30 Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu Vol. 07 No. 01, Januari 2016 POLA ASUH BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL BERESIKO PADA REMAJA DI KECAMATAN PUNDONG KABUPATEN BANTUL, DIY Deasti Nurmaguphita 1, Achir Yani S. Hamid 1, Mustikasari 1 ABSTRACT This study was aiming to gain an overview of the parenting relationship with risk sexual behavior in adolescents in Pundong Bantul, Yogyakarta. The study design was cross-sectional descriptive correlational. Respondents in this study amounted to 102 teenagers. The sampling technique was done by cluster sampling. The results of this study suggested a link between parenting style with risk sexual behavior in adolescents. The most variable influenced sexual risk behavior in adolescents in Bantul Pundong was authoritarian parenting. The study recommends the need for open communication patterns in family to prevent risk sexual behavior in adolescents. Keywords: Parenting, risk sexual behavior PENDAHULUAN Menurut WHO (2009) remaja merupakan penduduk berusia muda yang sedang mengalami perkembangan antara pubertas, peralihan biologis masa anak-anak dan masa dewasa, yaitu antara umur 10-20 tahun. Hasil sensus penduduk tahun 2011 dan SP 2012 menunjukkan proporsi remaja berusia 10-20 tahun di DIY sebesar 33,12 persen dan 28,26 persen. Dewasa ini banyak kasus yang terjadi menimpa remaja dikarenakan pencapaian identitas diri yang kurang berkembang secara positif. Seperti adanya remaja dengan status masih sekolah namun sudah hamil di luar nikah, merokok sebagai wujud penunjang kepercayaan diri dan bahkan tawuran sebagai bentuk aktualisasi diri (Soetjiningsih, 2009). Hal yang menjadi perhatian serius berkaitan dengan seks bebas (unprotected sexuality), penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah di kalangan remaja. Masalah semacam ini sudah banyak terjadi dan oleh WHO disebut sebagai masalah kesehatan reproduksi remaja & mendapatkan perhatian khusus dari berbagai organisasi internasional (Syarbini, 2014). Berdasarkan beberapa data diantaranya Komisi perlindungan anak (KPAI, 2012) menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Yogyakarta) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja di Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan keperawanan saat masih duduk di bangku SMP, bahkan di antaranya pernah berbuat ekstrem yaitu melakukan aborsi. Data ini didukung beberapa hasil penelitian bahwa trdapat 98% mahasiswi Yogyakarta yang pernah melakuan seks pranikah 5% nya mela- 1) Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jakarta 10430, Indonesia. Email : deastinurma@gmail.com 30
Nurmaguphita, D., Hamid, A.Y.S., dan Mustikasari, Pola Asuh Berhubungan dengan... 31 kuan aborsi, selain itu sebagai solusi diantaranya dipaksa menikah oleh orang tuanya dan tidak meneruskan pendidikannya, Indonesia mencapai 200.000 kasus setiap tahun. Survey yang dilakukan BKKBN pada akhir tahun 2009 menyatakan 63 persen remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta meyakini bahwa apabila melakukan seks pranikah, berhubungan seksual satu kali tidak akan menyebaban kehamilan. Ini menjadian alasan 12 persen dari remaja di yogyakarta yang berusia 13-15 tahun mengaku telah melakukan hubungan seksual pra nikah dengan metode coitus interuptus. Perilaku reproduksi terwujud dalam hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam waktu yang lama menyebabkan munculnya norma-norma dan nilai-nilai yang akan menentukan bagaimana perilaku reproduksi disosialisasikan (Khasanah, 2012). Berbagai bentuk perilaku yang diwujudkan lazimnya sejalan dengan norma-norma yang berlaku. Perilaku reproduksi dalam hal ini adalah mengacu kepada perilaku seks pranikah di kalangan remaja (Shaluhiyah, 2005). Pola asuh orang tua di dalam suatu keluarga memiliki peran yang penting dalam