BAB I PENDAHULUAN. tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. tahun 2012 tercatat kasus, 4 tahun 2011 tercatat 119.

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 4. Bentuk sanksi yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara kekerasan dalam

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Majalah Hukum Forum Akademika

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

I. PENDAHULUAN. komunitas sosial. Seringkali tindakan kekerasan ini disebut hidden crime (kejahatan

Daftar Isi TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Penyusun: Justice for the Poor Project. Desain Cover: Rachman SAGA. Foto: Luthfi Ashari

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia, tujuan

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

Hadirkan! Kebijakan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual. Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil Untuk SDGs Infid November 2017

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Maka rumah tangga

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. kita jumpai di berbagai macam media cetak maupun media elektronik. Kekerasan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak. Di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara

BAB I PENDAHULUAN. terjadi dalam ruang domestik (rumah tangga). 1. kekerasan yang menimpa kaum perempuan (istri) 3

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

Institute for Criminal Justice Reform

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

RINGKASAN SKRIPSI. Oleh: Arum Yuana NIM

k. Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, kapasitas perempuan, dan perlindungan anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN SIDOARJO PASCA BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dan pengendalian diri setiap orang di lingkup rumah tangga tersebut. 1

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

BUPATI POLEWALI MANDAR

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMANDAU NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

BAB III PENUTUP. umum dalam memberikan perlindungan terhadap korban sebagai saksi kekerasan. dalam rumah tangga maka dapat disimpulkan bahwa:

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

1.PENDAHULUAN. kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 16 Tahun : 2012 Seri : E

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN. dasar dari susunan masyarakat, untuk itulah lahir Undang-undang Nomor 1

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 23 TAHUN 2004 (23/2004) TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah global. 1 Presentase tindak pidana kekerasan terhadap perempuan ini dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan. Di Indonesia, berdasarkan catatan tahunan (catahu) Komisi Nasional anti kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) yang disiarkan pada tanggal 6 Maret 2015, bahwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2014 tercatat 293.220 kasus. 2 Dari catatan tersebut menunjukan kenaikan jumlah kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang mana pada tahun 2013 tercatat 279.760 kasus, 3 tahun 2012 tercatat 216.156 kasus, 4 tahun 2011 tercatat 119.107 kasus, dan tahun 2010 tercatat 105.103. 5 Berdasarkan data dari tahun 2010 sampai tahun 2014 tersebut dapat dilihat bahwa kekerasan terhadap perempuan selalu mengalami peningkatan. Peningkatan tindak kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang tercatat oleh Komnas Perempuan harus dilihat dari berbagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan tersebut, 1 www.who.int/mediacentre/news/release/2013/violence_against_women_20130620/en/, Violence against women: a global health problem of epidemic proportions, Akses 4 September 2015. 2 Laporan Komisi Nasional Perempuan Tahun 2014. 3 Laporan Komisi Nasional Perempuan Tahun 2013. 4 Laporan Komisi Nasional Perempuan Tahun 2012. 5 Laporan Komisi Nasional Perempuan Tahun 2011. 1

baik itu faktor dari dalam diri pelaku, luar diri pelaku, maupun dari dalam diri dan luar diri pelaku. 6 Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi adalah kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Korban mayoritas adalah perempuan (istri). Hasil wawancara yang dilakukan oleh Lenore Walker (1979) terhadap 400 perempuan yang mengalami kekerasan, disimpulkan bahwa hubungan yang melibatkan kekerasan biasanya berlangsung melalui siklus tiga fase berulang yaitu tension-building, battering, dan contrition. 7 Pada fase tension-building, ketegangan yang dialami oleh korban kekerasan bersifat ringan. Biasanya pada fase ini korban terus berupaya untuk menenangkan pelakunya. Fase kedua atau battering, fase dimana korban mulai mengalami kekerasan yang serius oleh pelakunya. Fase ketiga atau contrition adalah fase dimana pelaku kekerasan merasa menyesal dan kemudian meminta maaf kepada korban yang disertai dengan janji tidak akan mengulangi kembali perbuatannya. Setelah fase ketiga berakhir, biasanya kekerasan akan terulang kembali dan bahkan kekerasan yang dialami oleh korban akan semakin tinggi intensitasnya, yang kemudian pada akhirnya korban akan mengalami keadaan yang disebut dengan belajar menerima ketidakberdayaan (learned helplessness) dan menjadi penurut (submisif). Hal ini berarti, perempuan yang mengalami kekerasan 6 Hendrojono, Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, 2005, Surabaya: Srikandi, Hlm 73. 7 Lenore Walker dalam Mark Cotanzo, Aplikasi Psikologis dalam Sistem Hukum, 2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm 126-127. 2

