BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

dokumen-dokumen yang mirip
PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG FAKULTAS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Eksistensi KPK Dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi Oleh Bintara Sura Priambada, S.Sos., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. pakar hukum maupun pakar politik adalah permasalahan KPK melawan Polri.

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

Vol 10 No. 2 Oktober 2014 ISSN

NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

KEPUTUSAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan mekanisme pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. istilah yang sering dipakai dalam bidang filsafat dan psikologi.(ensiklopedia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG TIM GABUNGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

KEPUTUSAN BERSAMA KETUA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : KEP Nomor : KEP- IAIJ.

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Mengenal KPK dan Upaya Pemberantasan Korupsi Dedie A. Rachim Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. perorangan saja, akan tetapi juga bisa terdapat pada instansi-instansi swasta dan

BAB I PENDAHULUAN. yang demokratis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh : PROF.DR.H.M. SAID KARIM, SH. MH. M.Si. CLA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

RIFA MUFLIHAH C

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang menangani kasus tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Pemberantasan korupsi di Indonesia telah berjalan cukup lama. Berbagai upaya dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk mewujudkan Negara yang bersih serta bebas dari korupsi. Seperti halnya korupsi bagi Hongkong yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 6 jo. Pasal 10, merumuskan yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang terbagi menjadi Pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Namun, dalam hal tertentu berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa juga memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara / tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) disebutkan bahwa 1

2 penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan penyidik dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu: melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, di bidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu bersadarkan undang-undang. Berdasarkan pasal 6 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK memiliki tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3 c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Berdasarkan Pasal 12, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, KPK berwenang: a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi di Hongkong yaitu Independent Commission Against Corruption (ICAC Hongkong) yang dipimpin oleh seorang Commissioner dan dibantu oleh empat kepala divisi yaitu:

4 1) Operation Department (Departemen Operasi); 2) Corruption Prevention Department (Departemen Prevensi Korupsi); 3) Community Relation Department (Departemen Hubungan Masyarakat); 4) Administration Branch (Cabang Administrasi). Adapun tugas Commissioner diatur dalam Pasal 12 Ordinance, yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) menerima dan mempertimbangkan pengaduan terjadinya praktik korupsi dan menyelidiki setiap pengaduan yang dianggap layak. 2) Penyidikan: a. Setiap pelanggaran yang dituduhkan atau dicurigai berdasarkan ICAC Ordinance; b. Setiap pelanggaran yang dituduhkan atau berdasarkan Prevention of Bribery Ordinance; c. Setiap pelanggaran yang dituduhkan atau dicurigai berdasarkan Corrupt and Illegal Practices Ordinance; d. Setiap pelanggaran yang dituduhkan atau dicurigai berdasarkan pemerasan yang dilakukan oleh Hongkong SAR atau melalui penyalahgunaan jabatannya; e. Setiap kolusi yang dituduhkan atau dicurigai berdasarkan Prevention of Bribery Ordinance; f. Setiap kolusi yang dituduhkan atau dicurigai berdasarkan (oleh dua orang atau lebih termasuk pegawai-pegawai pemerintah Hongkong SAR) untuk melakukan pemerasan oleh atau melalui penyalahgunaan jabatan pegawai pemerintah yang bersangkutan. 3) Menyelidiki setiap perbuatan pegawai pemerintah menurut pendapat Commissioner, berkaitan atau mendorong praktik korupsi dan melaporkannya kepada Chief Executive. 4) Memeriksa praktik dan prosedur masing-masing departemen dari pemerintah dan badan umum, guna mempermudah pengungkap praktik korupsi serta menjamin revisi metode kerja dan prosedur yang menurut pendapat Commissioner dapat mendorong praktik korupsi. 5) Menginstruksikan, menasihati, dan membantu setiap orang atas permintaannya, mengenai bagaimana cara praktik korupsi dapat ditiadakan oleh orang yang bersangkutan. 6) Memberi saran kepada departemen dari pemerintah atau badan umum mengenai perubahan dalam praktik dan prosedur yang sesuai

5 dengan pelaksanaan yang efektif dari tugas masing-masing departemen atau badan umum bersangkutan yang dianggap perlu oleh Commissioner, guna mengurangi kemungkinan terjadinya praktik korupsi. 7) Mendidik publik untuk melawan seluruh aspek jahat korupsi. 8) Mengumpulkan dan memupuk dukungan publik dalam memerangi korupsi. Walaupun pemberantasan korupsi semakin ditingkatkan, namun korupsi masih meraja lela di masayarakat. Secara organisasi dan hukum masih terdapat beberapa kelemahan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, salah satunya yaitu pemberantasan korupsi dilaksanakan oleh beberapa instansi. Sekarang ini pemberantasan korupsi dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian dan KPK. Alasan dibentuknya KPK sesuai UU No 30 Tahun 2002 karena Lembaga Pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien. Oleh karena itu Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan. Ketiga badan tersebut Undang-Undang pembentukannya berbeda, dalam penegakan hukum mengacu pada KUHAP dan hukum acara yang diatur dalam Undang-undang Khusus ( Undang-Undang pembentukannnya) masing-masing. Dahulu sebelum adanya KPK, antara Kejaksaan dan Kepolisian pernah terjadi perbedaan pendapat dalam penanganan kasus Bank. Tugas yang sama dalam satu organisasi atau negara, ditangani 3 instansi. Pembagiannya antara lain dibedakan jumlah korupsi yang ditangani, kalau KPK Rp. 1 Milyar ke atas. Agar pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia lebih efektif dan berhasil sebaiknya dilaksanakan oleh satu badan yang dibentuk secara nasional dan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi dilaksanakan

6 secara terpadu dan terkoordinir. Kejaksaan, Kepolisian dan KPK dilebur menjadi satu badan di mana sebagai acuan adalah korupsi di Indonesia segera dapat diberantas, jadi bukan kepentingan masing-masing instansi. Kalau perlu khusus untuk badan ini tidak berlaku undang-undang tidak berlaku surut. Penelitian terdahulu dengan fokus Komparasi Lembaga Penyidik Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dan Hongkong, pernah dilakukan sebelumnya oleh Mega Anjarsari telah meneliti Studi Komparasi Hukum Pengaturan Asas Mekanisme Pengambilalihan Perkara (Takeover Mechanism Principles) dalam Penyidikan Perkara Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Hongkong Independent Commission Against Corruption, dengan fokus kajian pada lembaga penyidik dalam sistem hukum pidana Indonesia dan Hongkong. Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah penelitian yang samasama membahas tentang perbandingan hukum pengaturan penyidikan perkara korupsi di Indonesia dan Hongkong, sedangkan perbedaannya terletak pada bahan kajian. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mega Anjarsari lebih menitikberatkan pada Hukum Pengaturan Asas Mekanisme Pengambilalihan Perkara (Takeover Mechanism Principles) dalam Penyidikan Perkara Korupsi, sedangkan penelitian ini lebih menekankan pada lembaga penyidik perkara korupsi. Dalam hal ini terlihat bahwa Indonesia dan Hongkong mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi sampai ke akar-akarnya. Untuk itu perlu membandingkan lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia dengan sistem hukum pidana

7 Hongkong untuk melihat perbedaan maupun persamaan yang dimiliki sehingga dapat mengetahui apa yang perlu diperbaiki terhadap kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai lembaga penyidik perkara korupsi yang ada di Indonesia dan di Hongkong, sehingga penulis ingin mengangkat tema skripsi yang berjudul: STUDI KOMPARASI LEMBAGA PENYIDIK PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA DENGAN SISTEM HUKUM PIDANA HONGKONG B. Rumusan Masalah Agar permasalahan yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun perumusan masalah yang didasarkan pada uraian latar belakang di atas. Adapun perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah: 1. Bagaimanakah lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia? 2. Bagaimanakah lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Hongkong? 3. Apakah perbedaan dan persamaan lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia dan sistem hukum pidana Hongkong?

8 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti, yang mana tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia. 2. Untuk mengetahui lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Hongkong. 3. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia dengan sistem hukum pidana Hongkong. D. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat pada pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi, masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya yang berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan. c. Hasil penelitian diharapkan dapat menyumbangkan pemecahan atas permasalahan yang diteliti.

9 2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis Bagi penulis secara pribadi untuk menambah wawasan dan sebagai prasyarat untuk memenuhi tugas akhir kesarjanaan Strata Satu (SI) di Universitas Muhammadiyah Malang. b. Bagi Penegak Hukum Sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Bagi Masyarakat Untuk menambah wawasan kepada masyarakat tentang perbandingan penyidikan perkara korupsi dalam sistem hukum pidana Indonesia dengan sistem hukum pidana Hongkong. E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori ataupun konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. 1 Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin 1 Peter Mahmud Marzuki, 2011. Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal. 35.

10 ilmunya. 2 Di dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya. 3 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif (Normatif Legal Reseacrh): 1. Metode Pendekatan: Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan. Disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder. 4 2. Jenis Bahan Hukum Adapun jenis bahan hukum yang dijadikan obyek atau fokus dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi tiga bahan hukum, yaitu berupa: a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif atau hukum perundang-undangan, diantaranya: 2 Johnny Ibrahim, 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi. Malang: Bayu Media Publishing. Hal. 26. 3 Ibid. hal. 28. 4 Elvira Dewi Ginting, 2010. Analisis Hukum Mengenai Reorganisasi Perusahaan Dalam Hukum Kepailitan. Medan: USU Press. Hal. 19-20.

11 - Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP); - Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia; - Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; - Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi; - Hongkong Independent Commission Against Corruption (ICAC Hongkong). b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang berisi penjelasan mengenai bahan hukum primer, penulis menggunakan bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku yang berkaitan dengan penelitian hukum ini.

12 c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Peneliti menggunakan Penelitian Terdahulu, kamus hukum, buku literature, hasil karya dari kalangan hukum, media elektronik, dan media cetak sebagai bahan hukum tersier. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum: Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan, yaitu berupa pengumpulan data bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang telah ditentukan yang terkait dengan permasalahan penelitian. e. Teknik Analisa Bahan Hukum: teknik analisa bahan hukum dalam penulisan hukum yang normatif adalah analisa perbandingan (comparative analysis). F. Sistematika Penelitian Hukum Untuk menjabarkan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika ini terdiri dari 4 (empat) bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang

13 dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan metode penelitian, dan sistematika penelitian hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori yang menjadi landasan atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literaturliteratur yang berkaitan dengan penulisan hukum ini. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang Perbandingan Hukum, tinjauan tentang lembaga penyidik pemberantasan tindak pidana korupsi, tinjauan tentang sistem hukum pidana Indonesia, dan tinjauan tentang sistem hukum pidana Hongkong. BAB III : PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini adalah pembahasan permasalahan yang menjadi kajian. Dalam bab ini peneliti memaparkan data-data hasil penelitian yang telah dianalisa dengan didukung pengumpulan data primer, sekunder dan rujukan yang peneliti paparkan dalam bab sebelumnya dengan tujuan untuk mendukung analisa terhadap permasalahan yang diteliti.

14 BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini adalah bab terakhir yang berisikan dengan dua sub yaitu: kesimpulan dan saran/rekomendasi. Dalam hal ini kesimpulan dari peneliti adalah hasil analisis pada bab III harus disesuaikan dengan permasalahannya, sebab dapat disebut ringkasan jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan dalam bab II. Peneliti juga dapat menambah kesimpulan yang lain yang dianggap penting. Kemudian dari kesimpulan tersebut kemungkinan akan timbul hal-hal yang perlu disarankan.