keberlangsungan sebuah lingkungan masyarakat Jika suatu keluarga dapat berfungsi dengan baik, maka perilaku sosial utama dalam peningkatan kesehatan dan kesejahteraan dalam suatu negara dapat tercapai dengan baik. Dan tentunya hal ini dipengaruhi oleh kesehatan fisik dan mental keluarga (Friedman, 2010). Meskipun BKKBN sudah memberikan sosialisasi untuk reproduksi dan keluarga berencana, namun kebijakan pemerintah sendiri untuk menanggulangi seks bebas belum terpapar pada masyarakat. Menurut Menurut data statistik di ndonesia jumlah remaja di Yogyakarta tahun 2000 adalah 7.104.200 jiwa. Data statistik yang diperoleh dari BPS kabupaten Bantul tahun 2010 di Kecamatan Pundong berpenduduk 24.182 jiwa dengan jumlah remaja ± 5.870 jiwa. Wilayah kecamatan Pundong pernah pada 2 tahun terakhir ini 5 siswa hamil diluar nikah, dan sampai terjadi terjadi kejadian aborsi pada satu siswa yang menyebabkan seorang siswa harus kehilangan nyawanya. Studi pendahuluan yang telah dilakukan hampir sebagian besar siswa di salah satu SMA di wilayah ini mempunyai pacar, dan bahkan menyatakan malu jika tidak mempunyai pacar, terbiasa dengan berpegangan tangan, dan beberapa diantaranya pernah melakukan berciuman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fuad (2010) direktur remaja dan perlindungan hak-hak reproduks,i bahwa 63% remaja Indonesia pernah melakukan seks bebas. Data lain menunjukkan, dari 385 remaja, 18,4%-nya menyatakan telah melakukan hubungan seksual pra nikah. Lebih parah lagi, 53,5% menyatakan motivasinya adalah sekedar coba-coba. Sedangkan yang disebabkan oleh cinta 23,9% dan karena desakan kebutuhan biologis sebesar 14,1%. Penelitian yang dilakukan oleh Barr (2013) memberikan gambaran tingginya sikap permisif orang tua di Florida. Orang tua tidak meluangkan waktu khusus untuk memberikan arahan, bimbingan, dan contoh perilaku yang baik BAHAN DAN CARA PENELITIAN Metode penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi yaitu penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara pola asuh dengan perilaku seksual beresiko pada remaja. Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Jumlah remaja dalam penelitian ini adalah 1.210 remaja yang berdomisili di wilayah Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul, DIY dan Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang dinilai atau karakteristiknya diukur dan
32 Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu Vol. 07 No. 01, Januari 2016 dipakai untuk menduga karakteristik dari populasi (Hastono & Sabri, 2011). Sampel adalah bagian populasi yang diteliti (Sastroasmoro & Ismail, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah remaja, dan bersedia menjadi responden. Proses pengambilan sampel dengan menggunakan teknik cluster sampling. cara ini adalah pengambilan sampel dengan mengelompokkan pada kelompok individu dalam populasi yang tersebar luas di suatu wilayah secara alamiah (Sastroasmoro & Ismail, 2010). Sampel pada penelitian ini adalah 102 responden. Dengan kriteria sampel: bersedia menjadi responden, remaja yang berperilaku seksual beresiko (hasil screening), usia remaja 13-18 tahun, tinggal dengan orang tuanya dan belum menikah. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Jenis kelamin dengan Perilaku Seksual Beresiko pada Remaja di Kecamatan Pundong Bantul, DIY. Menghasilkan nilai probabilitas sebesar 0,284 (p value> 0,05) ini membuktikan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan perilaku seksual beresiko. Menurut Friedman (2010) seorang remaja baik laki-laki maupun perempuan dengan rentang tumbuh kembang yang sama akan mempunyai sisi perkembangan yang hampir serupa yaitu perubahan fisik yang dialami oleh remaja lakilaki maupun perempuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock (2007) bahwa perubahan fisik yang dialami oleh remaja laki-laki maupun perempuan akan menimbulkan peluang yang sama untuk melakukan perilaku seksual beresiko. Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Seksual Beresiko pada Remaja di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul, DIY. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku seksual beresiko pada remaja. Artinya bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak otomatis dalam menentukan perilaku dalam kehidupannya. (Pender, Murdaugh, dan Parson, 2002). Sarana komunikasi yang canggih dan beredar luas menyebabkan meningkatnya arus informasi dari luar. Remaja akan mengadopsi dan mempraktekkan dalam kesehariannya (Santrock, 2007). Hubungan Usia dengan Perilaku Seksual Beresiko pada Remaja di Kecamatan Pundong Bantul, DIY. Penelitan ini menghasilkan bahwa usia remaja di kecamatan Pundong kabupaten Bantul, DIY tidak berhubungan dengan perilaku seksual beresiko pada remaja. Menurut Notoatmojo (2010) kedewasaan seseorang memang tidak ditentukan oleh usianya. Hubungan Pola Asuh dengan Perilaku Seksual Beresiko pada Remaja di Kecamatan Pundong Bantul, DIY Tabel 1.1 Hubungan Pola Asuh dengan Perilaku Seksual Beresiko Pada Remaja di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Tahun 2014 (n=102) Variabel Independen Pola asuh otoriter Pola asuh demokratis Pola asuh permisif Variabel Dependen Perilaku seksual beresiko Perilaku seksual beresiko Perilaku seksual beresiko Nilai r P value 0,206 0,038 0,083 0,408 0,199 0,045 1. Gambaran perilaku seksual beresiko pada remaja Pada penelitian ini perilaku seksual dianalisis berdasarkan tiga komponen perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmojo, 2007). Aktivitas seksual seksual seperti ciuman bibir, petting dan berhubungan seksual diluar ikatan pernikahan yang selama ini dianggap wajar dalam berpacaran sehingga menimbulkan perilaku seksual beresiko. Hal ini seperti yang diungkapakan Sarwono (2011) bahwa remaja cenderung tidak berusaha mencari tahu sumber informasi yang baik dan benar dikarenakan lebih mengedepankan aspek kesenangan dan bermain dalam dunia-
Nurmaguphita, D., Hamid, A.Y.S., dan Mustikasari, Pola Asuh Berhubungan dengan... 33 nya. Dampak yang kurang baik tentunya dapat ditimbulkan dari hal yang semacam ini, yaitu berupa kesalahaan informasi atau kurangnya informasi mengenai kesehatan pada remaja. Perubahan hormonal yang terjadi pada remaja, ego yang masih labil dan keingintahuan mengenal sesuatu dapat menyebabkan remaja dapat salah dalam mengambil keputusan, terlebih dalam pergaulan (Mustansky,2007). Remaja menganggap wajar jika dalam berpacaran ada aktivitas seksual. Perubahan prsepsi soal berpacaran juga di dukung dengan gaya berpacaran pada masa sekarang yang ketika berpacaran tidak cukup hanya dengan ngobrol tetapi disertai dengan kontak fisik seperti pegangan tangan, pelukan, berciuman dan ada yang sampai pada melakukan hubungan seksual tanpa terikat pernikahan. Dewi (2012) memaparkan bahwa adanya pengetahuan tentang hubungan seksual sebelum menikah dan dampak yang menyertainya serta tahu bagaimana hal tersebut melanggar nilai, norma, agama dan berakibat dosa namun banyak remaja yang melakukannya. Banyak hal yang menjadikan alasan para remaja ini melakukan hubungan seksual diluar ikatan pernikahan antara lain cinta, suka sama suka, terpengaruh lingkungan, dan pengaruh teman serta ajakan dari pacar itu sendiri (Shaluhiyah, 2005). Didapatkakan hasil yang cukup mencengangkan yaitu 50% lebih remaja di kecamatan Pundong berperilaku seksual beresiko. Hal ini tentunya layak menjadi wacana bagi para remaja yang harus mempertimbangkan dampak buruk bagi masa depan diri dan kesehatannya. Agaknya pergeseran budaya sudah nampak terlihat pada masyarakat asli DIY yang seharusnya menjunjung tinggi nilai, norma, adat istiadat dan agama dalam masyarakat menjadi bergeser ke budaya modern yang lebih bebas (Laksmiwati, 2009). Menurut Santrock (2007) aktivitas seksual merupakan bentuk ketertarikan dan diapresiasiasikan melalui sebuah kontak fisik dengan pasangannya. Dan kontak fisik ini juga melalui tingkatan yang terkadang diawali dari sentuhan, ciuman, meraba sampai berhubungan seksual. Kondisi yang seperi inilah yang kemudian mengarah ke berperilaku seksual beresiko yang dapat di lihat dari cara berfikir maupun tingkah lakunya. 2. Gambaran pola asuh orang tua Dalam penelitian ini perolehan prosentase yang hampir sama di dapatkan dari masingmasing pola asuh. Pola asuh otoriter rata-rata sebesar 25,50 (dari rentang skor 10-40), Pola asuh Demokraatis sebesar 26, 90 (dari rentang Remaja yang ada di wilayah kecamatan Pundong bergaul lebih bebas, sehingga orang tua memang cenderung lebih ketat dalam pengawasan dalam arti kurang mengkomunikasikan apa yang diinginkan orang tua sebenarnya dalam suasana yag lebih demokratis. Menurut Herman (2008) pola asuh tidak sematamata dipilih oleh orang tua, namun kedaan yang dialami dan kekhawatiran terhadap anaknya akan menimbulkan orang tua bersikap entah dalam kondisi yang mengekang atau membiarkan. Namun hal ini tujuannya adalah melindungi anak dari pengaruh asing yang mungkin buruk bagi perkembangannya. Ketika anak dilarang melakukan sesuatu yang tidak jelas alasan yang mendasarinya, dan tidak cukup meyakinkan pemahaman anak, maka kecenderungan anak semakin penasaran dengan apa yang terjadi di luar bayangannya (Hockenberry, 2005). Berbeda dengan pola asuh yang lebih memberikan ruang anak untuk berbendapat, mengemukakan keinginannya dengan baik pada orang tua. Orang tua memberikan kasih sayang berupa perhatian dan perilaku mendampingi dalam hal segala bentuk ketidak tahuan, keingin tahuan, kebersamaan, berbagi dan dalam menyikapi pergaulan (Syarbini, 2014). Anak akan merasa lebih mempunyai tempat untuk bertanya dan mencurahkan keluh kesahnya. Mendapatkan kasih sayang dari orang tua dan merasa terlindungi sehingga anak merasa lebih nyaman dalam rumah atau tempat tinggalnya (Simons, 2012).
34 Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu Vol. 07 No. 01, Januari 2016 Remaja masih dalam proses mencari jati diri, mempunyai ego yang cukup besar, labil dan terkadang masih ragu dalam mengambil keputusan. Sehingga tidak jarang pengaruh dari lingkungan tidak dapat diatasi dengan baik oleh remaja (Santrock, 2007). Namun pendapat yang dikemukakan oleh Hochenberry 2005 menguatkan bahwa ketika orang tua menerapkan pola asuh demokratis maka anak akan cenderung untuk dapat menghadapi dunia luar dengan baik. (Santrock, 2007). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Khasanah (2012) bahwa pola asuh demokratis akan menghasilkan remaja yang lebih berkualitas dalam hal pengetahuan, pendidikan dan prestasi di sekolah. Pola asuh demokratis cenderung mengahasilkan remaja yang lebih produktif. Dilihat dari fungsi pendampingan, pengawasan, kasih sayang yang cukup optimal tentu dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan pada remaja (Fauzi, 2010). Kecederungan berbuat hal-hal yang negatif tentu akan menjadi minimal dilakukan oleh seorang remaja. Sehinga remaja tidak perlu melarikan diri dari kenyamanan yang sudah didapatkan dari keluarga (Friedman, 2010).Anak yang tumbuh tanpa kekangan biasanya mempunyai daya kreatifitas yang cukup tinggi (Simons, 2013). Efektif dan tidaknya sebuah pola asuh sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Khasanah, 2012). Memang kesibukan orang tua, aktivitas yang beragam dari masing-masing orang tua tidak dapat disamaratakan. Kebutuhan yang berbeda juga membuat waktu orang tua terkadang 3. Hubungan Pola asuh Demokratis Dengan Perilaku Seksual Beresiko pada Remaja Uji korelasi Pearson antara pola asuh demokratis dengan perilaku seksual beresiko, menghasilkan nilai probabilitas sebesar 0,408 (p value > 0,005) yang menunjukkan bahwa pola asuh demokratis tidak berhubungan signifikan dengan perilaku seksual beresiko pada remaja. 4. Hubungan Pola Asuh Permisif dengan Perilaku Seksual Beresiko pada Remaja. Uji korelasi Pearson antara pola asuh permisif dengan perilaku seksual beresiko, menghasilkan nilai probabilitas sebesar 0,045 (p value < 0,05) yang menunjukkan bahwa pola asuh permisif berhubungan signifikan dengan perilaku seksual beresiko pada remaja. Pola asuh permisif digambarkan dengan ketidakpedulian orang tua terhadap perkembangan anak remajanya. Cenderung memberikan segala keinginan yang remaja mau atau bahkan tidak mau tahu dengan apa yang menjadi keinginan anak remajanya. Anak akan merasa lebih bebas dalam menentukan apa yang menjadi keinginannya. Dalam pergaulan maupun dalaam menyikapi lingkungan luar akan menjadi sangat terbatas untuk memberikan pendampingan yang optimal bagi anak-anaknya (Sarwono, 2010). Tidak dapat dipungkiri jika kebutuhan termasuk kebutuhan ekonomi juga pada dasarnya adalah demi mencukupi kebutuhan si anak juga. Orang tua dengan kondisi yang beragam, mungkin dapat mempunyai kendala dalam memberikan pengertian kepada anaknya (Friedman, 2010). 5. Hubungan Pola asuh Otoriter dengan perilaku seksual beresiko pada remaja. Di dalam penelitan ini diketahui korelasi Pearson antara variabel Otoriter dan variabel perilaku seksual sebesar 0,206 dan nilai signifikan 0,038 (p<0,05) maka dapat dikatakan ada hubungan positif antara variabel otoriter dengan perilaku seksual berisiko. Hasil tersebut dapat diartikan jika orang tua memberikan asuhan dengan kecenderungan otoriter sangat tinggi maka dapat meningkatakan perilaku seksual berisiko yang tinggi. Pola asuh yang cenderung memberikan kekangan, laranganlarangan dan selalu menanyakan apa saja yang dilakukan anak-anaknya ternyata tidak berefek
Nurmaguphita, D., Hamid, A.Y.S., dan Mustikasari, Pola Asuh Berhubungan dengan... 35 baik bagi perilaku anak remajanya (Fuad, 2010). Tidak jarang remaja yang berusaha keluar dari permasalahan dengan melarikan diri dari rumah dan memberontak dengan apa yang menjadi larangan orang tuanya (Santrock, 2007). Perilaku seksual bisa jadi adalah pelarian dari rasa stress yang dimiliki oleh remaja. Remaja mencari kesenangan dengan berperilaku seksual beresiko (Hutchinson, 2009). Semakin orang tua melarang keinginan anaknya tanpa memberi alasan yang dapat diterima dengan baik oleh anak maka akibatnya dapat berupa keinginan yang semakin besar untuk mencari tahu sendiri jawabannya (Mustansky, 2007). Bahkan jika kekangan ini terlalu kuat remaja dapat menjadi semakin penasaran untuk mencoba hal-hal yang dilarangkan tersebut sebagai suatu upaya untuk mencari perhatian orang tuanya.seperti penelitian yang dilakukan Laksmiwati (2009) bahwa orang tua yang cenderung bersikap otoriter mempertinggi angka kenakalan remaja di DIY. Penelitian Primastuti (2012) yang menyebutkan tingginya perilaku seksual pranikah pada remaja salah satu faktor yang menyebabkan ialah dilarang oleh orang tua untuk memiliki pacar. Pengetahuan yang baik bagi remaja dan orang tua dalam berkomunikasi dan menyampaikan pendapat sangat diperlukan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian Hubungan pola asuh dengan perilaku seksual beresiko pada remaja di kecamatan Pundong kabupaten Bantul, DIY menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : Di wilayah kecamatan Pundong, pola asuh yang diterapkan untuk jumlah mendekati sama yaitu antara pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. Lebih dari separuh remaja melakukan perilaku seksual yang beresiko. Jenis kelamin remaja yang mengalami potensi perilaku seksual beresiko sama antara laki-laki maupun perempuan. Untuk usia antara 13-18 tahun pada remaja lebih banyak mengalami perilaku seksual yang beresiko dikarenakan faktor pola asuh Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh terhadap perilaku seksual beresiko pada remaja di wilayah Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul, DIY. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan perilaku seksual beresiko pada remaja di wilayah kecamatan Pundong Kabupaten Bantul, DIY. Tidak ada hubungan antara pola asuh demokratis dengan perilaku seksual beresiko pada remaja di wilayah kecamatan Pundong Kabupaten Bantul, DIY. Terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif dengan perilaku seksual beresiko pada remaja di wilayah kecamatan Pundong kabupaten Bantul, DIY. Pola asuh yang paling berpengaruh terhadap perilaku seksual beresiko pada remaja di wilayah kecamatan Pundong kabupaten Bantul, DIY adalah pola asuh otoriter Saran Untuk Dinas kabupaten Bantul, melakukan kerjasama dengan dinas pendidikan kota Bantul dalam rangka pendidikan reproduksi remaja. Sebaiknya diaplikasikan dalam tatanan keluarga, masyarakat, dan sekolah. mengembangan sebuah kegiatan yang bersifat peduli remaja. Seperti Program Pelayanan Informasi Komunikasi Kesehatan reproduksi Remaja (PIK-KRR) seperti yang sudah dimiliki oleh BKKBN. Kegiatan hendaknya dapat langsung dietrima atau diakses oleh remaja secara langsung seperti di karang taruna, pengajian remaja atau pembelajaran ekstrakurikuler remaja. Menggunakan forum yang sudah terbentuk, atau membentuk yang baru namun peka terhadap konteks budaya dan lingkungan setempat. Dapat juga berbentuk suatu kelompok diskusi dari remaja dengan tokoh masyarakat atau kader kesehatan.
36 Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu Vol. 07 No. 01, Januari 2016 KEPUSTAKAAN 1. Depkes. (2009). Pedoman Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja di Puskesmas 2. Dewi. (2012). Hubungan Pola Komunikasi dengan Prestasi pada Anak. Tesis. UGM 3. Fuad, (2010). Remaja dan Perilaku seks. Jakarta.EGC 4. Friedman, (2010). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek. Edisi 3. EGC. Jakarta 5. Hastono & sabri (2007). Statistik Kesehatan, Jakarta. Raja Grafindo 6. Hastono. (2007). Analisis Data Dasar. FKM UI 7. Hermann (2008). Adolescent Perceptions Of Teen Births. Onlinelibrary.wiley.com/doi/ 10.111/J.1552-6909.JGNN. Diakses Tanggal 4 Maret 2014 8. Hutchinson. (2009). Adolescence and sexual attitudes, beliefs, and behaviors. UK : Medline Journal. Diakses tanggal 12 maret 2014 9. Laksmiwati. I (2009) Transformasi sosial dan Perilaku reproduksi remaja. Google Cendekia. Diakses tanggal 28 Februari 2014 10. Mustansky, (2007). Identifying Sexual Orientation Health Disparities in Addolescent : Analysis of Pooled data from the Youth Risk Behavior Survey, 2005 and 2007.www.proquest.search.jornal/index. Diakses 4 maret 2014 11. Notoatmojo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta 12. Pender, Murdaugh & Parson (2002). Health Promotion in Nursing Practice. USA. Prentice Hall 13. PKBI. (2010). Data Kesehatan Remaja. Yogyakarta : PKBI 14. Sarwono (2011). Psikologi Remaja. Edisi Revisi. Jakarta. Rajawali Press 15. Santrock. (2007). Remaja, Edisi kesebelas. Jakarta : Erlangga 16. Shaluhiyah..Z. (2005) Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di jawa tengah : implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. MAKARA Kesehatan Vol 10 17. Soetjiningsih (2009). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja. Disertasi. UGM 18. Simons, (2013). Identifying Mediators of the Influence of Family Factors on Risk Sexual Behavior. www.proquest.search/ index.com. Diakses 26 Februari 2014 19. Syarbini.M (2014). Pendidikan Karakteristik Keluarga Islami. Jakarta. EGC 20. Khasanah. (2012). Hubungan Pola asuh dan Karakteristik Keluarga dengan Status Gizi pada anak Usia sekolah di SD Negeri Kelurahan Tugu Kota Depok: Tesis Universitas Indonesia.