BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kejadian HAIs 2.1.1 Definisi Menurut definisi dari WHO (World Health Organization) HAIs (Healthcare Associated Infections) atau HAIs merupakan infeksi pada pasien di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain yang belum tampak atau tidak sedang masa inkubasi pada saat pasien pertama kali masuk atau yang terjadi selama pasien dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam, yang tidak muncul pada saat masuk rumah sakit. Termasuk juga infeksi yang didapatkan pasien selama masa perawatan di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang baru muncul setelah pasien telah keluar, maupun juga infeksi pada staff rumah sakit. (WHO 2010). Jenis HAIs yang paling sering terjadi adalah bloodstream infection (BSI), urinary tract infection (UTI), surgical site infection (SSI), pneumonia atau ventilator associated pneumonia (VAP) dan gastrointestinal (GI) nosocomial infection. (Madani, dkk, 2009). The center for Disease Control and Prevention (CDC) mendefinisikan HAIs sebagai infeksi yang didapatkan oleh pasien yang mendapatkan perawatan untuk kondisi lain atau infeksi yang didapat oleh pekerja kesehatan pada saat melakukan tugas pelayanan kesehatan. (CDC, 2006).
2.1.2 Faktor Resiko WHO membagi beberapa faktor resiko yang meningkatkan resiko HAIs menjadi dua, yang pertama adalah yang adalah faktor resiko yang ada walaupun fasilitas yang tersedia memadai: Penggunaan peralatan invasif yang terlalu lama dan tidak benar; Prosedur yang berisiko tinggi; Keadaan imun yang menurun dan keparahan penyakit yang mendasari pada pasien; Penerapan dari standar dan teknik isolasi yang tidak benar. Beberapa faktor resiko lebih spesifik ke keadaan dengan fasilitas yang terbatas: Kebersihan lingkungan yang tidak adequate; Infrastruktur yang tidak memadai; Peralatan yang tidak memadai; Kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM); Kurangnya pengetahuan dan pengaplikasian dari dasar dasar pencegahan infeksi; Prosedur yang salah; Kurangnya pengetahuan mengenai keamanan tekhnik injeksi dan tranfusi darah; Tidak adanya guidelines lokal maupun nasional. (WHO, 2010)
Faktor resiko HAIs ada pula yang membaginya menjadi dua yaitu, faktor instrinsik dan faktor ekstrinsk. Faktor termasuk intrinsik antara lain: Keparahan penyakit yang mendasari, flora endogen, umur, sindrom genetik, kondisi immunocompromise dan malnutrisi. Pemakaian peralatan invasif (ventilator mekanik, kateter vena sentral, dan kateter urin), pemakaian antibiotik yang tidak rasional dan lingkungan yang terlalu penuh merupakan faktor resiko ekstrinsik. (De Mallo, 2009). 2.1.3 Epidemiologi HAIs adalah salah satu penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas didalam pelayanan kesehatan. Infeksi ini menyebabkan beban ekonomi tinggi baik di negara maju maupun di negara berkembang di seluruh dunia. Disebuah meta-analysis dari 220 studi yang dilakukan pada negara yang berkembang dilaporkan bahwa angka kejadian HAIs adalah 15.5/100 pasien. Jumlah itu sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara maju dimana jumlah kejadian diperkirakan antara 4.5-7.5/100 pasien. (Allegranzi B, 2011). Di negara berkembang seringkali data pentingnya angka kejadian HAIs seringkali diabaikan karena sistem surveilans untuk mengumpulkan data tidak memadai dan tidak valid. Sementara angka kejadian di negara berkembang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan negara maju. Negara berkembang memiliki resiko HAIs 2-20
kali dan tingkat insidensi HAIs mencapai 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju. (Rosenthal, dkk, 2009). 2.2 Pemakaian Antibiotik 2.2.1 Antibiotik Antibiotik adalah sebutan bagi agen yang biasa digunakan untuk mencegah maupun untuk mengobati infeksi dari bakteri patogen pada manusia (Mitrea LS, 2008). Istilah antibiotik juga bisa mengacu pada zat kimia yang dihasilkan oleh organisme tertentu, misalnya fungi, yang akan memiliki khasiat untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri tertentu. (Neal, 2006). 2.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik Mekanisme kerja antimikroba memiliki beberapa jenis, tetapi semua agen antimikroba yang ideal harus memiliki sifat toksisitas selektif, artinya obat tersebut hanya akan melukai dari patogen sedangkan tidak berbahaya bagi host. Tetapi toksistas selektif seringkali hanya memiliki sifat realatif bukan absolut, maksudnya suatu agen antimikroba akan bekerja dengan baik selama masih dalam konsentrasi yang dapat diterima host. Mekanisme kerja obat antimikroba secara garis besar dibagi 4 yaitu: Inhibisi Sintesis Dinding Sel (eg. Penisilin, karbapenemase, vankomisin). Inhibisi Fungsi Membran Sel (eg. Amfoterisin, kolistin, triazol).
