ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Husendro

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

PEDOMAN TEKNIS VERIFIKASI SYARAT CALON PENGGANTI ANTARWAKTU ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

Bab III Keanggotaan. Bagian Kesatu. Umum

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kata re yang artinya kembali dan call yang artinya panggil atau memanggil,

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TATA TERTIB DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 008/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl. 12 Mei 2006

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/DPR RI/TAHUN 2009 TENTANG TATA TERTIB

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 38/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Hak Recall

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TATA TERTIB DPR. Bab I Ketentuan Umum. Pasal 1. Dalam Peraturan Tata Tertib ini yang dimaksud dengan :

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

IJIN LUAR NEGERI PEJABAT NEGARA ALASAN PENTING BAGI PEJABAT NEGARA & DPRD PROVINSI, KAB/KOTA DASAR HUKUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 4/PUU-XV/2017 Pemilihan Pimpinan DPR oleh Anggota DPR Dalam Satu Paket Bersifat Tetap

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Muchamad Ali Safa at

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 33/1999, PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1999 TENTANG PEMILIHAN UMUM. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

Ketentuan Pasal 18 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga berbunyi sebagai berikut:

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DERAH PROVINSI JAWA TIMUR

TINJAUAN YURIDIS FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PEMBERHENTIAN SDR. FAHRI HAMZAH, S.E.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

TINJAUAN YURIDIS HAK RECALL OLEH PARTAI POLITIK DALAM SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA NASKAH PUBLIKASI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

2013, No Mengingat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi;

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

MATRIKS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018

2 2. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1607); MEMUTU

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 004/SKLN-IV/2006 Perbaikan Tgl, 29 Maret 2006

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Re

II. PASAL DEMI PASAL - 2 -


BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

I. U M U M PASAL DEMI PASAL II.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5493

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang...

Transkripsi:

1 ASPEK HUKUM PEMBERHENTIAN DAN PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Oleh: Husendro Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Konsep Recall pertama kali dilembagakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada tahun 1966 yaitu di era Orde Baru dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1966 tentang Susunan dan Kedudukan MPRS dan DPR-GR. Pengaturan recall sebagai suatu hak partai pernah dihilangkan pada era Reformasi karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pengaturan recall kemudian diatur dan dilembagakan kembali dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang selanjutnya disebut UU Susduk, yang kemudian juga diganti dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut UU MD3. Dalam perkembangan politik hukum Indonesia, UU Nomor 27 Tahun 2009 ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Recall pada dasarnya merupakan sebuah kata dalam bahasa inggris, yang tersusun dari kata re yang berarti kembali, dan call yang berarti memanggil, maka recall dapat diterjemahkan sebagai memanggil atau menarik kembali. Menurut Peter Salim dalam The Contemporary English-Indonesia sebagaimana dikutip oleh Hadi Prakarsa Tri, setidaknya recall memiliki empat pengertian yakni mengingat, memanggil kembali, menarik kembali atau membatalkan. Dalam kamus politik karangan BN Marbun, recall diartikan sebagai suatu proses penarikan kembali atau penggantian anggota DPR oleh induk organisasinya. Pendapat lain

2 dikemukakan oleh C. F. Strong, yang mendefinisikan recall sebagai sebagai sarana yang memberikan hak kepada pemilih untuk menarik kembali wakil yang tidak memuaskan, bahkan dalam beberapa kasus dipakai untuk menarik kembali pejabat terpilih lainnya. Berdasarkan pada uraian diatas, kosep recall dapat dimaknai sebagai hak yang dimiliki partai untuk menarik kembali anggotanya yang duduk di dalam lembaga perwakilan dan juga dapat dimaknai hak menarik kembali yang dimiliki oleh pemberi mandat yaitu rakyat, pemilih atau konstituen. Pada dasarnya terminologi recall ini tidak dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan yang ada, akan tetapi hakikat dari konsepsi recall dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan. Saat ini pengaturan konsepsi recall anggota DPR dapat di temukan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya Pasal 239 sampai dengan 244. KONSTITUSIONALITAS RECALL/PAW Namun demikian, permasalahan terminologi dan konsepsi recall ini telah menyertai perjalanan dunia politik di Indonesia. Beragam peristiwa recall terjadi dengan disertai perlawanan atau upaya hukum untuk membatalkan recall tersebut, diantaranya adalah kasus recall Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman; Anggota DPR/MPR RI (A-173) - Fraksi Partai Amanat Nasional, yang kemudian diuji di Mahkamah Konsitusi dan telah di putus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 tanggal 28 September 2006. Dalam pertimbangan hukum Putusan MK a quo disebutkan bahwa PAW karena pencabutan keanggotaan dari partai politik bagi anggota DPR itu sah dan konstitusional sebagai hak partai politik. Pertimbangannya, antara lain, karena menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, peserta Pemilu untuk anggota DPR itu adalah partai politik. Oleh karena peserta Pemilu untuk anggota DPR adalah partai politik dan tak seorang pun dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui partai politik, maka menjadi wajar dan proporsional jika partai politik diberi wewenang untuk melakukan PAW atas anggotanya yang bertugas di DPR. Selain itu dalam kegiatan politik sehari-hari (day to day politics) ketentuan tentang kewenangan PAW bagi partai politik ini memang dilematis. Berdasarkan pengalaman sejarah ketika partai politik diberi kewenangan melakukan PAW maka kewenangan tersebut dapat digunakan oleh pimpinan partai politik untuk membungkam anggota DPR sehingga tugasnya sebagai pengemban aspirasi rakyat menjadi tumpul dan tidak efektif karena ada ancaman recall, sebaliknya berdasarkan

3 pengalaman sejarah pula ketika partai politik tidak diberi kewenangan untuk melakukan PAW, banyak anggota DPR yang melakukan pelanggaran, baik hukum maupun etika,tanpa bisa ditindak secara langsung oleh partai politik yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan bisa merusak citra, bukan hanya citra partai politik yang bersangkutan melainkan juga citra DPR di mana yang bersangkutan bertugas sebagai wakil rakyat. Tahun 2010, permasalahan recall/paw ini juga pernah diuji kembali oleh Lily Chadidjah Wahid; Anggota DPR RI/MPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, yang juga telah diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU- VIII/2010 tanggal 11 Maret 2011, yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan meskipun partai politik berwenang melakukan PAW bagi anggotanya yang bertugas sebagai anggota DPR/DPRD namun di dalam pelaksanaannya haruslah sesuai dengan ketentuan Undang- Undang (vide Pasal 22B UUD 1945) dan AD/ART partai politik yang bersangkutan, sehingga tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang atau dengan cara melanggar hukum. Jika hal itu dilakukan maka anggota partai politik yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum baik melalui peradilan tata usaha negaramaupun melalui peradilan umum. Dari dua contoh kasus tersebut diatas, maka hak partai politik untuk melakukan recall/paw merupakan suatu hal yang konstitusional, akan tetapi perlu diatur dalam Undang-Undang agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang atau dengan cara melanggar hukum. Dimana saat ini, usulan pemberhentian anggota DPR RI dapat diusulkan oleh partai politik pengusung dan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI. USULAN PEMBERHENTIAN ANTAR WAKTU ANGGOTA DPR RI Pasal 239 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. Permasalahan utama yang sering menjadi perdebatan hukum dan konflik politik adalah pada aspek alasan diberhentikan. Seseorang anggota DPR RI diberhentikan diberhentikan antarwaktu, apabila: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; e. tidak lagi memenuhi

4 syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD; f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau h. menjadi anggota partai politik lain. (vide Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014). Proses pengusulan Pemberhentian AW ini dilakukan oleh Pimpinan Partai Politik pengusung yang ditujukan kepada Pimpinan DPR RI dengan tembusan Presiden RI yang berisikan alasan usulan PAW sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 239 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014. Setelah usulan tersebut diterima Pimpinan DPR RI, maka paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterima usulan tersebut, Pimpinan DPR RI wajib menyampaikannya kepada Presiden RI untuk diresmikan pemberhentiannya. Kemudian, paling lama 14 (empat belas) hari sejak usulan dari Pimpinan DPR RI diterima Presiden RI, usulan tersebut diresmikan oleh Presiden RI (vide Pasal 240 UU Nomor 17 Tahun 2014). Proses pengusulan Pemberhentian AW ini juga bisa dilakukan melalui mekanisme Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI. Apabila anggota DPR RI terbukti dan diputuskan melakukan pelanggaran sebagaimana proses pembuktian di MKD DPR RI, maka proses selanjutnya adalah MKD DPR RI membentuk Panel yang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota MKD DPR RI dan 4 (empat) orang unsur masyarakat. Jika dalam proses sidang Panel tersebut diputuskan bersalah dan diberikan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota DPR RI, maka putusan tersebut harus diusulkan ke Sidang Paripurna DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. (vide Pasal 148 UU Nomor 17 Tahun 2014 jo. Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesi). UPAYA HUKUM PEMBERHENTIAN ANTAR WAKTU ANGGOTA DPR RI Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d UU Nomor 17 Tahun 2014, yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (vide Pasal 241 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014). Permasalahannya adalah UU Nomor 17 Tahun 2014 tidak memberikan ruang upaya hukum kepada anggota yang diberhentikan melalui mekanisme usulan Putusan MKD DPR RI ke Sidang Paripurna DPR RI. Namun demikian, bagi sesiapa saja anggota DPR RI yang dirugikan

5 atas kerja MKD DPR RI dapat menjadikan alasan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagai dasar gugatannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut. Jadi, jelas tergambarkan dari berbagai upaya hukum yang telah dijelaskan, upaya PAW atau recalling menurut hukum yang dianut sekarang bukanlah menjadi suatu perkara yang mudah untuk dilakukan. Butuh waktu yang sangat panjang agar proses upaya hukum yang diajukan anggota DPR RI yang diusulkan diberhentikan memiliki kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), dimana harus melewati tahapan persidangan di Pengadilan Negeri pada tingkat pertama, kemudian di Pengadilan Tinggi pada tingkat banding, serta di Mahkamah Agung RI pada tingkat kasasi, yang umumnya membutuhkan waktu 1-2 tahun sejak gugatan pertama kali didaftarkan di Pengadilan Negeri. MEKANISME PENGGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) ANGGOTA DPR RI Anggota DPR RI yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, akan digantikan oleh calon anggota DPR RI yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. Dalam hal calon anggota DPR RI yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya tersebut meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR RI, akan digantikan oleh calon anggota DPR RI yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama. Masa jabatan anggota DPR RI pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya. (vide Pasal 242 UU Nomor 17 Tahun 2014). Proses Penggantian Antar Waktu dimulai dari Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU. Kemudian, KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 kepada pimpinan DPR RI paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR RI. Selanjutnya, paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU tersebut, pimpinan DPR RI menyampaikan nama anggota DPR RI yang

6 diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden. Lalu, paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPR RI yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR RI tersebut, Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden. (vide Pasal 243 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Nomor 17 Tahun 2014). Namun demikian, ada catatan khusus dalam proses Penggantian Antar Waktu ini, yakni Penggantian antarwaktu anggota DPR RI tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR RI yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan. (vide Pasal 243 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2014). KESIMPULAN Proses usulan pemberhentian dan penggantian antar waktu pada kategori diberhentikan, hendaknya juga memperhatikan waktu masa keanggotaan Anggota DPR RI yang diusulkan diberhentikan tersebut. Semisalnya. Anggota DPR RI Periode 1 Oktober 2014 sampai dengan 1 Oktober 2019 yang diusulkan diberhentikan pada artikel ini ditulis (11 November 2016). Dengan proses usulan pemberhentian dan upaya hukum yang akan dilakukan oleh anggota DPR RI tersebut, maka diperkirakan akan membutuhkan waktu paling cepat 1,5 tahun (18 bulan) baru selesai, ini artinya Mei 2018 baru ada kepastian hukum mengenai status pemberhentian dan penggantian antar waktu tersebut. Dengan demikian, hal ini tidak efektif dalam sistem demokrasi dan cenderung mencederai amanat konstituen. Sehingga, sebaiknya memang harus ada pengaturan yang lebih efektif atau tidak ada sama sekali pengaturan meskipun merupakan suatu hal yang konstitusional untuk melindungi kepentingan Anggota DPR RI yang diusulkan diberhentikan, suara konstituen dan tentu saja partai politik sendiri. Usulannya adalah merevisi Pasal 243 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2014, yang semula 6 bulan menjadi 12 bulan. Dengan demikian bunyinya berubah menjadi Penggantian antarwaktu anggota DPR RI tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR RI yang digantikan kurang dari 12 (duabelas) bulan. Usulan 12 bulan ini agar anggota DPR RI pengganti dapat efektif menjalankan masa tugas yang tersisa dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan untuk kepentingan konstituen dan partai politik pengusung.