II. TINJAUAN PUSTAKA. sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara untuk mencapai tujuantujuan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau corruptus yang mempunyai arti kerusakan atau kebobrokan. sebagainya. Selain itu korupsi juga diartikan sebagai:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi dalam konsep hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dahulu mendapat Surat Izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ensiklopedia Indonesia disebut korupsi (dari bahasa Latin : corruptio =

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1.

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan analisis pembahasan, hasil penelitian yang penulis

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSUS STATUS MATA KULIAH : LOKAL WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

II. TINJAUAN PUSTAKA. semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan

KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING )

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

ETIK UMB. Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Modul ke: 09Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Formulasi Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh sekelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara untuk mencapai tujuantujuan itu. Pengambilan keputusan sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh lapisan masyarakat. (M. Hamdan, 1997 : 3) Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat ( social defense) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat ( social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utamanya ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai kesejahteraan masyarakat diperlukan suatu perundangundangan yang baik, untuk itu setiap negara memiliki badan yang bertugas dan berwenang untuk membuat peraturan-peraturan yang dikehendaki untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat guna mencapai apa yang telah dicita-citakan, yang disebut dengan badan pembuat undang-undang (badan legislatif). Perumusan suatu peraturan perundangan, dilihat sebagai bagian dari politik hukum pidana. Makna politik pidana hukum itu sendiri, mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang baik. (M. Hamdan, 1997 : 6)

Kebijakan legislatif merupakan kebijakan ( policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-perundangan. Oleh karena itu, kebijakan legislatif sering juga disebut dengan istilah kebijakan formulatif. (Barda Nawawi Arief, 2002 : 223) Kebijakan formulatif merupakan tahap paling strategis dari keseluruhan proses operasional/fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana. Kebijakan formulasi yang diberikan dalam suatu rancangan undang-undang merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana. Melaksakan politik hukum pidana berarti mengusahakan mewujudkan peraturan perundangan-perundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang sekaligus melakukan pembaharuan terhadap hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan itu hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan. Makna dan hakikat pembaharuan hukum dilihat dari sudut pendekatan kebijakan menurut Barda Nawawi Arief (2002 : 28) adalah : 1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk menguasai masalah-masalah sosial dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional. 2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat. 3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum dalam rangka lebih mengefektifkan hukum.

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptions atau corruptus (Webster Student Dictionary : 1960), yang berarti kerusakan dan kebobrokan. Korupsi dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang dibidang keuangan. Istilah korupsi di beberapa negara, yaitu gin moung (Muangthai) yang berarti makan bangsa, tanwu (China) yang berarti keserakahan bernoda, oshoku (Jepang) yang berarti kerja kotor, (Sudarto : 122). Kemudian muncul dalam berbagai bahasa Eropa seperti Inggris dan Perancis yaitu corruption dan muncul pula dalam pembendaharaan bahasa Indonesia dengan istilah korupsi. Arti harfiah dari kata korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina, memfitnah dan lain sebagainya, (Martiman Prodjohamijo, 2002:7). Kemudian arti kata korupsi telah diterima dalam pembendaharaan bahasa Indonesia dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya, (Andi Hamzah, 1991:7). Secara sosiologis, korupsi merupakan tindakan desosialisasi, yaitu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial, mengabaikan kepedulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan hak individunya dapat dipenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. (Andi Hamzah, 1991:7). W.J.S. Poerwadarminta (1994:524) berpendapat bahwa korupsi adalah perbuatan yang buruk (seperti penggelapan, penerimaan uang sogok dan sebagainya). Perbuatan korupsi dilakukan

bukan saja oleh Pegawai Negeri Sipil akan tetapi juga meliputi orang yang menangani proses pemberian pelayanan yang menerima gaji atau upah dari suatu badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum yang mempergunakan bantuan negara secara illegal. Tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 meliputi perbuatanperbuatan yang cukup luas cakupannya. Sumber perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dapat digolongkan ke dalam dua golongan : 1. Perumusan yang dibuat sendiri oleh pembuat Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. 2. Pasal KUHP yang ditarik ke dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 16. Pasal-pasal KUHP yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 5 sampai Pasal 12. Meliputi 13 Pasal yaitu Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 419, 420, 423, 425, dan Pasal 345, dengan ditariknya Pasal-pasal KUHP tersebut menjadi tindak pidana korupsi, maka ancaman hukumannya berlaku dalam Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999. Pengertian tindak pidana korupsi, menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yaitu : 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1)). 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahkangunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara (Pasal 3). 3. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP (Pasal 5 sampai dengan Pasal 12).

4. Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri Sipil dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13). 5. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15). 6. Setiap orang di luar Wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 19). Pasal 2 ayat (1) di atas, ditemukan unsur-unsur berikut : a. Melawan hukum b. Memperkaya diri sendri atau orang lain atau suatu korporasi c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, unsur melawan hukum diterangkan mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil ataupun dalam arti materil. Meskipun perbuatan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum memperkaya diri diri adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya lagi dengan cara yang tidak patut. Perbuatan ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya menandatangi kontrak, memindahbukukan rekening dalam bank dengan cara melawan hukum.

Pasal 2 ayat (1) Undang -Undang Nomor 31 tahun 1999 disebutkan bahwa, perbuatan untuk memperkaya diri tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi si pelaku saja, tetapi juga diperuntukkan bagi orang lain atau suatu korporasi. Kata Dapat sebelum frasa-frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara, dalam Pasal 2 ayat (1) menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil. Adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat, sedangkan yang dimaksud keuangan negara dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 disebutkan yaitu : setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209,

210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423 dan 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a. Memberi hadiah atau janji. b. Kepada Pegawai Negeri Sipil (seperti yang dimaksud Pasal 1 ayat (2)). c. Dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu kewenangan yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 menyebutkan : a. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang. b. Pelanggaran tersebut sebagai tindak pidana korupsi. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 apabila dilihat lebih lanjut maka akan ditentukan tindak pidana korupsi yaitu : a. Percobaaan untuk melakukan tindak pidana korupsi seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3, 5 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini. b. Pembantuan untuk melakukan tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini. c. Pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3, 5 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini. Pasal 16, pembantuan untuk melakukan tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3, 5 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini dinyatakan bahwa Setiap orang di luar Wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk

terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5 sampai dengan Pasal 14. Penjelasan Pasal 16, Pembantuan untuk melakukan tindak pidana seperti disebutkan dalam Pasal 2, 3, 5 sampai Pasal 14 dari undang-undang ini dikemukakan bahwa ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan, dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Kartini Kartono (1981:157), korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna menegak keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis tindak pidana (perbuatan melanggar hukum) yang bersifat khusus dimana tindak pidana ini semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana umum. Menurut Bambang Poernomo (1999 : 115), Salah satu jenis kejahatan yang semakin sulit dijangkau oleh hukum pidana ialah kejahatan korupsi. Perbuatan korupsi ( corruptie) merupakan suatu perbuatan curang (figbearoven) dan tidak jujur (Oneer lijk) yang bermula sebagai perbuatan jahat yang memerlukan kemampuan (intelegensia) dengan pola perbuatan yang demikian itu kemudian paling mudah ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat dianalisa bahwa tindak pidana korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang di mana tindakan ini merugikan keuangan dan perekonomian negara, tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang dapat menghilangkan hak orang lain dan mengorbankan kepentingan orang lain yang termasuk juga kepentingan negara. Kejahatan korupsi adalah kejahatan yang bersifat terorganisir dan terstruktur yang melibatkan lembaga negara dan instansi pemerintahan. C. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pembuktian dalam perkara korupsi berbeda dengan pembuktian dalam perkara biasa, terutama berkaitan dengan peranan terdakwa dalam pembuktian. Prinsip pembuktian dalam perkara pidana biasa didasarkan pada asas presumption of innocence, di mana setiap orang tidak boleh di anggap bersalah sebelum ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan asas tersebut maka dalam pemeriksaan sidang pengadilan yang harus membuktikan setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana adalah penuntut umum, sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 66 KUHAP. Hal ini sedikit berbeda dalam perkara korupsi di mana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 37 ayat (1) Undang -Undang Nomor 20 tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut : Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi Perkara Tindak Pidana korupsi, meskipun terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi akan tetapi di lain pihak penuntut umum

tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Dengan kata lain meskipun terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, tidak berarti ia tidak melakukan korupsi dan terbebas dari segala tuduhan tetapi itu semua masih tergantung pada pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum. Pembuktian seperti ini disebut pembuktian terbalik yang terbatas. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan : Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menetukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya Pembuktian yang dilakukan terdakwa hanya bersifat sebagai sesuatu yang menguntungkan atau merugikannya. Apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaannya tidak terbukti (Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001), Sedangkan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan yang diberikan digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 A ayat (2) Undang -Undang Nomor 20 tahun 2001). Beberapa ketentuan khusus yang terdapat dalam penyelesaian perkara korupsi yaitu :

1. Ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. 2. Ketentuan Pasal 28 jo Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang di duga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. 3. Ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang penorobosan rahasia bank. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntututan atau pemeriksaan disidang pengadilan, peyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. 4. Ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terpenuhi, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka dapat dilakukan gugatan perdata. Apabila terdakwa diputus bebas, maka hal itu tidak menghapuskan hak atau menuntut kerugian negara. 5. Meninggalnya tersangka atau terdakwa tidak menyebabkan berhentinya penuntutan dan pemeriksaan perkara. Gugatan akan diajukan kepada ahli warisnya berupa gugatan perdata. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

6. Dalam perkara korupsi, dimungkinkan dilanjutkannya persidangan tanpa dihadiri oleh terdakwa, apabila terdakwa telah dipanggil secara sah oleh pengadilan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. 7. Adanya pidana tambahan dalam perkara korupsi selain pidana tambahan yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pidana dalam perkara korupsi diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999, yaitu berupa : a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. 8. Penyebutan orang-orang yang dapat dikecualikan sebagai saksi dalam perkara korupsi memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding ketentuan yang diatur untuk perkara pidana biasa. Orang-orang yang dikecualikan sebagai saksi dalam perkara korupsi meliputi ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa (Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999). 9. Diberlakukannya pembuktian terbalik.