dalam jangka panjang akan mampu bertahan menghadapi kekerasan tersebut dan menyerah kepada penderitaan yang dialami, serta tidak mampu meninggalkan pelakunya. 8 Di Gunungkidul, angka kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tinggi, akan tetapi perkara yang masuk dan diputus oleh lembaga peradilan khususnya Pengadilan Negeri Wonosari rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPKB), dan Pengadilan Negeri Wonosari mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga didapatkan hasil sebagai berikut: Tahun UPPA BPMPKB PN.Wonosari 2010 4 21 2 2011 9 27 3 2012 6 29 1 2013 5 16 1 2014 9 17 2 Data yang didapatkan dari ketiga lembaga tersebut sangat bervariasi dan bahkan sangat jauh selisihnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya karena mayoritas masyarakat Gunungkidul masih menganggap bahwa kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga 8 Ibid 3

adalah aib keluarga, sehingga apabila dilaporan kepada pihak yang berwenang sama saja menyebarkan aib. 9 Hal tersebut sangat relevan dengan ungkapan yang menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga ibarat gunung es, yang mana bermakna jumlah kekerasan dalam rumah tangga yang berhasil diselesaikan lebih sedikit daripada jumlah kekerasan yang ada senyatanya, bukan dalam konteks jumlah yang terkait dengan rendah atau tingginya jumlah kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun mayoritas masyarakat menganggap bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah aib keluarga, namun tidak serta merta digeneralisasikan bahwa tidak ada yang melaporkan ke pihak yang berwenang. Kasus pemukulan istri yang dilakukan oleh suami karena istri melarang suaminya berbuat maksiat (selingkuh) dengan perempuan lain misalnya. 10 Kasus ini terjadi pada tanggal 25 September 2014 di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, diawali dengan nasihat istri yang diabaikan oleh suami, kemudian si istri memukul pantat suami dengan sapu lidi. Tanpa pikir panjang, suami langsung membalas dengan mengayunkan helm full face ke arah muka istrinya. Kasus ini diadili oleh Pengadilan Negeri Wonosari dengan putusan pidana penjara 3 (tiga) bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, bahwa terpidana sebelum 9 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis- Viktimologis, 2010, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm 61-62. 10 Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor: 24/Pid.Sus/2014/PN.Wns. 4

waktu percobaan selama 6 (enam) bulan berakhir, telah bersalah melakukan suatu tindak pidana. Kasus lainnya adalah kasus pemukulan oleh suami terhadap istri yang diawali dengan permintaan istri untuk pulang kerumah kakek dan neneknya di Desa Bejiharjo, tetapi suami tidak menyetujui karena usia bayi mereka masih 2 (dua) minggu. Pertengkaran berlanjut dengan adu mulut dan tidak lama berselang suami memukul istri dibagian wajah. Pemukul tersebut mengakibat luka dibagian bibir sebelah kanan. Kasus ini terjadi pada tanggal 18 September 2013, kasus ini diputus oleh Pengadilan Negeri Wonosari dengan putusan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau 1 (satu) bulan pidana kurangan. Melihat kondisi perempuan yang menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga perlu dilakukan upaya untuk pencegahan dan penanganannya. Upaya tersebut salah satunya dapat dilakukan oleh lembaga peradilan yang mana dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri sebagai sebuah lembaga peradilan pada tingkat pertama yang mana berwenang menerima, memeriksa, dan memutus suatu perkara harusnya dapat menjadi penegak hukum atau lembaga yang dapat memutus rantai kekerasan yang ada. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menghasilkan putusan yang baik. Putusan yang baik tersebut bukan hanya bersifat menghukum tetapi juga bersifat memaksa, yaitu memaksa setiap orang untuk tunduk pada putusan tersebut, sehingga nantinya tidak akan ada lagi kasus kekerasan yang 5

terjadi. Hal ini dikarenakan apabila dalam memutus suatu perkara, hakim tidak memberikan putusan yang baik sama saja hakim memberikan kesempatan yang luas bagi pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) dan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPKB) dapat menjadi pendukung untuk menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. Dukungan dari kedua lembaga tersebut dapat berupa sosialisasi dan penyuluhan terkait dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih kepada masyarakat umum dan apabila kelak terjadi kekerasan terhadap diri korban, korban dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap terjadinya tindak kekerasan berlanjut. Dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat, khususnya perempuan terkait dengan hak-haknya yang dilindungi oleh hukum dapat memberikan rasa takut kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga, hal ini dikarenakan pelaku akan menjadi ragu dalam melakukan tindakannya. Keraguan pelaku ini didasarkan pada akibat yang akan diterima apabila melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri yang memiliki pengetahuan lebih tentang hukum yang ada dan berlaku. 6

Selain itu, UPPA dan BPMPKB juga bisa memberikan perlindungan kepada korban apabila telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, perlindungan tersebut berupa penempatan korban pada rumah aman. Perlindungan yang demikian diberikan dalam rangka untuk pemulihan kondisi korban, baik itu secara fisik maupun psikis, disamping untuk menghindari terjadinya kekerasan berlanjut terhadap korban. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa angka kekerasan dalam rumah tangga di Gunungkidul tinggi tetapi perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri Wonosari rendah? 2. Bagaimana proses penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Gunungkidul? 3. Faktor apa yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Gunungkidul? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulis dalam penelitian ini bermaksud untuk: 1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kesenjangan antara perkara kekerasan dalam rumah tangga yang ada dan yang masuk ke Pengadilan Negeri Wonosari. 7

2. Untuk mengetahui proses penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Gunungkidul. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Gunungkidul. D. Definisi Operasional Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan pemahaman dan beda penafsiran yang berkaitan dengan istilah istilah dalam judul. Sesuai dengan judul penelitian yaitu Proses Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Gunungkidul, maka definisi operasional yang perlu dijelaskan, antaralain: 1. Proses Penyelesaian Proses Penyelesaian adalah proses penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Kepolisian Resor Gunungkidul, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Gunungkidul, serta Pengadilan Negeri Wonosari. 2. Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran rumah tangga. Suami istri yang dimaksud disini adalah seorang pria dan seorang wanita yang telah melakukan perkawinan 8

secara sah berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 11 E. Tinjauan Pustaka Kekerasan sepanjang sejarah manusia tidak akan pernah lenyap dari bumi, artinya kekerasan sangat mustahil untuk di berantas. Dengan begitu apakah adanya hukum hanya sia-sia dan kehilangan fungsinya. Dalam hal ini harus dipahami bahwa fungsi hukum bukan hanya mencegah tetapi juga menanggulangi (fungsi hukum sebagai suatu upaya represif). 12 Begitu juga dengan kekerasan terhadap perempuan, mungkin mustahil untuk dilenyapkan, tetapi angka kekerasan dapat ditekan. Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Declaration on the Elimination of Violence Against Women) tahun 1993 menyatakan: Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin (gender based violence) yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologi, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi. Selanjutnya Pasal 2 menyatakan: Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup tetapi tidak hanya terbatas pada: tindak kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dan 11 Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan dicatatkan. 12 M.Munandar Sulaeman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan Dalam Berbagai Disiplin Ilmu Dan Kasus Kekerasan, 2010, Bandung: PT Refika Aditama, Hlm 77. 9

anak-anak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perusakan alat kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman tradisional lainnya terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan, dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya. Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan dalam hukum tidak diatur secara khusus. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada suatu aturan yang digunakan untuk melindungi perempuan, munculnya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga setidaknya dapat memberikan perlindungan kepada perempuan dalam lingkup rumah tangga. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut: Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Berdasarkan pasal 1 tersebut, maka kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan dalam 4 (empat) bentuk, antara lain; kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan 10

psikologis, dan penelantaran rumah tangga. Adapun yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan tersebut adalah: 1. Kekerasan Fisik Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang PKDRT, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Tindakan ini dapat berupa pukulan, melukai tubuh dengan senjata tumpul ataupun senjata tajam, atau bahkan dengan menggunakan benda lain yang berhubungan dengan teknologi (sengatan listrik misalnya). 13 2. Kekerasan Psikis Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang PKDRT, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Menurut Marshall, bentuk kekerasan psikis ini dapat berupa akibat atau dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan yang berupa ancaman kekerasan dan tindakan kekerasan itu sendiri. 14 3. Kekerasan Seksual Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang PKDRT kekerasan seksual dibagi kedalam 2 (dua) jenis, yaitu: 13 Aroma Elmina Martha, Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dan Malaysia, 2013, Yogyakarta : Aswaja Presindo, Hlm 5. 14 Ibid, Hlm7. 11

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4. Penelantaran Rumah Tangga Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang PKDRT, penelantaran rumah tangga adalah tidak menunaikan kewajiban padahal orang tersebut memiliki kewajiban untuk memberikan kehidupan, perawatan, dan pemeliharaan, atau dapat berupa pembatasan hak yang mana menyebabkan ketergantungan ekonomi dengan akibat orang yang mengalami ketergantungan tersebut dibawah kendali orang yang memiliki kemapanan ekonomi. Kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu permasalahan hukum juga harus dikaji melalui disiplin ilmu yang lain, yaitu krimininologi. Hal ini ditujukan agar penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan dengan baik dan benar. Kriminologi sebagai ilmu yang membahas penyebab atau latarbelakang seseorang melakukan kejahatan 15 memberikan satu teori yang dapat digunakan untuk mengatasi atau menekan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu dapat 15 Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Op.Cit, Hlm 74. 12

dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kontrol sosial atau social bonds oleh Travis Hirchi merupakan salah satu teori yang dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Teori kontrol sosial menyatakan bahwa perilaku jahat yang dilakukan oleh seseorang dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: 16 1. Attachment Attachment, merupakan bentuk keterikatan seseorang pada orang lain (orang tua) atau lembaga (sekolah) dapat mencegah atau menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan. 2. Commitment Commitment atau keterikatan seseorang pada subsistem konvensional akan memberikan kesadaran yang kuat mengenai masa depan, sehingga seseorang yang sadar akan pentingnya masa depan akan memiliki tanggungjawab yang kuat dimasa sekarang. Hal tersebut dikarenakan masa depan seseorang tergantung bagaimana dirinya besikap sekarang. 3. Involvement Involvement atau keterlibatan seseorang kepada aktivitas suatu lembaga akan mendorong individu untuk berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Keterlibatan individu dalam kegiatan tersebut dapat 16 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, 2010, Bandung: PT Refika Aditama, Hlm 46-47. 13

mencegah terjadinya kejahatan. Semakin sering frekuensi kegiatan seseorang maka semakin kecil kecenderungan orang tersebut untuk berbuat jahat, dan semakin rendah frekuensi kegiatan seseorang maka kecenderungan untuk berbuat jahat orang tersebut akan semakin besar. 4. Belief Belief atau kepercayaan, merupakan unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat. Belief menyebabkan seseorang menghargai norma-norma dan aturan-aturan serta merasakan adanya kewajiban moral untuk menaatinya. Sehingga orang yang memegang erat norma-norma yang ada, maka orang tersebut semakin kecil peluangnya untuk melakukan kejahatan. Berdasarkan teori diatas maka dapat disimpulkan terjadinya suatu kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari faktor attachtment, commitment, involvement, dan belief. Selain itu dalam upaya untuk menekan angka kekerasan dalam rumah tangga juga tidak terlepas dari peran penegak hukum, terutama hakim 17. Hakim sebagai salah satu penegak hukum yang independen dan memiliki kewenangan untuk memutus suatu perkara yang diajukan harusnya dapat mencegah atau setidak-tidaknnya dapat menekan angka kekerasan yang terjadi dengan putusannya. Hakim dalam memutus hendaknya harus mempertimbangkan akibat putusan bagi pelaku 17 Pasal 11 Undang-Undang PKDRT menyatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. 14

khususnya, korban, dan masyarat umum. Hakim dalam memberikan putusan harus berupaya untuk memasukan langkah preventif dan represif didalam putusannya, langkah tersebut berupa penjatuhan sanksi pidana. Pengadilan Negeri, khususnya hakim sebagai penegak hukum juga harus memberikan hak-hak korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Pemberian hak-hak ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa korban tidak mengalami trauma yang berlanjut. Hak korban ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang PKDRT diantara adalah hak untuk mendapat perlindungan, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan penangan secara khusus, hak pendampingan, dan hak untuk pelayanan rohani. 18 Mengingat dalam Pasal 51, 52, 53 Undang-Undang PKDRT bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan delik aduan, 19 maka dalam melakukan penyelesaian perkara terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga harus didasarkan pada adanya aduan terlebih dahulu yang mana dilakukan oleh korban kekerasan atau berdasarkan laporan oleh kelurga korban atau orang lain atas persetujuan korban kekerasan dalam rumah tangga tersebut. 20 18 Pasal 32 Undang-Undang PKDRT menyatakan bahwa korban dapat diberikan pelindungan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas dasar penetapan pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa pengadilan juga harus memberikan perlindungan hukum kepada korban kekerasan dalam rumah tangga. 19 Kekerasan dalam rumah tangga yang berupa kekerasan fisik, psikis, dan pemakssaan hubungan seksual dalam rumah tangga adalah delik aduan. 20 Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang PKDRT : Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara. 15

Menurut Pasal 16 UU PKDRT, Kepolisian wajib memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam kurun waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan terkait dengan tindak pidana kekerasan yang menimpa korban dengan berdasarkan kepada surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan ini diberikan paling lama selama 7 (tujuh) hari. Dalam melakukan perlindungan sementara kepada korban kekerasan, pihak kepolisian dapat melakukan kerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pendamping rohani yang mana ditujukan untuk pemenuhan hak korban, dan dalam rangka untuk pemulihan kondisi korban setelah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa dirinya. 21 F. Metode Penelitian 1. Objek penelitian - Kesenjangan antara tingginya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang ada senyatanya dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang berhasil diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Wonosari. - Proses penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Gunungkidul. 21 Pasal 17 Undang-Undang Nomor PKDRT. 16

- Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Gunungkidul. 2. Subjek penelitian - Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Kabupaten Gunungkidul - Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Kepolisan Resor Gunungkidul - Hakim Pengadilan Negeri Wonosari - Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga 3. Sumber Data a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan cara melakukan wawancara kepada subjek penelitian. b. Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, buku-buku, serta peraturan perundang-undang yang berlaku terkait dengan masalah yang sedang penulis teliti. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Melakukan wawancara langsung kepada subjek penelitian secara mendalam terkait dengan objek penelitian. b. Studi Pustaka 17

Menggali data dari dokumen-dokumen, buku-buku, maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. 5. Metode Pendekatan a. Pendekatan kriminologis, yaitu pendekatan dari sudut pandang kriminologi yang mana mengkaji tentang sebab musabab seseorang melakukan perbuatan jahat. b. Pendekatan yuridis-normatif, yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Pendekatan yuridis-sosiologis, yaitu pendekatan dari sudut pandang hukum yang berlaku di dalam masyarakat. 6. Pengolahan dan Analisis Data Data yang sudah terkumpul dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu metode pengumpulan data dengan menekankan pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah, sehingga nantinya didapatkan kesimpulan yang sesuai dengan pertanyaan penulis pada rumusan masalah. 18