BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diare merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di dunia, terutama pada anak-anak, di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. WHO (2000) memperkirakan, 4 miliar kasus terjadi di dunia, 2,2 juta di antaranya meninggal, sebagian besar anak-anak di bawah umur 5 tahun. Di Indonesia pada tahun 2006, angka kesakitan diare semua umur sebesar 423 per 1.000 penduduk, angka kesakitan meningkat bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 terjadi 49 kejadian luar biasa (KLB) dengan jumlah penderita sebanyak 8.133 orang, meninggal 239 (CFR 2,94%), tahun 2009 terjadi 24 KLB dengan jumlah penderita sebanyak 5.756 orang, meninggal 100 orang (CFR 1,74%) dan pada tahun 2010 terjadi 33 KLB dengan jumlah penderita sebanyak 4.204, meninggal sebanyak 73 orang (CFR 1,74%). Di Provinsi Bengkulu, kejadian diare mencapai 2.275,49 per 100.000 penduduk dan di Kabupaten Rejang Lebong kejadian diare 6 per 1.000 penduduk (Dinkes Rejang Lebong, 2011). Meskipun pada tahun 2010 secara nasional dilaporkan terjadi penurunan sebesar 411 per 1.000 penduduk, tetapi penurunan ini masih sangat kecil, karena diare masih menjadi penyakit pembunuh kedua setelah radang paru-paru atau pneumonia, dan penyakit ini masih menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit (Kemenkes, 2011). Hasil penelitian kohort prospektif Melo, et al. (2008) di kota Salvador, Brasil, memperoleh hasil tingkat kejadian diare 2,8 episode per anak per tahun dan setiap anak mengalami diare 11,1 hari per tahun. Angka kejadian tertinggi ditemukan di antara anak di bawah 1 tahun, pada saat awal penyapihan atau pada anak kurang gizi, imunisasi tidak lengkap dan pneumonia sebelumnya. Penelitian Gorter, et al. (1998) di Nicaragua menunjukkan dari 1.641 episode sakit terdapat 824 atau 50,24% adalah diare dan di Nairobi, Kenya dari 920 anak yang
diobservasi selama 14 bulan kejadian diare mencapai 1,496 kali atau 3,5 episode per anak per tahun (Mirza et al., 1997). Angka kesakitan akibat diare sering dijadikan salah satu indikator kesakitan pada keluarga. Selain kejadian penyakit ini mudah untuk diamati dan diidentifikasi faktor-faktor predisposisi maupun pencetusnya, masa inkubasi pada penyakit ini relatif lebih cepat dan perubahan penderita pada kondisi yang lebih buruk lebih cepat pula. Dengan demikian, ada kecenderungan penderita atau keluarga segera datang ke fasilitas kesehatan untuk meminta pertolongan, sehingga akan memudahkan tenaga kesehatan melakukan pemantauan terhadap daerah yang terjangkit penyakit tersebut. Pada awalnya, melalui program pemberantasan penyakit diare (P2D), sanitasi lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), jamban, kualitas bakterologis air, saluran pembuangan air limbah (SPAL) dan kondisi rumah diidentifikasi sebagai faktor risiko penyebab diare yang dominan (Adisasmito, 2007), sehingga pengendalian terhadap lingkungan merupakan tindakan yang dianggap paling tepat untuk mengatasi dan mencegah terjadinya diare. Namun, kajian faktor lingkungan memiliki kecenderungan hanya menilai tersedia atau tidaknya prasana dan sarana yang dibutuhkan, seperti tersedianya jamban, tersedianya air bersih dan kadar pencemarannya, sedangkan faktor perilaku pemanfaatannya sering terabaikan. Menurut Curtis and Cairncross (2003), perilaku hidup bersih dan sehat, misalnya mencuci tangan pakai sabun, dapat menurunkan insiden diare hingga 42 47%. Pande & Keyzer (2008) mengungkapkan dari hasil penelitiannya di Afrika Barat, yang menegaskan fakta bahwa rumah tangga dengan akses air bersih dan dengan praktik-praktik higienis yang baik jarang menderita diare. Sejak tahun 1996, Departemen Kesehatan RI, meluncurkan program perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan tujuan memberdayakan masyarakat dalam memelihara dan menjaga kesehatannya, meskipun ada kemungkinan praktiknya masih belum banyak diterapkan dalam kehidupan seharihari oleh masyarakat, sehingga sampai saat ini derajat perubahan perilaku tersebut belum tampak. Bila perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di 2
