. Awalnya mereka merasa keberatan dan tertekan dengan perjodohan tersebut namun mereka berusaha menerima karena mau tidak mau harus menerima perjodohan tersebut dan pada akhirnya mereka dikaruniai satu orang anak. B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Perjodohan Paksa Anak Gadis yang dilakukan Oleh Masyarakat Desa Brokoh Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Ditinjau dari hukum Islam pengertian perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. 1 Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa perkawinan merupakan dasar keikhlasan untuk menerima menjadi pasangan suami istri yang saling menolong dan saling menghormati diantara keduanya. Dikatakan ikhlas pernikahan merupakan perjalanan hati seseorang dalam melangkah menuju kehidupan yang layak, mapan dan tentram. Unsur ikhlas ini dikatakan saling menerima, tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun kecuali keadaan-keadaan lain yang memaksakan hal paksaan terjadi. Saling menerima dari suami istri oleh agama diartikan lebih jauh dari sekedar arti menerima secara fisik, tetapi diartikan menerima 1 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang 1993), hlm 37.
77 kekurangan-kekurangan materi-materi dalam kelangsungan kehidupan berumah tangga, oleh sebab itu dikatakan kunci kebahagiaan suatu rumah tangga adalah ikhlas, ridho, apa adanya. Perkawinan yang tidak dilandasi keikhlasan yang tulus akan berakibat buruk dalam rumah tangganya seperti yang terjadi dalam keluarga yang akhirnya berujung pada perceraian. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan hari bisa goyah, apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan. Dari sudut pandang Islam, orang tua punya kuasa atau otoritas untuk menikahkan anak gadisnya meskipun anak gadisnya menolak. Meskipun demikian, dalam menggunakan otoritas tersebut, orang tua dibatasi dengan beberapa syarat. Syaratnya yaitu: 1. Mempelai laki-laki itu harus sekufu (setingkat) dengan mempelai perempuan. 2. Mempelai laki-laki harus membayar maskawin dengan tunai. 3. Tidak ada permusuhan antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. 4. Tidak ada permusuhan yang nyata antara perempuan yang dinikahkan dengan wali yang menikahkan 2. Perjodohan pasangan pada kelompok pertama yaitu SD dengan RH serta AN dengan AR jika ditinjau dari syarat yang pertama sebenarnya mereka tidak memenuhi syarat tersebut. Pihak perempuan dan pihak laki- 2 Miftahul Huda, Kawin Paksa Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press 2009), hlm 32.
78 laki tidak sederajat. Baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Sehingga memunculkan adanya kesenjangan diantara keduanya. Syarat yang kedua telah terpenuhi dengan baik. Sedangkan syarat yang ketiga tidak terpenuhi dikarenakan mempelai laki-laki dan perempuan tidak saling mencintai. Pasangan SD dengan RH tidak saling mencintai sedangkan pasangan kedua AN mencintai AR tetapi AR tidak mencintainya. Hal itu menyebabkan tidak terjalinnya komunikasi yang baik diantara kedua masing-masing pasangan. Kemudian dilihat dari syarat yang keempat, bermula dari ketidaksukaan masing-masing mempelai serta tanpa adanya komunikasi yang baik berimbas pada hubungan terhadap orang tua atau wali yang kurang baik juga. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa syarat-syarat yang seharusnya terpenuhi dalam perjodohan tersebut, ternyata belum sepenuhnya terpenuhi. Dalam ajaran Islam orang tua tidak boleh memaksa mengawinkan anak putrinya yang sudah dewasa dengan laki-laki yang tidak disukainya. 3 Salah satu prinsip pernikahan dalam islam adalah persetujuan masingmasing pihak dan didasarkan atas perasaan sukarela. 4 Hal ini sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda: 127. 3 Ghazali Mukri, Panduan Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2000), hlm 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (1).
