PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. cukup luas sangat menunjang untuk kegiatan pertanian. Sebagai negara agraris yang

WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dan daerah yang memiliki sumber daya alam yang terbatas. Kemiskinan

BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,

BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

RINGKASAN RANCANGAN APBD MENURUT ORGANISASI DAN URUSAN PEMERINTAHAN

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

BUPATI KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI KUANTAN SINGINGI NOMOR 5 TAHUN 2014

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

PENGENALAN WILAYAH POTENSI DAN PERMASALAHAN KEC. SAMBIREJO DAN KEC. GESI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2013 TENTANG

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 90 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. terbesar kedua setelah sektor pariwisata (perdagangan, hotel, dan restoran).

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG

EFEKTIVITAS DISTRIBUSI PUPUK BERSUBSIDI (Studi Kasus di Desa Ampeldento, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang) PENDAHULUAN

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA MAKASSAR, PROVINSI SULAWESI SELATAN. PERATURAN WALIKOTA MAKASSAR Nomor 1 Tahun 2016 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

GUBERNUR BALI, TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR : 11 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 63 TAHUN 2015

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

PERATURAN BUPATI SERANG NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI PAKPAK BHARAT NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR,

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu sektor pertanian menjadi salah satu sektor prioritas bagi pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap perkembangan sektor pertanian dapat dilihat dari berbagai kebijakan pemerintah di bidang pertanian. Kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi sektor pertanian yaitu dalam bentuk asuransi, kredit usahatani, bantuan alsintan, pupuk bersubsidi, dan program upaya khusus jagung, padi, kedelai (Upsus Pajale). Sektor pertanian juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja dan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di bidang tersebut sehingga sektor pertanian perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Berdasarkan data BPS (2016) menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto sebesar 13.52% yang bernilai Rp 1.560.399,30 milliar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertanian memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pupuk merupakan salah satu komponen faktor produksi yang berperan penting dalam peningkatan usahatani di Indonesia. Pupuk berperan sebagai lini depan dalam usaha untuk meningkatkan produksi pangan dunia daripada jenis input lainnya. Pupuk memegang peranan penting dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman. Apabila hara tanaman rendah, maka produktivitas tanah dan hasil tanaman akan rendah. Oleh karena itu dengan memasok unsur hara esensial diharapkan tanaman dapat memproduksi hasil yang tinggi (Primaningtyas, 2009). Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang dapat meningkatkan produktivitas secara efektif. Oleh karena itu ketersediaan pupuk yang cukup dan sesuai menjadi hal yang penting dalam usaha peningkatan produksi pertanian. Berdasarkan hal tersebut pemerintah berupaya menjamin ketersediaan pupuk bagi pertanian melalui pengadaan pupuk bersubsidi. Kebijakan pemerintah tersebut telah berlaku sejak tahun 1970 dengan terus dilakukan perbaikan terhadap sistem pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi. Masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi di Indonesia adalah tidak tersedianya pupuk di pasaran terutama pupuk bersubsidi. Hal tersebut berdampak pada rendahnya produktivitas tanaman pangan seperti padi dan jagung yang dihasilkan dan akan berdampak pada pendapatan 1

petani yang rendah. Kelangkaan pupuk tersebut membuat tanaman padi tidak dipupuk secara 6 tepat, termasuk diantaranya tepat waktu dan tepat dosis. Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1998 pernah melakukan pencabutan pupuk bersubsidi. Pencabutan pupuk bersubsidi tersebut berpengaruh pada penurunan produksi padi nasional. Menurut data BPS (2016) pada tahun 1997 produktivitas padi di Indonesia rata-rata 44,34 kuintal/ha kemudian pada tahun 1998 menurun menjadi 41,97 kuintal/ha. Pada tahun 1996 produksi padi nasional 51,049 juta ton menurun menjadi 49,237 juta ton pada tahun 1998. Setelah subsidi pupuk diterapkan kembali oleh pemerintah pada tahun 1999 produksi padi berangsur mengalami kenaikan pada tahun 2000 produksi pada nasional mencapai 51,899 juta ton dengan produktivitas padi nasional mencapai 44,01 kuintal/ha. Kelancaran penyaluran pupuk bersubsidi salah satunya dipengaruhi oleh sistem distribusi yang efisien. Efisiensi distribusi merupakan hal penting agar pupuk bersubsidi sampai ke tangan konsumen sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang kuat dan efisien akan menunjang keberhasilan di sektor pertanian. Sementara sistem distribusi yang tidak efisien dapat menimbulkan masalah kelangkaan dan penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi. Permasalahan distribusi pupuk bersubsidi semacam itu dapat berdampak lebih jauh lagi terhadap kestabilan sektor pertanian. Lembaga distribusi yang terlibat dalam penyaluran pupuk bersubsidi masing-masing memiliki peran dalam menjamin ketersediaan pupuk bersubsidi. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi antar lembaga distribusi untuk mewujudkan distribusi pupuk bersubsidi yang efisien sehingga ketersediaan pupuk bersubsidi untuk petani terjamin. 2

