PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan otonomi daerah membutuhkan dukungan penanaman modal untuk mengembangkan dan mengelola potensi daerah, mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjelmakan demokratisasi di tingkat daerah; b. bahwa penanaman modal merupakan salah satu faktor pendukung yang penting dan strategis, sehingga perlu diciptakan suasana kondusif, menarik dan dapat menjamin kelangsungan kegiatan usaha, dengan meningkatkan dan memantapkan kemudahan pelayanan penanaman modal; c. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, khususnya Pasal 2 ayat (6) beserta lampiran pada huruf P menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi berwenang menetapkan Peraturan Daerah Provinsi tentang Penanaman Modal dengan berpedoman pada ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penanaman Modal; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 6. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4734); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3718); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4138); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139); 2
12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4861); 14. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal; 15. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; 16. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 5 Tahun 1994 tentang Kawasan Lindung di Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur (Lembaran Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1994 Nomor 87 B Seri B); 17. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Kawasan Industri Bolok; 18. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 2020 (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005 Nomor 99 Seri E Nomor 058); 19. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 7 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 Nomor 007 Seri E Nomor 005, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 0016); 20. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008 Nomor 008 Seri B Nomor 001, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 0017); 3
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR dan GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENANAMAN MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Daerah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 4. Gubernur adalah Gubernur Nusa Tenggara Timur. 5. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 6. Penanam Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. 7. Penanam Modal Dalam Negeri yang selanjutnya disebut PMDN adalah Perseorangan Warga Negara Indonesia, Badan Usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia, atau Daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 8. Penanam Modal Asing yang selanjutnya disebut PMA adalah Perseorangan Warga Negara Asing, Badan Usaha Asing, dan / atau Pemerintah Asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 9. APIT adalah Angka Pengenal Importir Terbatas. BAB II ASAS, MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Penanaman Modal diselenggarakan berdasarkan asas : a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 4
(2) Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin kepastian/keamanan berusaha bagi penanam modal untuk menanamkan modalnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dalam rangka memberikan jaminan kepada masyarakat terhadap dampak adanya penanaman modal. (3) Peraturan Daerah ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, menyerap tenaga kerja lokal, memberdayakan sumberdaya lokal, meningkatkan pelayanan publik serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 3 (1) Ruang lingkup Peraturan Daerah ini, berlaku bagi PMDN dan PMA di semua sektor usaha di Wilayah Nusa Tenggara Timur yang meliputi: a. perencanaan penanaman modal; b. promosi penanaman modal; c. pelayanan penanaman modal; d. fasilitas penanaman modal; e. hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal; f. pengembangan penanaman modal; g. kepastian usaha; h. laporan kegiatan penanaman modal; i. kerjasama penanaman modal; j. ketenagakerjaan; k. peran serta masyarakat; l. pengawasan dan pengendalian; m. sanksi administrasi. (2) Dikecualikan dari ayat (1), adalah penerbitan izin penanaman modal bagi PMA. BAB IV PERENCANAAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Target Penanaman Modal Pasal 4 (1) Pemerintah Daerah menetapkan target Penanaman Modal untuk penyelenggaraan penanaman modal. (2) Target penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Gubernur. 5
Bagian Kedua Bidang Usaha Pasal 5 Pemerintah Daerah merencanakan, merumuskan dan menyusun kebutuhan Bidang Usaha dari sektor-sektor usaha untuk penanaman modal. Pasal 6 Bidang Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai bidang usaha yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal di daerah, ditetapkan oleh Gubernur, berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketiga Lokasi Usaha Pasal 7 (1) Pemerintah Daerah menetapkan lokasi usaha untuk memenuhi kebutuhan penanaman modal. (2) Dalam hal penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terletak di atas tanah persekutuan masyarakat hukum adat (tanah suku atau sejenisnya) harus dilakukan dengan cara musyawarah mufakat dengan masyarakat hukum adat. (3) Musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menyangkut kesediaan masyarakat, bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya. (4) Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilaksanakan secara langsung oleh penanam modal dengan masyarakat hukum adat dan/atau dapat difasilitasi Pemerintah Daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keempat Sistem Informasi Pasal 8 (1) Pemerintah Daerah membangun, memelihara, mengembangkan dan mengoperasikan sistem informasi penanaman modal. (2) Sistem informasi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai sarana promosi untuk penanaman modal di dalam dan di luar Daerah. (3) Untuk memenuhi kebutuhan informasi penanaman modal, perlu dilakukan evaluasi sistem informasi pada tahun berikutnya. 6
BAB V PROMOSI PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Promosi Dalam Negeri Pasal 9 Pemerintah Daerah melaksanakan promosi mengenai potensi daerah dan peluang-peluang penanaman modal, publikasi serta komunikasi aktif bagi dunia usaha di dalam negeri. Bagian Kedua Promosi Luar Negeri Pasal 10 Pemerintah Daerah melaksanakan promosi mengenai potensi daerah dan peluang-peluang penanaman modal, publikasi serta komunikasi aktif dengan dunia usaha di luar negeri melalui koordinasi dengan Pemerintah. BAB VI PELAYANAN PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Pendaftaran Pasal 11 (1) Penanam Modal wajib mengajukan permohonan pendaftaran usaha dan/ atau kegiatan pada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan izin. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memperoleh tanda daftar penanaman modal. Pasal 12 (1) Pemerintah Daerah mendaftar penanam modal yang mengajukan permohonan pendaftaran usaha dan/atau kegiatan dan diberi tanda daftar penanaman modal. (2) Tanda daftar penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), oleh Penanam Modal digunakan untuk membuat akta pendirian perusahaan bagi yang belum memiliki. (3) Tata cara pendaftaran dan pemberian tanda daftar penanam modal diatur lebih lanjut oleh Gubernur. 7
Bagian Kedua Persetujuan Pasal 13 (1) Pemerintah Daerah dapat memberikan persetujuan penanaman modal sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Persetujuan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan untuk : a. penanaman modal baru; b. penanaman modal yang membutuhkan fasilitas fiskal; c. penanaman modal yang melakukan perluasan; d. penanaman modal yang melakukan perubahan kepemilikan saham; e. penanaman modal yang melakukan perpanjangan masa penanaman modal; f. penanaman modal yang melakukan perubahan status tanah; g. penanaman modal yang melakukan perubahan bidang usaha; h. penanaman modal yang melakukan perpanjangan jangka waktu penyelesaian proyek; i. penanaman modal yang melakukan penggabungan perusahaan atau merger. (3) Persyaratan dan tata cara mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Gubernur.. Bagian Ketiga Perizinan Pasal 14 (1) Penanam Modal yang telah mendapatkan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melengkapi izin pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan bidang usahanya, antara lain : a. perizinan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup; b. perizinan yang berkaitan dengan penggunaan lokasi / lahan; c. usaha, kegiatan membangun dan pencegahan gangguan; d. izin usaha tetap. (2) Untuk mendapatkan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penanam Modal harus mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur. (3) Persyaratan dan tata cara mendapatkan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Gubernur. Bagian Keempat APIT Pasal 15 (1) Penanam Modal yang akan mengimpor barang modal bahan baku penolong wajib mendapatkan APIT dari Gubernur. (2) Untuk mendapatkan APIT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanam modal harus mengajukan permohonan tertulis kepada Gubernur. 8
