IDENTIFIKASI KEJADIAN MONSUN EKSTRIM DI PULAU JAWA DAN SEKITARNYA Lely Qodrita Avia Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN Jl. Dr. Djundjunan - Bandung email : qodrita@yahoo.com Abstract Rainfall is elements of climate in Indonesia has the highest variability compared to the other climatic elements. The main factors causing seasonal climate variations at Jawa island is monsoon phenomenon. Comparison between the amount of rainfall in the Asian monsoon for period of December,January,and February relatively is larger than the Australian monsoon for period of June, July, and August in Java island. The TRMM 3B43v6 satellite data over the period 1998-2010 as the main data is used in this study. While ONI (Oceanic Nino Index) and DMI (Dipole Mode Index) data is used as supporting data. This research was conducted to investigate the characteristics of the distribution of rainfall during the monsoon period, and to identify the extreme monsoon events at Java island. The results showed that the incidence of extreme looks the same between the Asian monsoon and the Australian monsoon in Java occurred in the period 1999, 2002, 2006 and 2008. The results also showed that the incidence of extreme monsoon seems related to the global phenomenon of ENSO events in the equatorial Pacific Ocean and the IOD phenomenon in the equatorial Indian Ocean. Keywords: rainfall, TRMM, monsoon, extreme Abstrak Curah hujan sebagai unsur iklim di wilayah Indonesia memiliki variabilitas paling tinggi dibanding unsur-unsur iklim lainnya. Faktor utama penyebab variasi iklim musiman di pulau Jawa adalah fenomena monsun. Perbandingan antara jumlah curah hujan di pulau Jawa pada periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) relatif lebih besar daripada periode monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus). Data satelit TRMM 3B43v6 selama periode 1998-2010 sebagai data utamapada penelitian ini. Sedangkan data ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index) digunakan sebagai data pendukung. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik spasial distribusi curah hujan monsun dan melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa selama periode tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tampak kejadian ekstrim yang bersamaan antara monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa terjadi pada periode tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian monsun ektrim ini tampak berkaitan dengan berlangsungnya fenomena global ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD di Samudera Hindia ekuator. Kata kunci : curah hujan, trmm, monsun, ekstrim ~ 172 ~
1. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia yang dikenal sebagai negara benua maritim. Sekitar 70% bagian wilayahnya berupa lautan. Daratan Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau besar dan pulau-pulau kecil dengan topografi yang terdiri dari banyak pegunungan. Posisi wilayah Indonesia juga diapit oleh dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta diapit dua lautan yang besar yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selain dari itu wilayah Indonesia juga dilalui oleh dua sirkulasi atmosfer global yaitu sirkulasi zonal dan meridional yang dikenal dengan sirkulasi Walker dan sirkulasi Hadley. Karena keunikan posisi, kondisi geografis dan topografi Indonesia tersebut menjadikan kondisi iklim di wilayah Indonesia yang juga sangat beragam. Monsun sebagai fenomena cuaca yang besar di bumi, dimana wilayah Indonesia termasuk wilayah yang dipengaruhinya (Webster 1987). Monsun Asia menunjukkan variabilitas antar tahun yang kuat (Webster et al.,1998). Fenomena monsun merupakan interaksi langsung antara udara dan lautan. Fenomena monsun adalah salah satu dari fenomena atmosfer yang terjadi di daerah ekuator dengan osilasi sekitar 6-12 bulan (Krishnamurti-Bhalme,1976). Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah sebanyak dua kali dalam satu tahun. Chao et al (2001) mengemukakan bahwa monsun adalah perbedaan tegas awal musim basah (hujan) dan musim kering (kemarau) karena perubahan arah dan kecepatan angin akibat gradient tekanan. Monsun Asia dipengaruhi oleh WNPMI (Western North Pacific Monsoon Index) dan ISMI (Indian Summer Monsoon Index). Sedangkan monsun Australia dipengaruhi oleh AUSMI (Australia Monsoon Index). Daerah monsun ditandai dengan (a) perubahan arah angin utama sekurangkurangnya 120 derajat dari bulan Januari dan Juli; (b) rata-rata frekuensi angin utama dalam bulan Januari dan Juli lebih dari 40%; (c) sekurang-kurangnya sebulan, rata-rata resultan angin dalam sebulan lebih dari 3m/detik; (d) sekurang-kurangnya satu siklonantisiklon terjadi bergantian di daerah 5 derajat lintang dan bujur. Monsun merupakan suatu fenomena cuaca besar di bumi. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Ramage tersebut maka daerah yang disebut kawasan monsun adalah daerah yang terletak antara 35 o LU dan 25 o LS serta antara 30 o BT dan 170 o BT. Wilayah tersebut mencakup sebagian Asia (Asia bagian timur dan selatan), Indonesia, sebagian Australia (Australia bagian utara), Ramage (1971). Monsun dapat juga didefinisikan sebagai pembalikan angin permukaan tahunan, termasuk pembalikan perpindahan kelembaban tahunan dan distribusi presipitasi tahunan yang kontras antara musim panan dan musim dingin. Pusat musim ~ 173 ~
panas menyebabkan musim hujan, sementara musim kering terjadi disaat musim dingin, Wang and Ding (2006). Ramage (1971) juga menyatakan bahwa ada dua sistem monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsoon) atau angin monsun barat Asia yang dikenal juga dengan sebutan monsun Asia dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsoon) atau angin monsun timur yang dikenal juga dengan sebutan monsun Australia. Angin monsun barat atau monsun Asia yang berlangsung sekitar bulan Oktober sampai April. Pada saat ini matahari berada di belahan bumi selatan yang menyebabkan Benua Australia mengalami musim panas sehingga bertekanan rendah. Sedangkan Benua Asia lebih dingin sehingga bertekanan tinggi. Menurut hokum Buys Ballot, angin akan bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Sehingga angin akan bertiup dari benua Asia menuju ke benua Australia, karena menuju ke Selatan ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kiri. Angin ini melewati lautan luas di bagian utara samudera Pasifik dan Laut Cina Selatan dengan membawa banyak massa uap air sehingga menyebabkan di Indonesia akan mengalami musim hujan. Sedangkan angin monsun timur atau monsun Australia adalah angin yang berlangsung sekitar bulan April sampai Oktober. Pada saat ini matahari berada di belahan bumi utara, sehingga menyebabkan benua Australia mengalami musim dingin dan bertekanan tinggi. Sedangkan benua Asia lebih panas dan bertekanan rendah. Angin akan bertiup dari benua Australia menuju benua Asia. Karena menuju ekuator maka angin akan dibelokkan ke arah kanan. Pada periode ini Indonesia akan mengalami musim kemarau akibat angin tersebut melalui gurun pasir di bagian utara Australia yang kering dan hanya melalui lautan sempit. Oleh karena itu, identifikasi periode monsun di Indonesia selain dengan menggunakan data angin, dapat digunakan data curah hujan karena jelas sangat signifikan perbedaan distribusi curah hujan yang terjadi pada kedua periode monsun tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan pertama untuk mengetahui karakteristik spasial distribusi curah hujan selama periode monsun Asia dan monsun Australia berbasis data satelit dan tujuan kedua melakukan identifikasi kejadian monsun ekstrim di pulau Jawa selama periode 1998-2010 berdasarkan prosentase anomali curah hujan yang terjadi pada masing-masing periode monsun tersebut. Penelitian ini dilakukan secara spasial dengan menggunakan data curah hujan yang diperoleh dari satelit TRMM 3B43v6 yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan keterbatasan stasiun hujan, data curah hujan dari stasiun hujan yang kosong atau tidak lengkap. Data satelit TRMM ~ 174 ~