masyarakat dilaksanakan dengan baik, maka angka kesakitan secara nasional dapat diturunkan lebih jauh lagi (Depkes RI, 2008). Program PHBS dijadikan salah satu pilar utama dalam Indonesia Sehat dan salah satu strategi untuk mengurangi beban negara dan masyarakat terhadap pembiayaan kesehatan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat agar hidup bersih dan sehat, termasuk swasta dan dunia usaha agar berperan serta aktif mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pada tatanan rumah tangga, program PHBS merupakan upaya memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. Selain itu, program PHBS bermaksud meningkatkan dukungan dan peran aktif petugas kesehatan, petugas lintas sektor, media massa, organisasi masyarakat, lembaga sosial masyarakat, tokoh masyarakat, tim penggerak PKK dan dunia usaha dalam pembinaan PHBS di rumah tangga (Depkes RI, 2006). Hasil cakupan program PHBS terutama pada tatanan rumah tangga, secara nasional dilaporkan baru mencapai 38,7%, di Provinsi Bengkulu mencapai 66,6% dan di Kabupaten Rejang Lebong mendekati 50% (Depkes RI, 2008). Ilustrasi persentase keberhasilan program ini secara umum telah memberikan gambaran secara kuantitas tentang kemajuan jumlah keluarga yang terpapar dan melaksanakan program ini, akan tetapi kurang memberikan analisis tentang efisiensi dan efektivitasnya, sehingga menyulitkan pemahaman yang dapat memberikan pertimbangan pengambilan keputusan tentang keberlangsungan program ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi secara kualitatif, yang akan mendeskripsikan lebih mendalam keberhasilan, hambatan-hambatan serta faktorfaktor pendukung dalam pelaksanaan program melalui penilaian terhadap unsurunsur yang ada dalam program mulai dari perencanaan, implementasi dan proses evaluasi (Paton, cit. Priyadi, 2009). Evaluasi pembinaan PHBS hanya dilakukan beberapa tahun sekali dengan menyelenggarakan survei secara nasional terhadap masyarakat. Oleh karena 3
memerlukan biaya yang cukup besar. Evaluasi terhadap keberhasilan pembinaan PHBS diintegrasikan dengan survei-survei lain, seperti riset kesehatan dasar, susenas, SDKI. Frekuensi evaluasi pembiaan PHBS mengikuti frekuensi penyelenggaraan survei-survei tersebut dan indikator keberhasilan pembinaan PHBS hanya dilihat dari pencapaian upaya-upaya yang dilakukan di berbagai tatanan. Pada tatanan rumah tangga, indikator evaluasinya terdiri dari adanya peraturan di desa atau kelurahan yang melandasi pembinaan PHBS di rumah tangga, adanya peran aktif pemuka masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pembinaan PHBS di rumah tangga dan meningkatnya persentase rumah tangga yang ber-phbs. Proses pelaksanaan, keluaran serta dampaknya terhadap perubahan perilaku kesehatan dalam rumah tangga belum dilakukan penilaian dan tidak termasuk dalam indikator keberhasilan, sehingga sulit untuk menentukan keefisienan dan keefektifan program ini. Menurut Kemm & Closs (1995); Fertman dan Allensworth (2010), evaluasi program sebaiknya dilakukan mulai dari awal hingga akhir program. Di awal program evaluasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi dan material selama perencanaan dan pengembangan program. Pada saat pelaksanaan program evaluasi bertujuan untuk mengukur efek langsung dari program promosi kesehatan sesuai dengan tujuan akhir program, sedangkan di akhir program evaluasi bertujuan untuk membandingkan perubahan selama dan sebelum mengikuti program promosi kesehatan. Ewles dan Simnett (1994) mengatakan bahwa selain untuk meningkatkan mutu kegiatan yang dilaksanakan, alasan melakukan evaluasi adalah memberikan justifikasi atas sumber-sumber yang digunakan dalam kegiatan, besarnya manfaat atau efisiensi kegiatan yang telah dilakukan serta mengidentifikasi hasil yang tidak diharapkan. Evaluasi program bertujuan memberi nilai untuk mengetahui keberhasilan dan mengidentifikasi keterbatasanya dengan cara pengumpulan, penafsiran dan analisis data sistematis pada saat awal program, pelaksanaannya dan di akhir program, guna memberikan umpan balik bagi pengambil keputusan, program tersebut dilanjutkan atau perlu dimodifikasi (Dignan & Carr, 1992). 4
Green & Kreuter (1991) mengkategorikan evaluasi pada 3 tingkatan, yaitu : evaluasi proses atau evaluasi formatif, evaluasi keluaran atau impact evaluation dan evaluasi dampak atau outcome evaluation. Evaluasi proses atau evaluasi formatif merupakan evaluasi yang bertujuan untuk menilai pelaksanaan program seperti kualitas instruktur, isi, metode dan kesesuaian perencanaan dengan yang dilaksanakan, jumlah kegiatan dan sasaran. Data untuk evaluasi dapat diperoleh dari laporan rutin, observasi maupun wawancara dengan pelaksana atau sasaran. Evaluasi keluaran atau impact evaluation merupakan evaluasi yang dilaksanakan pada akhir kegiatan yang bertujuan untuk menilai perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan pengembangan keahlian. Evaluasi dampak atau outcome evaluation, merupakan evaluasi yang dilaksanakan pada akhir pelaksanaan program dengan tujuan untuk menilai perubahan status kesehatan atau perubahan sosial masyarakat seperti penurunan angka kematian, kesakitan dan kecacatan serta peningkatan kualitas hidup. Program PHBS merupakan wujud kerja sama pemerintah dan masyarakat, yang secara formal dilaksanakan oleh dinas kesehatan melalui seksi promosi kesehatan dan peran serta masyarakat, sedangkan sebagai pelaksana teknis di tingkat masyarakat adalah petugas kesehatan yang ditunjuk bekerjasama dengan kader kesehatan masyarakat yang beranggotakan masyarakat yang bersifat sukarela serta melibatkan keluarga sebagai sasaran utama program. Dengan demikian, untuk mengevaluasi keberhasilan program ini, perlu mengkaji secara mendalam pemahaman, penilaian dan harapan petugas kesehatan (seksi promkes, tenaga pelaksana) dan kader kesehatan serta kepala keluarga sebagai sasaran program, tentang program PHBS hubungannya dengan kejadian diare. Model yang sesuai digunakan adalah model Precede-Proceed, sebab pada model ini kegiatan evaluasi dilaksanakan lebih sistematis yang memungkinkan memberikan jawaban terhadap tujuan dari program PHBS. Green & Kreuter (2005) menggambarkan pelaksanaan evaluasi dalam 3 fase, yaitu evaluasi proses yang menilai faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong, sedangkan perilaku penerapan PHBS dan status kesehatan berupa frekuensi dan durasi 5
kejadian sakit dalam hal ini kejadian diare, dianalisis sebagai dampak dan hasil kegiatan program PHBS. Puskesmas Curup adalah unit pelayanan Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong, yang pada tahun 2010 melaporkan 266 kasus diare dan cakupan PHBS 47,6%. Puskesmas ini merupakan puskesmas dengan cakupan PHBS tertinggi di Kabupaten Rejang Lebong, sekaligus memiliki angka kejadian diare yang terbanyak sepanjang tahun 2010 dan tahun-tahun sebelumnya. Dari sisi kesehatan lingkungan dan faktor lain yang terkait dengan kejadian diare di wilayah puskesmas ini sudah cukup baik, terutama di Kelurahan Pasar Baru, hampir semua (98,7%) warga menggunakan sumber air bersih dari PDAM, setiap rumah tangga memiliki jamban keluarga (100%), kepemilikan tempat sampah di rumah (50,09%), pengelolaan air limbah (52,51%) dan memiliki kebiasaan mengkonsumsi air minum dari kemasan atau air yang sudah dimasak terlebih dahulu (Puskesmas Curup, 2011). Berdasarkan hasil cakupan Progam PHBS dan kondisi lingkungan, kecil kemungkinan kejadian diare, terutama di Kabupaten Rejang Lebong. Akan tetapi, kenyataannya dari tahun ke tahun terus meningkat. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program PHBS dalam upaya pencegahan diare, secara kualitatif di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. B. Perumusan Masalah Bertitiktolak dari latar belakang yang dikemukakan, rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran evaluasi program PHBS pada tatanan rumah tangga ditinjau dari input, proses dan impact dalam upaya pencegahan diare di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang evaluasi program promosi kesehatan PHBS pada tatanan rumah tangga ditinjau dari 6
input, proses dan impact dalam upaya pencegahan diare di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui gambaran tentang input program PHBS pada tatanan rumah tangga dalam upaya pencegahan diare di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. b. Untuk mengetahui gambaran tentang proses program promosi kesehatan PHBS pada tatanan rumah tangga dalam upaya pencegahan diare di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. c. Untuk mengetahui gambaran tentang impact program promosi kesehatan PHBS pada tatanan rumah tangga dalam upaya pencegahan diare di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada : 1. Puskesmas Curup Kota Dapat dijadikan sebagai masukan dan salah satu bahan pertimbangan dalam menyusun Program pada tahun berikutnya. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong Dapat digunakan sebagai evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan sebelumnya dan merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan priotitas rencana program kesehatan kabupaten. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang program PHBS pada tatanan rumah tangga dan hubungannya dengan kejadian diare di Kabupaten Rejang Lebong, belum pernah dilakukan, akan tetapi, ada beberapa penelitian mendekati dengan topik penelitian antara lain sebagai berikut : 7
1. Sinaga (2005) melakukan penelitian studi kasus program perilaku hidup bersih dan sehat di Kabupaten Bantul dengan metode analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program PHBS sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan dukungan masyarakat serta organisasi masyarakat yang peduli kesehatan. 2. Timisela (2007) melakukan penelitian observasional tentang pengetahuan dan sikap terhadap PHBS pada karyawan Dinas Kesehatan Papua, dengan rancangan cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik tingkat pendidikan, jenis kelamin, tingkat pengetahuan, sikap dan pengalaman, memiliki keterkaitan dengan perilaku karyawan terhadap PHBS. Karakteristik umur, lama bekerja, tidak memiliki keterkaitan. Pengalaman karyawan atas paparan radio penyuluhan seksi promkes, media kaos, media poster kaset audio, media gantungan kunci dan teman kantor tidak memiliki keterkaitan dengan perilaku karyawan tentang PHBS. 3. Pitono (2005) melakukan penelitian tentang penatalaksanaan diare di rumah pada balita di Kabupaten Purworejo. Penelitian tersebut menggunakan metode observasional dengan rancangan potong lintang pada 245 keluarga yang memiliki balita yang menderita diare dalam 2 minggu terakhir sebelum survei dilaksanakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penatalaksanaan diare di rumah dengan durasi diare yang dialami balita. Penatalaksanaan diare di rumah yang relatif baik, memiliki peluang akan mengalami diare yang singkat dibandingkan dengan penatalaksanaan yang kurang baik. Faktor lain yang turut berpengaruh terhadap durasi diare adalah umur. 4. Elfiatri (2007) melakukan penelitian tentang analisis spasial PHBS sebagai faktor risiko diare di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan, menggunakan metode studi analitik dengan pendekatan disain kasus kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat clustering kasus diare yang signifikan di Kecamatan Sangir. Clustering kasus diare terjadi dengan perilaku bersih dan sehat yang dilihat dari penggunaan jamban 8
keluarga, penggunaan air bersih, pembuangan sampah dan kebiasaan mencuci tangan. Tabel 1. Persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya Penelitian sebelumnya Sinaga (2005) Timisela (2007) Pitono (2005) Elfiatri (2007) Persamaan Pada topik penelitian tentang PHBS, metode penelitian dan teknik pengambilan data melalui wawancara dan FGD. Melihat pengetahuan dan sikap terhadap PHBS. Melihat faktor risiko diare pada anak di rumah tangga. Melihat PHBS sebagai faktor risiko diare. Perbedaan Tempat dan waktu penelitian serta fokus dalam penelitian sebelumnya pada implementasi, sedangkan pada penelitian ini pada evaluasi. Metode penelitian, pengumpulan data dan analisis data serta penggunaan alat uji statistik. Metode penelitian dan rancangan penelitian. Metode penelitian dan rancangan penelitian, teknik sampling. 9