BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami dispepsia (Djojoningrat, 2009). 21% penderita terkena dispepsia dimana hanya 2% dari penderita yang

BAB V PEMBAHASAN. menjadi salah satu penyebab sindrom dispepsia (Anggita, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB I PENDAHULUAN. perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari.

BAB I. Pendahuluan UKDW. dys- (buruk) dan peptin (pencernaan) (Abdullah,2012). Dispepsia merupakan istilah

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kasus-kasus penyakit tidak menular yang banyak disebabkan oleh gaya

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik.

PATOFISIOLOGI ANSIETAS

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Prestasi merupakan pencapaian akan usaha seseorang yang diperoleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tekanan mental atau beban kehidupan. Dalam buku Stress and Health, Rice (1992)

Anesty Claresta

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN SINDROMA DISPEPSIA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI I KARYA PENGGAWA KABUPATEN PESISIR BARAT TAHUN 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengertian (Newman, 2006). Pengertian pensiun tidak hanya terbatas pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konstipasi berasal dari bahasa Latin constipare yang berarti ramai bersama. 18

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

BAB 1 PENDAHULUAN. keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA

EMOSI, STRES DAN KESEHATAN. Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., psi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

FAKTOR PSIKOLOGIS DAN PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN Pembimbing : dr. Dharmawan Ardi, Sp.KJ

BAB 1 PENDAHULUAN. sering terjadi akibat ketidakteraturan makan, misalnya makan terlalu banyak,

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

TUGAS 3 SISTEM PORTAL

hiperacidity. Adapun jenis-jenis dispepsia organik yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

Hubungan Ansietas dan Depresi dengan Derajat Dispepsia Fungsional di RSUP Dr M Djamil Padang Periode Agustus 2013 hingga Januari 2014

Keluhan dan Gejala. Bagaimana Solusinya?

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain studi cross-sectional.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Obat Penyakit Diabetes & Cara Mendiagnosis Gastroparesis

BAB 1 PENDAHULUAN. pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012).

Lesi mukosa akut lambung akibat Aspirin atau dengan istilah Aspirin gastropati merupakan kelainan mukosa akibat efek topikal yang akan diikuti oleh

BAGIAN 1: MENGAPA PERLU DETOKS?

Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom?

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan setiap manusia sejak mulai meninggalkan masa kanak-kanak

I. PENDAHULUAN. hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Indonesia menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006

THE RELATION OF DIET PATTERN TO DYSPEPSIA SYNDROM IN COLLEGE STUDENTS

BAB I PENDAHULUAN. pencabutan gigi. Berdasarkan penelitian Nair MA, ditemukan prevalensi

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Struktur dan Fungsi Syaraf

BAB I PENDAHULUAN. yang membutuhkan perhatian lebih dalam setiap pendekatannya. Berdasarkan

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Stres merupakan respon fisiologis, psikologis dan perilaku yang tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kecemasan pada Mahasiswa Tingkat Pertama. Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti

KEBUTUHAN RASA AMAN DAN NYAMAN. Niken Andalasari

BAB I PENDAHULUAN. merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua

BAB 1 PENDAHULUAN. dan menyeleksi perhatian (Maramis, 2009). Tidak banyak orang yang dapat

LAPORAN PENDAHULUAN. memperlihatkan iregularitas mukosa. gastritis dibagi menjadi 2 macam : Penyebab terjadinya Gastritis tergantung dari typenya :

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau adolescence (Inggris), berasal dari bahasa latin adolescere

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada hakekatnya manusia dari sejak awal terbentuknya, yakni sejak terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sistem syaraf otonom (ANS) merupakan divisi motorik dari PNS yang mengontrol aktivitas viseral, yang bertujuan mempertahankan homeostatis internal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

1.2. Etiologi Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit baik yang. bersifat organik dan fungsional. Penyakit yang bersifat organik antara

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB I1 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. SMA Al-Islam 1 Surakarta merupakan salah satu sekolah menengah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktivitas sehari hari, yang bisa

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada (kurangnya aktivitas fisik), merupakan faktor resiko independen. menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010)

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk membantu seorang pakar/ahli dalam mendiagnosa berbagai macam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Selye sebagai General Adaptation Syndrome ( GAS), suatu gambaran

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dispepsia Fungsional 2.1.1 Defenisi Dispepsia Fungsional Dalam konsensus Roma III (tahun 2006 dikutip dari Djojoningrat, 2009) yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefenisikan sebagai: 1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium. 2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut. 3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan. 2.1.2 Klasifikasi Dispepsia Fungsional Berdasarkan kriteria Roma III gejala dispepsia fungsional terbagi dua: a. Rasa penuh setelah makan (postprandial distress syndrome): meliputi rasa kembung, penuh, atau kenyang setelah makan b. Rasa nyeri epigastrium (epigastric pain syndrome): meliputi rasa nyeri terbakar di epigastrium Rasa penuh setelah makan dan rasa nyeri epigastrium dapat terjadi bersamaan pada orang yang menderita dispepsia fungsional. (Chan & Burakoff, 2010) 2.1.3 Patogenesis Dispepsia Fungsional Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas

gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis (Djojoningrat, 2009) 1.Sekresi Asam Lambung Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk mencerna makanan. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500ml cairan lambung yang mengandung zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena cairan lambung karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2003). Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009). 2.Dismotilitas Gastrointestinal Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau duapertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati (Djojoningrat, 2009). Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan pengosongan lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).

3.Hipersensitivitas viseral Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan dispepsia mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres, paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin dan glucagon-like peptide. Penelitian telah menunjukkan hipersensitivitas terhadap distensi lambung sebanyak 50% pasien dengan dispepsia fungsional, jika dibandingkan dengan kontrol, pasien dengan dispepsia fungsional memiliki ambang yang signifikan lebih rendah untuk sensasi distensi lambung dan sensasi nyeri (Chan & Burakoff, 2010). 4.Gangguan akomodasi lambung Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus dengan pemeriksaan gastric scintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan & Burakoff, 2010). 5.Helicobacter Pylori Peran infeksi Helicobacter Pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada dispepsia fungsional dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan konstervatif baku (Djojoningrat, 2009).

5.Diet Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan. Khususnya makanan berlemak telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol, makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff, 2010). 6.Faktor psikologis Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009). 2.1.4 Diagnosa Dispepsia Fungsional Dalam mendiagnosa dispepsia fungsional, terlebih dulu untuk menginterpretasikan kemungkinan etiologi seperti GERD, batu empedu, pankreatitis kronis, obstruksi, efek obat-obatan (NSADs). Beberapa hal yang dapat ditanyakan kepada pasien seperti riwayat operasi, riwayat keluarga dengan keganasan sistem pencernaan, konsumsi alkohol dan rokok, pola makan, stres, dan faktor psikologis (Chan & Burakoff, 2010). Langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi gangguan organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pankreas, dll), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah paling penting (Djojoningrat, 2009). Esofagogastroduoendoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-

tanda bahaya (alarm symptoms). Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS, khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia (Abdullah & Gunawan, 2012). Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional Dispepsia fungsional* Kriteria diagnostik terpenuhi bila poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: Salah satu atau lebih dari gejala-gejala dibawah ini Rasa penuh setelah makan Perasaan cepat kenyang Nyeri ulu hati Rasa terbakar di daerah ulu hati Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi) saat endoskopi saluran cerna bagian atas. *Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadinya sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. a.postprandial distress syndrome* Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: Rasa penuh setelah makan yang menggangu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu *Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadinya sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang

Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium b.epigastric pain syndrome* Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalikasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan sedang paling sedikit sekali dalam seminggu Nyeri timbul berulang Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosa kelainan kandung empedu dan sfingter Odd *Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadinya sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrostrenal Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan 2.2 Stres 2.2.1 Defenisi stres Stres adalah respons manusia yang bersifat non spesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya (Selye, 1979). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2007 dikutip dari Hidayat, 2009) yang dimaksud dengan stres adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan

oleh faktor luar atau ketegangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari (Hidayat, 2009). 2.2.2 Teori stres Walter Cannon, (1875-1945), 1920an memperkenalkan studi sistematis hubungan antara stres dengan suatu penyakit. Stres yang menstimulir sistem syaraf otonomik, terutama sistem simpatetik, menimbulkan reaksi fight or flight pada binatang. Pada manusia, yang karena peradabannya tidak bisa melakukan keduanya, stres menyebabkan terjadinya suatu penyakit (dikutip dari Noorhana, 2010). Harold Wolf (1982-1962), menjelaskan hubungan antara kondisi emosi spesifik dengan fisiologi pada saluran gastrointestinal. Sebelumnya, William Beumont (1785-1853), mengenali bahwa aliran darah ke perut dipengaruhi emosi. Hans Selye (1907-1982) mengembangkan model stres yang disebut sebagai General Adaption Syndrome yang terdiri dari 3 fase, yaitu: fase reaksi alarm, fase pertahanan, dimana pada fase ini diharapkan terjadi proses adaptasi, serta fase kelelahan. Stres yang dimaksud bisa berupa kondisi yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan. Diperlukan proses adaptasi untuk dapat menerima kedua tipe stres tersebut (dikutip dari Noorhana, 2010). a.fase reaksi alarm Fase saat tubuh menggerakkan sistem saraf simpatetik untuk menghadapi ancaman langsung. Pelepasan hormon adrenal, epineprine, dan norepinephrine terjadi saat munculnya emosi kuat. Hormon-hormon ini menghasilkan lonjakan energi, ketegangan otot, gangguan sistem pencernaan, dan meningkatnya tekanan darah (Wade & Tavris, 2007). b.fase pertahanan Saat tubuh berusaha menolak atau mengatasi stresor yang tidak dapat dihindari. Selama fase ini, respons fisiologis yang terjadi pada fase alarm terus

berlangsung, namun respons-respons tersebut membuat tubuh menjadi lebih rentan terhadap stresor-stresor lain. Dalam kebanyakan kasus, tubuh pada akhirnya akan beradaptasi terhadap stresor dan kembali ke kondisi normal (Wade & Tavris, 2007). c.fase kelelahan Saat stres yang berkelanjutan menguras energi tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap masalah fisik dan pada akhirnya akan memunculkan penyakit. Reaksi yang sama, yang memampukan tubuh merespons tantangan secara efektif pada fase alaram akan merugikan bila berlangsung secara terus-menerus (Wade & Tavris, 2007). 2.2.3 Sumber stres Kondisi stres dapat disebabkan oleh berbagai penyebab atau sumber, dalam istilah yang lebih umum disebut stressor. Stresor adalah keadaan atau situasi, obyek atau individu yang dapat menimbulkan stres. Masalah penyesuaian atau keadaan stres dapat bersumber pada frustasi, konflik, tekanan, atau krisis (Hidayat, 2009). 1.Frustasi Timbul bila ada aral melintang antara kita dan maksud (tujuan) kita, individu yang sedang berusaha mencapai kebutuhan mendadak timbul halangan yang merupakan frustasi baginya yang dapat menimbulkan stres padanya. Misalnya bila kita mau berpiknik lantas mendadak hujan turun. Ada frustasi yang dari luar, seperti: bencana alam, kecelakaan, kematian, norma-norma, adat istiadat, goncangan ekonomi, diskriminasi, persaingan, perubahan yang terlalu cepat. Frustasi yang datang dari dalam seperti: cacat tubuh, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga penilaian diri sendiri menjadi sangat buruk. Kecelakaan dan penyakit juga dapat merupakan frustasi dan dapat pula melemahkan daya tahan psikologik terhadap stres lain (Maramis, 2010).

2.Konflik Menurut Marasmis (2010), terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan sebagai berikut: Konflik pendekatan-penolakan: individu dihadapkan pada suatu keadaan yang mengharuskan ia mengambil keputusan, tetapi ia tidak dapat, maju terus tidak berani, mundur juga tidak menyenangkan. Bila keadaan ini berlangsung lama atau mempunyai arti penting, maka stres yang timbul akan mengakibatkan dekompensasi mental. Konflik pendekatan ganda: individu itu berusaha mencapai kedua-duanya, tetapi sukar baginya, ia harus melepaskan salah satu atau harus mengubah sikapnya terhadap salah satu. Konflik penolakan ganda: individu itu tidak menghendaki kedua-duanya karena tidak menyenangkan baginya, tetapi ia harus memilih salah satu. 3.Tekanan Tekanan sehari-hari biarpun kecil, tetapi bila tertumpuk-tumpuk, dapat menjadi stres yang hebat. Tekanan yang datang dari dalam seperti cita-cita yang terlalu tinggi sehingga kita terus-menerus berada di bawah tekanan. Contoh tekanan dari luar seperti orang tua menuntut anak mendapatkan nilai yang tinggi (Maramis, 2010). 4.Krisis Suatu keadaan yang mendadak menimbulkan stres pada seorang individu ataupun suatu kelompok, seperti: kematian, kecelakaan, penyakit yang memerlukan operasi, masuk sekolah untuk pertama kali (Maramis, 2010). 2.2.4 Stres pada mahasiswa Awal program universitas melibatkan banyak perubahan dalam kehidupan dari seorang siswa SMA yang dapat menyebabkan stres. Hidup jauh dari rumah,

membuat transisi menjadi lebih independen dari kondisi yang kurang mendukung. Studi yang telah mencoba untuk mengidentifikasi sumber stres di kalangan mahasiswa kedokteran umum terdapat tiga bidang utama: tekanan akademik, isu sosial dan masalah keuangan (Barikani, 2007). Proses evaluasi terus menerus, pekerjaan yang melelahkan, berjuang untuk mendapatkan nilai tinggi, tujuan yang ingin dicapai dan lainnya bukan satu-satunya sumber stres bagi mahasiswa kedokteran. Potensi sumber stres bagi siswa dapat mencakup (Ray & Joseph, 2010): 1. Stres akademik: materi yang akan dibahas dalam jangka waktu yang terbatas, perubahan dalam cara belajar, kurangnya bimbingan yang tepat, gagal dalam ujian. 2. tekanan sosial: hubungan dengan kelompok sebaya,dosen, senior, perpindahan dari rumah, harapan orang tua, perubahan dalam media pendidikan. 3. Stres fisik: fasilitas asrama yang tidak memadai, makanan dll. Respons orang bervariasi tergantung dari pengalaman belajar, gender, kondisi medis, dan kecenderungan genetis untuk mengalami tekanan atau masalah-masalah kesehatan (Wade & Tavris, 2007). 2.3 Hubungan stres dengan dispepsia fungsional Rangsangan psikis/emosi secara fisiologi dapat mempengaruhi lambung dengan beberapa cara yaitu: 1.Sistem Neurotransmiter Dua daerah otak primer yang terlibat dalam reaktivitas stres adalah hipotalamus dan lokus seruleus. Aktivasi hipotalamus oleh stres kemungkinan dimediasi oleh sistem (khususnya amigdala dan hipokampus) dan lokus seruleus di batang otak. Masukan pada amygdala yang diperkirakan berasal dari hippocampus, korteks cingulate dan bagian lain dari sistem limbik. Lokus ceruleus terletak di bagian pontine batang otak. Lokus ceruleus adalah sumber dari sebagian besar neurotransmiter norepinefrin stimulan pada sistem saraf. Sel ini memproyeksikan ke

daerah otak lainnya, melepaskan norepinephrine yang akan mengaktifkan sistem lain dan meningkatkan gairah dan kewaspadaan (Mertz, 2003). Respons neurotransmiter terhadap stres mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus ceruleus, menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Stres juga mengaktivasi sistem serotonergik di otak dan neurotransmisi dopaminergik di jalur mesofrontal. Respon terhadap stres juga terjadi terhadap corticotropin-releasing factor (CRF), glutamat dan gamma-amino butiric acid (GABA) (Noorhana, 2010). 2.Jalur neurogen Rangsangan konflik emosi pada kortek serebri mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke nukleus vagus, nervus vagus dan kemudian ke lambung (Mudjaddid, 2009). 3.Jalur neurohormonal Rangsangan pada kortek serebri diteruskan ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini merangsang kortek adrenal dan kemudian menghasilkan hormon adrenal yang selanjutnya merangsang sekresi asam lambung (Mudjaddid, 2009).