3B43v6 ini digunakan dengan pertimbangan data tersebut menunjukkan pola curah hujan yang umumnya dapat mengikuti pola curah hujan observasi permukaan dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi yang kuat yaitu 63.66%, 66.85% dan 72.94% untuk lokasi sekitar stasiun Lhokseumawe Aceh, stasiun Simpang Tiga Pekanbaru dan stasiun Bengkulu Bengkulu. Bahkan tampak nilai korelasi yang sangat kuat yaitu 83.05%, 80.44%, 85.08%, dan 84.88% untuk stasiun Polonia Medan, stasiun.tabing Padang, stasiun Banyuasin Sumsel dan stasiun Raden Inten Lampung (Avia dan Bambang, 2012). Begitu juga untuk stasiun Supadio Pontianak, stasiun Kayuwatu Manado, stasiun Sicincin Padang dan stasiun Kemayoran Jakarta yang tampak memiliki korelasi sangat kuat yaitu sekitar 80% (Suryantoro et al, 2008). Suatu indikator umum yang dikemukakan BMKG tentang salah satu kriteria cuaca ekstrim terjadi jika curah hujan lebih dari 50 mm/hari atau masuk dalam kategori intensitas hujan lebat. Namun untuk prediksi potensi banjir atau tanah longsor bulanan digunakan indikator jika curah hujan lebih dari 400 mm/bulan. Indikator 400 mm/bulan tersebut termasuk dalam kriteria distribusi curah hujan bulanan sangat tinggi, yang tampak prosentasenya lebih tinggi sekitar 33% dari distribusi curah hujan dengan kriteria menengah (mendekati rata-ratanya). Dengan memperhatikan beberapa kriteria tersebut diatas sehingga penulis pada penelitian ini menentukan kriteria monsun ekstrim terjadi jika prosentase anomali curah hujan pada masing-masing periode monsun tersebut lebih tinggi 40% dari kondisi rata-ratanya mengingat data periode monsun tersebut merupakan akumulasi dari data bulanan. Secara umum, sistem monsun juga dapat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi lain seperti interaksi dengan jets stream, IOD (Indian Ocean Dipole), osilasi selatan (Ashok et al. 2001, Li et al, 2003). Fenomena monsun terjadi secara periodik, akan tetapi awal musim hujan dan musim kemarau tidak selalu sama sepanjang tahun di Indonesia. Hal ini disebabkan musim di Indonesia juga dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Nino/La Nina, Osilasi Selatan, dan IOD. El Nino/La Nina adalah fenomena anomali panas/dingin Samudera Pasifik Ekuatorial Tengah dan Timur, sedangkan IOD adalah beda temperatur permukaan laut Pantai Timur Afrika dan Pantai Barat Sumatera (Yamagata et al., 2002). Pada penelitian ini juga dianalisis penyebab kondisi ekstrim tersebut dengan memperhatikan pengaruh fenomena global tersebut terhadap peningkatan atau penurunan curah hujan yang terjadi. ~ 175 ~
2. DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data Untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada suatu daerah sangat diperlukan data yang cukup panjang dan kontinyu. Karena keterbatasan jumlah stasiun observasi curah hujan dan kesinambungan data curah hujan permukaan secara spasial maka pada peneliti ini sebagai data utama digunakan data satelit TRMM 3B43v6. Data TRMM 3B43v6 ini memiliki resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat lintang bujur. Adapun periode data TRMM 3B43v6 yang digunakan pada penelitian ini merupakan data curah hujan periode monsun Asia (Desember, Januari, dan Februari) dan monsun Australia (Juni, Juli, dan Agustus) sejak 1998 sampai 2010. Sedangkan data lainnya yang digunakan sebagai data pendukung pada penelitian ini untuk mengetahui penyebab kondisi ekstrim tersebut adalah data ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index) yang mengindikasikan fenomena ENSO (El Nino and Southern Oscillation Index) dan fenomena IOD (Indian Ocean Dipole), juga data MJO (Maden-Julian Oscillation). 2.2 Metodologi Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini dengan melakukan pengolah data menggunakan software McExcell dan GrADS (Grid Analysis and Display System) adalah untuk mengetahui karakteristik curah hujan pada periode monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa dilakukan kroping data satelit TRMM untuk wilayah Jawa dengan batasan geografis 5,75 o LS sampai 9,00 o LS dan 105,00 o BT sampai 114,75 o BT. Selanjutnya data untuk data terpilih dilakukan perhitungan akumulasi data setiap tahunnya untuk masing-masing periode monsun. Selanjutnya dilakukan perata-rataan selama periode penelitian yaitu 1998-2010 yang dapat merepresentasikan karakteristik curah hujan pada periode monsun tersebut. Sedangkan untuk mengetahui kondisi ekstrim dilakukan pengolahan data prosentase anomalinya yang merupakan prosentase perbedaan curah hujan periode monsun untuk setiap tahunnya terhadap kondisi rata-rata curah hujan monsun, secara matematis dapat ditulis ((( ) ) ), dimana P i adalah prosentase anomali curah hujan monsun tahun ke-i, adalah curah hujan pada periode monsun tahun ke-i, adalah curah hujan rata-rata periode monsun selama 1998-2010, dan i adalah tahun penelitian. Hal ini dilakukan untuk masing-masing periode monsun, sehingga dapat dianalisis jika prosentase anomali curah hujan pada periode tersebut lebih dari 40% dapat merepresentasikan ~ 176 ~
