BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. melanggar hukum, termasuk anak bisa melakukan tindakan yang melawan

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

: : : : : : Agama Pekerjaan : :

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

P U T U S A N. Nomor : 150/Pid.B/2014/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / tanggal lahir : 40 tahun/ 02 Juli 1973

P U T U S A N No. 240/PID.B/2014/PN.Bj

P U T U S A N Nomor :503/Pid.Sus/2015/PN.BJ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

P U T U S A N Nomor : 109/Pid.Sus/2016/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

P U T U S A N. Nomor : 175/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. melingkupi semua lapisan masyarakat baik miskin, kaya, tua, muda, dan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan pengobatan manusia, yaitu sebagai obat untuk mengobati suatu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

P U T U S A N Nomor : 147 /Pid.B/2014/PN. BJ.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari

PENGADILAN TINGGI MEDAN

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N. Nomor : 85/Pid.B/2014/PN-Sbg

PENGADILAN TINGGI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang

P U T U S A N Nomor : 12/Pid.Sus/2016/PN. Bnj. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab besar demi tercapainya cita-cita bangsa. Anak. dalam kandungan. Penjelasan selanjutnya dalam Undang-Undang

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Kajian yuridis terhadap putusan hakim dalam tindak pidana pencurian tanaman jenis anthurium (studi kasus di Pengadilan Negeri Karanganyar)

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

P U T U S A N Nomor : 362/Pid/2014/PT-Mdn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. I. 1. Nama lengkap : FRENGKI TARIGAN ;

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

P U T U S A N Nomor :215/Pid.Sus/2015/PN.BJ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan jaminan kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) 1. Asas tersebut dinyatakan dalam penjelasan umum butir 3 huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Selain itu menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap 2. Dalam peristiwa pidana, putusan pengadilan berupa penjatuhan pidana dan pemidanaan selalu menjadi patokan keadilan bagi pelaku. Penjatuhan pidana dan pemidanaan harus melalui proses peradilan pidana yang dikehendaki oleh undang-undang yaitu cepat, sederhana, dan biaya yang ringan (constante justitie, speedy trial). Selain kedua asas tesebut, asas jujur, tidak memihak, dan adil juga harus diterapkan. Peradilan dinilai baik apabila 1 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 33 2 Lihat: Pasal 8 ayat (1) Undang undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 1

dalam proses peradilan yang berakhir dengan penjatuhan pidana dapat berjalan sesuai dengan asas peradilan tersebut. Dalam Undang-undang Dasar 1945 telah diatur mengenai persamaan semua orang di hadapan hukum (equality before law). Tetapi ada pengecualian perlakuan di hadapan hukum baik dalam proses maupun pemidanaan, yakni terhadap orang-orang dewasa dan anak 3. Sering kali, pengecualian perlakuan di hadapan hukum menimbulkan rasa ketidakadilan. Ketidakadilan yang didapatkan dari seseorang yang disangka melakukan tindak pidana muncul dari kekhawatiran atas permasalahan yang belum berakhir. Tersangka, terdakwa, atau terpidana mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh aparat penegak hukum yang dapat disebut sebagai pelayan dan pengabdi di bidang hukum. Aparat penegak hukum tidak boleh bertindak sewenang-wenang dengan menggunakan kekuasaan yang dimiliki. Proses penegakan hukum di Indonesia oleh pencari keadilan masih sering dipandang diskriminatif terhadap subjek tertentu, tidak konsisten, dan kerap mementingkan kelompok tertentu sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan yang merugikan masyarakat 4. Salah satunya adalah disparitas pemidanaan. Disparitas atau perbedaan dapat terjadi pada saat hakim menjatuhkan hukuman atau sanksi kepada para pelaku kejahatan. Salah satu contoh 3 Lihat dan bandingkan dalam Bambang Waluyo, Op. cit., hal. 34 4 Danny Bramandoko, 2007, Disparitas Pidana dalam Kasus Tindak Pidana Narkotika yang Diputus Pengadilan Negeri Semarang, Skripsi: Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Semarang (tidak diterbitkan), hal. 2 2

disparitas yaitu pada saat hakim menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang melanggar hukum seperti menggunakan, mengedarkan, dan memproduksi narkotika. Perbuatan menggunakan, mengedarkan serta memproduksi narkotika secara natural memiliki perbedaan. Dengan demikian, pidana untuk mereka yang menggunakan, mengedarkan serta memproduksi narkotika haruslah berbeda atau dibedakan. Ketidakadilan berupa disparitas dapat berupa jumlah atau masa hukuman, serta penempatan di tempat rehabilitasi apabila diputuskan bahwa pengguna akan direhabilitasi. Mereka yang menggunakan, mengedarkan serta memproduksi narkotika ada yang dipenjara dengan masa hukuman ringan dan ada pula yang berat. Di seluruh negara termasuk Indonesia, narkotika dianggap dapat menghancurkan kehidupan manusia. Tiada satupun negara yang mengizinkan adanya kegiatan perdagangan dan peredaran bebas narkotika di negaranya kecuali digunakan dengan syarat tertentu seperti untuk farmasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta yang sudah diberikan izin oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Oleh karena itu paradigma penggunaan narkotika di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan telah bergeser. Namun demikian, pergeseran tersebut dapat disalahgunakan. Banyak orang yang mencari keuntungan besar dengan menyalahgunakan narkotika. Saat ini tindak pidana narkotika sudah dilakukan secara terangterangan oleh para pemakai dan pengedar barang-barang berbahaya tersebut. Hampir setiap hari narkotika baik melalui media cetak atau elektronik telah 3

merebak di antara generasi penerus bangsa tanpa pandang bulu. Bagi negara Indonesia, bentuk penyalahgunaan dan peredaran narkotika menjadi suatu permasalahan yang kompleks karena dapat merusak dan mengancam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga dapat menghambat jalannya pembangunan nasional. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana narkotika, pemerintah Indonesia sedang melakukan penanganan kasus penyalahgunaan dan peredaran narkotika dengan melibatkan seluruh elemen pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), serta pihak-pihak yang terkait dalam narkotika guna mencegah penyebaran, menanggulangi narkotika 5. Guna mendorong upaya dari pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi serta memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika, maka dibuat kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menghukum para pelaku yang berkaitan dengan narkotika. Upaya pemerintah tersebut ialah dengan membuat kebijakan sanksi pidana berupa pidana penjara, pidana denda, pidana seumur hidup, dan pidana mati sesuai dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Nakotika apabila para pelaku terbukti bersalah. Pemidanaan dianggap oleh masyarakat sebagai ganjaran yang tepat bagi para pelaku baik pengguna, dan pengedar, maupun pemproduksi. Pandangan masyarakat terhadap pemidanaan bagi para pelaku hanya dilihat dari segi pembalasan atas dasar tanggung jawab akibat kesalahannya. Padahal 5 Hadiman, 1996, Menghindari Obat-Obat Terlarang, Jakarta: Yayasan Al Washilah, hal. 3 4

seharusnya pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku bagi para terpidana narkotika dan mencegah orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama. Tujuan pemidanaan mengandung unsur-unsur perlindungan bagi masyarakat, rehabilitasi, dan resosialiasi bagi terpidana. Tujuan dari pemidanaan itu tentunya baik, namun masih ada saja pelaksanaan dalam proses pidana yang tidak sesuai yang diharapkan. Tidak jarang masyarakat mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam menilai suatu perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku narkotika mengenai sanksi pidana yang dijalaninya. Perbedaan penilaian oleh masyarakat ditujukan terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang yang melakukan perbuatan pidana yang sama dan pada saat menjalankannya. Misalnya pada kasus penyalahguna narkotika dengan para pelaku yang berbeda dikenai dasar pasal yang sama, barang-barang bukti yang tidak menonjol namun dijatuhi sanksi pidana penjara dengan masa hukuman yang berbeda. Ada pula para pelaku yang berbeda dijatuhi sanksi pidana yang sama dan barang bukti yang jauh berbeda jumlahnya. Sebagai contoh kasus narkotika yang terjadi di Pengadilan Negeri Semarang pada putusan pengadilan tahun 2015 dan 2016 dengan hakim-hakim yang berbeda. Contoh kasus yang pertama yaitu terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana menjadi penyalahguna narkotika bagi diri sendiri. Terdakwa yang pertama berinisial FW (26 tahun) yang bergender perempuan. Ia dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun 5

dan dua (2) bulan. Ditemukan bukti berupa 3 (tiga) butir pil diduga ekstasi dan 1 (satu) tube urine. Sedangkan pada terdakwa kedua berinisial MAK (27 tahun) yang bergender laki-laki. Ia dijatuhi pidana menjalankan rehabilitiasi sosial selama 6 (enam) bulan. Ditemukan bukti berupa 1 (satu) tube urine yang mengandung Metamfetamina. Kedua terdakwa tersebut terbukti melakukan tindak pidana menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Pada contoh kasus kedua yaitu terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana secara tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I. Terdakwa pertama berinisial AWK (26 tahun) yang bergender laki-laki. Ia dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) serta pidana penjara pengganti pidana denda selama 3 (tiga) bulan. Kemudian ditemukan bukti sebanyak 1 (satu) bungkus plastik klip dan dibungkus potongan kresek warna hitam yang diduga berisi narkotika berjenis sabu dengan berat 4,559 gram setelah diambil sisa sabu sebanyak 4,549 gram. Terdakwa kedua berinisial GL (24 tahun) yang bergender laki-laki. Ia dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) serta pidana penjara pengganti pidana denda selama dua (2) bulan. Kemudian ditemukan bukti sebanyak 3 (tiga) buah masing-masing ada 1 (satu) bungkus potongan plastik kresek warna merah yang didalamnya berisi 1 (satu) 6

kantong plastik klip kecil yag dilinting dan isolasi didalamnya diduga berisi 1 (satu) kantong narkotika berjenissabu, 1(satu) buah telephone genggam (handphone) merk Evercross berwarna putih, dan 1 (satu) tube urine. Perbedaan yang dialami para pelaku di atas merupakan perbedaan atau disparitas yang ditetapkan oleh majelis hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bagi para pelakunya. Dengan ditemukannya disparitas pemidanaan terhadap para pelaku tindak pidana narkotika maka muncul pandangan yang negatif dari masyarakat terhadap majelis hakim yang memutus perkara tersebut. Pandangan yang negatif membuat masyarakat mempertanyakan kriteria dan tolok ukur bagi hakim dalam menjatuhkan pidana selain pidana minimum dan maksimum. Dalam memutus perkara yang sama, seharusnya majelis hakim membuat keputusan dengan bersikap pasti dan adil serta putusannya bermanfaat bagi pelaku terpidana narkotika. Oleh karena itu diperlukan pedoman bagi hakim dalam menyelesaikan kasus-kasus narkotika sebagai bentuk untuk meminimalisir disparitas putusan pengadilan. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, mengingat pemidanaan bertujuan untuk rehabilitasi, resosialisasi, dan mengupayakan agar pelaku merasa pantas menerima disparitas atau perbedaan dari majelis hakim pada saat menjalani hukumannya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: DISPARITAS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SEMARANG). 7

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian akan difokuskan pada pokok-pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apakah yang menimbulkan terjadinya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang? 2. Upaya apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menghindari timbulnya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang? C. Pembatasan Masalah Agar peneliti dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka perlu ada pembatasan masalah supaya permasalahan tidak menjadi luas ruang lingkupnya. Dalam penulisan skripsi ini, batas masalahnya adalah studi terhadap disparitas pemidanaan terhadap tindak pidana narkotika untuk penyalahguna dan pengedar narkotika. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang. 2. Mengetahui upaya yang harus dilakukan oleh hakim untuk menghindari timbulnya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang. 8

E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan dapat dimanfaatkan baik dari segi praktis maupun dari segi teoritis. Adapun manfaat yang dapat dipaparkan, yaitu: 1. Dari segi praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan bagi penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana narkotika di masamasa yang akan datang dan menambah wawasan dan pengetahuan peneliti sendiri maupun pihak-pihak lainnya. Selain itu hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi hakim untuk menghindari disparitas pemidanaan bagi pelaku tindak pidana narkotika. 2. Dari segi teoretis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah kajian ilmu hukum pidana, wawasan, dan pengetahuan peneliti maupun masyarakat luas mengenai disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika. F. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu prosedur atau tata cara dan teknik penelitian yang dipergunakan untuk melakukan penelitian sehingga peneliti mampu menguasi dan menerapkan metode penelitian hukum yang baik dalam menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian. Di bawah ini akan dipaparkan yang digunakan dalam metode penelitian, yaitu: 1. Metode Pendekatan Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif. Pendekatan 9

dengan metode kualitatif menekankan pada proses pemahaman atas perumusan masalah untuk mengkonstruksikan gejala hukum yang kompleks 6. Metode ini berdasarkan pada (1) bukti-bukti nyata berupa dokumen-dokumen putusan Pengadilan Negeri Semarang, dan (2) menggunakan interaksi langsung antara peneliti dengan sumber data yang utamanya dilakukan dengan wawancara dengan nara sumber. Sumber data yang diteliti meliputi berkas kasus narkotika dan hakim Pengadilan Negeri yang pernah memutus kasus tindak pidana narkotika. 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Dalam penelitian ini akan digambarkan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang dan upaya yang dilakukan hakim untuk menghindari timbulnya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang. Hasil gambaran tersebut nantinya akan dianalisis dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan pendapat para ahli yang relevan. 3. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah seluruh informasi tentang disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang diputus di Pengadilan Negeri Semarang. Adapun elemen penelitiannya 6 Petrus Soerjowinoto, dkk, 2014, Buku Panduan Metode Penulisan Karya Hukum, Semarang: Hukum Soegijapranata (tidak diterbitkan), hal. 55 10

adalah dokumen putusan Pengadilan Negeri Semarang dan hakim Pengadilan Negeri yang pernah memutus kasus tindak pidana narkotika. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data sangat tergantung pada model kajian dan instrumen penelitian yang digunakan. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen penelitian, yaitu: a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data untuk mencari data-data yang bersifat sekunder. Data sekunder adalahdata yang berasal pihak lain yang telah diolah sebelumnya. Bahan-bahan tersebut dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Bahan-bahan hukum primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 2) Bahan-bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian yang relevan dengan judul penelitian, jurnal, teori hukum dan pendapat para ahli, serta berkas kasus berupa putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang. 11

3) Bahan-bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yang diigunakan dalam penelitian ini adalah ensiklopedia, data berupa informasi di bidang hukum yang diperoleh secara on-line, dan situs-situs website lainnya yang terkait dengan topik yang diangkat. b. Studi Lapangan Data primer dalam penelitian dicari dengan jalan melakukan studi lapangan. Data primer adalah data yang berasal dari tangan pertama yang belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. Studi lapangan merupakan suatu metode dalam mengumpulkan data dengan terjun langsung ke lapangan dan berinteraksi langsung dengan objek yang diteliti. Teknik yang digunakan peneliti adalah dengan teknik wawancara. Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara bertanya langsung terhadap yang diwawancarai. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara yang terarah dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara dilakukan dengan narasumber yaitu dua (2) orang hakim Pengadilan Negeri yang pernah memutus kasus tindak pidana narkotika. 5. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data Data yang diperoleh dari penelitian yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, kemudian diolah, diperiksa, dipilih, kemudian dilakukan kegiatan editing untuk memilih data yang diperlukan dan tidak diperlukan. Setelah proses pengolahan data-data selesai dan dapat 12

menjawab pertanyaan penelitian, maka data yang telah diperoleh disusun secara sistematis, kemudian disajikan dalam bentuk uraian-uraian. 6. Metode Analisis Data Analisis data yang dipakai dalam penelitian adalah analisis kualitatif atau analisis isi terhadap elemen penelitian. Analisis ini tidak menggunakan bantuan ilmu statistika atau matematika sebagai cara analisis data. Data yang dianalisis adalah peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen putusan kasus tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Semarang dan hasil wawancara dengan dua (2) orang hakim Pengadilan Negeri yang pernah memutus kasus tindak pidana narkotika. Hasil analisis tersebut kemudian akan disusun sebagai hasil penelitian berbentuk skripsi. G. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai isi penulisan hukum, maka proposal disusun dalam empat bab, yang terdiri dari Bab I mengenai Pendahuluan, Bab II mengenai Tinjauan Pustaka, Bab III mengenai Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan Bab IV mengenai Penutup. Sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: 1. BAB I. PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. 2. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 13

Dalam bab ini akan diuraikan pengertian disparitas pemidanaan, teori-teori pemidanaan, pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana narkotika, pelaku perbuatan tindak pidana narkotika, dan pengertian narkotika dan jenis-jenis narkotika. 3. BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, akan dipaparkan hasil penelitian dan pembahasan yaitu faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya disparitas pemidanaan dan upaya yang harus dilakukan oleh hakim untuk menghindari timbulnya disparitas pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana narkotika. 4. BAB IV. PENUTUP Dalam bab ini terdapat simpulan hasil penelitian dan saran-saran Peneliti yang diperoleh dari hasil penelitian. 14