BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

EVALUASI PEMILIHAN OBAT ANTIDIABETES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SALATIGA TAHUN 2008 SKRIPSI

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Definisi Diabetes Melitus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kecamatan Kabila Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. demografi, epidemologi dan meningkatnya penyakit degeneratif serta penyakitpenyakit

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Association, 2013; Black & Hawks, 2009). dari 1,1% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun Data dari profil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin dan kerja dari insulin tidak optimal (WHO, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit diabetes melitus (DM) adalah kumpulan gejala yang timbul pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. komprehensif pada self-management, dukungan dari tim perawatan klinis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

HUBUNGAN KADAR GULA DARAH DENGAN KECEMASAN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. vitamin ataupun herbal yang digunakan oleh pasien. 1. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme

Obat Penyakit Diabetes Metformin Biguanide

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organisation WHO (2014) prevalensi penyakit DM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

Pengobatan diabetes tipe 2 yang agresif. Lebih dini lebih baik. Perjalanan penyakit Diabetes tipe 2 : Keadaan patologik yang mendasarinya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai

Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut ADA (American Diabetes Association) Tahun 2010, diabetes

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB I PENDAHULUAN. modernisasi terutama pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. insulin secara relatif maupun absolut (Hadisaputro & Setyawan, 2007).

IDENTIFIKASI DRUG RELATED

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN DIABETES MELLITUS PADA Ny.T DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOSARI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan jiwa dari penderita diabetes. Komplikasi yang didapat

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah

Apa Obat Diabetes Untuk Komplikasi Neuropati Otonom?

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. tertentu dalam darah. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi pankreas

Diabetes Mellitus Type II

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya penyakit dibagi menjadi menular dan penyakit

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

BAB I PENDAHULUAN. menanggulangi penyakit dan kesakitannya. Dari data-data yang ada dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KETAATAN POLA MAKAN PENDERITA DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SEI BESAR BANJARBARU

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging

FREDYANA SETYA ATMAJA J.

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang

4. Tiazolidindion Insulin VI. Komplikasi Diabetes B. Landasan Teori C. Hipotesis BAB III Metodologi Penelitian...

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ermita (2002 dikutip dari Devita, Hartiti, dan Yosafianti, 2007) bahwa fluktuasi

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).

Truly Dian Anggraini, Ervin Awanda I Akademi Farmasi Nasional Surakarta Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. darah / hiperglikemia. Secara normal, glukosa yang dibentuk di hepar akan

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi

DIABETES MELITUS GESTASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. progresif, ditandai dengan kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) terus

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi (Soegondo, et al., 2005). Diabetes mellitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti penyakit serebrovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, penyakit pada mata, ginjal, dan syaraf. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan baik, diharapkan semua penyakit menahun tersebut dapat dicegah, atau setidaknya dihambat. Berbagai faktor genetik, lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes (Soegondo, et al., 2005). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari bagian rekam medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta, pada tahun 2009 jumlah pasien diabetes mellitus sekitar 1% dari jumlah total pasien yang dirawat dalam periode setahun. Selain itu, setiap tahunnya diabetes mellitus tercatat sebagai salah satu penyakit yang berada pada 1

2 posisi 10 besar dari penyakit tersering yang dialami oleh pasien di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Keberhasilan suatu terapi tidak hanya dari ketepatan diagnosa, pemilihan dan pemberian obat yang tepat, namun kepatuhan pengobatan juga menjadi penentu keberhasilan. Khususnya untuk terapi jangka panjang pada beberapa penyakit kronis diantaranya diabetes, kepatuhan sangatlah penting. Sebab ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan akan berdampak negatif terhadap kualitas hidup pasien itu sendiri. Di negara-negara maju kepatuhan pasien hanya 50%, sedangkan di negara-negara berkembang persentasenya bahkan lebih rendah (Asti, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan di RS. Bhayangkara HS Syamsoeri Mertoyoso Surabaya tentang pola kepatuhan penggunaan antidiabetik oral dengan menggunakan kuesioner self administered menyatakan bahwa 11,43% responden masuk dalam kategori patuh dan 88,57% dalam kelompok tidak patuh (Primulyanto, et al., 2008). Ini menunjukkan bahwa kepatuhan di RS Bhayangkara masih rendah. Sedangkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi miskin di Afrika-Amerika menunjukkan bahwa setiap kenaikan 10% kepatuhan terhadap pengobatan, kadar HbA1c menurun sebesar 0,16% (Schectman, et al., 2002) Pada penyakit yang memerlukan terapi jangka panjang seperti diabetes mellitus, kepatuhan penggunaan obat merupakan salah satu faktor keberhasilan terapi, maka kepatuhan penggunaan obat hipoglikemik oral dianggap penting. Apalagi penderita diabetes mellitus tipe 2 yang berobat di RSUD Dr. Moewardi

3 Surakarta cukup banyak. Oleh karena itu, dari penelitian ini diharapkan dapat digambarkan kepatuhan penggunaan obat pasien diabetes mellitus tipe 2 dan pengaruhnya terhadap penurunan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe 2 RSUD Dr. Moewardi Surakarta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana gambaran kepatuhan penggunaan obat hipoglikemik oral pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta? 2. Bagaimana pengaruh kepatuhan penggunaan obat hipoglikemik oral terhadap penurunan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui gambaran kepatuhan penggunaan obat hipoglikemik oral pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta 2. Mengetahui pengaruh kepatuhan penggunaan obat hipoglikemik oral terhadap penurunan kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4 D. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes mellitus a. Definisi diabetes mellitus Diabetes mellitus adalah suatu sindrom dengan gangguan metabolisme dan tingginya kadar gula dalam darah sebagai akibat dari penurunan sekresi insulin atau akibat terjadinya resistensi insulin sehingga insulin yang dibutuhkan tidak terpenuhi (Anonim, 2005). Definisi lain menjelaskan bahwa diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik kronik yang ditandai dengan gejala intoleransi glukosa. Apabila glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel maka akan terjadi peningkatan kadar gula dalam darah sehingga sel harus mengambil asupan dari lemak yang tersimpan (Wells, et al., 2000). Diabetes tipe 2 (non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes yang tidak tergantung insulin atau biasa disebut diabetes adult dan lebih umum, lebih banyak penderitanya dibanding dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM tipe 2 dikalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Awal patofisiologis DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal (Anonim, 2005). Diagnosis diabetes dipastikan bila terdapat keluhan khas diabetes (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

5 sebabnya) disertai dengan satu nilai pemeriksaan glukosa darah tidak normal (glukosa darah sewaktu 200 mg/dl atau glukosa darah puasa 126 mg/dl). Terkadang juga terdapat keluhan keluhan tidak khas (lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus vulvae) (Soegondo, et al., 2005). Diagnosis diabetes dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa darah puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. Tes Toleransi Glukosa Oral sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. Ketiga, dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM (Perkeni, 2006). Cara pelaksanaan TTGO yaitu : 1. 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. 2. berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. 3. diperiksa kadar gula darah puasa. 4. diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgbb (anakanak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

6 5. berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai. 6. diperiksa kadar gula darah 2 jam sesudah beban glukosa 7. selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok (Perkeni, 2006). b. Terapi pengobatan diabetes mellitus Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekomposisi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemi dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien (Perkeni, 2006). 1. Terapi Insulin Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulaupulau Langerhans kelenjar pankreas. Insulin mempunyai beberapa pengaruh pada jaringan tubuh. Insulin menstimulasi pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian meningkatkan sintesis protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot hati. Insulin

7 endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas, sedang insulin eksogen adalah insulin yang disuntikkan dan merupakan suatu produk farmasi (Soegondo, et al., 2005). 2. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) a) Sulfonilurea Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat glukosa (kondisi hiperglikemia) gagal merangsang sekresi insulin, senyawa-senyawa obat ini masih mampu meningkatkan sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel Langerhans kelenjar pankreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sufonilurea menghambat degradasi insulin obat hati (Anonim, 2005). Efek samping golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia, dan sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang

8 sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipoglikemia sering diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang (Anonim, 2008). b) Biguanida Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati (liver), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan biguanida tidak merangsang reaksi insulin, dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia. Satu-satunya senyawa biguanid yang masih dipakai sebagai obat hipoglikemik oral saat ini adalah metformin, yang masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia. Karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati (Anonim, 2005). Efek samping saluran cerna pada awal pemberian metformin umum terjadi, dan dapat menetap pada beberapa pasien, terutama jika diberikan dosis sangat tinggi 3g/hari. Metformin dapat menyebabkan asidosis laktat yang banyak terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, oleh karena itu tidak diberikan bahkan pada gangguan fungsi ginjal ringan (Anonim, 2008). c) Tiazolidindione Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated reseptor gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan

9 resistensi insulin. Senyawa-senyawa tiazolidindion juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis (Anonim, 2005). Efek samping berupa gangguan saluran cerna, bertambahnya berat badan, udema, anemia, sakit kepala, gangguan penglihatan, pusing, artralgia, hipoestesia, hematuria, impoten, lemah, insomnia, vertigo, berkeringat, mempengaruhi kadar lemak darah dan proteinuria. Hipoglikemia jarang terjadi pada penggunaan obat golongan ini (Anonim, 2008). d) Meglitinid dan turunan fenilalanin Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinid ini merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinid dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya (Anonim, 2005). Efek samping berupa nyeri perut, diare, konstipasi, mual, muntah, hipoglikemia, reaksi hipersensitif termasuk pruritis, kemerahan, urtikaria dan gangguan penglihatan (Anonim, 2008). e) Inhibitor α-glukosidase Senyawa-senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim α- glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltamase, isomaltamase, glukomaltamase, dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan

10 absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa postprandial penderita diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α- amylase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida didalam lumen usus halus. Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl (Anonim, 2005). Efek samping obat golongan ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan berlangsung lebih lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin) dapat terjadi hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian gula pasir (Anonim, 2005). Cara pemberian OHO terdiri dari: a. Obat Hipoglikemik Oral dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal. b. Sulfonilurea generasi I & II : 15-30 menit sebelum makan. c. Glimepiride : sebelum/sesaat sebelum makan. d. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/sebelum makan. e. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan karbohidrat. f. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama suapan pertama makan. g. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan (Perkeni, 2006).

11 2. Kepatuhan (adherance) a. Definisi kepatuhan Kepatuhan didefinisikan sebagai seberapa jauh perilaku seseorang (dalam hal menggunakan obat, mengikuti diet, atau mengubah gaya hidup) sesuai dengan nasehat medis atau saran kesehatan. Kata kepatuhan sendiri mengidikasikan model pendekatan medis paternalistik dimana pasien harus mengikuti perintah dokter dan mematuhi petunjuk-petunjuk doter. Sebenarnya, definisi kepatuhan didalam kamus adalah tunduk pada keinginan orang lain. Pendapat ini mengimplikasikan bahwa pasien tidak diberi kesempatan untuk membuat keputusan tentang penggunaan obat. Konsep kepatuhan secara tidak langsung juga menyatakan gagasan bahwa mengikuti nasehat yang direkomendasikan selalu merupakan tindakan yang tepat dan hal yang terbaik untuk pasien (Rantucci, 2009). Kepatuhan terjadi setelah resep ditulis dan pasien mungkin tidak berperan dalam pemilihan obat. Sebagai konsekuensinya maka farmasis dan perawat spesialis lebih berperan penting dari pada dokter dalam memfasilitasi kepatuhan (Wiffen, et al., 2007). Secara klinis ada bukti yang mendukung hubungan penting antara minum obat dan hasilnya, namun sedikit yang diketahui tentang hubungan yang kompleks antara variabel pengobatan dan hasil terapi (Zweben, et al., 2008). b. Cara untuk mengukur kepatuhan Cara untuk mengukur kepatuhan penggunaan obat terdiri dari 2 metode, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Masing-masing metode memiliki keuntungan dan kekurangan, dan tidak ada metode yang menjadi standart baku.

12 Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Masing-masing Metode Pengukuran Kepatuhan Pengobatan Pengukuran Keuntungan Kekurangan Langsung Observasi terapi secara langsung Paling akurat Pasien dapat menyembunyikan pil dalam mulut dan kemudian membuangnya Pengukuran kadar obat atau metabolit dalam darah Pengukuran penanda biologis dalam darah Obyektif Obyektif: dalam uji klinik dapat juga digunakan untuk mengukur plasebo Variasi metabolisme dapat memberikan penafsiran yang salah terhadap kepatuhan, mahal Memerlukan pengujian kuantitatif yang mahal dan pengumpulan cairan tubuh Tidak langsung Kuesioner Sederhana, tidak mahal, metode yang paling berguna dalam penentuan klinis Rentan terhadap kesalahan dengan kenaikan waktu antara kunjungan; hasilnya mudah terdistorsi oleh pasien Menghitung pil Obyektif, mudah melakukan Data mudah diubah oleh pasien Monitor obat secara elektronik Pengukuran penanda fisiologis (contoh:denyut jantung pada penggunaan beta bloker) Tepat, hasilnya mudah diukur Biasanya mudah untuk melakukan Mahal, memerlukan kunjungan kembali dan pengambilan data Penanda dapat tidak mengenali penyebab lain(misalnya:peningkatan metabolisme, turunnya absorbsi) Buku harian pasien Membantu memperbaiki ingatan yang lemah Mudah diubah oleh pasien Jika pasien anak-anak, kuesioner untuk orang tua atau yang merawatnya Kecepatan menebus resep kembali Sederhana, obyektif Obyektif, mudah untuk memperoleh data Rentan terhadap distorsi Resep yang diambil tidak sama dengan obat yang dikonsumsi Penilaian respon klinis pasien Sederhana, umumnya mudah Faktor lain dari kepatuhan melakukannya pengobatan dapat berefek pada respon klinik (Osterberg dan Blaschke, 2005)

13 Salah satu cara mengukur kepatuhan yaitu dengan kuesioner. Metode ini cukup sederhana, murah, dan mudah dilakukan. Salah satu model kuesioner yang tepat untuk menilai kepatuhan pada terapi jangka panjang adalah Morisky scale. Pada mulanya Morisky dan kawan-kawan mengembangkan suatu pertanyaan singkat untuk membantu para praktisi dalam mengukur kepatuhan pengobatan pada pasien hipertensi. Kuesioner Morisky scale telah tervalidasi dan dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pengobatan pada penyakit-penyakit dengan terapi jangka panjang diantaranya diabetes mellitus. Morisky scale terdiri dari 4 pertanyaan. Tabel 2. Pertanyaan pada Morisky scale Pertanyaan Jawaban Apakah Anda pernah lupa minum obat? Ya Tidak Apakah Anda kurang memperhatikan aturan pemakaian obat? Ketika kondisi membaik, Apakah Anda berhenti minum obat? Ketika kondisi memburuk, Apakah Anda berhenti minum obat? Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Untuk skor Morisky scale, diberi skor 1 jika menjawab tidak. Sehingga skoring kemungkinan berkisar antara 1 sampai 4. Pasien dengan skor tinggi menunjukkan kepatuhannya tinggi, sedangkan pasien dengan skor rendah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap terapi pengobatan (Anonim, 2004).

14 c. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan Beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan adalah: a) Faktor pasien: 1) Merasa penyakitnya tidak serius. 2) Merasa akibat tidak diobati tidak serius. 3) Merasa pengobatan tidak efektif. 4) Pandangan negatif dari keluarga dan teman atau kurangnya dukungan sosial. b) Faktor komunikasi: 1) Tingkat pengawasan medis rendah. 2) Kurang penjelasan yang eksplisit, tepat, jelas, jumlahnya memadai, dan termasuk menerima tanggapan. 3) Kurang informasi yang seimbang tentang resiko dan efek samping. 4) Strategi yang dilakukan oleh profesional kesehatan untuk mengubah sikap dan kepercayaan pasien kurang. 5) Kepuasan pasien dalam berinteraksi dengan professional kesehatan rendah. 6) Interaksi dengan profesional kesehatan sedikit atau tidak ada sama sekali. 7) Profesional kesehatan dianggap tidak ramah dan kurang perhatian. 8) Profesional kesehatan tidak membiarkan pasien terlibat dalam membuat keputusan. c) Faktor perilaku: 1) Ingin menguji efikasi obat.

15 2) Ingin menegaskan kendali atas hubungan dokter pasien, atau bahkan atas kondisi yang tampaknya diluar kendali. 3) Pengalaman dengan pengobatan sendiri atau memiliki pengalaman buruk dengan pengobatan. 4) Kurang pengetahuan tentang penyakit yang diderita. d) Hambatan ketaatan: 1) Regimen pengobatan kompleks. 2) Durasi terapi panjang. 3) Munculnya efek merugikan atau efek samping. 4) Tidak dapat membaca, kemampuan kognitif rendah, hambatan bahasa. 5) Hambatan fisik atau finansial untuk mendapatkan obat. (Rantucci, 2009) d. Strategi untuk mencegah ketidakpatuhan Ketidakpatuhan dipandang sebagai perilaku yang dipengaruhi oleh kepercayaan, pengalaman, dan sebagainya, maka berbagai strategi perlu direkomendasikan untuk mencegah ketidakpatuhan. Strategi tersebut antara lain sebagai berikut: a) Bekerjasama dengan dokter untuk menyederhanakan jadwal pemakaian obat dengan mengurangi jumlah obat, mengurangi jumlah interval dosis perhari, dan mengatur regimen dosis agar lebih sesuai dengan kegiatan rutin pasien. b) Memberikan alat pengingat dan pengatur pemakaian obat (misalnya, wadah tablet yang dilengkapi alarm atau tempat obat yang tersusun sesuai pendosisan) dan grafik terpisah untuk mengecek penggunaan obat.

16 c) Mengingatkan pasien melalui telepon atau surat tentang pengulangan resep. d) Melibatkan pasangan pasien atau anggota keluarga lainnya untuk mengingatkan dan mendorong pasien menggunakan obat yang diresepkan (Rantucci, 2009). Faktor - faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku kepatuhan pada pasien diabetes dapat dikelompokkan dalam empat jenis: karakteristik dari penyakit dan pengobatannya, faktor intra-personal, faktor inter-personal, dan faktor lingkungan (Asti, 2006). Sekitar 125.000 kematian pertahun yang terjadi di Amerika disebabkan karena masalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Hal serupa juga dikemukakan oleh pusat pengendalian penyakit di Amerika, bahwa kasus kematian karena ketidakpatuhan pengobatan paling sering dilaporkan. Apabila ketidakpatuhan dianggap sebagai suatu kebetulan yang menyebabkan buruknya hasil terapi seperti menyebabkan kematian, mungkin lebih tepat untuk membandingkan ketidakpatuhan pengobatan terhadap penyebab lain yang menyebabkan kematian atau buruknya hasil terapi (Anonim, 2004). Konsep kapatuhan secara tidak langsung juga menyatakan gagasan bahwa mengikuti nasehat yang direkomendasikan selalu merupakan tindakan yang tepat dan hal yang terbaik untuk pasien. Ada asumsi bahwa kondisi yang sedang diobati telah didiagnosis dengan benar, bahwa pengobatan yang diberikan sesuai dan efektif, serta memberikan lebih banyak kebaikan daripada bahaya, dan bahwa regimen yang diresepkan rasional dan terjangkau. Akan tetapi, pasien ternyata seringkali sembuh walaupun tidak benar-benar taat pada petunjuk dokter dan, sebaliknya, terapi yang diberikan tidak selalu efektif, bahkan beberapa pasien

17 yang patuh tidak menjadi sembuh dan bahkan lebih parah. Selain itu, obat yang diresepkan sering tidak diperlukan atau sebagai usaha untuk menenangkan pasien. Kenyataannya pengurangan atau penghentian obat bahkan kemungkinan diperlukan bila efek samping yang tidak mengenakkan dan efek yang merugikan yang kemungkinan berbahaya terjadi. Hal ini sering disebut sebagai ketidakpatuhan yang cerdas. Kenyataan ini sangat menentang konsep dasar kepatuhan (Rantucci, 2009). E. Hipotesis Kepatuhan terhadap penggunaan obat hipoglikemik oral memiliki pengaruh terhadap penurunan gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 instalasi rawat jalan RSUD Dr. Moewardi Surakarta.