Dalam perkara korupsi, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi di samping kewajiban penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya. Hal ini berbeda dengan pembuktian dalam perkara pidana biasa di mana terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP). D. Macam-macam Alat Bukti 1. Keterangan saksi Hal ini diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP dan Pasal 1 butir 27 KUHAP sebagai berikut : a. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penununtutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. (Pasal 1 butir 26 KUHAP) b. Keterangan adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (Pasal 1 butir 21 KUHAP ) 2. Keterangan Ahli Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, bahkan tempatnya diletakkan pada urutan ke dua setelah alat bukti keterangan saksi. Melihat letak urutannya, pembuat undang-undang menilainya sebagai salah satu alat bukti yang penting artinya dalam pemeriksaan perkara pidana. (M Yahya Harah ap, 2001:275). Ketentuan Pengertian tentang keterangan ahli terdapat dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yaitu :

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah : a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskracht. Di dalamnya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menetukan. Terserah pada hakim, hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. b. Keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lainnya. (M. Yahya Harahap, 2001:284). 3. Surat Berkaitan dengan alat bukti, Soedikno Mertokusumo (1998:75) menyatakan bahwa alat bukti tertulis atau surat adalah : Segala seseuatu yang memuat tanda-tanda baca yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda baca, atau meskipun memuat tanda-tanda baca akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat. Menurut pasal 187 KUHAP, suatu surat padat dinilai sebagai alat bukti yang sah ialah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yaitu : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat diahadapannya, yang membuat keterangan tentang kejadian

atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan. c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain. 4. Petunjuk Ketentuan mengenai alat bukti petunjuk terdapat dalam pasal 188 KUHAP yang menyebutkan sebagai berikut : 1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi b. Surat c. Keterangan terdakwa 3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. 5. Keterangan Terdakwa Pengertian tentang keterangan terdakwa terdapat dalam KUHAP Pasal 189 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri dan ia alami sendiri.

Dari ketentuan tersebut di atas, bahwa keterangan terdakwa yang menjadi alat bukti adalah keterangan terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri dan diberikan di dalam persidangan atau diluar sidang pengadilan. E. Pembuktian Terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Delik korupsi adalah sebagaimana juga delik pidana pada umumnya dilakukan dengan berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara yang semakin canggih dan rumit. Sehingga banyak perkara-perkara/delik korupsi lolos dari jaringan sistem pembuktian KUHAP. Karena itu pembuktian undang-undang mencoba menerapkan upaya hukum pembuktian terbalik, sebagaimana diterapkan dalam sistem beracara pidana di Malaysia. Upaya hukum pembuktian terbalik ini telah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Penerapan hukum pembuktian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu menggunakan hukum pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang (Pasal 37). P enjelasan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga

mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sistem pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 47 yaitu : 1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, wajib membuktikan sebaliknya terhadap Kekayaan miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa Kekayaan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, Kekayaan tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian Kekayaan tersebut dirampas untuk negara. 3. Tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok. 4. Pembuktian bahwa Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi. 5. Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4). 6. Dalam hal terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok maka tuntutan Perampasan Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim. Pembuktian terbalik dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, jika ia tidak berhasil membuktikan maka ia berarti terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap pemberian kepada pegawai negeri yang nilainya di atas Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sedangkan yang nilainya di bawah Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) masih menggunakan sistem pembuktian biasa. Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang telah di atur dalam KUHAP, dalam hal ini berlaku asas lex specialist derogate lex generali. Selain itu ini merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh

untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah menjamin kebahagian sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya. (C.S.T Kansil, 1989 : hal 44). Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara.

DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. Cansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hamdan, M. 1997. Poltik Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia dan Pemecahannya. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Harahap Yahya, M. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial (jilid 1). Rajawali. Jakarta. Mertokusumo, Soedikno. 1998. Hukum Acara Perdata. Liberty. Yokyakarta. Poernomo, Bambang. 1999. Kebijakan Non Panel Dua Menanggulangi Kejahatan Korupsi, Seminar nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi, 11 September 1990 Projdohamidjo, Martiman. 2011. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 199). Bandar Maju. Bandung Sudarto. 2000, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Hukum dan Pidana, Bandung. Hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi