Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1.Struktur Organisasi RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan

Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan

Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan

Lampiran 1. Struktur organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GDS (datang) : 50 mg/dl. Creatinin : 7,75 mg/dl. 1. Apa diagnosis banding saudara? 2. Pemeriksaan apa yang anda usulkan? Jawab :

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Nova Faradilla, S. Ked

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

( CKD ) Pembimbing :

BAB I PENDAHULUAN. darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit,

Definisi Diabetes Melitus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus Type II

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

PENDAHULUAN. Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

Lampiran 2. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Singapura dan 9,1% di Thailand (Susalit, 2009). Di Indonesia sendiri belum ada

BAB I PENDAHULUAN. akibat insufisiensi fungsi insulin (WHO, 1999). Berdasarkan data dari WHO

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB III METODE PENELITIAN. cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI RUMAH SAKIT. RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah. penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan Rumah Sakit Umum Daerah Toto Kecamatan Kabila Kabupaten

EVALUASI PEMILIHAN OBAT ANTIDIABETES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SALATIGA TAHUN 2008 SKRIPSI

Asuhan Keperawatan Pasien Rujuk Balik dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Jalan. RSUD Kota Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PengertianDrug Related Problems Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang dapat

I. PENDAHULUAN. pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD Dr. Pirngadi. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

perkembangan penyakit DM perlu untuk diperhatikan agar komplikasi yang menyertai dapat dicegah dengan cara mengelola dan memantau perkembangan DM

BY : Cang Cool gitu loh. Bismillah hirrahmanirrahim Ass. Wr. Wb

BAGAN ORGANISASI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT

PENELITIAN PENGARUH HEMODIALISIS TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DM. Elya Hartini *, Idawati Manurung **, Purwati **

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

BAB I PENDAHULUAN. dari mulai faal ginjal normal sampai tidak berfungsi lagi. Penyakit gagal ginjal

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. vitamin ataupun herbal yang digunakan oleh pasien. 1. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana S-1. Disusun oleh : ELYOS MEGA PUTRA J FAKULTAS KEDOKTERAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang dengan katarak akan melihat benda seperti tertutupi kabut, lensa mata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG TERJADI PADA PASIEN DENGAN FAKTOR RISIKO HIPERTENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2, HbF( fetus)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. pergeseran pola penyakit. Faktor infeksi yang lebih dominan sebagai penyebab

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB I PENDAHULUAN. insulin secara relatif maupun absolut (Hadisaputro & Setyawan, 2007).

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

baik berada di atas usus kecil (Kshirsagar et al., 2009). Dosis yang bisa digunakan sebagai obat antidiabetes 500 sampai 1000 mg tiga kali sehari.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada pemeriksaan berulang (PERKI, 2015). Hipertensi. menjadi berkurang (Karyadi, 2002).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara nyata maupun potensial berpengaruh pada out come yang diinginkan pada

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. serta terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh: Seno Astoko Putro J

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

ASKEP GAWAT DARURAT ENDOKRIN

Transkripsi:

Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan DIREKTUR KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL WAKIL DIREKTUR BIDANG ADMINISTRASI UMUM WAKIL DIREKTUR BIDANG PELAYANAN MEDIS DAN KEPERAWATAN WAKIL DIREKTUR BIDANG SUMBER DAYA MANUSIA DAN PENDIDIKAN BAGIAN UMUM BAGIAN KEUANGAN BAGIAN PERLENGKAPAN PEMELIHARAAN BIDANG PELAYANAN MEDIS BIDANG PELAYANAN KEPERAWATAN BIDANG PELAYANAN PENUNJANG MEDIS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANG BIDANG PENGOLAHAN DATA DAN REKAM MEDIK SUB BAGIAN TATA USAHA SUB BAGIAN PERBENDAHAR AAN SUB BAGIAN INVENTARIS RUMAH SAKIT SEKSI PERENCANAAN DAN PENGEMBANGA N PELAYAAN SEKSI PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PELA-YAAN KEPERAWATAN SEKSI PELAYANAN PENUNJANG SARANA MEDIS SEKSI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI SEKSI PENELITIAN SEKSI PENGOLAHAN DATA RAWAT JALAN DAN SUB BAGIAN KEPEGAWAIA N SUB BAGIAN HUKUM HUBUNGAN MASYRAKAT SUB BAGIAN MOBILISASI DANA SUB BAGIAN AKUNTANSI DAN VERIFIKASI Instalasi Rehabilitasi Medis Instalasi Farmasi Instalasi Gizi Instalasi Pemulasaran Jenazah dan Kedokteran Instalasi Kemotoran Instalasi Loundry dan Sandang Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Instalasi Gas Medis Instalasi CSSD SUB BAGIAN PENGADAAN BARANG SUB BAGIAN PERGUDANGAN SEKSI MONITORING DAN EVALUASI PELAYANAN MEDIS Instalasi Rawat Jalan Instalasi Rawat Inap Instalasi Diagnostik Instalasi Gawat Darurat Instalasi Bedah Sentral Instalasi Pelayanan Instalasi Hemodialisis Instalasi Radiologi Instalasi Patologi Instalasi Patologi SEKSI MONITORING DAN EVALUASI PELAYANAN KEPERAWATAN SEKSI PELAYANAN PENUNJANG SARANA NON MEDIS SEKSI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SEKSI PERPUSTAKAA N SEKSI REKAM MEDIK

Lampiran 2. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan KOMITE FARMASI & TERAPI DIREKTUR RSUD Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN KEPALA INSTALASI FARMASI Dra. Erlina, Apt SEKRETARIS Dra. Singgar NR, Apt Adm & Keuangan PIO Dik & Lit Konseling Obat Koordinator PERLENGKAPAN Dra. Nur Intan S, Apt KOORDINATOR DISTRIBUSI Dra. Peri, Apt Pel. Farmasi IBS Nurhikmah A P, SSi, Apt Perencanaan Dan Evaluasi Jhonson L Tobing, S.Si, Apt Pemilihan Perencanaan Pengadaan Penyimpanan Produksi Pel. Farmasi Pasien Jaminan Kesehatan Rawat Jalan/Rawat Inap Pel. Farmasi Umum Rawat Inap/Jalan Pel. Farmasi BMHP Ruangan & Poliklinik Pel. Kemoterapi Pel. Farmasi IGD Naomi Basaria Siagian, S.Si, Apt Pel. Farmasi Pasien Umum Jhonson L. Tobing S, SSi, Apt

Lampiran 3. Daftar Permintaan Dan Pengeluaran Farmasi (Form B-2)

Lampiran 4. Form Pelayanan Pencampuran Obat Sitostatika

Lampiran 5. Catatan Pemberian Obat (CPO)

Lampiran 6. Kartu Obat

Lampiran 7. Kartu Kendali Obat Pasien

Lampiran 8. Form Surat Pesanan/ Order Pembelian

Lampiran 9. Formulir P1 (Permohonan Pembelian Barang Medis)

Lampiran 10. Surat Pesanan Barang

Lampiran 11. Berkas Pemeriksaan Untuk Pengajuan Pembayaran

Lampiran 12. Surat Pesanan Psikotropika

Lampiran 13. Surat Pesanan Narkotika

Lampiran 14. Form Pemakaian Obat Golongan Narkotika

Lampiran 15. Form Pemakaian Obat-Obatan Dan Alat Kesehatan Untuk Pasien Operasi

Lampiran 16. Rekapitulasi Perhitungan Unit Cost

Lampiran 17. Kuitansi Pembayaran Pengadaan Perbekalan Farmasi

Lampiran 18. Surat Setoran Pajak Penghasilan (SSP PPh)

Lampiran 19. Surat Setoran Pajak Pertambahan Nilai (SSP PPN)

Lampiran 20. Faktur Pajak Standar

lampiran 21. Formulir Protokol Terapi dari IGD SURAT KETERANGAN Yang bertanda tangan di bawah ini menegaskan bahwa pasien Nama :... Umur :... Jenis Kelamin :... No. KP Askes :... No.MR :... Diagnosa :... Memerlukan obat khusus yang menggunakan protokol terapi dan digunakan di IGD antara lain : 1. 2. 3. Alasan pemberian :......... Medan,... Dokter Jaga IGD (...) Petugas Yang Menyerahkan (..) Tim Legalisasi (..)

Lampiran 22. Formulir Protokol Terapi dari Ruangan SURAT KETERANGAN PERMINTAAN OBAT KHUSUS Dengan Hormat, Dengan ini kami mohon diberikan untuk penderita: Nama : Umur : Jenis Kelamin : No. KP Askes : No. MR : Alamat : Ruangan : Diagnosa : Memerlukan obat khusus yang menggunakan Protokol Terapi, antara lain: 1. 2. 3. Alasan pemberian:......... Disetujui oleh: Petugas PT. Askes ( ) Dokter Yang Merawat ( ) Tim legalisasi ( )

Lampiran 23. Form PIO (Pelayanan Informasi Obat) PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO) INSTALASI RSU Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN No : Tanggal : Status : Pasien / Perawat / Dokter /. Asal : Ruangan / Umum / Poliklinik. Nama Obat / Isi Indikasi Efek Samping Kontra indikasi Informasi Tambahan : 1... 2... 3... 4... :...... :...... :.... :...... Penerima Informasi Pemberi Informasi ( ) ( )

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI RUMAH SAKIT di RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. PIRNGADI KOTA MEDAN STUDI KASUS Diabetes Melitus Tipe II + CKD stage V et causal DN Disusun Oleh: Ervina Syahfitri Lubis, S. Farm NIM 133202103 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

RINGKASAN Laporan studi kasus ini telah dilakukan pada Praktek Kerja Profesi (PKP) Farmasi Rumah Sakit di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam Pria (Asoka 1) ruangan XXI Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Studi kasus dilaksanakan pada tanggal 13 April s/d 22 April 2014 mengenai Diabetes Mellitus + CKD stage V ec DN. Pada studi kasus akan dilakukan pengkajian masalah terkait obat (Drug Related Problem) untuk menilai rasionalitas penggunaan obat pada pasien. Kegiatan studi kasus meliputi visite (kunjungan) terhadap pasien, memberikan edukasi dan informasi terkait obat kepada pasien dan/atau keluarga pasien, pengkajian masalah terkait obat (DRP) untuk menilai rasionalitas penggunaan obat, memberikan pertimbangan kepada tenaga kesehatan lain dalam meningkatkan rasionalitas penggunaan obat. Penilaian Rasionalitas penggunaan Obat meliputi 5 R + 1 W yaitu Tepat Pasien (Right Patient), Tepat Indikasi (Right Indication), Tepat Obat (Right Medication), Tpat Dosis dan Waktu Pemberian (Right Dose and Time), Tepat Cara Pemberian (Right Route), dan Waspada terhadap Efek Samping, dengan melihat adanya masalah terkait obat (DRP). Obat-obatan yang dipantau dalam kasus ini adalah infus NaCl 0,9%, injeksi metoklopramid, kapsul omeprazole, injeksi ranitidin, dulcolax suppositoria.

DAFTAR ISI Halaman JUDUL... RINGKASAN... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... i ii iii vi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4 2.1 Diabetes Melitus... 4 2.1.1 Defenisi... 4 2.1.2 Patofisiologi... 4 2.1.3 Penegakan Diagnosis... 5 2.1.4 Komplikasi... 6 2.1.4.1 Diabetik Nefropati... 6 2.1.5 Terapi... 7 2.2 Ginjal... 9 2.2.1 Defenisi... 9 2.2.2 Fungsi Ginjal... 10 2.3 Gagal Ginjal Kronik... 11 2.3.1 Defenisi... 11 2.3.2 Patofisiologi... 12 2.3.3 Penegakan Diagnosis... 13

2.3.4 Terapi... 15 BAB III PELAKSANAAN UMUM... 19 3.1 Identitas Pasien... 19 3.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr. Pirngadi Medan... 19 3.3 Pemeriksaan... 20 3.3.1 Pemeriksaan Fisik... 20 3.3.2 Pemeriksaan Patologi Klinik dan Penunjang... 22 3.4 Terapi... 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 26 4.1 Pembahasan Tanggal 13 April sampai 22 April 2014. 27 4.1.1 Pengkajian Tepat Pasien... 28 4.1.2 Pengkajian Tepat Indikasi... 29 4.1.3 Pengkajian Tepat Obat... 31 4.1.4 Pengkajian Tepat Dosis dan Waktu Pemberian. 32 4.1.5 Pengkajian Tepat Cara Pemberian... 34 4.1.6 Pengkajian Efek Samping... 34 4.1.7 Rekomendasi Untuk Dokter... 35 4.1.8 Rekomendasi Untuk Perawat... 36 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 37 5.1 Kesimpulan... 37 5.2 Saran... 38 DAFTAR PUSTAKA... 39

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis... 6 Tabel 2.2 Jenis-jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja... 8 Tabel 2.3 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral... 9 Tabel 2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar Derajat Penyakit... 12 Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagagl Ginjal Kronik di Amerika Serikat... 12 Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik... 17 Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik Pasien... 21 Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik I (tanggal 13 April 2014 )... 22 Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik II (tanggal 15 April 2014 )... 23 Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik III (tanggal 21 April 2014 )... 23 Tabel 3.5 Hasil Pemeriksaan Foto Thorax Pada Tanggal 14 April 2014... 23 Tabel 3.6 Daftar Obat yang Diresepkan Dokter Kepada Pasien Selama Rawat Inap... 25 Tabel 4.1 Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d 22 april 2014... 27 Tabel 4.2 Pengkajian Waspada Efek Samping Tanggal 13 April s/d 22 April 2014... 35 Halaman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan, yang merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama sebagai tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka pelayanan farmasi harus ditingkatkan. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Praktik pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi pengkajian resep, dispensing, pemantauan dan pelaporan efek samping

obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite pasien dan pengkajian penggunaan obat (Depkes RI, 2004). Visite pasien merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri oleh apoteker maupun bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuannya adalah untuk pemilihan obat, menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, menilai kemajuan pasien dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain. Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien (Depkes RI, 2004). Dalam rangka menerapkan pelayanan kefarmasian di rumah sakit, maka mahasiswa calon apoteker perlu diberi perbekalan dan pengalaman dalam bentuk Praktek Kerja Profesi (PKP) di rumah sakit. PKP di rumah sakit merupakan salah satu praktek pelayanan kefarmasian yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan pasien. Adapun pelayanan kefarmasian yang difokuskan untuk dilaksanakan adalah visite pasien dan pengkajian penggunaan obat secara rasional (PPOSR). Adanya masalah penggunaaan obat yang tidak rasional menunjukkan bahwa peranan apoteker sangat besar dalam membantu keberhasilan terapi pasien. Studi kasus yang akan dikaji adalah pasien dengan diagnosa Diabetes Melitus + CKD (Chronic Kidney Disease) stage V ec. DN (Diabetic Nephropathy). Disini penulis akan mengkaji penggunaan obat yang diberikan kepada pasien dan memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya dalam

rangka untuk meningkatkan kepatuhan pasien selama menjalani pengobatan demi tercapainya tujuan pengobatan untuk memaksimalkan pengobatan pasien. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah: a. Memberikan pemahaman untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mematuhi terapi yang telah ditetapkan dokter. b. Memantau rasionalitas penggunaan obat yang diberikan kepada pasien.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2005). 2.1.2 Patofisiologi a. DM tipe 1 (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara umum DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa dewasa yang disebabkan oleh sel β pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Hiperglikemia terjadi bila 80%-90% dari sel β rusak. Penyakit DM bisa menjadi penyakit menahun dengan resiko komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autoimun tidak diketahui. b. DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan oleh

