BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Hubungan antara Undang-Undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dengan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), merupakan hubungan hukum khusus dan hukum umum. Undang-undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sebagai hukum khusus tentang hukum acara dari tingkat penyidikan sampai dengan bagaimana cara pemeriksaan di muka pengadilan. Selain itu, Undangundang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) juga mengatur secara khusus tentang ketentuan pidana materiil. 66 Ketentuan pidana materiil tersebut dalam Undang-undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) ternyata telah mencabut ketentuan Pasal 45 KUHP, sehingga sekarang ketentuan-ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Pasal 45 KUHP: Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim 66 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 13
boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman; atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu tang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu. Mencabut ketentuan-ketentuan dalam KUHP diatas, maka diberlakukan ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Jadi Undang-undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) merupakan Lex spesialis derogat lex generalis dari KUHAP dan KUHP. Mengadili perkara anak penggunaan Undang-Undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) didahulukan dari peraturan KUHAP dan KUHP. Namun jika tidak diatur dalam Undang-undang Pengadilan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), baru digunakan KUHAP dan KUHP yang merupakan ketentuan hukum umumnya. 67 Kualifikasi perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan atau juga disebut dengan perkosaan berbuat cabul dirumuskan dalam Pasal 289 yang berbunyi: 67 Ibid., hal. 14-15
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. berikut: Apabila rumusan Pasal 289 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur 1. Perbuatannya: memaksa; 2. Caranya: dengan: kekerasan dan ancaman kekerasan; 3. Objeknya: seseorang untuk: melakukan atau membiarkan dilakukan Pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen) adalah segala macam wujud perbuatan, baik yang dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan pada orang lain mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosok penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan dan sebagainya. 68 Ancaman pidana di atas berlaku bagi mereka yang sudah dewasa. Sedangkan ancaman pidana penjara bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah paling lama 1/2 dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa pada prakteknya anak yang melakukan tindak pidana pencabulan dengan anak lain bisa juga dijerat dengan pasal mengenai perbuatan cabul yang terdapat dalam peraturan perundang- hal. 80 68 Adami Chazawi, Tindak Pidana Kesopanan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005),
undangan yang digunakan yaitu Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagai Lex Spesialis (hukum yang lebih khusus) dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). B. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 mulai efektif berlaku tanggal 18 Oktober 2014 dimana dapat memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang tua atau wali dalam hal penyelenggaran perlindungan anak, serta dinaikannya ketentuan pidana minimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, serta diperkenalkannya sistem hukum baru yakni adanya hak restitusi. 69 Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat perlindungan dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa adanya perlakuan diskriminatif. Memberikan jaminan kepada seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun seiring 69 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 http://www.pnpalopo.go.id/index.php/berita/artikel/164-paradigma-baru-hukum-perlindungananak-pasca-perubahan-undang-undang-perlindungan-anak Diakses pada Tanggal 30 Mei 2017 Pukul: 23.00 WIB
berjalannya waktu, pada kenyataannya undang-undang tersebut dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak di tengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh orang-orang dekat sang anak, serta belum terakomodirnya perlindungan hukum terhadap anak penyandang disabilitas. Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku ± (kurang lebih) 12 (dua belas) tahun akhirnya diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. 70 Berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami (pelecehan seksual) sewaktu sang pelaku masih berusia anak, sehingga sang pelaku terobsesi untuk melakukan hal yang sama sebagaimana yang pernah dialami. 71 Undang-undang Perlindungan Anak ini merupakan suatu aturan hukum yang bertujuan untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik, 70 Ibid 71 Ibid
emosional, sosial dan seksual, penelantaran, tindakan membahayakan, ekspolitasi: ekonomi, seksual, dan diskriminasi karena latar belakang ekonomi, politis, agama, sosial budaya, dan orangtuanya sehingga hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi agar terwujud anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, dan sejahtera 72 termasuk tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 73 Tindak Pidana Pencabulan yang dilakukan oleh Anak dijerat dengan Pasal 76D dan 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang diuraikan sebagai berikut: Pasal 76D Undang-Undang Perlindungan Anak: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. 72 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), hal. 25-26 73 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 74 Lihat Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 75 Lihat Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 74 75