Inhibisi Sintesis Protein (eg. Ertromisin, tetrasiklin, aminoglikosida). Inhibisi Sintesi Asam Nukleat (eg. Kuinolo, sulfonamid, trimetropin). (jawetz, 2010) 2.2.3 Resistensi Antibiotik Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri dengan suatu cara merubah atau menghilangkan ke efektifan dari obat, bahan kimia atau agent lain yang didesain untuk menyembuhkan atau mencegah infeksi dari bekteri tersebut. Dengan itu bakteri bisa bertahan dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Penggunaan antibiotik yang meluas juga meningkatkan resistensi dari antibiotik. (Bari SB, dkk, 2008). Saat ini sekitar 70% bakteri yang menyebabkan infeksi dirumah sakit resisten terhadap minimal satu agen antibiotik yang biasa di gunakan pada kuman tersebut, bahkan beberapa bakteri sudah resisten terhadap semua jenis antibiotik yang di perbolehkan dan hanya bisa di obati dengan obat yang masih tahap eksperimental dan berpotensi beracun kepada pasien. (Kenneth T, 2008). Sebenarnya resistensi antibiotik adalah peristiwa alamiah, akan tetapi ini dipercepat dengan kesalahan dan penggunaan berlebihan, dan juga ditambah dengan pencegahan infeksi dan kontrol yang buruk (WHO, 2015)
2.2.4 Prinsip Pemberian Antibiotik di Klinis Meski dengan kemampuan dan juga kemudahan untuk memberikan terapi antimikroba di klinis untuk mencegah atau mengkontrol suatu infeksi, kesalahan dalam pemberian terapi antimikroba masih umum ditemukan. Termasuk juga kesalahan terapi empirik, kombinasi antimikroba yang tidak benar, kesalahan dalam dosis, dan durasi pengobatan yang tidak tepat, akan menyebabkan pengobatan dengan antimikroba menjadi tidak efektif. Karena itu seorang praktisi kesehatan harus memperhatikan beberapa faktor ketika akan memberikan terapi antimikroba, antara lain: Spektrum, Adalah luas kemampuan dari keefektifan dari antimikroba dan merupakan basis dari terapi empirik antibiotik. Penetrasi jaringan, ini adalah kemampuan antibiotik untuk mencapai dari daerah infeksi, dan sangat dipengaruhi oleh sifat dari antibiotik tersebut (ukuran molekul, larut dalam lemak) dam juga jaringan target (suplai darah yang adequat, adanya inflamasi). Resistensi, Resistensi bakteri bisa terjadi secara alami/intrinsik maupun didapat dan absolut ataupun relatif. Ini adalah salah satu faktor penting pemberian antibiotik.
Keamanan, Dalam pemberian antibiotik harus memperhatikan resiko efek samping, sebisa mungkin memilih antibiotik yang memiliki efek samping minimal. Biaya, Faktor ini juga harus diperhatikan, salah satu strategi untuk menghemat biaya antara lain mengganti pemberian antibiotik secara IV ke PO, atau pemberian monoterapi dibandingkan terapi kombinasi. (Burke AC, dkk, 2009). 2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pemberian Antibiotik Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba di dalam tubuh host secara garis besar dibagi dua yaitu: 1. Hubungan obat dan patogen Lingkungan, Didalam tubuh host beragam kondisi lingkungan memberikan pengaruh organisme di jaringan dan tempat lain yang berbeda di seluruh tubuh, karena itu respon populasi mikroba akan berbeda di tiap host. Konsentrasi, Di dalam host mikroorganisme tidak terpajan terhadap agen antimikroba dengan kadar yang konstan, ini juga yang mempengaruhi kualitas pemberian antibiotik.
2. Hubungan pejamu dengan patogen Perubahan respon jaringan Ini dapat terjadi ketika agen antimikroba menekan proses multiplikasi mikroorganise, tetapi tidak menghilangkan mikroorganisme tersebut dari tubuh host. Perubahan respon imun Jika suatu infeksi dimodifikasi oleh suatu agen antimikroba terkadang juga dapat merubah respon imun host. Perubahan pada flora normal Agen antimikroba tidak hanya mempengaruhi mikroorganisme patogen aja, tetapi juga akan merusak keseimbangan flora normal di tubuh host. Ketidak seimbangan ini dapat menyebabkan gangguan penakit terhadap host. (Jawetz, 2010). 2.2.1. Pengukuran Kualitas Antibiotik Antibiotik hanya bekerja untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik tidak bermanfaat mengobati penyakit yang diakibatkan oleh virus atau non bakteri lainnya. Pemberian antibiotik secara rasional diartikan sebagai pemberian antibiotik yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping obat yang dalam arti konkritnya adalah (Cunha, 2010) :
1. Pemberian resep yang tepat atau sesuai indikasi 2. Pemberian dosis yang tepat 3. Lama pemberian obat yang tepat 4. Interval pemberian obat yang tepat 5. Aman pada pemberiannya 6. Terjangkau oleh penderita. Untuk meningkatkan pemberian antibiotik yang rasional, pemberian antibiotik pada unit pelayanan kesehatan selain harus disesuaikan denganpedoman pengobatan juga sangat dipengaruh oleh pengelolaan obat (Depkes RI, 2008).Pemberian antibiotik juga disesuaikan dengan Formularium Rumah Sakit yaitu daftar obat yang disepakati beserta informasinya yang harus ditetapkan dirumah sakit. Formularium Rumah Sakit disusun oleh tim khusus dan disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan di rumah sakit tersebut. Penilaian mengenai rasionalitas pemberian antibiotik memuat dua aspek penting untuk di evaluasi yaitu jumlah antibiotik yang digunakan yang disebut dengan kuantitas dan ketepatan dalam pemilihan jenis antibiotik, dosis serta lama pemberian yang disebut kualitas. Kualitas pemberian antibiotik dapat dinilai dengan melihat catatan medis. Hal-hal yang harus dinilai antaralain ada tidaknya indikasi, dosis, lama pemberian, pilihan jenis dan sebagainya.
Gyssens dkk pada tahun 2005 membagi kategori kualitas pemberian antibiotik sebagai berikut (Gyssens et al, 2005) : 1. Kategori I : pemberian dengan indikasi yang tepat 2. Kategori II : pemberian antibiotik yang tidak tepat: a. Dosis b. Interval c. Rute 3. Kategori III : pemberian antibiotik atas indikasi yang tepat dosis/interval/rute yang tepat tapi tidak tepat dalam lama pemberian (terlalu lama atau terlalu sebentar) 4. Kategori IV : pemberian antibiotik yang tepat indikasi, dosis/interval/rute serta lama pemberian tetapi tidak tepat jenisnya a. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif b. Ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik c. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah d. Ada pilihan antibiotik lain yang lebih sempit spektrumnya 5. Kategori V: pemberian antibiotik yang tanpa indikasi 6. Kategori VI: rekam medis tidak lengkap untuk dievaluasi. Penilaian kualitas pemberian antibiotik pada penelitian ini menggunakan alur Gyssens.
Gambar 2.1Skema Alur Gyssens
Waktu pemberian antibiotik merupakan hal penting. Pada kasus bedah, waktu pemberian antibiotik memiliki pengaruh yang sangat besar yaitu untuk antibiotik profilaksis yang diberikan saat pasien berada diruang operasi. Durasi pemberian antibiotik seharusya cukup lama untuk membunuh bakteri kausatif, namun cukup singkat untuk mikroflora endogen pada pasien, dan cukup singkat untuk mikroflora di lingkungan. Penelitian ini menggunakan kriteria Gyssens. Kualitas pemberian antibiotik dinilai dengan melihat langsung catatan medis kemudian oleh reviewer independen dengan menggunakan bagan alur Gyssens untuk menilai peresepan antibiotik. Setiap antibiotik yang diresepkan oleh dokter dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu terapi, profilaksis, dan unknown atau tidak diketahui tujuannya. Pemberian antibiotik tanpa adanya gejala klinis infeksi yang diberikan setengah sampai satu jam sebelum tindakan bedah disebut profilaksis. Peresepan untuk profilaksis diberi label ADP (Antimicrobial Drug Prophylaxis). Pemberian antibiotik tipe terapi dapat dibedakan menjadi ADE (Antimicrobial Drug Empiric therapy), ADET (Antimicrobial Drug Extended Empiric therapy) dan ADD (Antimicrobial Drug Documented therapy). ADE merupakan terapi empirik yang digunakan pada 72 jam pertama perawatan dan belum terdapat hasil kultur. ADET adalah terapi empirik luas tanpa diagnosis definitif yang merupakan kelanjutan dari ADE. ADD merupakan terapi yang diberikan setelah diagnosis definitif tegak atau setelah hasil
pemeriksaan mikrobiologi keluar. Sedangkan untuk tipe terapi unknown diberi label ADU (Antimicrobial Drug Unknown therapy), yaitu apabila antibiotik diberikan tanpa ada indikasi pemberian antibiotic (Gyssens et al, 2005). 2.3 Kerangka Teori Penggunaan Antibiotik Irasional Resisten si Transmisi Kejadian Healthcare Associated Infections (HAIs) Faktor Resiko HAIs Faktor Intrinsik : - Usia - Imunitas - Perubahan flora normal Faktor Ekstrinsik: - Higienitas tenaga medis - Lama hari perawatan - Peralatan dan material medis - Kebersihan - Makanan atau minuman Higienitas Tenaga Medis
2.4 Kerangka Konsep Penggunaan Antibiotik Angka Kejadian HAIs 2.5 Hipotesis Penggunaan antibiotik berpengaruh terhadap kejadian HAIs di RSUD RAA Soewondo Pati.
15