Tabel 1.1 Rencana dan Realisasi Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi No. Jenis Pupuk Tahun 2013 2014 2015 1 Urea Target (ton) 3.860.101,00 4.100.000,00 4.100.000,00 Realisasi (ton) 3.885.658,00 3.979.765,00 3.655.477,00 Presentase (%) 100,66 97,07 89,16 2 SP-36 Target (ton) 805.396,00 850.000,00 850.000 Realisasi (ton) 824.055,00 795.179,00 798.758,00 Presentase (%) 102,32 93,55 93,97 3 ZA Target (ton) 1.075.000,00 1.050.000,00 1.050.000,00 Realisasi (ton) 1.070.419,00 971.824,00 944.896,00 Presentase (%) 99,57 92,55 89,99 4 NPK Target (ton) 2.131.224,00 2.550.000,00 2.550.000 Realisasi (ton) 2.277.873,00 2.372.539,00 2.404.672,00 Presentase (%) 106,88 93,04 94,30 5 Organik Target (ton) 739.329,00 1.000.000,00 1.000.000 Realisasi (ton) 800.360,00 738.763,00 766.429 Presentase (%) 108,25 73,88 76,64 Jumlah Target (ton) 8.611.050,00 9.550.000,00 9.550.000,00 Realisasi (ton) 8.858.365,00 8.858.070,00 8.570.232,00 Presentase (%) 102,87 92,75 89,74 Sumber: Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian RI, 2014 dan 2015 (diolah) Berdasarkan tabel 1.1 diatas diketahui bahwa presentase realisasi pupuk bersubsidi dari tahun 2013 hingga tahun 2015 semakin menurun. Realisasi penyaluran pupuk bersubsidi lebih rendah dari target yang telah ditentukan. Hal tersebut dapat menggambarkan kinerja distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia. Tidak tercapainya realisasi penyaluran pupuk bersubsidi sesuai target dapat menjadi indikator bahwa sistem distribusi yang berlaku masih belum efisien dan efektif. Penelitian ini akan mengkaji mengenai efisiensi distribusi pupuk bersubsidi terutama pupuk urea di Kabupaten Sragen yang dilihat dari prespektif distribusi. Saluran distribusi merupakan suatu struktur organisasi yang terdiri atas produsen, distributor, dan pengecer resmi sebagai perantara yang dilalui oleh perpindahanperpindahan barang fisik maupun perpindahan barang milik hingga ke konsumen. Kegiatan distribusi yang dikaji mencakup kegiatan pemindahaan barang pupuk urea bersubsidi dari produsen hingga ke petani. Pengkajian tentang efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi dapat menggambarkan ada atau tidaknya permasalahan pada pelaksanaan kebijakan pupuk bersubsidi terutama di Kabupaten Sragen. Terdapat 5 3

jenis pupuk yang pengadaannya di subsidi oleh pemerintah. Namun dalam penelitian ini hanya menganalisis efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi. Hal tersebut dikarenakan tingkat kebutuhan pupuk urea bersubsidi lebih tinggi dibandingkan keempat jenis pupuk bersubsidi lainnya. Tabel 1.2 Kebutuhan Pupuk Bersubsidi di Kabupaten Sragen Tahun 2015 Luas Kebutuhan Pupuk (Ton) No. Kecamatan Lahan (ha) Urea SP-36 ZA NPK Organik 1 Kr.Malang 7.299 1.824,68 1.094,81 1.094,81 1.459,74 875,84 2 Kedawung 8.264 2.066,00 1.239,60 1.239,60 1.652,80 991,68 3 Sambirejo 4.475 1.118,75 671,25 671,25 895,00 537,00 4 Ngrampal 7.521 1.880,25 1.128,15 1.128,15 1.504,20 902,52 5 Sragen 4.422 1.105,50 663,30 663,30 884,40 530,64 6 Sidoharjo 9.933 2.483,25 1.489,95 1.489,95 1.986,60 1.191,96 7 Masaran 8.478 2.119,50 1.271,70 1.271,70 1.695,60 1.017,36 8 Tanon 9.500 2.375,00 1.425,00 1.425,00 1.900,00 1.140,00 9 Plupuh 10.336 2.584,00 1.550,40 1.550,40 2.067,20 1.240,32 10 Kalijambe 5.885 1.471,25 882,75 882,75 1.177,00 706,20 11 Gemolong 6.610 1.652,50 991,50 991,50 1.322,00 793,20 12 Miri 5.475 1.368,82 821,29 821,29 1.095,06 657,03 13 Sukodono 5.532 1.383,00 829,80 829,80 1.106,40 663,84 14 Mondokan 6.923 1.730,75 1.038,45 1.038,45 1.384,60 830,76 15 Sb.Lawang 8.900 2.225,00 1.335,00 1.335,00 1.780,00 1.068,00 16 Gesi 3.280 820,00 492,00 492,00 656,00 393,60 17 Tangen 6.758 1.689,50 1.013,70 1.013,70 1.351,60 810,96 18 Jenar 3.960 990,00 594,00 594,00 792,00 475,20 19 Gondang 7.450 1.862,50 1.117,50 1.117,50 1.490,00 894,00 20 Sb.Macan 6.953 1.738,22 1.042,93 1.042,93 1.390,57 834,34 Jumlah 137.954 34.488,46 20.693,08 20.693,08 27.590,77 16.554,46 Sumber: Badan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Sragen, 2016 Kabupaten Sragen merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Tengah hal tersebut dapat dilihat dari luas wilayah Kabupaten Sragen yang sebagian besar meliputi lahan sawah 97.444 ha (BPS, 2016). Sektor pertanian juga merupakan salah satu sektor basis yang menyumbang cukup tinggi PDRB di Kabupaten Sragen. Produksi hasil pertanian di Kabupaten Sragen yang tinggi salah satunya ditunjang oleh program pupuk bersubsidi yang dicanangkan oleh pemerintah. Berdasarkan latar belakang tersebut maka pelaksanaan distribusi pupuk bersubsidi khususnya jenis pupuk urea menjadi salah satu faktor pendukung yang penting dalam perkembangan sektor pertanian di 4

Kabupaten Sragen. Tingkat keberhasilan pengadaan dan penyaluran pupuk urea bersubsidi yang tinggi maka dapat memberikan dampak yang positif bagi perkembangan pertanian dan kesejahteraan petani di Kabupaten Sragen. 2. Perumusan Masalah Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi sebagai sarana produksi dalam sektor pertanian. Efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi dari produsen hingga ke konsumen dalam hal ini petani akan dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan pupuk urea bagi kelompok tani dengan mudah dan harga yang sesuai. Pendistribusian pupuk urea bersubsidi dari produsen hingga ke pengecer merupakan tanggungjawab distributor yang telah ditunjuk pada masing-masing daerah, selanjutnya petani dapat membeli pupuk urea bersubsidi berdasarkan RDKK dari pengecer resmi yang telah ditunjuk. Pupuk yang disiapkan disesuaikan dengan kebutuhan petani yang tergabung dalam kelompok tani. Maka kelompok tani harus membuat rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Pemerintah daerah memiliki tanggungjawab untuk mengawasi proses tersebut. Distribusi pupuk urea bersubsidi menggunakan skema pipa tertutup Sehubungan dengan hal yang telah diuraikan sebelumnya maka telah disusun beberapa pertanyaan penelitian yang dapat membantu dalam mengkaji efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah harga pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen yang diterima petani telah sesuai dengan HET? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi harga pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen? 3. Bagaimana marjin pemasaran pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen? 4. Bagaimana share margin pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen? 5. Bagaimana tingkat monopoli pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen? 6. Bagaimana tingkat efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen? 5

3. Tujuan Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis efektivitas Harga Eceran Tertinggi pupuk urea bersubsidi di tingkat konsumen petani di Kabupaten Sragen 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen 3. Menganalisis marjin pemasaran pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen 4. Menganalisis share margin pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen 5. Menganalisis tingkat monopoli pada setiap lembaga distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen 6. Menganalisis tingkat efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi di Kabupaten Sragen 4. Kegunaan Penelitian 1. Bagi penulis, dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman penelitian di bidang sosial ekonomi pertanian sekaligus sebagai syarat untuk memperoleh derajat sarjana (S1) di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2. Bagi pemerintah, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan efisiensi distribusi pupuk urea bersubsidi 3. Bagi masyarakat, sebagai bahan informasi, sumbangan pemikiran, bahan referensi, pembanding, dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penelitian lebih lanjut. 6