(3) Persyaratan dan tata cara mendapatkan APIT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Gubernur. BAB VII FASILITAS PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Penyediaan Fasilitas Pasal 16 (1) Pemerintah Daerah membuka kesempatan/peluang seluas-luasnya bagi penanam modal dengan tetap mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Peluang penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diarahkan pula pada bidang-bidang usaha prioritas atau bidang usaha unggulan. (3) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif berupa : a. Pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; b. Pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah. (4) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan atau pembebasan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), huruf a dan huruf b diatur lebih lanjut oleh Gubernur. Bagian Kedua Kemudahan Pasal 17 Pemerintah Daerah dapat memberikan kemudahan berupa : a. penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; b. penyediaan sarana dan prasarana; c. pemberian bantuan teknis dan atau; d. percepatan pemberian perizinan. Pasal 18 Pemberian kemudahan penanaman modal dalam bentuk percepatan pemberian perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d, diselenggarakan dalam pelayanan terpadu satu pintu sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Bagian Ketiga Kriteria Pemberian Fasilitas dan Kemudahan Pasal 19 Pemberian fasilitas dan pemberian kemudahan diberikan kepada penanam modal yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut : a. memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat; b. menyerap banyak tenaga kerja lokal; 9
c. menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal; d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik; e. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto; f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; g. termasuk skala prioritas tinggi; h. termasuk pembangunan infrastruktur; i. melakukan alih teknologi; j. melakukan industri pionir; k. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal atau daerah perbatasan; l. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi; m. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; n. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. BAB VIII HAK, KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENANAM MODAL Pasal 20 Setiap Penanam Modal berhak mendapat : a. kepastian hak, hukum dan perlindungan; b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk fasilitas/kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 21 Setiap Penanam Modal berkewajiban : a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Pemerintah Daerah; d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Setiap Penanam Modal bertanggung jawab : a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 10
BAB IX PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL Pasal 24 (1) Pemerintah Daerah memacu pengembangan penanaman modal. (2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui upaya-upaya : a. membuka peluang kepada penanam modal yang telah memperoleh badan hukum Indonesia untuk melakukan usaha dan perluasan usaha; b. pelayanan pemberian tanda daftar penanam modal, persetujuan dan/atau izin secara cepat, mudah dan akurat; c. memfasilitasi penyelesaian permasalahan atau hambatan penanaman modal; d. memfasilitasi keterbukaan data dan informasi penanaman modal; e. sosialisasi peraturan perundang-undangan penanaman modal. (3) Upaya-upaya pengembangan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan pada program Penanaman Modal. BAB X KEPASTIAN USAHA Pasal 25 (1) Pemerintah Daerah menjamin adanya kepastian/keamanan usaha penanaman modal. (2) Jaminan kepastian usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. kepastian status tanah yang akan dijadikan lokasi usaha penanaman modal; b. kepastian akan bebas dari sengketa atau keberatan dari pihak lain tentang lokasi usaha. Pasal 26 (1) Penanam modal wajib menjamin kepastian pelaksanaan penanaman modal. (2) Jaminan kepastian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. batas waktu mulai pelaksanaan penanaman modal paling lama 3 (tiga) tahun sejak terbitnya surat persetujuan; b. keberlangsungan pelaksanaan penanaman modal secara terus menerus; c. gubernur berhak mencabut surat persetujuan penanaman modal, apabila setelah 3 (tiga) tahun terbitnya surat persetujuan penanam modal tidak melaksanakan penanaman modal atau selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak melanjutkan pelaksanaan penanaman modal. BAB XI LAPORAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL Pasal 27 (1) Penanam modal dalam melaksanakan kegiatan penanaman modalnya wajib membuat Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) secara periodik kepada Pemerintah Daerah. (2) Tata cara dan bentuk LKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Gubernur. 11
BAB XII KERJASAMA PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu Kerjasama Antar Daerah Pasal 28 (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama penanaman modal dengan Pemerintah Provinsi lainnya dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota di dalam dan luar Nusa Tenggara Timur. (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. perencanaan penanaman modal; b. promosi penanaman modal; c. pelayanan penanaman modal; d. pengembangan penanaman modal; e. monitoring dan evaluasi; f. kegiatan penanaman modal lainnya serta pengakuan terhadap persetujuan dan perizinan yang diterbitkan masing-masing Pemerintah Provinsi. Bagian Kedua Kerjasama Internasional Pasal 29 Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama penanaman modal dengan Pemerintah Negara lain dan/atau Badan Hukum Asing melalui koordinasi dengan Pemerintah. BAB XIII KETENAGAKERJAAN Pasal 30 (1) Penanam modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja wajib mengutamakan tenaga kerja lokal kecuali untuk jabatan dan keahlian tertentu. (2) Dalam rangka alih teknologi, penanam modal wajib membina/mendidik tenaga kerja lokal. BAB XIV PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 31 (1) Masyarakat berhak berperan serta dalam penyelenggaraan penanaman modal. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa : a. menyampaikan saran ; b. menyampaikan informasi potensi daerah; c. penyertaan modal dalam usaha penanaman modal; d. melakukan pengawasan. 12
(3) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk : a. mewujudkan keberlanjutan penanaman modal; b. ikut serta melakukan pencegahan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan; c. ikut serta melakukan pencegahan dampak negatif sebagai akibat penanaman modal; d. menumbuhkan kebersamaan antara masyarakat dengan penanam modal. (4) Pemerintah Daerah memfasilitasi peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Pasal 32 (1) Masyarakat berperan serta mendukung keberadaan dan pelaksanaan kegiatan perusahaan penanaman modal yang akan dan/atau sedang melakukan usaha penanaman modal. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam bentuk : a. memberi kesempatan seluas-luasnya kepada perusahaan penanaman modal yang akan melakukan penanaman modal; b. memberi kenyamanan keberadaan perusahaan penanaman modal yang sementara melakukan kegiatan penanaman modal. BAB XV PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN Pasal 33 (1) Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan penanaman modal dilakukan oleh Gubernur. (2) Tata cara pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Gubernur. BAB XVI SANKSI ADMINISTRASI Pasal 34 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 11, Pasal 14, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 30 ayat (1) dan (2), dikenakan sanksi administrasi. (2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa : a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan dan/atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. 13
BAB XVII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 35 Seluruh persetujuan atau izin penanaman modal yang telah diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Peraturan Pelaksana dari Peraturan Daerah ini, ditetapkan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Pasal 37 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ditetapkan di Kupang pada tanggal 20 Agustus 2009 GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, Diundangkan di Kupang pada tanggal 20 Agustus 2009 Plt. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR, FRANS LEBU RAYA BENNY R. NDOENBOEY LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009 NOMOR 007 SERI E NOMOR 002 14
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM Desentralisasi tata pemerintahan yang digulirkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa berbagai konsekuensi bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, antara lain pemerintah daerah dituntut untuk mengembangkan dan mengelola potensi daerah masing-masing guna mendorong terjelmanya otonomi daerah dan memperlancar pelayanan terhadap masyarakat di daerah. Salah satu peluang untuk mengembangkan dan mengelola potensi daerah adalah dengan mendorong penanaman modal di daerah, sehingga dapat meningkatkan dan memberi nilai tambah terhadap potensi daerah yang tersedia dan meningkatkan perekonomian daerah. Penanaman modal di daerah juga tidak dapat dilihat terlepas dari peranannya dalam pembangunan ekonomi dan rencana pembangunan, karena Penanaman Modal merupakan salah satu faktor dalam usaha pembangunan ekonomi. Pentingnya penanaman modal di daerah tidak dapat dihindari dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. NTT sebagai salah satu kawasan yang terbilang sudah cukup maju tetapi belum semaju daerah lainnya, juga sangat membutuhkan sentuhan Penanaman Modal untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang tersedia, sehingga dapat mendongkrak Pendapatan Asli Daerah. Masalah hukum yang juga menjadi salah satu hambatan pengembangan Penanaman Modal di NTT terindikasi dalam hal belum adanya pengaturan hukum tingkat daerah tentang Penanaman Modal di daerah dan sistem perizinan dengan menampilkan karakteristik sosial budaya, ekonomi, geopolitik, dan pertahanan keamanan di NTT. Kondisi ini menjadi pemicu rendahnya Penanaman