BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh selsel beta pankreas, yang diperlukan untuk memanfaatkan glukosa dari makanan yang dicerna (ADA, 2010). Prevalensi terbanyak dari kasus DM merupakan DM tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang dapat menimbulkan gangguan ke organ-organ tubuh lainnya karena terjadi defisiensi insulin atau kerja insulin yang kurang adekuat untuk mempertahankan glukosa darah yang normal (PERKENI, 2011). Kejadian DM tipe 2 yang semakin meningkat tentu akan diikuti oleh peningkatan kejadian komplikasi. Hiperglikemia yang kronik dapat menyebabkan komplikasi kronik mikrovaskuler dan makrovaskuler. Komplikasi kronik mikrovaskuler meliputi retinopati, nefropati, dan neuropati, sedangkan komplikasi kronik makrovaskuler meliputi aterosklerosis atau penyakit jantung koroner (PJK), penyakit pembuluh darah perifer dan penyakit serebrovaskuler. Diabetes melitus dapat meyebabkan disfungsi endotel dan selanjutnya menimbulkan aterosklerosis. (Beckman et al., 2002; IDF, 2013). 1
2 Penyebab tersering terjadinya kesakitan dan kematian pada penderita DM tipe 2 adalah PJK. Penyakit jantung koroner terjadi dengan diawali adanya proses aterosklerosis yang merupakan respon inflamasi kronis terhadap lesi pembuluh darah arteri akibat dari berbagai sebab yang mengaktivasi kerusakan pada endotel. Komplikasi ateroskleroris pada makrovaskuler dengan DM dapat menyebabkan penyakit pada arteri koroner, arteri perifer dan. Manifestasi klinis dari aterosklerosis sering terjadi pada tiga cabang pembuluh darah arteri, yaitu arteri koroner, arteri ekstremitas bawah dan (Beckman et al., 2002; Hayat et al., 2004; ADA, 2012). Arteri karotis komunis adalah pembuluh darah besar bilateral yang memasok darah untuk kepala dan leher. Arteri karotis komunis terdapat pada kedua bagian leher, bagian kiri ( komunis kiri) dan kanan ( komunis kanan). Arteri karotis komunis kanan merupakan cabang dari truncus brakiocephalicus, sedangkan komunis kiri merupakan cabang langsung dari lengkung aorta (Gray, 2000). Perkembangan ilmu kedokteran saat ini telah merancang alat pemeriksaan ultrasonografi (USG) yang dapat dipakai untuk memeriksa, antara lain USG B-mode. Pemeriksaan USG B-mode menggunakan probe yang mempunyai resolusi tinggi dan dapat memeriksa diameter dan ketebalan dinding pembuluh darah. Pemeriksaan ini mudah dilakukan, praktis, nyaman, aman dan nilai akurasinya tinggi. Hasil pemeriksaannya dapat diandalkan dan memberi informasi
3 penting bagi para klinisi sebagai acuan dalam memprediksi proses aterosklerosis (Schminke et al., 2000). Penelitian prospektif yang dilakukan oleh Diabetes Control and Complications Trial/Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications selama 17 tahun menunjukkan bahwa pengobatan diabetes dan Hemoglobin A1c (HbA1c) yang rendah dapat menurunkan risiko 42% kejadian penyakit kardiovaskular dan 57% kematian akibat penyakit kardiovaskuler atau stroke. Orang dewasa dengan DM memiliki risiko terjadi kematian akibat penyakit kardiovaskuler sekitar dua sampai empat kali lebih tinggi dari orang dewasa tanpa DM (Fowler, 2008). Hiperglikemia melatarbelakangi terjadinya komplikasi makrovaskuler yang diawali oleh proses biokimiawi abnormal yang berhubungan dengan hiperglikemia. Mekanisme hiperglikemia yang dapat menyebabkan perubahan hemostasis biokimiawi sehingga terjadi komplikasi vaskuler, yaitu : (1) polyol pathway, (2) glikasi non-enzimatik/ advanced glycation end products (AGEs), (3) aktifasi protein kinase C (PKC), (4) autoksidasi glukosa (hexosamine) (Fauci et al., 2008). Hemoglobin (Hb) secara keseluruhan terbanyak terdiri dari hemoglobin A (HbA). Bagian dari hemoglobin A, yaitu hemoglobin A1 (HbA1) berikatan dengan glukosa. Glikosilasi HbA1 terdiri dari tiga fraksi yaitu HbA1a, HbA1b dan HbA1c. Hemoglobin A1c terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada asam amino valin di ujung rantai beta dari globulin hemoglobin dewasa normal. Proses
4 terjadinya pengikatan glukosa dengan Hb terjadi dalam dua tahap, yaitu : (1) tahap pertama berlangsung sebentar, segera kembali ke normoglikemia dan ikatan tersebut akan terurai kembali, (2) tahap ke dua terjadi apabila hiperglikemia berlangsung lama, maka ikatan tersebut bersifat stabil dan menetap sebagai HbA1c. Hiperglikemia yang berlanjut secara terus menerus kemudian dapat mengakibatkan HbA1c menjadi bentukan AGEs. Jalur yang terpenting dalam patogenesis terjadinya aterosklerosis pada DM adalah peningkatan reaksi glikasi non-enzimatik dari glukosa, protein dan lipid yang ireversibel yang membentuk AGEs (Basta et al., 2004; Kramer et al., 2010). Hiperglikemia akan merusak sel-sel yang tidak mampu membatasi masukan glukosa ke dalam sel. Suasana hiperglikemia menyebabkan kerusakan ekstrasel dan intrasel jaringan kardiovaskular. Mekanisme ekstrasel disebabkan reaksi glikasi nonenzimatik molekul ekstrasel dan advanced glycation end products (AGEs) yang dihasilkan oleh reaksi produk glikasi, selanjutnya akan berikatan dengan receptor for AGEs (RAGE) pada permukaan sel dan interaksi ini menghasilkan reactive oxygen species (ROS) melalui nikotinamide adenine dinukleotid phospat (NADPH) oksidase. Collagen-linked AGEs menangkap protein plasma, menghentikan aktivitas nitric oxide (NO) dan berinteraksi dengan reseptor modulator dalam jumlah besar. Peningkatan deposit AGEs berkorelasi dengan tingkat ateroma dan plak aterosklerosis (Hartog, 2007; Chang et al., 2011). Hemoglobin A1c merupakan baku emas untuk penilaian homeostasis glukosa selama periode 3 bulan. Manfaat HbA1c selama ini lebih banyak dikenal untuk
5 menilai kualitas pengendalian glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi, namun beberapa penelitian terbaru mendukung pemanfaatan HbA1c yang lebih luas, yaitu skrining penderita diabetes melitus tipe 2 beserta komplikasi vaskuler (Kilpatrick, 2008; Mulyati, 2016). Pemeriksaan USG B-mode sudah menjadi pemeriksaan rutin radiologi namun terdapat kelemahannya diantaranya biaya mahal dan tidak dapat dilakukan secara serial. Pemeriksaan HbA1c dalam penggunaan secara klinis dinilai akurat, spesifik, terstandardisasi, mudah dilakukan dan tidak mahal. Mekanisme HbA1c dalam hubungannya dengan terjadinya aterosklerosis masih belum jelas. Sampai saat ini belum dilakukan penelitian tentang hubungan HbA1c dengan aterosklerosis. Penelitian tentang korelasi antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis komunis pada pasien DM tipe 2 belum dilakukan di Indonesia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Penyebab kematian terbanyak akibat komplikasi kronik pada penderita DM tipe 2 adalah penyakit jantung koroner akibat terjadinya aterosklerosis yang sering mengenai dinding komunis. 2. Aterosklerosis yang terjadi pada komunis dapat diketahui dengan pengukuran ketebalan tunika intima-media komunis menggunakan USG B-mode. Meskipun pemeriksaan USG B-mode sudah
6 menjadi pemeriksaan yang rutin radiologi namun ada kelemahan, yaitu biaya yang mahal dan pemeriksaannya tidak dapat dilakukan secara serial. 3. Jalur yang terpenting dalam patogenesis terjadinya aterosklerosis pada DM tipe 2 adalah peningkatan reaksi glikasi non-enzimatik. Hiperglikemia kronik dapat mengakibatkan HbA1c menjadi bentukan AGEs selanjutnya akan berikatan dengan RAGE, sehingga meningkatkan ROS dan menurunkan aktivasi NO yang mengakibatkan penurunan fungsi endotel. 4. Pemeriksaan laboratorium parameter HbA1c dalam penggunaan secara klinis dinilai akurat, spesifik, terstandardisasi, mudah dilakukan dan terjangkau. 5. Sejauh ini belum banyak dilakukan penelitian tentang korelasi HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis pada pasien DM tipe 2 di Indonesia. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat korelasi antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis pada pasien DM tipe 2?
7 D. Keaslian Penelitian Korelasi antara HbA1c dengan aterosklerosis belum banyak diteliti. Penelitian tentang korelasi HbA1c dengan ketebalan ketebalan tunika intima-media komunis pada pasien DM tipe 2 belum banyak dilakukan di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan berkaitan dengan HbA1c dengan ketebalan tunika intimamedia komunis ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Penelitian tentang korelasi HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis komunis Peneliti, tahun Tempat penelitian Populasi Metode Hasil Gupta et al., 2013 India 30 subyek Cross sectional Saba et al., 2013 Jepang 370 subyek dengan penyakit arteri koroner Gosai and Patel, 2014 India 15 subyek dengan DM tipe 2 dan 15 subyek dengan hipertensi Perumal et al., 2015 India 35 subyek dengan DM tipe 2 dan 20 subyek sehat Cross sectional Cross sectional Cross sectional korelasi positif antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis (r = 0,5; p = 0,019) korelasi positif antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis (r = 0,17; p = 0,007) korelasi positif antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis (r = 0,44; p = 0,009) korelasi positif antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis kanan (r = 0,65; p = 0,001) dan komunis kiri (r = 0,76; p = 0,001)
8 E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya korelasi antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis pada pasien DM tipe 2. F. Manfaat Penelitian 1. Bagi dokter Dengan mengetahui korelasi antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis pada pasien DM tipe 2 sehingga diharapkan HbA1c dapat dipertimbangkan sebagai penanda risiko aterosklerosis pada pasien DM bagi dokter klinisi. 2. Bagi masyarakat Dengan mengetahui korelasi antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis pada pasien DM tipe 2 sehingga diharapkan masyarakat mulai mempertimbangkan pemeriksaan HbA1c dalam pencegahan terjadinya komplikasi kronis DM. 3. Bagi peneliti Dengan mengetahui korelasi antara HbA1c dengan ketebalan tunika intima-media komunis pada pasien DM tipe 2 sehingga diharapkan HbA1c dapat dipertimbangkan sebagai prediktor aterosklerosis dan memberikan pengetahuan baru bagi peneliti serta dapat diaplikasikan dalam klinis.