79 Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu, dan tidak boleh seorang janda dinikahkan sehingga ia diajak musyawarah. Lalu ada yang berkata: Sesungguhnya gadis itu bersifat pemalu, Beliau menjawab, persetujuannya ialah jika ia diam. ( HR. Jama ah) 5 Hadis diatas menjelaskan bahwa perlu untuk meminta persetujuan diantara kedua mempelai untuk dijodohkan. Namun, pada kenyataannya kedua mempelai dipaksa untuk menikah. Bahkan ketika menikah pun mereka tidak ikhlas. Mengenai masalah akad dalam perkawinan, semua ulama madzhab kecuali Imam Hanafi, telah sepakat bahwa akad haruslah dilakukan secara sukarela tanpa adanya paksaan dan atas dasar kehendak sendiri kesepakatan para ulama madzhab ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh sayyid Abu Al-hasan Al-Isfahami dalam Al-Wasilahnya pada bab al-zawaj yang mengatakan bahwa, untuk sahnya suatu akad disyaratkan adanya kehendak sendiri pada kedua mempelai. Kalau keduanya atau salah seorang diantaranya dipaksa, maka akad itu tidaklah sah. Tetapi kalau paksaan itu kemudian diikuti dengan kerelaan dari orang 5 Asy. Syaukani, Terjemahan Nailul Authar, Jilid V alih bahasa A. Qadir Hassan, dkk (Surabaya:PT Bima Ilmu 1984) hlm 2162.
80 yang dipaksa, maka menurut pendapat yang lebih kuat, akad tersebut menjadi sah. 6 Berdasarkan pendapat para ulama tersebut, melihat kasus perjodohan kelompok pertama ini dapat dikatakan pernikahnya tidak sah tetapi pada waktu akad mereka hanya diam saja yang menandakan setuju, sehingga akad tersebut tetap dilaksanakan dan menjadi sah. Walaupun pada kenyataannya kedua mempelai merasa tidak ikhlas. Terlihat murung dan bahkan menangis merenungi nasib yang menimpanya. Karena tidak dilandasi dengan keikhlasan dari mempelai laki-laki atau sebaliknya. Kerelaan dari masing-masing mempelai pun tidak muncul sama sekali setelah beberapa hari melakukan akad dan pada akhirnya memunculkan berbagai konflik dalam rumah tanggganya. Ujung dari perjodohan kelompok pertama ini adalah perceraian. Berdasarkan uraian di atas, sudah jelas adanya perjodohan dengan unsur pemaksaan serta kurang terpenuhinya syarat-syarat perjodohan menyebabkan bahtera rumah tangganya tidak langgeng dan berakhir pada perceraian. Perjodohan pasangan pada kelompok kedua ditinjau dari terpenuhinya atau tidak syarat-syarat perjodohan, pada kasus ini telah memenuhi syarat tersebut. Masing-masing mempelai sudah sekufu, tidak ada permusuhan antara mempelai laki-laki dan perempuan, dan tidak ada permusuhan yang nyata antara perempuan dengan wali yang menikahkan. Cet IV, hlm 316. 6 Muhammad Jawad Al-Mugniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta:PT Lentera Bastitama)
81 Syarat perjodohan itu memang sudah terpenuhi hanya saja ada unsur kebohongan dari pihak perempuan yang belum diketahui oleh pihak lakilaki. Dilihat dari kasus ini hak mempelai laki-laki tidak terpenuhi dikarenakan dipaksa untuk menutupi aib mempelai perempuan. Berdasarkan syarat-syarat perjodohan seharusnya ada kerelaan atau keikhlasan dari kedua mempelai, akan tetapi pada kasus ini akhirnya mempelai laki-lakinya tidak ikhlas menikahinya ketika kebohongan yang dilakukan oleh mempelai perempuan terungkap. Pada awalnya mempelai laki-laki dibohongi oleh pihak perempuan. Sebelumnya mempelai perempuan tidak mengatakan bahwa bukanlah dia saja yang menghamilinya. Dirinya sudah melakukan hubungan suami istri beberapa kali dengan orang lain. Orang lain yang telah menghamilinya tidak bertanggung jawab. Kekhawatiran pihak keluarga perempuan akan nasib calon anak yang dikandung oleh perempuan tersebut menjadikan perempuan tersebut dengan niat menjebak pada laki-laki yang kaya dari segi ekonomi untuk terakhir kali menghamilinya tanpa sepengetahuan pihak laki-laki tersebut. Dasar Hukum Al-Qur an Surat An-Nur ayat 3.
82 Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. Ketika akad mempelai laki-laki ikhlas dalam melakukannya dikarenakan ketidaktahuannya tentang kebohongan yang dilakukan oleh mempelai perempuan. Ketika waktu berjalan terus menerus akhirnya kebohongan itu terungkap. Akibat dari terungkapnya kebohongan itu, mempelai laki-laki pergi dari rumah sehingga tidak memenuhi hak dan kewajibannya lagi sebagai seorang suami. Hubungan antara pihak perempuan dan pihak laki-laki pun menjadi tidak harmonis. Pada akhirnya mereka pisah rumah sampai sekarang. Perjodohan pasangan pada kelompok ketiga ditinjau dari syaratsyarat perjodohan, mereka telah melakukan perjodohan dengan benar. Semua syarat telah terpenuhi. Masing-masing mempelai telah sekufu, mahar dibayar dengan tunai, tidak adanya pertikaian baik antara kedua mempelai maupun terhadap orang tua. Pada awalnya mereka belum menerima sepenuhnya pada saat akad nikah, terlihat ketika melaksanakan ijab qabul dan resepsi pernikahan. Seorang perempuan yang sebenarnya tidak mau terpaksa mengikuti prosesi perkawinan itu, maka dengan murung dan bahkan menangis ia merenungi nasib yang menimpanya yang hal ini tidak sebagaimana mestinya seorang pengantin yang selalu menampakkan wajah berbinar, menebarkan senyuman dan cinta kasih dalam perkawinan. Tetapi setelah
83 kurun waktu tiga bulan barulah mereka berusaha menerima satu dengan yang lainnya dengan berusaha sepenuhnya. Mereka menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sebagai seorang suami atau istri dengan baik. Tidak ada permusuhan diantara kedua belah pihak. Kemaslahatannya lebih banyak dibandingkan kemudhorotannya. Sehingga sampai sekarang bahtera rumah tangga mereka berjalan dengan baik dan dikaruniai seorang anak. Dalam berumah tangga yang dilandasi dengan adanya perjodohan paksa, namun pada akhirnya hidup bahagia dikarenakan mereka telah memegang teguh asas-asas atau prinsip perkawinan. Ada enam prinsip atau asas dalam undang-undang perkawinan itu adalah 7 : a. Asas perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu, dan mencapai kesejahteraan spiritul dan material. b. Asas legalitas yaitu bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dan disamping masing-masing perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. c. Asas monogami yaitu perkawinan antara seorang suami dengan istri, hal ini bukan berarti bahwa perkawinan seorang suami dengan lebih dari 35 7 Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) hlm
84 seorang istri ditutup sama sekali kemungkinannya, perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang masih dimungkinkan, apabila dikehendaki yang bersangkutan yang mengizinkan, meskipun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dikehendaki oleh yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Prinsip selanjutnya adalah prinsip kedewasaan ialah bahwa calon suami istri itu harus matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat melangsungkan dan mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Apabila diingat bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kependudukan, yang merupakan batas umur yang merupakan masalah nasional kita, maka Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menentukan batas umur kawin untuk laki-laki dan perempuan, untuk laki-laki batas umur untuk kawin 19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun. e. Asas mempersulit terjadinya perceraian telah diterangkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, sejahtera, maka Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. perceraian hanya terjadi apabila dipenuhinya alasan-alasan tertentu yang terdapat
85 dalam perundang-undangan serta dilakukan didepan pengadilan, sedangkan sidang pengadilan sendiri memberikan nasihat agar suatu perceraian dapat digagalkan sehingga dapat terlaksana tujuan perkawinan yang bahagia, kekal, sejahtera, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. f. Asas keseimbangan, maksudnya adalah hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian maka segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan. Setelah menganalisis beberapa kasus diatas, maka jika dikaitkan dengan dasar hukum perjodohan paksa jelas dapat disimpulkan bahwa hal ini sangat dilarang oleh agama, karena setiap gadis maupun janda punya hak atas dirinya. Oleh karena itu mereka berhak dimintai persetujuannya. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu, dan tidak boleh seorang janda dinikahkan sehingga ia diajak musyawarah. Lalu ada yang berkata: Sesungguhnya gadis itu bersifat pemalu, Beliau menjawab, persetujuannya ialah jika ia diam. ( HR. Jama ah) 8 8 Asy. Syaukani, Terjemahan Nailul Authar,...hlm 2162
86 Sedangkan menurut ketentuan hukum yang ada didalam pasal 6 ayat 1 Bab II mengenai syarat-syarat perkawinan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 adalah tentang perkawinan, bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Tidak adanya paksaan dari kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan. Dalam Undangundang tersebut terdapat beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur perkawinan, salah satunya adalah adanya asas sukarela. 9 Sebagaimana konsekuensi dari asas sukarela tersebut maka perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun. Pasal ini juga dipertegas dalam penjelasannya, bahwa oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan dan tekanan dari pihak manapun. 10 sehingga dapat hlm 76. disimpulkan bahwa pasal ini menjamin tidak adanya kawin paksa. berbunyi: Hal ini disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 16 yang 1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. 2. Bentuk persetujuan calon mempelai perempuan dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau syarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan tegas. 11 9 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (1). 10 Cahyadi Takariawan, Di Jalan Dakwah Aku Menikah (Surakarta: Era Intermedia 2010), 11 Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama islam,... hlm 19.
87 Diantara tuntutan yang dikehendakinya adalah adanya jaminan perlindungan hukum yang melindungi hak asasinya di bidang perkawinan. Para kaum perempuan menghendaki, bahwa praktik-praktik pemaksaan perkawinan terhadap anak perempuan dengan alasan bahwa hak memaksa itu berada ditangan wali atau orang tua haruslah dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak dapat dibenarkan, yakni melanggar hak asasi manusia, oleh karena itu sebuah perkawinan haruslah dalam persetujuan perempuan. 12 Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pernikahan yang terjadi tanpa adanya kesanggupan maupun persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, maka pernikahanya tidak dapat dilangsungkan. Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnah bab kufu dalam perkawinan, bahwa jika perempuan yang saleh dikawinkan oleh bapaknya dengan lakilaki yang fasik, kalau perempuannya masih gadis, maka ia berhak menuntut pembatalan. 13 Jika seorang gadis dikawinkan bapaknya dengan peminum khamr atau laki-laki yang fasik, maka ia berhak untuk menolak perkawinannya dan hakim memperhatikan hal itu supaya membatalkannya. Alasan bagi perempuan untuk mengajukan pembatalan perkawinan juga dibenarkan bilamana laki-laki yang hendak dikawinkan 12 Mirin Primudiastri, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Perempuan Dalam Menyetujui Perkawinan, (Bandung: Dinamika Hukum Th Ke IX, 2003) hlm 44. 13 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 7, (Bandung: Al-Ma arif, 1982) hlm 38.
88 dengannya berpenghasilan atau mempunyai pekerjaan dari pekerjaan yang haram. 14 Meskipun di dalam Islam permasalahan Ijbar ada pendapat yang memperbolehkan, akan tetapi, tidak bisa menjadi alasan untuk mengambil hak orang tua terhadap seorang anak untuk memilih calon pasangan, karena anak tetap bukanlah hak milik bagi orang tua. Orang tua berkewajiban mengasuh, membesarkan, mendidik dan menikahkan putraputri mereka apabila telah waktunya tiba. Di dalam Islam pendapat yang memperbolehkan Ijbar kepada anak gadisnya dengan beberapa syarat diantaranya: 1. Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan 2. Dinikahkan dengan calon suami yang sekufu 3. Dinikahkan dengan mahar yang sesuai 4. Calon suami tidak sulit memberikan mahar 5. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang menjadikanya menderita dalam pergaulanya, seperti dengan laki-laki tuna netra, tuna renta dan sebagainya. 15 Jadi menurut analisis penulis sebagaimana telah di sebutkan dalam hukum positif maupun hukum Islam bahwa kerelaan mempelai yang akan melaksanakan akad perkawinan adalah suatu yang sangat penting dan menentukan sah atau tidaknya akad pernikahan tersebut. namun dalam 14 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 7...hlm 38. 15 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Jilid II, alih bahasa As ad Yasin, (Jakarta:Gema Insani Press, 1995) hlm 468.
89 pelaksanaan atau proses perjodohan paksa tersebut ada hal yang penulis tidak sepakati karena tidak melibatkan anak gadisnya dalam menentukan dan memilih pasangan hidup. Hendaknya orang tua atau wali yang mempunyai hak Ijbar tidak semena-mena dalam mempergunakan haknya, harus melihat kemaslahatan bagi perempuan yang ada dalam perwaliannya, tidak hanya sepihak memaksa kehendaknya, perlu adanya komunikasi saling musyawarah dalam menentukan pasangan hidupnya. karena perkawinan yang sangat suci itu diperlukan kesiapan jasmani maupun rohani dan kematangan jiwa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ditengah perjalanan kehidupan rumah tangga seperti pertengkaran yang bisa berujung pada perceraian.