BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah. semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23), keuangan daerah dapat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

APBD KABUPATEN GARUT TAHUN ANGGARAN ) Target dan Realisasi Pendapatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai berikut: Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perubahan kedua dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan pelaksanaan otonomi daerah

REPUBLIK INDONESIA SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH PROVINSI ( APBD 2013 ) PERHATIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

RINCIAN PENDAPATAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

REPUBLIK INDONESIA SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA ( REALISASI APBD 2012 ) PERHATIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG. LAPORAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN Desember 2015 dan 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. administrasi dan fungsi Pemerintah di daerah yang dilaksanakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI DUS BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Semakin besar jumlah penduduk maka semakin. jawab pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pusat dan daerah, bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari

BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA ( APBD 2015 )

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BONTANG TAHUN ANGGARAN 2001

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA ( REALISASI APBD 2014 )

1. Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun Anggaran Anggaran Setelah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

RETRIBUSI TERMINAL SEBAGAI SALAH SATU SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN/KOTA. Oleh. Zainab Ompu Zainah ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SURVEI STATISTIK KEUANGAN PEMERINTAH PROVINSI ( APBD 2015 )

BAB II TINJAUAN TENTANG PEMERINTAH DAERAH DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara

BAB 2 LANDASAN TEORI. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

USULAN SCOPING LAPORAN EITI 2014

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAPATAN PER-SKPD SEBELUM DAN SESUDAH P-APBD TA 2016

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

I. PENDAHULUAN. Proses desentralisasi pemerintahan yang dilakukan oleh Pemerintah. daerah memberikan konsekuensi terhadap Pemerintah Daerah untuk

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG BAGI HASIL PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH UNTUK DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PROVINSI JAWA TENGAH

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

PEMERINTAH KOTA PASURUAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

Transkripsi:

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD a. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/ dikuasi oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/ peraturan perundangan yang berlaku. Menurut Halim (2004 : 20), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik daerah. Keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Keuangan daerah dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Oleh sebab itu, keuangan daerah identik dengan APBD. (Saragih, 2003 : 12)

8 b. Pengertian dan unsur-unsur APBD Menurut Mamesah (1995 : 20), APBD dapat didefenisikan sebagai : rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, dimana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam 1 tahun anggaran tertentu, dan pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaranpengeluaran dimaksud. Pada era Orde Lama, defenisi APBD yang dikemukakan oleh Wajong (1962 : 81) dalam Halim (2002 : 16) adalah : rencana pekerjaan keuangan (financieel werkplan) yang dibuat untuk jangka waktu tertentu, dalam waktu mana badan legislatif (DPRD) memberikan kredit kepada badan eksekutif (kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar (grondslag) penetapan anggaran, dan yang menunjukkan semua penghasilan untuk menutup pengeluaran tadi. Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Menurut Bastian (2006 : 189), APBD merupakan pengejawantahan rencana kerja Pemda dalam bentuk satuan uang untuk kurun waktu satu tahunan dan berorientasi pada tujuan kesejahteraan publik. Menurut Saragih (2003 : 122), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu, umumnya satu tahun.

9 berikut : Unsur-Unsur APBD menurut Halim (2004 : 15-16) adalah sebagai 1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci. 2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaranpengeluaran yang akan dilaksanakan. 3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. 4. Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. c. Klasifikasi APBD Klasifikasi APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/ 2006 pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian, yaitu : pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dikelompokkan atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lainlain pendapatan daerah yang sah. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan piutang daerah. Pengeluaran pembiayaan mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. (Permendagri 13/ 2006) Oleh karena penelitian ini menggunakan laporan APBD yang memakai format Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002, maka APBD yang berdasarkan format tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu : pendapatan, belanja, dan pembiayaan.

10 Pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasi menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu : sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas : pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun sekarang. (Halim, 2004 : 18). 2. Dana Perimbangan dan Dana Alokasi Umum a. Pengertian Dana Perimbangan Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Saragih (2003 : 85) adalah : suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Menurut Saragih (2003 : 85), perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah (intergovernmental fiscal relations system), sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintahan.

11 Menurut Halim (2004 : 69), dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Menurut Saragih (2003 : 84), komponen dana perimbangan merupakan sumber penerimaan daerah yang sangat penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Dalam kebijakan fiskal, dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal. b. Klasifikasi Dana Perimbangan Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil pajak dan SDA yang disebut dengan Bagian Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). (Kadjatmiko, 2002 : 79). Menurut Undang-undang Nomor 25/ 1999 dalam Mardiasmo (2004 : 97), dana perimbangan dari Pemerintah Pusat terdiri dari (a) bagian daerah dan penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumberdaya alam; (b) Dana Alokasi Umum (DAU); dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK). Dari ketiga alokasi dana tersebut, DAU merupakan alokasi terbesar. Dana perimbangan menurut Saragih (2003 : 86) terdiri dari : 1. Dana bagi hasil dari : pajak bumi bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), PPh perorangan, dan penerimaan dari sumber daya alam, yakni minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Penetapan besarnya dana bagi hasil pajak dan nonpajak didasarkan atas persentase dengan tarif dan basis pajaknya. 2. Dana Alokasi Umum (DAU) atau sering disebut juga dengan block grant yang besarnya didasarkan atas formula.

12 3. Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK identik dengan special grant yang ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi yang sangat khusus, namun prosesnya tetap dari bawah (bottom-up). Klasifikasi dana perimbangan seperti yang disebutkan di atas sesuai dengan Kepmendagri 29/ 2002. Adapun klasifikasi dana perimbangan yang terbaru adalah berdasarkan Permendagri 13/ 2006, dimana dana perimbangan tersebut terdiri atas : dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum. Jenis dana alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah. c. Pengertian Dana Alokasi Umum (DAU) Menurut Halim (2004 : 141), Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Astuti dan Haryanto (2005 : 41), Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan : salah satu komponen di dalam dana perimbangan di APBN yang pengalokasiannya didasarkan atas formula dengan konsep kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal need) dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity). Selain dihitung berdasarkan formula dengan menggunakan fiscal gap, DAU juga dihitung dengan mempertimbangkan adanya faktor penyeimbang untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan daerah di dalam pembiayaan daerah dari hasil perhitungan formula fiscal gap. Menurut Saragih (2003 : 97), Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan komponen terbesar dari dana perimbangan dalam APBN.

13 d. Tujuan dan Fungsi Dana Alokasi Umum (DAU) Kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal antar daerah. Sebab tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama (horizontal fiscal imbalance). DAU sebagai bagian dari kebijakan transfer fiskal dari pusat ke daerah (intergovermental transfer) berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah. (Saragih, 2003 : 98). Menurut Mulia (2005 : 13), tujuan umum dari Dana Alokasi Umum adalah untuk : 1) Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal 2) Meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal. 3) Menginternalisasikan/ memperhitungkan sebahagian atau seluruh limpahan manfaat/ biaya kepada daerah yang menerima limpahan manfaat tersebut. 4) Sebagai bahan edukasi bagi pemerintah daerah agar secara intensif menggali sumber-sumber penerimaannya, sehingga hasil yang diperoleh menyamai bahkan melebihi kapasitasnya. Menurut Astuti dan Haryanto (2006 :41), DAU bertujuan sebagai instrumen untuk mengatasi masalah horizontal imbalances yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dimana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants). Menurut Saragih (2003 : 132), tujuan DAU di samping untuk mendukung sumber penerimaan daerah juga sebagai pemerataan (equalization) kemampuan keuangan pemerintah daerah. 3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2004 : 67), Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Menurut Kadjatmiko (2002 : 77), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah

14 penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. b. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Klasifikasi PAD yang terbaru berdasarkan Permendagri 13/ 2006 adalah terdiri dari : pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran/ cicilan penjualan. Menurut Halim (2004 : 67), Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu : pajak daerah, retribusi daerah, hasil

15 perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah. Klasifikasi PAD yang dinyatakan oleh Halim (2004 : 67) adalah sesuai dengan klasifikasi PAD berdasarkan Kepmendagri 29/ 2002. Pajak Daerah Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam Saragih (2003 : 61), yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Menurut Halim (2004 : 67), pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Jenis-jenis pajak daerah untuk kabupaten/ kota menurut Kadjatmiko (2002 : 77) antara lain ialah : 1) Pajak hotel 2) Pajak restoran 3) Pajak hiburan 4) Pajak reklame 5) Pajak penerangan jalan 6) Pajak pengambilan bahan galian golongan C 7) Pajak parkir

16 Retribusi Daerah Yang dimaksud dengan retribusi menurut Saragih (2003 : 65) adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan, Menurut Halim (2004 : 67), Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi daerah. 1. Retribusi untuk kabupaten dan kota ditetapkan sesuai kewenangan masing-masing daerah terdiri dari : 10 jenis retribusi jasa umum, 4 jenis retribusi perizinan tertentu. 2. Retribusi untuk kabupaten dan kota ditetapkan sesuai jasa/ pelayanan yang diberikan oleh masing-masing daerah terdiri dari 13 jenis retribusi jasa usaha. (Kadjatmiko, 2002 : 78) Jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/ kota meliputi objek pendapatan berikut : i. Retribusi pelayanan kesehatan ii. Retribusi pelayanan persampahan/ kebersihan iii. Retribusi penggantian biaya cetak KTP iv. Retribusi penggantian biaya cetak akta catatan sipil v. Retribusi pelayanan pemakaman vi. Retribusi pelayanan pengabuan mayat vii. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum viii. Retribusi pelayanan pasar ix. Retribusi pengujian kendaraan bermotor x. Retribusi pemeriksaaan alat pemadam kebakaran xi. Retribusi penggantian biaya cetak peta xii. Retribusi pengujian kapal perikanan xiii. Retribusi pemakaian kekayaan daerah xiv. Retribusi jasa usaha pasar grosir atau pertokoan xv. Retribusi jasa usaha tempat pelelangan xvi. Retribusi jasa usaha terminal xvii. Retribusi jasa usaha tempat khusus parkir xviii. Retribusi jasa usaha tempat penginapan/ pesanggrahan/ villa xix. Retribusi jasa usaha penyedotan kakus xx. Retribusi jasa usaha rumah potong hewan xxi. Retribusi jasa usaha pelayanan pelabuhan kapal xxii. Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olahraga xxiii. Retribusi jasa usaha penyeberangan di atas air

17 xxiv. Retribusi jasa usaha pengolahan limbah cair xxv. Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah xxvi. Retribusi izin mendirikan bangunan xxvii. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol xxviii. Retribusi izin gangguan xxix. Retribusi izin trayek (Halim, 2004 : 68) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan Menurut Halim (2004 :68), Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Menurut Halim (2004 : 68), jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut (a) bagian laba perusahaan milik daerah, (b) bagian laba lembaga keuangan bank, (c) bagian laba lembaga keuangan nonbank, (d) bagian laba atas penyertaan modal/ investasi. Lain-lain PAD yang sah Menurut Halim (2004 : 69), pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Menurut Halim (2004 : 69), jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut (a) hasil penjualan asset daerah yang tidak dipisahkan, (b) penerimaan jasa giro, (c) penerimaan bunga deposito, (d) denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, (e) penerimaan ganti rugi atas kerugian/ kehilangan kekayaan daerah.

18 4. Pendapatan Lain-lain Yang Dianggap Sah Menurut Halim (2004 : 69), sebelum munculnya Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, pendapatan ini diklasifikasikan dalam Dana Perimbangan. Dengan adanya Kepmendagri tersebut, pendapatan ini digolongkan tersendiri. Kelompok pendapatan ini menurut Halim (2004 : 69) meliputi jenis pendapatan berikut (a) bantuan dana kontijensi/ penyeimbang dari pemerintah, (b) dana darurat. Klasifikasi terbaru dari pendapatan lain-lain yang dianggap sah adalah berdasarkan Permendagri 13/ 2006, dimana pendapatan lain-lain yang dianggap sah terdiri atas : (a) hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/ lembaga/ organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/ perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat (b) dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/ kerusakan akibat bencana alam (c) dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/ kota (d) dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (e) bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. 5. Belanja Daerah a. Pengertian Belanja Daerah Menurut Abdullah dan Halim (2003 : 1145), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya.

19 Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. b. Klasifikasi Belanja Daerah Belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri 13/ 2006 terdiri atas : yakni : belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bentuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Menurut Halim (2004 : 18), belanja daerah digolongkan menjadi 4, Belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Klasifikasi belanja daerah yang dikemukakan oleh Halim (2004 : 18) sesuai dengan klasifikasi belanja daerah menurut Kepmendagri 29/ 2002. Belanja Administrasi Umum Menurut Halim (2004 : 70), belanja administrasi umum adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan publik dan bersifat periodik.

20 Menurut Halim (2004 : 70), kelompok belanja administrasi umum terdiri atas 4 jenis belanja, yaitu (a) belanja pegawai/ personalia, (b) belanja barang dan jasa, (c) belanja perjalanan dinas, (d) belanja pemeliharaan. Menurut Halim (2004 : 70), jenis belanja pegawai/ personalia merupakan belanja pemerintah daerah untuk orang/ personel yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai. Jenis belanja pegawai/ personalia untuk belanja aparatur daerah meliputi objek belanja : a. Gaji dan tunjangan kepala daerah/ wakil kepala daerah b. Gaji dan tunjangan pegawai c. Biaya perawatan dan pengobatan d. Biaya pengembangan sumber daya manusia (Halim, 2004 : 70) Jenis belanja pegawai/ personalia untuk bagian belanja pelayanan publik meliputi objek belanja : a. Belanja tetap dan tunjangan pimpinan dan anggota DPRD b. Gaji dan tunjangan kepala daerah/ wakil kepala daerah c. Gaji dan tunjangan pegawai daerah d. Biaya perawatan dan pengobatan e. Biaya pengembangan sumber daya manusia (Halim, 2004 : 70) Menurut Halim (2004 : 71), jenis belanja barang dan jasa merupakan belanja pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa. Jenis belanja barang dan jasa untuk bagian belanja aparatur daerah terdiri atas objek belanja berikut : a. Biaya bahan pakai habis kantor b. Biaya jasa kantor c. Biaya cetak dan penggandaan keperluan kantor d. Biaya sewa kantor e. Biaya makanan dan minuman kantor f. Biaya pakaian dinas g. Biaya bunga utang h. Biaya depresiasi gedung (operasional) i. Biaya depresiasi alat angkutan (operasional)

21 j. Biaya depresiasi alat kantor dan rumah tangga k. Biaya depresiasi alat studio dan alat komunikasi (operasional) (Halim, 2004 : 71) Jenis belanja ini untuk bagian belanja pelayanan publik terdiri atas objek belanja berikut ini : a. Biaya bahan pakai habis kantor b. Biaya jasa kantor c. Biaya cetak dan penggandaan keperluan kantor d. Biaya sewa kantor e. Biaya makanan dan minuman kantor f. Biaya pakaian dinas g. Biaya bunga utang h. Biaya depresiasi gedung (operasional) i. Biaya depresiasi alat-alat besar (operasional) j. Biaya depresiasi alat angkutan (operasional) k. Biaya depresiasi alat bengkel dan alat ukur (operasional) l. Biaya depresiasi alat pertanian (operasional) m. Biaya depresiasi alat kantor dan rumah tangga n. Biaya depresiasi alat studio dan alat komunikasi (operasional) o. Biaya depresiasi alat-alat kedokteran (operasional) p. Biaya depresiasi alat-alat laboratorium (operasional) (Halim, 2004 : 71) Menurut Halim (2004 : 71), belanja perjalanan dinas merupakan jenis belanja pemerintah daerah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan. Menurut Halim (2004 :71), objek belanja dari jenis belanja ini untuk bagian belanja aparatur daerah meliputi biaya perjalanan dinas, sedangkan untuk bagian belanja pelayanan publik meliputi biaya perjalanan dinas, biaya perjalanan pindah, dan biaya pemulangan pegawai yang gugur dan dipensiunkan. Menurut Halim (2004, 71), belanja pemeliharaan merupakan belanja pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah. Objek belanja dari jenis belanja pemeliharaan untuk bagian belanja aparatur daerah terdiri atas : a. Biaya pemeliharaan bangunan gedung b. Biaya pemeliharaan alat-alat angkutan

22 c. Biaya pemeliharaan alat-alat kantor dan rumah tangga d. Biaya pemeliharaan alat-alat studio dan alat komunikasi e. Biaya pemeliharaan buku perpustakaan f. Biaya pemeliharaan alat-alat persenjataan (Halim, 2004 : 71-72) Objek Belanja untuk Jenis Belanja Pemeliharaan untuk Bagian Belanja Pelayanan Publik terdiri atas : a. Biaya pemeliharaan jalan dan jembatan b. Biaya pemeliharaan bangunan air (irigasi) c. Biaya pemeliharaan instalasi d. Biaya pemeliharaan jaringan e. Biaya pemeliharaan bangunan gedung f. Biaya pemeliharaan monumen g. Biaya pemeliharaan alat-alat besar h. Biaya pemeliharaan alat-alat angkutan i. Biaya pemeliharaan alat-alat bengkel j. Biaya pemeliharaan alat-alat pertanian k. Biaya pemeliharaan alat-alat kantor dan rumah tangga l. Biaya pemeliharaan alat-alat studio dan alat komunikasi m. Biaya pemeliharaan alat-alat kedokteran n. Biaya pemeliharaan alat-alat laboratorium o. Biaya pemeliharaan buku perpustakaan p. Biaya pemeliharaan barang bercorak kesenian, kebudayaan q. Biaya pemeliharaan hewan, ternak, serta tanaman r. Biaya pemeliharaan alat-alat persenjataan (Halim, 2004 : 72). Belanja Operasi dan Pemeliharaan Menurut Halim (2004 : 72), belanja operasi dan pemeliharaan merupakan semua belanja pemerintah daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Menurut Halim (2004 : 72), kelompok belanja ini meliputi jenis belanja : (a) belanja pegawai/ personalia, (b) belanja barang dan jasa, (c) belanja perjalanan dinas, (d) belanja pemeliharaan.

23 Menurut Halim (2004 : 72), jenis belanja pegawai/ personalia untuk bagian belanja aparatur daerah maupun pelayanan publik meliputi objek belanja berikut (a) honorarium/ upah, (b) uang lembur, (c) insentif. Jenis belanja barang dan jasa baik untuk bagian belanja aparatur daerah maupun pelayanan publik meliputi objek belanja : a. Biaya bahan/ material b. Biaya jasa pihak ketiga c. Biaya cetak dan penggandaan d. Biaya sewa e. Biaya makanan dan minuman f. Biaya bunga utang g. Biaya pakaian kerja. (Halim, 2004 : 72-73) Jenis belanja perjalanan dinas dan jenis belanja pemeliharaan memiliki klasifikasi yang sama dengan klasifikasi jenis belanja ini pada kelompok belanja administrasi umum, baik untuk bagian belanja aparatur daerah maupun pelayanan publik. (Halim, 2004 : 73) Belanja Modal Menurut Halim (2004 : 73), belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Kelompok belanja ini mencakup jenis belanja berikut, baik untuk bagian aparatur daerah maupun pelayanan publik : a. Belanja modal tanah b. Belanja modal jalan dan jembatan c. Belanja modal bangunan air (irigasi) d. Belanja modal instalasi e. Belanja modal jaringan f. Belanja modal bangunan gedung g. Belanja modal monumen

24 h. Belanja modal alat-alat besar i. Belanja modal alat-alat angkutan j. Belanja modal alat-alat bengkel k.belanja modal alat-alat pertanian l. Belanja modal alat-alat kantor dan rumah tangga m. Belanja modal alat-alat studio dan alat-alat komunikasi n. Belanja modal alat-alat kedokteran o. Belanja modal alat-alat laboratorium p. Belanja modal buku/ perpustakaan q. Belanja modal barang bercorak kesenian, kebudayaan r. Belanja modal hewan, ternak, serta tanaman s. Belanja modal alat-alat persenjataan/ keamanan. (Halim, 2004 : 73) Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Menurut Halim (2004 : 73), belanja bagi hasil dan bantuan keuangan berbentuk kegiatan pengalihan uang dan atau barang dari Pemerintah Daerah. Menurut Halim (2004 : 73), kelompok belanja bagi hasil dan bantuan keuangan terkhusus bagi kabupaten/ kota terdiri atas jenis belanja berikut (hanya untuk bagian belanja pelayanan publik) : (a) belanja bagi hasil retribusi kepada Pemerintah Desa, (b) belanja bantuan keuangan kepada Pemerintah Desa/ Kelurahan, (c) belanja bantuan keuangan kepada organisasi kemasyarakatan, (d) belanja bantuan keuangan kepada organisasi profesi. Belanja Tidak Tersangka Menurut Halim (2004 : 73), kelompok belanja tidak tersangka adalah belanja Pemerintah Daerah untuk pelayanan publik dalam rangka mengatasi bencana alam dan atau bencana sosial. Kelompok belanja ini terdiri atas jenis belanja tidak tersangka.

25 6. Pengaruh DAU, PAD dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah terhadap belanja daerah dalam APBD Menurut Halim dan Nasir (2006 : 43), salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan daerah adalah kemampuan keuangan daerah yang memadai. Semakin besar keuangan daerah semakin besar pula kemampuan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan daerah. Secara teoritis, menurut Abdullah dan Halim (2003 : 1142), pengaruh DAU terhadap belanja daerah mempunyai efek distributif dan alokatif yang tidak berbeda dengan sumber pendanaan lain. Namun pada kenyataannya, stimulus terhadap pengeluaran daerah yang ditimbulkan oleh transfer atau grants sering lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan daerah sendiri. Menurut Astuti dan Haryanto (2003 : 39), DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat sebaiknya hanya bersifat suplemen bagi pelaksanaan pemerintah dan pembangunan di daerah. Namun yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya yaitu daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama DAU. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Astuti dan Haryanto, Halim dan Nasir (2006 : 43) menyatakan bahwa : dana perimbangan jangan sampai menjadi sumber terpenting bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD). Bila ini terjadi maka keuangan daerah akan tergantung dari keuangan pusat, dan ini tidak sesuai dengan semangat otonomi. Dalam otonomi daerah, sumber keuangan asli daerah harus menjadi andalan utama bagi pembiayaan APBD.

26 Menurut Saragih (2003 : 106), untuk menutupi kebutuhan pengeluaran (expenditure assigment), dana DAU masih memegang peran utama. Peran PAD dalam APBD masih relatif kecil. Hal senada juga dikemukakan oleh Devas (1999) dalam Halim dan Nasir (2006 : 44) yang menyatakan bahwa kewenangan Daerah Tingkat II menunjukkan ketergantungan yang lebih besar pada sumbangan dari atas yaitu 73% dari anggaran rutin dan 87% dari anggaran pembangunan berasal dari pemerintah pusat. Dari penerimaan Daerah Tingkat II secara keseluruhan sumber PAD sendiri menyumbang 10%. Astuti dan Haryanto (2005 : 39) menyatakan bahwa PAD inilah yang sebanarnya menjadi barometer utama suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Diharapkan dengan adanya otonomi, kemandirian daerah dapat diwujudkan yang dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat. Kaho (1995) dalam Halim dan Nasir (2006 : 43) juga menyatakan bahwa suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah masih rendahnya penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Daerah Tingkat II. Belum ada satupun DATI II di Indonesia yang dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya secara penuh (100%) baik secara keseluruhan maupun urusan demi urusan. B. Tinjauan Penelitian Terdahulu Abdullah dan Halim (2003) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh pendapatan daerah terhadap belanja daerah di Indonesia dengan menggunakan sampel sebanyak 70 kabupaten dan 20 kota di provinsi Jawa

27 Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Bali. Pendapatan daerah terdiri dari DAU (Dana Alokasi Umum), PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan Pajak Daerah, sementara Belanja Daerah adalah jumlah total pengeluaran daerah selama satu tahun anggaran yang terdapat dalam laporan APBD. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data cross section yakni data tahun 2001 dan 2002 dari laporan APBD Pemda yang diperoleh dari situs Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Statistik yang digunakan dalam penelitian Abdullah dan Halim (2003) ini adalah regresi sederhana (simple regression) dan regresi berganda (multiple regression). Regresi sederhana dipakai untuk melihat pengaruh jumlah DAU, pajak daerah dan PAD secara terpisah terhadap jumlah belanja. Regresi berganda digunakan dengan tujuan untuk memprediksi apakah komponen-komponen pendapatan daerah tersebut secara serentak mempengaruhi belanja daerah. Hasil penelitian Abdullah dan Halim (2003) menunjukkan bahwa secara terpisah dan atau secara bersama-sama DAU dan PAD berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah. Astuti dan Haryanto (2005) melakukan penelitian untuk menganalisis Dana Alokasi Umum (DAU) dalam era otonomi daerah dengan studi kasus terhadap 30 propinsi. Data dalam penelitian Astuti dan Haryanto diperoleh dari instansi Departemen Keuangan DJAPK Subdirektorat Dana Perimbangan dan dari instansi BPS Pusat. Adapun periode waktu yang digunakan terdiri dari data time series mulai tahun 2002 hingga tahun 2004, yang dikombinasikan dengan data cross section pada 30 propinsi yang dipilih

28 sebagai daerah sampel. Pengolahan data adalah dengan menggunakan metode regresi Genaralized Least Square (GLS) secara Section Weight. Hasil analisis yang dilakuakan Astuti dan Haryanto (2005) menunjukkan bahwa DAU berperan secara signifikan bagi daerah di era otonomi. Halim dan Nasir (2006) melakukan penelitian dengan mengangkat judul kajian tentang keuangan daerah pemerintah kota Malang. Data yang digunakan dalam penelitian Halim dan Nasir adalah data sekunder yang diperoleh dari Dispenda bagian keuangan dan Bappeda Pemerintahan kota Malang. Data tersebut meliputi : (a) data tentang APBD lima tahun terakhir, (b) data tentang penerimaan keuangan daerah bersumber dari PAD lima tahun terakhir, (c) data tentang PAD lima tahun terakhir, (d) data pertumbuhan PAD per jenis objek penerimaan lima tahun terakhir, (e) data tentang pengeluaran daerah lima tahun terakhir. Dengan kata lain data yang digunakan adalah data mulai dari tahun 2000 hingga tahun 2004. Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian Halim dan Nasir (2006) adalah menggunakan metode deskriptif. Dari hasil penelitian yang dilakukan Halim dan Nasir (2006) diketahui bahwa kemampuan PAD kota Malang untuk menopang pengeluaran daerah masih rendah karena selama tahun 2000-2004 hanya mampu memberikan konstribusi rata-rata sebesar 15,51%, sehingga ketergantungan Pemkot Malang terhadap sumber keuangan lain masih tinggi. Usman (1997) dalam Halim dan Nazir (2006 : 44) melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan mengangkat judul peran PAD dalam APBD studi evaluasi kebijakan peningkatan PAD kodya Bandar Lampung. Hasil

29 penelitiannya menunjukkan bahwa sumber PAD belum memberikan kontribusi yang maksimal dalam APBD. Devas (1999) dalam Halim dan Nasir (2006 : 44) menyatakan bahwa kewenangan daerah tingkat II menunjukkan ketergantungan yang lebih besar pada sumbangan dari atas yaitu 73% dari anggaran rutin dan 87% dari anggaran pembangunan berasal dari pemerintah pusat. Dari penerimaan daerah tingkat II secara keseluruhan sumber PAD sendiri meyumbang 10%.