gaya hidup penderita DM (kelebihan kalori, kurangnya olahraga dan obesitas) dibandingkan dengan pengaruh genetik. c. Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2% dari semua kasus diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali, sindrom Cushing), diabetes melitus gestational (DMG), penyakit pankreas eksokrin (pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin, niasin, dan α- interferon). d. Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa terjadi pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang berhubungan dengan sindrom resistensi insulin. e. Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati sedangkan komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit vaskular periferal (Sukandar dkk, 2009). 2.1.3 Penegakan Diagnosis Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala khas yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala khas yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan rabun, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang sering kali mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM (Darmono, 1996 dan Depkes, 2005). Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis Glukosa Plasma Glukosa Plasma 2 jam setelah Puasa makan Normal <100 mg/dl <140 mg/dl Pra-diabetes IFG atau IGT 100-125 mg/dl - - 149-199 mg/dl Diabetes 126 mg 200 mg/dl 2.1.4 Komplikasi Jika tidak ditangani dengan baik, DM akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf dan lain-lain. Dengan penanganan yang baik, diharapkan komplikasi kronik DM akan dapat di hambat perkembangannya. Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di tubuh. Komplikasi ini terbagi 2 yaitu komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, pembuluh darah kaki dan komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati (Waspadji, 1996). 2.1.4.1 Diabetik Nefropati Diabetik nefropati (DN) merupakan komplikasi mikrovaskular DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan terapi cuci darah atau cangkok ginjal. Untuk menegakkan diagnosis komplikasi DN akibat DM tipe 1 dan DM tipe 2 harus dicari manifestasi klinis yang menunjang penyakit dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (DN) (Roesli R dkk, 2001).

2.1.5 Terapi Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu: menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005). a. Terapi Insulin Insulin dihasilkan oleh sel β pulau langerhans pankreas. Pankreas mengandung sel-sel yang terdiri atas sel alfa yang menghasilkan hormon glukagon, sel beta menghasilkan insulin, sel D menghasilkan somatostatin dan sel PP menghasilkan pancreatic polypeptide (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk menstabilkan kadar glukosa darah. Apabila kadar glukosa di dalam darah tinggi, sekresi insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar glukosa darah rendah, maka sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula darah di bawah 80 mg/dl akan menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah (Depkes, 2005).

Tabel 2.2 Jenis jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja Jenis Insulin Mulai Kerja (jam) Puncak Efek (jam) Lama Kerja (jam) Masa kerja Singkat 0,5 1-4 6-8 (Shortacting/ Insulin), disebut juga insulin Reguler Kerja sedang 1-2 6-12 18-24 Kerja sedang mulai kerja 0,5 4-15 18-24 cepat Kerja lama 4-6 14-20 24-36 b. Terapi Obat Hipoglikemik Oral Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi obat hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan regimen obat hipoglikemik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakitpenyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes, 2005). Penggolongan obat hipoglikemik oral dan mekanisme kerjanya dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamida Merangsang sekresi insulin di Glipizida kelenjar pankreas, sehingga Glikazida hanya efektif pada penderita Glimepirida diabetes yang sel-sel β Glikuidon pankreasnya masih berfungsi dengan baik Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas Meningkatkan kecepatan sintesis insulin oleh pankreas Turunan Nateglinide fenilalanin Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Tiazolidindion Rosiglitazone Troglitazone Pioglitazone Inhibitor α- glukosidase Acarbose Miglitol Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptorgamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin Menghambat kerja enzim-enzim pencenaan yang mencerna karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah 2.2 Ginjal 2.2.1 Definisi Ginjal adalah suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebrata lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah yaitu bagian kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan (Syaifuddin, 2006). 2.2.2 Fungsi Ginjal Beberapa fungsi ginjal di dalam tubuh:

a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin yang encer dalam jumlah besar, kekurangan air menyebabkan urin yang diekskresi berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahanan relatif normal. b. Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh. d. Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida). e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal mensekresikan hormon renin yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron) membentuk eritropoeisis mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoesis) (Aslam, 2003, Pearce, 2006 dan Syaifuddin, 2006). 2.3 Gagal Ginjal Kronik 2.3.1 Definisi Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerural (LFG) kurang dari 50ml/menit. GGK sesuai dengan tahapannya, dapat ringan, sedang atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage) atau gagal ginjal terminal adalah tingkat

gagal ginjal yang mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti ginjal (Suhardjono dkk, 2001). Batasan penyakit ginjal kronik dapat dilihat sebagai berikut: a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: Kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests). b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium didasarkan atas dasar derajat penyakit (stage), dibuat berdasarkan nilai LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: LFG (ml/menit/1,73m 2 ) = (140 umur) x Berat Badan (kg) * * ) pada perempuan dikalikan 0,85 72 x Kreatinin Plama (mg/dl) Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dasar derajat (stage) penyakit (Sudoyo, 2007), dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar Derajat Penyakit Stage Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m 2 ) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat 90 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 89 3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang 30 59 4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat 15 29 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis )

2.3.2 Patofisiologi Etiologi penyakit ginjal kronik ini sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 2.5 di bawah ini menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat (Sudoyo, dkk., 2007). Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat Penyebab Insiden Diabetes mellitus 44% Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27% Glomerulonefritis 10% Nefritis interstitialis 4% Kista dan penyakit bawaan lain 3% Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2% Neoplasma 2% Tidak diketahui 4% Penyakit lain 4% Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif. Adanya peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang sistem renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya

progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial (Sudoyo, 2007). 2.3.3 Penegakan Diagnosis Menurut Sudoyo gambaran klinis pada penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia, lupus eritomatosus sistemik (LES) dan lain sebagainya. b. Sindroma uremia, yang terdiri dari lemah, lethargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Gambaran hasil laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft- Gault. c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

Gambaran pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi: a. Foto polos abdomen, tampak batu radio-opak. b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi. d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa e. Pemeriksaan renografi dikerjakan bila ada indikasi. 2.3.4 Terapi Penatalaksanaan terapi pada penyakit ginjal kronik meliputi: a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi

traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. c. Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gram diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgbb/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutrama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen, posfat, sulfat dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan meningkatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan

intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah ini. Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik Stage Penjelasan LFG (ml/menit) Komplikasi 1 LFG normal 90 _ 2 Penurunan LFG 60 89 Tekanan darah mulai ringan 3 Penurunan LFG sedang 4 Penurunan LFG berat meningkat 30 59 - Hiperfosfatemia - Hipokalsemia - Anemia - Hiperparatiroid - Hipertensi - Hiperchomosistinemia 15 29 - Malnutrisi - Asidosis metabolik - Cenderung hiperkalemia - Dislipidemia 5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung - Uremia

f. Terapi pengganti Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis dan transplantasi ginjal (Sudoyo, 2007).

BAB III PENATALAKSANAAN UMUM 3.1 Identitas Pasien Nama : S Nomor MR : 00.91.58.76 Umur Jenis Kelamin : 63 tahun 0 bulan 19 hari : Laki-laki Tanggal Lahir : 25 Maret 1951 Agama Berat Badan Tinggi Badan Ruangan Pembayaran Tanggal Masuk : Islam : 47 kg : 163 cm : XXI Penyakit Dalam Pria/ Asoka I : Non PBI JKN Kelas III : 13 April 2014 pukul 19.42 WIB 3.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr.Pirngadi Medan Pasien masuk ke RSUD Dr.Pirngadi melalui instalasi gawat darurat (IGD), pada tanggal 13 April 2014 pukul 19.42 WIB yang kemudian dirujuk ke Rawat Inap Asoka I, ruang XXI Penyakit Dalam Pria. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, BAB sedikit dan jarang yang dirasakan sejak 2 bulan ini. Isi muntahan adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien merasa BAK sedikit, warnanya jernih tetapi tidak kuning. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dalam 15 tahun terakhir dan penyakit hipertensi dalam 2 bulan terakhir ini, dengan kadar gula darah (KGD) pernah mencapai 500

mg/dl dan tekanan darah sistolik tertinggi pernah mencapai 180 mmhg. Namun pasien tidak melakukan kontrol dan tidak minum obat dengan teratur. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu : Sensorium Tekanan darah (TD) Heart Rate (HR) Respiratory Rate (RR) Temperatur (T) : Compos Mentis (sadar penuh) : 110/70 mmhg : 88 kali/menit : 24 kali/menit : 36,5 0 C 3.3 Pemeriksaan Selama dirawat di RSUD Dr.Pirngadi, pasien menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan laboratorium patologi klinik seperti pemeriksaan hematologi, urin rutin, kimia klinik seperti metabolisme karbohidrat, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit dan pemeriksaan penunjang yakni USG (Ultrasonografi) ginjal dan foto thorax. 3.3.1 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pasien dilakukan oleh dokter dan perawat setiap harinya. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan pasien, melihat adanya perkembangan atau kemunduran setelah pemberian terapi. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik Pasien Tanggal pemeriksaan Subjek (S) Keadaan Umum 13 April 2014 Mual, muntah (+) 14 April 2014 Mual dan muntah (+), BAB (-) 15 April 2014 BAB (+) sedikit, Muntah (-) 16 April 2014 BAB (-) BP ( mmhg) JENIS PEMERIKSAAN Objektif (O) RR ( x/menit ) HR ( x/menit ) 110/70 24 88 36,5 0 C Lain-Lain T ( 0 C ) 100/60 24 78 36,4 0 C GDS= 172 mg/dl 120/70 24 76 36,4 0 C 120/70 20 76 36,4 0 C sedikit 17 April 2014 Mual 120/70 24 80 36,4 0 C GDS= 257 mg/dl 18 April 2014 Mual, muntah (+) 19 Mei 2014 Mual, muntah (+) 20 April 2014 Mual, muntah (+) 21 April 2014 Mual, muntah (+) 22 April 2014 BAB 1 hari ini belum 120/70 24 80 36,3 0 C 140/80 20 72 35,2 0 C GDP= 98 mg/dl 140/80 24 72 36,5 0 C 140/80 24 72 36,5 0 C GDS= 144 mg/dl 130/80 24 84 36,0 0 C Keterangan: RR = Respiration Rate ; HR = Heart Rate ; T = Temperature ; BP = Blood Pressure 3.3.2 Pemeriksaan Patologi Klinik dan Penunjang Selama dirawat di RSUD Dr.Pirngadi, pasien telah menjalani beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium patologi klinik, pemeriksaan foto thoraks dan USG ginjal.

a. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik Hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik I (tgl 13 April 2014), II (tgl 15 April 2014) dan III (tgl 21 April 2014) ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik I (tanggal 13 April 2014) Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Hematologi: WBC 7600 4000-10000 ul RBC 3,95* 4,5-5,5 10ˆ6/uL HGB 10,7* 13-16 gr/dl HCT 30,6* 39,0-48,0% MCV 77,5* 80,0 97,0 fl MCH 27,1 27,0 33,7 pg MCHC 35,0 31,5 35,0 dl PLT 270000 150000 440000 ul RDW-CV 14,3 10,0 15,0 % Kimia Klinik Metabolisme Karbohidrat: Glukosa Adrandom 158 < 140 mg/dl Hati: SGOT 17 0 40 U/I SGPT 10 0 40 U/I Ginjal: Ureum 149 10 50 mg/dl Creatinin 6,37 0,6 1,2 mg/dl CKMB 21 < 24 U/I Elektrolit: Natrium 121* 136 155 mmol/dl Kalium 3,2* 3,5 5,5 mmol/dl Chlorida 90* 95 103 mmol/dl Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik II (tanggal 15 April 2014) Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Urin Rutin: Warna Kuning Kuning Kekeruhan Jernih Jernih Protein Negatif Negatif Reduksi Negatif Negatif ph 6,0 4,6 8,0

Berat Jenis 1,005 1,001 1,035 Metabolisme Karbohidrat: Gula Puasa 123 60 110 mg/dl 2 jam PP 185 < 140 mg/dl HbA1C 7,6 < 6,0 % Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik III (tanggal 21 April 2014) Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Kimia Klinik Hati: SGOT 12 0 40 U/I SGPT 7 0 40 U/I Ginjal: Ureum 68 10 50 mg/dl Kreatinin 4,17 0,6 1,2 mg/dl Keterangan : - Tanda bintang : nilai di bawah normal - Warna merah : nilai di atas normal b. Pemeriksaan Penunjang Dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan USG upper lower abdomen. Tabel 3.5 Hasil Pemeriksaan Foto Thorax Pada Tanggal 14 April 2014 Tanggal Uraian Hasil Pemeriksaan Kesimpulan Radiologis 14 April 2014 Sinus costophrenicus kanan/kiri lancip, Diaphragma kanan/kiri baik Jantung bentuk dan ukuran baik, CTR < 50%, Corakan bronkovaskuler kedua paru baik, tidak tampak infiltrat dan aktif spesifik, tidak tampak infiltrat, konsolidasi dan modul opaque di paru paru kanan/kiri, tulang tulang costa kanan/kiri intact. Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo - Hasil Pemeriksaan USG Pada tanggal 15 April 2014 dilakukan pemeriksaan terhadap pasien yaitu pemeriksaaan USG upper lower abdomen dengan hasil kedua ginjal mengecil dan pasien mengalami CKD bilateral.

3.4 Terapi Selama dirawat di RSUD Dr Pirngadi, pasien menerima obat-obatan sesuai dengan daftar obat yang tercantum dalam Formularium Nasional. Adapun terapi yang diberikan selama di rawat inap di ruangan Asoka I adalah terapi diet 2100 kkal + 48 gr protein dan terapi obat yang diberikan kepada pasien dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini.

Tabel 3.6 Daftar Obat yang Diresepkan Dokter Kepada Pasien Selama Rawat Inap No Jenis Obat Sediaan Dosis Sehari Rute Tanggal (April 2014) Bentuk Kekuatan 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 1 IVFD NaCl 0,9% Infus 0,9% 20 gtt/menit IV 2 Metoclopramid Injeksi 10 mg/amp 1 amp/8 jam IV 3 Omeprazole Kapsul 20 mg 2 x 1 kapsul PO 4 Ranitidin Injeksi 50 mg 1 amp/12 jam IV 5 Dulcolax Supp 10 mg 1 x 1 supp (malam) Rektal

BAB IV PEMBAHASAN Pasien masuk ke RSUD Dr. Pirngadi melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD), pada tanggal 13 April 2014 pukul 19.42 WIB yang kemudian dirujuk ke Rawat Inap Asoka I ruang XXI Penyakit Dalam Pria. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, BAB sedikit dan jarang yang dirasakan sejak 2 bulan ini. Isi muntahan adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien merasa BAK sedikit, warnanya jernih tetapi tidak kuning. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dalam 15 tahun terakhir dan penyakit hipertensi dalam 2 bulan terakhir ini, dengan kadar gula darah (KGD) pernah mencapai 500 mg/dl dan tekanan darah sistolik tertinggi pernah mencapai 180 mmhg. Namun pasien tidak melakukan kontrol dan tidak minum obat dengan teratur. Selanjutnya, pasien menjalani rawat inap pada tanggal 13 April 2014. Selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi, pasien menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan laboratorium patologi klinik seperti pemeriksaan darah hematolgi, urin rutin, kimia klinik dan pemeriksaan penunjang yakni USG (Ultrasonografi) ginjal dan foto thorax. Penulis melakukan pemantauan terapi obat, terapi diet, konseling pasien untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi yang mulai dari tanggal 13 April sampai tanggal 22 April 2014. Pemantauan terapi obat dilakukan untuk melihat apakah penggunaan obat untuk terapi pasien diberikan secara

rasional. Rasionalitas penggunaan obat meliputi 5 R + 1 W yaitu Tepat Pasien (Right Patient), Tepat Indikasi (Right Indication), Tepat Obat (Right Medication ), Tepat Dosis dan Waktu Pemberian (Right Dose and Time), Tepat Cara Pemberian (Right Route) dan Waspada terhadap Efek Samping. Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari sesuai dengan obat yang diberikan. Penyampaian informasi penting tentang obat disampaikan secara langsung kepada pasien atau keluarganya untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai obat. 4.1 Pembahasan Tanggal 13 April 2014 Sampai 22 April 2014 Pada tanggal 13 April 2014 pasien didiagnosa Diabetes Melitus Tipe II + CKD stage V ec. DN. Pemeriksaan objektif yang dilakukan adalah sensorium : compos mentis (CM), tekanan darah (TD): 110/70 mmhg, denyut nadi (HR): 88x/menit, pernafasan (RR): 24x/menit serta temparatur: 36,5 o C. Pasien diberikan terapi berupa terapi diet rendah kalori dan protein dan terapi obatobatan yang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d 22 April 2014 Tanggal Jenis Obat Sediaan Bentuk Kekuatan Dosis Sehari Rute 13 April s/d 22 April 2014 NaCl 0,9% Metoklopramid Omeprazole Ranitidin Dulcolax Infus Injeksi Kapsul Injeksi Supp 0,9% 10mg/amp 20 mg 50mg/amp 10 mg 20 gtt/mnt 1 amp/8 jam 2 x 1 kapsul 1 amp/12 jam 1 x shri (malam) IV IV PO IV Rektal

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dokter hanya meresepkan obat untuk menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang diderita pasien tetapi tidak pada penyakit dasarnya yaitu diabetes melitus. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus selama 15 tahun. Dokter juga tidak memberikan obat anemia kepada pasien. Anemia disebabkan karena kurangnya produksi eritropoeitin dan kurangnya zat besi, akibat dari penyakit gagal ginjal kronik yang dialami pasien. Untuk itu,seharusnya dokter memberikan obat antidiabetik oral atau insulin dan Erythropoiesis-Stimulating Agents dan/ atau preparat besi (Fe). Dan untuk menghambat perburukan fungsi ginjal, dokter membatasi asupan protein. 4.1.1 Pengkajian Tepat Pasien Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik awal pasien masuk (tabel 3.1), pasien mengeluh mual, muntah, BAK dan BAB sedikit, kulit pucat, tubuh terlihat lemas, nafsu makan berkurang. Kadar kreatinin adalah 6,37 mg/dl, nilai ini diatas nilai normal. Menurut rumus Cockcroft-Gault, LFG yang diperoleh adalah 7,89 ml/menit, jika dihitung dengan berat badan ideal,nilai LFG yang diperoleh adalah 9,51 ml/menit. Kedua nilai tersebut kurang dari 15 ml/menit, maka dikatagorikan gagal ginjal terminal atau gagal ginjal stage V dengan komplikasi uremia, hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan ureum dengan nilai diatas normal yaitu 149 mg/dl (Sudoyo, 2007). Dari Tabel 3.1 halaman 21 dan hasil pemeriksaan patologi klinik, terlihat bahwa kadar glukosa darah pada pasien di atas nilai normal. Pasien mempunyai riwayat diabetes melitus selama 15 tahun. Dan pasien tidak minum obat secara teratur, hal tersebut

dapat dilihat pada Tabel 3.3 halaman 22, nilai HbA1C diatas nilai normal. Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan pasien mengalami anemia mikrositik normokrom, hal ini di tandai dengan nilai MCV dibawah nilai normal dan nilai MCH dalam batas normal (Kemenkes, 2011). Dokter mendiagnosa pasien menderita Diabetes Mellitus Tipe II + CKD Stage V et causal DN. Jadi, diagnosa dokter kurang tepat pasien, karena dokter tidak mendiagnosa adanya anemia mikrositik normokrom. 4.1.2 Pengkajian Tepat Indikasi Terapi obat yang diresepkan dokter yakni infus NaCl 0,9%, injeksi metoklopramid, tablet omeprazole, injeksi ranitidin dan dulcolax suppositoria. Saat hari pertama pasien masuk IGD, pasien diberi infus NaCl 0,9% karena pasien tampak lemas dan berdasarkan hasil laboratorium, terjadi ketidakseimbangan elektrolit pada tubuh pasien. Infus NaCl 0,9% diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian Infus NaCl 0,9% sudah tepat indikasi (Tan dan Rahardja, 2002). Pasien juga merasa mual dan muntah, oleh karena itu dokter memberikan metoklopramid. Obat ini merupakan agen antiemetik sentral kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di CTZ. Oleh karena itu, metoklopramid digunakan pada semua jenis mual dan muntah. Obat ini berkhasiat memperkuat motilitas dan pengosongan lambung dengan

menstimulasi saraf-saraf kolinergik melalui sifat antagonis pada reseptor dopamin di sistem saraf pusat dan perifer, serta kerja langsung pada otot polos. Pemberian metoklopramid sudah tepat indikasi (Tjay Tan dan Rahardja, 2002). Pada tanggal 13 April 2014, pasien masuk IGD dengan keluhan nyeri ulu hati, mual dan muntah, maka dokter mendiagnosa pasien menderita gastritis dan dokter memberikan omeprazole. Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi untuk mencegah gangguan lambung seperti gastroesophageal reflux disesase (GERD), tukak duodenum, tukak lambung. Obat ini merupakan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja dengan menghambat pompa proton dalam sel parietal lambung (Tan dan Rahardja, 2007). Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi. Pada hari ke dua, tanggal 14 April 2014, dokter mengganti omepazole kapsul dengan ranitidin injeksi. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat indikasi karena pasien memiliki gangguan pada lambung sebagai akibat dari penyakit diabetes melitus yang di derita tetapi penggunaan ranitidin harus di pantau karena ranitidin dapat meningkatkan penurunan fungsi ginjal. Pada tanggal 14 April 2014, dokter memberikan dulcolax suppositoria karena pasien belum BAB. Pemberian dulcolax suppositoria diindikasikan untuk pasien yang menderita konstipasi dengan daya kerja sebagai laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang dulcolax merangsang gerakan peristaltik usus besar setelah hidrolisis dalam usus besar dan meningkatkan akumulasi air dan elektrolit

dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat indikasi. 4.1.3 Pengkajian Tepat Obat Infus NaCl 0,9% diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian infus NaCl 0,9% sudah tepat obat. Metoklopramid berkhasiat sebagai anti emetika kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di CTZ. Penggunaan obat ini berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien yaitu muntah. Sehingga pemberian metoklopramid sudah tepat obat (Tan dan Rahardja, 2002). Pada hari pertama, tanggal 13 April 2014. Pasien mengeluh nyeri ulu hati, mual dan muntah, maka dokter meresepkan omeprazole. Pemberian omeprazole sudah tepat obat untuk mencegah gangguan lambung. Obat ini merupakan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja dengan menghambat pompa proton dalam sel parietal lambung (Tan dan Rahardja, 2007). Pada hari kedua tanggal 14 April 2014, dokter meresepkan ranitidin injeksi untuk menggantikan penggunaan omeprazole kapsul. Pergantian bentuk sediaan oral ke injeksi, dimaksudkan karena pasien tidak bisa menerima bentuk sediaan oral dikarenakan pasien mual dan muntah. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat obat, tetapi penggunaanya harus di pantau karena ranitidin injeksi

memimbulkan efek samping pada gastrointestisinal seperti konstipasi, mual, muntah (Mims, 2013). Pasien mengeluh belum BAB, pemberian dulcolax suppositoria diindikasikan untuk pasien yang menderita konstipasi dengan daya kerja sebagai laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang dulcolax merangsang gerakan peristaltik usus besar setelah hidrolisis dalam usus besar dan meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat obat. 4.1.4 Pengkajian Tepat Dosis Dan Waktu Pemberian Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol, dosis yang diberikan adalah 20 tetes/menit secara IV (intra vena). Umumnya tetesan atau kecepatan mengalir adalah 2 3 ml/menit atau sesuai kebutuhan (Ansel, 1989). Pemberian infus NaCl 0,9% digunakan untuk mencegah dan memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit pasien dikarenakan hasil pemeriksaan elektrolit dibawah normal dan keadaan pasien juga lemah, maka pemberian NaCl 0,9% sebagai pertimbangan terapi, tetapi diperlukan perhatian penuh, yaitu pasien harus membatasi konsumsi garam. Pemberian NaCl 0,9% sudah tepat dosis dan waktu pemberian. Metoklopramid diberikan dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 10 mg/ampul. Dosis lazim untuk dewasa umumnya yaitu 10 mg 3 kali sehari (Mims, 2013), tetapi untuk pasien gagal ginjal dengan bersihan kreatinin < 40 ml/menit adalah 5 mg setiap 6 jam (Anonim, 2012). Berdasarkan dosis

yang diresepkan dokter adalah 10 mg tiap 8 jam pada pagi, siang dan malam hari, maka pemberian metroklopramid injeksi tidak tepat dosis dan tidak tepat waktu pemberian. Omeprazole diberikan dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/kapsul. Dosis lazim untuk dewasa yakni 20 40 mg sehari (Mims, 2013). Berdasarkan dosis yang diberikan dokter 2 x sehari 20 mg pada pagi dan malam hari, maka pemberian dosis omeprazole sudah tepat dosis dan waktu pemberian. Ranitidin diberikan dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Dosis lazim untuk pasien gagal ginjal dengan bersihan kreatinin < 50 ml/menit adalah 50 mg/24 jam (Anonim, 2012). Dosis yang diresepkan dokter adalah 50 mg setiap 12 jam pada pagi dan malam hari, maka pemberian ranitidin injeksi tidak tepat dosis dan waktu pemberian. Pemberian ranitidin dengan dosis yang berlebihan dapat meningkatkan bioavaibilitas di dalam darah dikarenakan penurunan fungsi ginjal sehingga obat tidak seluruhnya di ekskresikan, dan hal tersebut dapat berbahaya bagi pasien (Dewoto, 2009). Dulcolax diberikan dalam bentuk suppositoria dengan kekuatan 10 mg. Dosis lazim untuk dewasa adalah satu kali sehari pada pagi hari (Anonim, 2014). Dosis yang diresepkan dokter adalah satu kali sehari pada malam hari, maka pemberian dulcolax suppositoria sudah tepat dosis tetapi tidak tepat waktu pemberian.

4.1.5 Pengkajian Tepat Cara Pemberian Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol secara intra vena yaitu melalui pembuluh darah vena di tangan (Ansel, 1989). Pemberian IVFD NaCl 0,9% sudah tepat cara pemberiannya. Metoklopramid diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 10 mg/ampul. Pemberian metoklopramid injeksi sudah tepat pemberiannya. Omeprazole diberikan secara peroral dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/tablet. Pemberian omeprazole tablet sudah tepat cara pemberiannya. Ranitidin diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat cara pemberiannya. Dulcolax diberikan dalam bentuk suppositoria dengan kekuatan 10 mg secara intra rektal yaitu dengan memasukkan suppositoria melalui lubang dubur (Ansel, 1989). Pemberian dulcolax suppositoria sudah tepat cara pemberiannya. 4.1.6 Pengkajian Efek Samping Setiap obat memiliki efek samping dan interaksi obat yang tidak diinginkan dalam terapi sehingga pengkajian terhadap efek samping dan interaksi obat oleh apoteker menjadi sangat penting untuk membantu dalam mengoptimalkan terapi pasien. Efek samping dan interaksi obat dari obat yang digunakan dalam terapi dapat dilihat pada Tabel 4.2.