BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperglikemia sering terjadi pada pasien kritis dari semua usia, baik pada dewasa maupun anak, baik pada pasien diabetes maupun bukan diabetes. Faustino dan Apkon (2005) mengemukakan kejadian hiperglikemia pada anak sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit) berkisar antara 16,7-75,0%, sedangkan Wintergest et al. (2006) mendapatkan kejadian hiperglikemia di PICU sebesar 35,2-86,7%. Pada penelitian Nurnaningsih dan Pudjiadi didapatkan 33,3% pasien yang dirawat di PICU RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta memiliki kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl. Kejadian hiperglikemia pada pasien kritis ini telah dikemukakan pertama kali oleh Claude Bernard lebih dari seabad yang lalu (Van den Berghe, 2004). Namun, sampai saat ini patofisiologi, pengaruh, dan penatalaksanaan terhadap fenomena tersebut masih menjadi masalah yang diperdebatkan dan menarik untuk diteliti lebih lanjut. Penyakit kritis merupakan stres yang menimbulkan perubahan pada hampir semua sistem organ dalam tubuh (Reddy, 2009). Hiperglikemia merupakan salah satu akibat dari respon sistemik tubuh terhadap stres. Faktor neurohormonal sebagai respon terhadap stres menyebabkan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif atau absolut, dan peningkatan produksi glukosa (Krinsley, 2003; Weinzimer et al., 2008). Di satu sisi, pada kondisi stres, hiperglikemia merupakan proses adaptasi fisiologis untuk memenuhi kebutuhan energi yang 1
2 meningkat dan mempertahankan volume intravaskular dengan meningkatkan osmolaritas serum (Hirshberg et al., 2008; Bratton, 2009). Namun di sisi lain, stress-induced hyperglycemia ternyata mempunyai efek merugikan akibat disfungsi endotel dan gangguan respon imun yang ditimbulkannya (Weinzimer et al., 2008). Banyak penelitian pada dewasa yang menunjukkan bahwa hiperglikemia, bahkan pada tingkat sedang dan pada nondiabetes, berhubungan dengan luaran yang lebih buruk dan peningkatan mortalitas pada pasien kritis (Henderson et al, 2006). Hiperglikemia pada pasien kritis berhubungan dengan lebih tingginya risiko komplikasi, lebih lamanya perawatan di ICU, dan lebih tingginya angka kematian (Leite et al., 2010). Pada suatu penelitian retrospektif, Krinsley (2003) mendapatkan bahwa mortalitas di rumah sakit meningkat secara progresif sejalan dengan meningkatnya kadar glukosa darah, mencapai 42,5% pada pasien dengan kadar glukosa darah rata-rata di atas 300mg/dL. Sejalan dengan penelitian tersebut, penelitian prospektif acak terkendali yang dilakukan Van den Berghe et al. (2001) menunjukkan bahwa regulasi ketat glukosa darah pada target 80-110mg/dL dengan terapi insulin secara intensif menurunkan mortalitas sebesar 34% pada pasien ICU kasus bedah, serta secara signifikan menurunkan kejadian bakteriemia dan gagal ginjal akut, menurunkan kebutuhan transfusi darah dan ventilasi mekanik, serta mempersingkat lama perawatan pasien ICU kasus bedah maupun medis (Leite et al.,2010; Van den Berghe et al., 2001). Secara umum disebutkan bahwa hiperglikemia merupakan abnormalitas yang dapat dikoreksi yang berpotensi menimbulkan luaran buruk pada pasien kritis (Falciglia, 2007).