Modal dan juga maraknya penyimpangan sosial berkaitan dengan Penanaman Modal di NTT. Masalah tersebut terkait dengan munculnya berbagai persoalan sosial yang lebih luas, yaitu rendahnya Penanaman Modal di daerah akan menyebabkan berbagai potensi daerah yang ada di NTT tidak bernilai ekonomis dan hanya dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan konsumtif. Pemanfaatan potensi daerah sebatas pada kepentingan komsumtif akan berakibat pada tidak berkembangnya peluang kesempatan kerja, sementara itu jumlah pencari kerja (tenaga kerja produktif) terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan semakin banyak tenaga kerja yang tidak tertampung karena terbatasnya lapangan kerja, dapat berakibat terhambatnya perkembangan ekonomi masyarakat/daerah dan mencuatnya masalah sosial, antara lain meningkatnya kejahatan pencurian, perampokan, perjudian, premanisme, pemerkosaan, pelacuran, tindakan yang bersifat anarkhis, dan akan bermunculan berbagai masalah sosial lainnya. Kalau saja kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka muncul pula ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan tidak mungkin dihindari terciptanya disintegrasi bangsa. 15
Bilamana Penanaman Modal di derah tidak dikembangkan, maka kontribusi sektor swasta terhadap APBD juga tidak bertambah dan berakibat pada ketergantungan pembiayaan daerah terhadap pemerintah pusat tetap tinggi, bahkan semakin meningkat. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena sampai dengan Tahun Anggaran 2006, tingkat ketergantungan Propinsi NTT terhadap anggaran pusat (perbandingan antara kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD dengan kontribusi dana dekonsentrasi terhadap APBD) masih sangat tinggi. Kontribusi dana dekonsentrasi adalah 71,2% dari total pendapatan daerah dibandingkan dengan penerimaan daerah dari PAD hanya sebesar 22,8%. Kepincangan pembiayaan daerah tersebut bilamana tidak dikendalikan antara lain dengan pengembangan Penanaman Modal di daerah, maka akan berakibat pada pelaksanaan otonomi daerah di NTT yang tidak efektif. Pelaksanaan otonomi daerah yang tidak efektif berakibat pelayanan terhadap masyarakat akan tersendat-sendat dan tujuan otonomi daerah yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan menjadi kenyataan di NTT, yang ditandai dengan kemiskinan, kemelaratan dan penderitaan yang melilit kehidupan masyarakat. Kondisi ini akan semakin parah ketika masyarakat NTT harus bersaing dalam percaturan ekonomi yang memasuki era globalisasi. Berkaitan dengan penanaman modal di daerah, Pemerintah Pusat telah mengambil langkah-langkah strategis untuk memacu pengembangan Penanaman Modal dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Insvestasi, pada 27 Februari 2006. Instruksi Presiden tersebut memerintahkan agar diambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, dalam rangka perbaikan iklim Penanaman Modal yang lebih kondusif. Dengan instruksi tersebut, maka Pemerintah Provinsi NTT memiliki landasan yang semakin kuat untuk membentuk Peraturan Daerah yang mengatur tentang Penanaman Modal di daerah. Untuk menjustifikasi hal tersebut, maka diundangkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sebagai alternatif solusi untuk mendorong pengembangan Penanaman Modal. Atas dasar realitas tersebut, maka diperlukan solusi untuk memecahkan masalah terhambatnya peluang Penanaman Modal di NTT dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Penanaman Modal. Peraturan Daerah ini, dimaksud mengatur perilaku pengusaha/penanam modal, masyarakat, tenaga kerja, pemerintah daerah, agar terjadi pembaruan/perubahan perilaku yang dapat mendorong pengembangan Penanaman Modal di NTT. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 16
Pasal 4 Target Penanaman Modal untuk penyelenggaraan penanaman modal meliputi jenis dan besaran penanaman modal. Pasal 5 Pasal 6 Pasal 7 Pasal 8 Pasal 9 Pasal 10 Pasal 11 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Yang dimaksud dengan Pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Pasal 19 17
Pasal 20 Pasal 21 Huruf a Huruf b Huruf c Laporan kegiatan penanam modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal disampaikan secara berkala kepada Pemerintah daerah dengan tembusan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menangani bidang Penanaman Modal. Huruf d Huruf e Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 18
Pasal 32 Pasal 33 Pasal 34 Ayat (2) Huruf b Yang dimaksud dengan pembatasan kegiatan usaha adalah membatasi volume produksi usaha, dari volume maksimal yang dapat dicapai perusahaan Pasal 35 Pasal 36 Pasal 37 TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NOMOR 0032 PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR C:\Documents and Settings\User\My Documents\PERDA RETRIBUSI PERIKANAN DAN PENYERTAAN MODAL & PENANAMAN MODAL\Ranperda PENANAMAN Modal DPRD doc 19