kondisi monsun ekstrim. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh dan juga analisis terhadap data pendukung lainnya guna mengetahui penyebab terjadinya kondisi esktrim tersebut. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik curah hujan periode monsun Asia dan monsun Australia di pulau Jawa Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa pada periode sekitar bulan Oktober sampai April,bertiup angin monsun barat atau monsun Asia, dimana periode tersebut matahari berada di belahan bumi selatan, sehingga menyebabkan di benua Australia musim panas dan bertekanan rendah. Sedangkan kondisi sebaliknya terjadi yaitu angin monsun timur atau monsun Australia yang bertiup sekitar bulan April sampai Oktober, dimana periode tersebut matahari berada di belahan bumi utara, sehingga menyebabkan benua Australia musim dingin dan bertekanan tinggi. Gambar 1 menunjukkan pola rata-rata arah angin bulanan selama periode monsun Asia dan monsun Australia berlangsung. Gambar 1. Rata-rata arah angin bulanan pada periode monsun Asia(a) dan periode monsun Australia (b) (sumber : BMKG) Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2. Pada penelitian ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode monsun Asia karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Asia yang cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau dapat dikatakan sebagai kondisi rata-ratanya. Sejalan dengan keterangan diatas tampak karakteristik curah hujan yang besar di pulau Jawa terjadi pada periode monsun Asia ini. Pada Gambar 2 tersebut ~ 177 ~
tampak bahwa karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa bervariasi antara 600 mm sampai 1300 mm, dimana curah hujan terbesar antara 1100 mm sampai 1300 mm terjadi pada dua lokasi yaitu satu di daerah Jawa Tengah dan satu lagi di daerah Jawa Timur yang tampak merupakan daerah dengan topografi dataran tinggi. Selain itu daerah tersebut juga tampak pada Gambar 1 merupakan daerah pertemuan angin yang bertiup dari utara dan dari selatan. Sedangkan daerah sekitar pantai barat dan tenggara pulau Jawa tampak memiliki karakteristik curah hujan monsun Asia yang relatif kecil yaitu antara 600 mm sampai 800 mm. Gambar 2. Karakteristik curah hujan periode monsun Asia di pulau Jawa Berdasarkan hasil pengolahan data selama periode penelitian ini diperoleh karakteristik curah hujan pada periode monsun Australia di pulau Jawa sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Sama halnya dengan periode monsun Asia, pada periode monsun Australia ini dapat dikatakan karakteristik curah hujan periode monsun Australia karena merupakan hasil olahan data rata-rata selama periode monsun Australia yang cukup panjang yaitu sekitar 13 tahun pengamatan atau juga disebut sebagai kondisi rataratanya. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa yang memiliki curah hujan yang kecil dimana hanya bervariasi antara 50 mm sampai 400 mm. Karakteristik daerah di bagian timur pulau Jawa tampak lebih kering dimana curah hujan hanya sekitar 50 mm sampai 150 mm yang dibandingkan daerah bagian tengah dan barat pulau Jawa tampak relatif lebih besar umumnya antara 150 mm sampai 300 mm. Hanya ~ 178 ~
sebagian daerah di Jawa Barat yang memiliki curah hujan antara 300 mm sampai 400 mm seperti yang tampak pada Gambar 3. Gambar 3. Karakteristik curah hujan periode monsun Australia di pulau Jawa 3.2 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Asia di pulau Jawa Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 telah diperoleh rata-rata curah hujan selama periode monsun Asia seperti yang telah dijelaskan pada point 3.1 sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Asia. Untuk mengetahui kondisi monsun ektrim telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode monsun Asia setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga diperoleh hasil sebagaimana yang tampak pada Gambar 4 merupakan variasi anomali curah hujan periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini. Pada Gambar 5 tersebut diketahui bahwa selama periode penelitian dapat diidentifikasi kejadian monsun Asia yang cukup ekstrim yaitu pada tahun 1999, 2002, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010 yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan intensitas curah hujan yang sangat besar di beberapa daerah di pulau Jawa. Prosentase anomali curah hujan selama periode monsun tampak umumnya antara 40% sampai 60% dibanding kondisi rata-ratanya. Dari Gambar 4 tersebut juga tampak bahwa lokasi daerah monsun ekstrim yang tidak konsisten atau tidak selalu sama hal ini sangat terkait dengan kondisi pergeseran pusat awan-awan konvektif yang sangat dinamis. ~ 179 ~
Gambar 4. Variasi anomali curah hujan periode monsun Asia tahun 1998-2010 Berdasarkan kondisi global fenomena ENSO dan fenomena IOD yang dapat dilihat dari indikasi nilai ONI (Oceanic Nino Index) dan DMI (Dipole Mode Index). Tampak bahwa adanya kaitan antara peningkatan curah hujan yang menjadikan kondisi periode monsun ekstrim tersebut terhadap berlangsungnya fenomena La Nina di Samudera Pasifik terutama tahun 1999, 2007, 2010 dengan intensitas kuat dan tahun 2005, 2008 dengan intensitas sedang. Sedangkan tahun 2002, 2006 dan 2009 tampak pada Gambar 5 indikasi dari ONI menunjukkan berlangsungnya fenomena El Nino di Samudera Pasifik namun data curah hujan di pulau Jawa tampak juga menunjukkan anomali positif yang cukup tinggi 40% sampai 60% dari kondisi normalnya terutama untuk Jawa bagian timur. Oleh karena itu tampak adanya faktor lain yang mempengaruhi peningkatan curah hujan di pulau Jawa pada periode tersebut. Pada periode ini tampak adanya fenomena MJO (Maden-Julian Oscillation) yang berada dalam status aktif dan kuat di kawasan Benua Maritim Indonesia dan samudera India pada tahun 2002 bulan Desember, sedangkan tahun 2006, bulan Desember sampai Februari, serta tahun 2009 bulan Desember dan Januari sebagaimana yang tampak pada Gambar 6. ~ 180 ~
Gambar 5. Ocean Nino Index (ONI) bulan Desember-Februari (a) dan Dipole Mode Index bulan Desember-Februari (b) selama periode penelitian Gambar 6. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Desember-Maret 3.3 Identifikasi Kondisi Ekstrim Monsun Australia di pulau Jawa Berdasarkan data curah hujan dari satelit TRMM 3B43v6 juga telah diperoleh ratarata curah hujan selama periode monsun Australia seperti yang telah dijelaskan pada point 3.1 sebagai karakteristik curah hujan periode monsun Australia. Untuk mengetahui kondisi monsun ektrim juga telah dilakukan pengolahan data anomali curah hujan pada periode monsun Australia setiap tahunnya di pulau Jawa dalam bentuk prosentase. Sehingga diperoleh hasil sebagaimana yang tampak pada Gambar 7 merupakan variasi anomali curah hujan periode monsun Asia setiap tahun selama periode penelitian ini. Tampak pada Gambar 7 tersebut untuk periode monsun Australia (JJA) selama periode penelitian ini telah teridentifikasi kejadian monsun ekstrim yaitu pada tahun 1998, 1999, 2001, 2002, 2003, 2006, 2008, 2010. Diantara waktu tersebut tampak kejadian curah hujan monsun yang sangat ekstrim pada tahun 1998 dan 2010 dimana tampak anomali positif curah hujan periode monsun Australia ini yang sangat tinggi yaitu lebih dari 80% ~ 181 ~
dibanding kondisi rata-ratanya. Pada Gambar 8 dapat menjelaskan hal tersebut sangat berkaitan erat dengan berlangsungnya fenomena La Nina dengan intensitas sedang dan pada waktu yang bersamaan ditambah dengan berlangsungnya fenomena IOD negatif di Samudera Hindia sehingga tampak telah memberikan dampak yang nyata pada peningkatan curah hujan yang luar biasa di pulau Jawa. Sementara pada tahun 1999 tampak La Nina masih berlangsung dengan intensitas melebihi tahun 1998 namun di samudera Hindia tampak IOD dalam kondisi normal sehingga dampak peningkatan curah hujan di pulau Jawa tidak sebesar pada tahun 1998. Pada tahun 2001 tampak peningkatan curah hujan yang lebih dari 60% dari rata-ratanya terutama tampak di pulau Jawa bagian tengah dan timur. Hal ini tampak merupakan akibat dari berlangsungnya IOD negatif di Samudera Pasifik. Namun pada tahun 2002 dan 2003 tampak kondisi yang sebaliknya dimana tampak kondisi pulau jawa yang kering karena adanya penurunan curah hujan 60% sampai 100% dibanding rata-ratanya. Hal ini disebabkan tahun 2002 berlangsung fenomena El Nino namun tampak diredam oleh fenomena IOD negatif. Sedangkan pada tahun 2003 tampak IOD positif tampak berpengaruh kuat pada pengurangan jumlah curah hujan di pulau Jawa yang hampir merata. Sama halnya dengan kondisi pada monsun Asia, pada periode monsun Asutralia ini juga tampak adanya fenomena lain yang dominan mempengaruhi atmosfer. Pada tahun 2006 dan 2008 dari indeks ENSO maupun indeks IOD tidak menunjukkan kondisi anomali di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, namun terlihat dari data curah hujan untuk periode ini juga menunjukkan kondisi yang kering dimana anomali curah hujan negatif cukup tinggi yaitu 60% sampai 80% dari rataratanya. Tampak selama periode Juni sampai Juli 2006 tersebut kondisi MJO yang dalam kondisi tidak aktif untuk wilayah Indonesia, yang baru maenjadi aktif pada bulan September. Sehingga kondisi di wilayah Indonesia menjadi kering dan tampak bebas dari awan-awan konvektif seperti yang ditunjukkan Gambar 9. ~ 182 ~
Gambar 7. Variasi anomali curah hujan periode monsun Australia tahun 1998-2010 Gambar 8. Ocean Nino Index (ONI) bulan Juni-Agustus (a) dan Dipole Mode Index bulan Juni-Agustus (b) selama periode penelitian ~ 183 ~
Gambar 9. Diagram fase Madden-Julian Oscillation untuk bulan Juni-September 2006 4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis diatas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu telah teridentifikasi periode tahun dimana terjadi kondisi monsun ekstrim yang bersamaan antara monsun Asia dan monsun Australia yang memberikan dampak terhadap peningkatan ataupun penurunan curah hujan yang cukup besar di pulau Jawa yaitu mencapai 60% - 100% lebih dari kondisi rata-ratanya atau sebaliknya 60%-100% kurang dari kondisi rataratanya yaitu pada tahun 1999, 2002, 2006 dan 2008. Dari beberapa kejadian ektrim tersebut tampak tidak konsisten terjadi pada lokasi yang selalu sama, namun tampak daerah yang rentan umumnya terjadi di bagian timur pulau Jawa. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kejadian monsun ekstrim ini tampak sangat berkaitan dengan berlangsungnya fenomena global ENSO di Samudera Pasifik ekuator dan fenomena IOD di Samudera Hindia ekuator yang mempengaruhi distribusi curah hujan di pulau Jawa. Selain fenomena tersebut juga tampak fenomena MJO juga cukup berperan dalam indikasi keberadaan awan-awan konvektif di pulau Jawa dan wilayah Indonesia pada umumnya DAFTAR RUJUKAN Ashok, K., Z. Guan, and T. Yamagata, 2001: Impact of the Indian Ocean dipole on the relationship berween the Indian Monsoon rainfall and ENSO, eophys. es. Lett., 28, 4499-4502 Avia, L. Q. dan Bambang S., 2012: Pembandingan Data Curah Hujan Bulanan Estimasi Satelit TRMM Terhadap Data Curah Hujan Observasi di Sumatera, Prosiding Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, ISSN 2088-4818, 389 399 Chao, W.C. and B. Chen, 2001. The Origin of Monsoons. J. Atmos. Sci.,58, 3497-3507. ~ 184 ~
Li, T., B. Wang, C.P.Chang, and Y.Zhang, 2003: A theory for the Indian Ocean dipole-zonal mode. J.Atmos.Sci., 60, 2119-2135 Krishnamurti, T. N., H. N. Bhalme, 1976: Oscillations of a Monsoon System. Part I. Observational Aspects. J. Atmos. Sci., 33,1937 1954 Ramage, C. S., 1971. onsoon eteorology, Academic Press, New York. Suryantoro, A., T. Harjana, Halimurrahman, 2008 : Variasi Spasio Temporal Curah Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM, Prosiding Workshop Aplikasi Sains Atmosfer : Sains Atmosfer Dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan, ISBN 978-979-1458-25-2. Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Bandung, 1 Desember 2008, 175-186 Wang, B., and Q. Ding, 2006. Changes in global monsoon precipitation over the past 56 years. Geophys. Res. Lett., 33, L06711, doi:10.1029/2005gl025347. Webster, P.J., 1987 : The elementary monsoon. Monsoon, J. S. Frein and P.L,. Stephens, eds., John Wiley and Sons, 3-32. Webster, P.J., V.O. Magana, T.N. Palmer, J. Shukla, R.A. Tomas, M.Yanai, and T. Yasunari,1998: Monsoons: processes, predictability, and the prospects for prediction. J. Geopys. Res., 193,14,451-14,510 Yamagata, T., S. K. Behera, S. A. Rao., Z. Guan, K. Ashok, and H.N. Saji, 2002: The Indian Ocean dipole: a physical entity, CLIVAR Exchanges, 24, 15 18 ~ 185 ~