3 Hiperglikemia pada pasien kritis di PICU menarik untuk dikaji. Kejadian hiperglikemia dan pengaruhnya terhadap luaran klinis anak sakit kritis belum banyak diketahui. Hiperglikemia pada anak mungkin mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap morbiditas dan mortalitas dibandingkan pada dewasa, akibat adanya perbedaan kebutuhan metabolik, perbedaan kondisi komorbid, atau faktorfaktor lain terkait usia (Faustino dan Apkon, 2005). Sebagian besar penelitian pada anak menunjukkan bahwa hiperglikemia berhubungan dengan luaran klinis yang buruk (Wintergerst et al., 2006). Pada anak sakit kritis yang dirawat di PICU, Faustino dan Apkon (2005) mendapatkan risiko relatif mortalitas sebesar 2,5 pada pasien dengan kadar glukosa darah lebih dari 150 mg/dl. Kadar glukosa darah lebih dari 150mg/dL dalam 24 jam pertama perawatan di PICU meningkatkan risiko kematian hampir 3,5 kali (Srinivasan et al., 2004). Kadar glukosa darah yang tinggi juga berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial dan lamanya perawatan pada pasien PICU (Wintergerst et al., 2006; Hirshberg et al., 2008). Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang tidak konsisten dalam mengkaji hubungan antara hiperglikemia dengan luaran klinis anak sakit kritis. Pada penelitian Klein et al. dengan batas kadar glukosa darah lebih dari 126mg/dL dan Lodha et al.(2009) dengan batas kadar glukosa darah lebih dari 200mg/dL didapatkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara hiperglikemia dengan lama pemakaian ventilasi mekanik, lama perawatan, dan mortalitas pasien kritis yang dirawat di PICU. Selain itu, terdapat keterbatasan pada penelitianpenelitian yang ada, yaitu belum dikendalikannya faktor derajat keparahan
4 penyakit, jenis kasus, umur, jenis kelamin, dan status gizi dalam menilai luaran klinis pasien; belum diperhitungkannya pengaruh faktor eksogen seperti pemberian glukokortikoid, katekolamin, dan infus dekstrosa terhadap kejadian hiperglikemia; serta tidak seragamnya nilai glukosa darah yang digunakan sebagai batasan hiperglikemia (Weinzimer et al., 2008; Falciglia, 2007). Mortalitas pada pasien kritis cukup tinggi. Van den Berghe (2004) menyebutkan mortalitas pasien yang memerlukan perawatan intensif selama beberapa hari sekitar 20% di seluruh dunia. Sebagian besar kematian di unit rawat intensif yang terjadi setelah hari-hari pertama sakit kritis berhubungan dengan tidak teratasinya kegagalan sistem organ, atau dan sepsis. Laporan tahunan PICU/IRIA (Instalasi Rawat Intensif Anak) RSUP Dr. Sardjito tahun 2010, menunjukkan 31,0% pasien yang dirawat di PICU meninggal, dengan syok septik sebagai penyebab terbanyak (16,9%) kematian. Penelitian tentang prognosis hiperglikemia terhadap mortalitas anak sakit kritis di Indonesia, khususnya di PICU RSUP Dr. Sardjito belum pernah dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk mengkaji hiperglikemia dalam 24 jam pertama perawatan sebagai faktor prognosis terhadap luaran klinis (mortalitas dan lama perawatan) pasien kritis yang dirawat di PICU. B. Pertanyaan Penelitian Dengan memperhatikan uraian permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah hiperglikemia dalam 24 jam pertama perawatan merupakan faktor prognosis yang berhubungan dengan luaran klinis (mortalitas dan lama perawatan) pasien kritis yang dirawat di PICU?
5 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum : mengkaji hiperglikemia dalam 24 jam pertama perawatan sebagai faktor prognosis terhadap luaran klinis pasien kritis yang dirawat di PICU. 2. Tujuan khusus : a. Mengkaji hubungan antara hiperglikemia dalam 24 jam pertama perawatan dengan mortalitas pasien kritis yang dirawat di PICU. b. Mengkaji hubungan antara hiperglikemia dalam 24 jam pertama perawatan dengan lama perawatan pasien kritis yang dirawat di PICU. D. Manfaat Penelitian 1. Dalam bidang akademik atau ilmiah : penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tenaga medis tentang pengaruh hiperglikemia terhadap luaran klinis pasien kritis di PICU. 2. Dalam bidang pelayanan masyarakat : hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para dokter/klinisi dalam pengambilan kebijakan penatalaksanaan hiperglikemia pada pasien kritis sehingga dapat memperbaiki luaran klinis serta menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien kritis di PICU. 3. Dalam bidang pengembangan penelitian : penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk mengembangkan penelitian yang lebih mendalam mengenai hiperglikemia pada anak sakit kritis: penyebab, akibat, dan penatalaksanaannya.
6 D. Keaslian Penelitian Bukti bahwa penelitian mengenai prognosis hiperglikemia terhadap luaran klinis pasien kritis di PICU pernah dilakukan di Indonesia sulit ditemukan. Beberapa penelitian terkait yang telah dilakukan di luar negeri ditunjukkan pada tabel 1. Bertolak dari adanya inkonsistensi hasil penelitian-penelitian pendahulu, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prognosis hiperglikemia dalam 24 jam pertama perawatan terhadap luaran klinis pasien kritis di PICU, khususnya di PICU RSUP Dr. Sardjito, dengan karakteristik pasien dan ketersediaan sumber daya rumah sakit yang tidak sama dengan penelitian-penelitian pendahulu. Pada penelitian ini digunakan nilai kadar glukosa darah >150mg/dL sebagai batasan hiperglikemia disesuaikan dengan anjuran Unit Kelompok Kerja Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK PGD IDAI) mengenai pengontrolan kadar glukosa darah pada anak sepsis. Nilai kadar glukosa darah yang dianalisis hanya hasil pemeriksaan dari Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Sardjito dalam 24 jam pertama perawatan di PICU. Hal ini untuk mengurangi variasi pengukuran dan pengaruh ketidakseragaman intervensi yang diberikan selama pasien dirawat di PICU. Berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, pada penelitian ini dikendalikan juga faktor derajat keparahan penyakit, jenis kasus, umur, jenis kelamin, dan status gizi dalam menilai luaran klinis pasien; serta diperhitungkan juga pengaruh faktor eksogen seperti pemberian glukokortikoid, katekolamin, diuretik, dan dekstrosa intravena terhadap kejadian hiperglikemia. Untuk
7 mengetahui apakah hubungan antara hiperglikemia dengan luaran klinis terdapat pada semua anak sakit kritis, maka semua pasien anak yang dirawat di PICU dengan berbagai status penyakit dimasukkan sebagai populasi pada penelitian ini. Namun, intervensi atau kondisi yang bisa mempengaruhi hasil penelitian, yaitu terapi insulin, hipoglikemia, dan diabetes mellitus dieksklusi dalam pemilihan subyek penelitian.
Tabel 1. Penelitian-penelitian lain tentang prognosis hiperglikemia terhadap luaran klinis pasien kritis di PICU Peneliti (tahun) Srinivasan et al. (2004) Faustino dan Apkon (2005) Hirshberg et al. Klein et al. Lodha et al. (2009) Rancangan penelitian Kohort retrospektif Kohort retrospektif Kohort retrospektif Retrospektif Retrospektif Batasan hiperglikemia 126, 150mg/dL 120, 150,200mg/dL 150 mg/dl 200 mg/dl 126 mg/dl Alat ukur glukosa darah yang dianalisis Laboratory glucose analyzer Bedside glucometer Point-of-care testing Clinical laboratory Blood gas laboratory Bedside point-of-care device Chemistry laboratory Blood gas laboratory Tidak ada keterangan Hasil pengukuran glukosa darah yang dianalisis Nilai tertinggi dalam 24 jam pertama; Nilai tertinggi selama di PICU Saat masuk; Nilai tertinggi dalam 24 jam pertama di PICU Variabilitas glukosa selama di PICU Nilai tertinggi pada hari pertama di PICU Nilai tertinggi pada hari pertama di PICU Sampel 152; hanya pasien PICU dengan ventilasi mekanik dan infus vasoaktif; nondiabetes; nonterapi insulin 942; semua pasien PICU; nondiabetes 863; semua pasien PICU; nondiabetes atau kelainan metabolik lain; nonhipoglikemia; nonterapi insulin 1550; semua pasien PICU; nondiabetes; 209; semua pasien PICU; nondiabetes Median umur subyek 6 tahun 3,2 tahun 2 tahun 4,2 tahun 1,6 tahun 8
Tabel 1. (lanjutan) Peneliti (tahun) Karakteristik khusus subyek Hipoglikemia termasuk dalam kategori pembanding Faktor lain yang diperhitungkan : Srinivasan et al. (2004) Mortalitas PICU 15% Tidak ada pasien postoperasi jantung Faustino dan Apkon (2005) Mortalitas PICU 3% Hirshberg et al. 46,2% pasien postoperasi Klein et al. Mortalitas PICU 5% 25,1% pasien postoperasi Lodha et al. (2009) Mortalitas PICU 33% 48,8% underweight, 46% wasting Tidak ada pasien postoperasi Ya Ya Tidak Ya Tidak Umur Ya Tidak Ya Ya Tidak Jenis kelamin Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Derajat keparahan penyakit Ya (PRISM) Tidak Ya (PRISM) Ya (PRISM) Ya (PRISM, PIM2) Jenis kasus Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Status gizi Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Glukokortikoid eksogen Ya Tidak Tidak Ya Tidak Katekolamin eksogen Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Dekstrosa intravena Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak 9
Tabel 1. (lanjutan) Peneliti (tahun) Srinivasan et al. (2004) Faustino dan Apkon (2005) Hirshberg et al. Klein et al. Lodha et al. (2009) Hasil utama Kadar glukosa darah >150mg/dL (8,3 mmol/l) pada 24jam pertama perawatan berhubungan dengan mortalitas (OR 3,4; 95%CI 1,4 8,6, p<0,01). Risiko kematian meningkat pada kelompok dengan kadar tertinggi glukosa dalam 24 jam pertama >150mg/dL (RR, 2.50; 95%CI 1.26-4.93) Hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan mortalitas (OR 9,6; 95%CI 1,2-77,2). Hiperglikemia dan variabilitas glukosa juga berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial (p=0,01) dan peningkatan lama perawatan di rumah sakit (p<0,001). Kadar glukosa darah pada hari pertama berkorelasi dengan skor PRISM (r=0,39, p<0.001). Kadar glukosa darah hari pertama tidak berhubungan dengan ketahanan hidup (p=0,82) setelah dikontrol dengan faktor skor PRISM, umur, dan jenis kelamin. Dengan mengontrol skor PRISM, kadar glukosa hari pertama tidak berhubungan dengan lama perawatan di PICU (p=0,75 & p=0,19) dan lama penggunaan ventilasi mekanik (p=0,06 & p=0,31) pada kelompok yang bertahan hidup maupun yang meninggal. Dengan mengontrol keparahan penyakit menurut PRISM atau PIM2, tidak ada hubungan antara hiperglikemia dengan mortalitas (p=0,13). 10