Hukuman atas perbuatannya sesuai pasal di atas dijerat dengan sanksi pidana yaitu Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang diuraikan sebagai berikut: Pasal 81 Undang-Undang Perlindungan Anak: 76 1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua,Wali,pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak: 1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua,Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Orangtua yang anaknya korban tindak pidana pencabulan tersebut segera mendapatkan pertolongan medis. Selain itu, tindakan medis ini perlu untuk mendapatkan Visum et Repertum.Hukum acara pidana menjelaskan bahwa visum dapat dimasukkan sebagai salah satu alat bukti (tertulis) bahwa telah terjadi peristiwa pencabulan terhadap korban tersebut. 77 76 Lihat Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 77 Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015), hal. 119
Visum et Repertum termasuk salah satu 5 alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) juncto Pasal 187 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu alat bukti surat. Terkait dengan pencabulan yang terjadi pada anak, hasil visum dari dokter penting peranannya karena surat ini menunjukkan bahwa memang benar-benar terbukti secara medis anak tersebut mengalami pencabulan. 78 C. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak( UU SPPA ) mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014. UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ( UU Pengadilan Anak ) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. 79 78 Ibid 79 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-diatur-dalamuu-sistem-peradilan-pidana-anak. Diakses pada Tanggal 30 Mei 2017 Pukul: 23.10 WIB
UU SPPA mengubah wajah peradilan pidana anak di Indonesia dengan pengaturan beberapa substansi penting, salah satunya mengenai keadilan restoratif. Merujuk pada Penjelasan Umum UU SPPA, keadilan restoratif akan dihasilkan dari suatu proses diversi. Diversi secara umum diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU SPPA. Secara lebih rinci berdasarkan perintah Pasal 15 UU SPPA, pedoman pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi akan diatur melalui peraturan pelaksana berupa Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dan Peraturan Pemerintah (PP). Diversi merupakan bagian terpenting dalam UU SPPA. Berdasarkan Penjelasan Umum UU SPPA, disebutkan bahwa substansi yang paling mendasar dalam UU SPPA adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi, yang dimaksudkan untuk menghindarkan dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan 80 : 1. Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 2. Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. 80 Lihat Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: 81 1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; 2. Penyerahan kembali kepada orangtua/wali; 3. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau 4. Pelayanan masyarakat. D. Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2015 mengatur secara khusus tentang pedoman pelaksanaan diversi guna melaksanakan ketentuan Pasal 15 dan Pasal 21 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Presiden Joko Widodo pada tanggal 19 Agustus 2015 telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Tahun. 82 Pasal 91 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2015 menyebutkan: 83 Anak yang belum berumur 14 (empat belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih yang sedang ditahan pada tahap penyidikan, penuntutan, atau 81 Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 82 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 http://setkab.go.id/pemerintah-terbitkanaturan-penanganan-hukum-anak-yang-belum-berumur-12-tahun/ Diakses pada Tanggal 30 Mei 2017 Pukul: 23.20 WIB 83 Lihat Pasal 91 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun
pemeriksaan di sidang pengadilan, dikeluarkan dari tahanan dan diserahkan kepada orangtua/wali. E. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelesaian Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 mengatur secara khusus tentang pedoman pelaksanaan diversi dalam SPPA. Pasal 2 PERMA No. 4 Tahun 2014 menyebutkan: Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana. Pasal 3 PERMA No. 4 Tahun 2014 menyebutkan: Hakim Anak wajib mengupayakan Diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan). Tindak pidana pencabulam dalam Pasal 289 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) menyebutkan bahwa: 84 Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. 84 Lihat Pasal 289 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
F. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 59 Tahun 2015 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) ditandatangani oleh Presiden RI pada tanggal 18 Mei 2015 dan mulai berlaku sejak 25 Mei 2015, sama dengan beberapa Perpres tentang Kementerian/Lembaga yang lain. Kementerian PPPA mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, meliputi 85 : 1. Merumuskan kebijakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; 2. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi/lembaga terkait; 3. Melakukan sosialisasi, advokasi, dan fasilitas; 4. Mendorong serta merta masyarakat; 5. Mengandalkan pelatihan-pelatihan; 6. Membentuk Kelompok Kerja Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; 7. Mengembangkan panduan atau pedoman, standar dan prosedur penanganan anak yang berhadapan dengan hukum; 8. Melakukan sosialisasi internal; dan 9. Melakukan pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyelenggarakan fungsi: 86 1. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang kesetaraan gender, perlindungan hak perempuan, perlindungan anak, tumbuh kembang anak, dan partisipasi masyarakat; 85 Lihat Pasal 11 mengenai Keputusan Bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum No. 2/Men.PP dan PA/XII/2009 86 Lihat Pasal 3Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
2. Penetapan sistem data gender dan anak; 3. Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang kesetaraan gender, perlindungan hak perempuan, perlindungan anak, tumbuh kembang anak, dan partisipasi masyarakat; 4. Koordinasi pelaksanaan penanganan perlindungan perempuan dan anak berbasis gender; 5. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi di lingkungan kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 6. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawab kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; dan 7. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan kementerian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Pasal 14 Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2015 menyebutkan: 87 (1) Deputi Bidang Perlindungan Anak berada di bawah danbertanggung jawab kepada Menteri; (2) Deputi Bidang Perlindungan Anak dipimpin oleh Deputi. Pasal 15 Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2015 menyebutkan: Deputi Bidang Perlindungan Anak mempunyai tugasmenyelenggarakan perumusan kebijakan serta koordinasidan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangperlindungan anak. Pasal 16 Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2015 menyebutkan: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalampasal 15, Deputi Bidang Perlindungan Anakmenyelenggarakan fungsi: 1. perumusan kebijakan di bidang perlindungan anak; 2. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan anak; 3. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perlindungan anak; 4. penyusunan data gender di bidang perlindungan anak; 88 89 87 Lihat Pasal 14 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 88 Lihat Pasal 15 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 89 Lihat Pasal 16 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
5. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perlindungan anak; 6. pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan anak; 7. pelaksanaan administrasi Deputi Bidang Perlindungan Anak; dan 8. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri. Instansi atau lembaga perlindungan anak salah satunya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat unit PPAadalah unit yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. 90 G. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 UU Nomor 17 Tahun 2016 disahkan Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 9 November 2016, dan juga telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna H. Laoly pada tanggal yang sama yakni 09 November 2016. Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran penting dalam pembangunan nasional wajib mendapatkan perlindungan dari negara sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan. Pesatnya arus globalisasi dan dampak negatif dari perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, memunculkan fenomena baru kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak merupakan kejahatan serius (serious crime) yang semakin meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan 90 Lihat Pasal 1 angka 8 mengenai Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum No. 02/Men.PP dan PA/XII/2009
pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat. 91 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mencantumkan bahwa Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seiring dengan pesatnya arus globalisasi dan dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kekerasan terhadap anak khususnya yang berkaitan dengan kekerasan seksual semakin meningkat tajam. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang salah satu perubahannya menitikberatkan pada pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Perubahan Undang-Undang tersebut belum menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap anak secara signifikan. Negara perlu mengambil langkah-langkah yang optimal dan komprehensif dengan tidak hanya memberikan pemberatan sanksi pidana, juga menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Untuk menyikapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 91 Lihat Ketentuan Umum Mengenai Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak
25 Mei 2016. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tersebut telah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 92 Anak-anak yang melakukan tindak pidana kesusilaan tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pidana mati, seumur hidup, atau penjara, dan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. 93 92 Lihat Ketentuan Umum Mengenai Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 93 Lihat Pasal 1 (Ketentuan Pasal 81 angka (9) dan 82 angka (8)) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak