BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM PERSPEKTIF UU ITE

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkembangan jaman telah membawa perubahan di berbagai

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. Dalam Bab mengenai hasil penelitian dan analisis ini, Penulis akan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. negosiasi diantara para pihak. Melalui proses negosiasi para pihak berupaya

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata terhadap jual beli secara online (e commerce) Herniwati, SH, MH. Dosen STIH Padang. Abstrak

PENUNJUK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB IV UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Yang Mengalami

JURNAL IPTEKS TERAPAN Research of Applied Science and Education V8.i4 ( )

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

2012, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pihak (the party to

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISIS YURIDIS JUAL BELI BARANG MELALUI TOKO ONLINE (E-COMMERCE)

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

MODEL PENGATURAN INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TRANSAKSI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK MASUKAN/TANGGAPAN

Cyber Law Pertama: UU Informasi dan Transaksi Elektronik

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing dikenal di tengah-tengah masyarakat adalah bank. Bank tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya barang dan jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB III PENUTUP. permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi sekarang semua teknologi semakin berkembang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB I PENDAHULUAN Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 mulai bermunculan

Muhammad Risnain, S.H.,M.H. 1

BAB I PENDAHULUAN. menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Komunikasi adalah sebuah proses

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB I PENDAHULUAN. kelancaran arus lalu lintas penduduk dari dan kesuatu daerah tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. pemesanan barang dikomunikasikan melalui internet, hampir semua barang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Sebagaimanatelahdiketahuinyakeabsahan perjanjian jual beli yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

BAB I PENDAHULUAN. mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global yang. sosial secara signifikan berlangsung semakin cepat.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.

E-Journal Graduate Unpar Part B : Legal Science

Perjanjian Jual Beli Barang Melalui Elektronik Commerce (E-Com)

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk serba efektif dan efisien dalam pemanfaatan waktu akibat tuntutan

BAB 2 TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional

BAB I PENDAHULUAN. terbentuk dari jaringan-jaringan computer-komputer yang saling terkoneksi

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB I PENDAHULUAN. membawa dampak cukup pesat bagi perkembangan pertumbuhan dan perekonomian dunia usaha

KAJIAN YURIDIS KEABSAHAN JUAL BELI SECARA ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DENGAN MENGGUNAKAN KARTU KREDIT

I. PENDAHULUAN. menimbulkan pengaruh terhadap berkembangnya transaksi-transaksi bisnis yang

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN LAYANAN PINJAM MEMINJAM UANG BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

BAB I PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III PENUTUP. 1. Kontrak elektronik yang dilakukan melalui SMS Banking sah sepanjang

BAB II PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI BADAN HUKUM PRIVAT. Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. konsumen di Indonesia. Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih judul: Karakteristik Perjanjian Kerjasama Pengelolaan BPDNet

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

PERJANJIAN ASURANSI MELALUI TELEMARKETING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

Transkripsi:

BAB III ANALISIS KEDUDUKAN E-COMMERCE DALAM PERSPEKTIF UU ITE Di dalam Bab ini, pembahasan dibagi dalam dua pokok bahasan. Pertama, yang akan dibahas adalah mengenai kaidah-kaidah dalam Undang- Undang ITE yang mengatur tentang e-commerce. Pokok bahasan ini akan mengkaji kaidah-kaidah e-commerce yang memiliki karakteristik hukum perjanjian baik yang terdapat di dalam Undang-Undang ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012. Kedua, asas-asas hukum perjajian tersebut akan dianalisis untuk menemukan kedudukan e-commerce dalam perspektif Undang-Undang ITE. Penulis akan menganalisis materi-materi penting yang diperoleh dari hasil penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan e- Commerce di dalam UU ITE sebagai salah satu bagian dari hukum perjanjian yang tetap mengikuti prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia. A. KAIDAH-KAIDAH E-COMMERCE 1. Kaidah-Kaidah Tentang E-Commerce Dalam UU ITE Di dalam pembahasan ini, Penulis akan menguraikan pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum di dalam UU ITE yang berbicara atau mengatur tentang E-Commerce dalam kaitannya dengan hukum 39

40 perjanjian. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, di mana E-Commerce tetap memiliki kaitan dengan hukum perjanjian yaitu tentang ciri dan karakter dari E-Commerce yang tetap tunduk pada kaidah-kaidah hukum perjanjian, meskipun E- Commerce diatur secara terpisah dari KUHPerdata Indonesia yang merupakan Lex Generalis hukum perdata di Indonesia. 1.1 Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 UU ITE Pasal 1 angka 2 UU ITE menyatakan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Ketentuan ini sekaligus menjelaskan mengenai ruang lingkup dari E-Commerce yang juga merupakan suatu perbuatan hukum, yang dilakukan dengan menggunakan media komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya. Atau dengan kata lain, transaksi E-Commerce dilakukan di dunia maya. Mengenai hal tersebut, Atip Latifulhayat, sebagaimana dikutip Abdul Halim Barkatullah menyatakan bahwa: sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e- commerce telah mereformasi perdagangan konvensional. Interaksi antara konsumen dan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung. 49 Perdagangan melalui dunia maya tersebut disebutkan sebagai suatu model perdagangan yang dilakukan dengan cara baru, di mana 49 Abdul Halim Barkatullah. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E- Commerce Lintas Negara Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2009. Hlm, 33-34.

41 antara para pihak yang mengadakan perdagangan tidak saling bertemu secara langsung, namun cukup lewat dunia maya. Sehingga, e-commerce telah merubah paradigma bisnis klasik dengan menumbuhkan model-model interaksi antara pelaku usaha dan konsumen di dunia virtual. 50 Dimensi tentang e-commerce juga dapat dilihat di dalam Pasal 9 UU ITE menyatakan bahwa, pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawar. Rumusan tersebut menghendaki agar kegiatan transaksional (ecommerce) yang dilakukan di dunia maya tersebut harus mengedepankan prinsip the right to obtain information, yaitu konsumen berhak untuk memperoleh suatu informasi yang sebenarbenarnya dari pelaku usaha mengenai hal yang ditawarkan kepada konsumen. Sebailknya, pelaku usaha berkewajiban untuk menyampaikan hal tersebut kepada konsumen. Dengan demikian, jelas bahwa segala kegiatan e-commerce di dalam dunia maya tetap tunduk pada kaidah hukum yang secara prinsip sudah dikenal terlebih dahulu dalam hukum Indonesia, yaitu hukum perdata. Prinsip a quo selanjutnya secara eksplisit 50 Ibid. hal: 33-34.

42 dituangkan di dalam Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 51 Selanjutnya, perihal transaksi elektronik yang dimaknai sebagai e-commerce sebagaimana diatur di dalam UU ITE sejatinya diatur di dalam Bab V yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Pengaturan mengenai hal tersebut mulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 22. Uraian mengenai Bab V UU ITE akan dijelaskan di bawah ini, selain dari dua pasal yang telah dijelaskan sebelumnya di atas. 1.2 Bab V UU ITE Pertama, Pasal 17 UU ITE secara mendasar mengatur mengenai ruang lingkup dari transaksi elektronik yang dapat dilakukan dalam lingkup publik maupun lingkup privat serta prinsip itikad baik dalam melakukan suatu transaksi elektronik. 52 Ruang publik adalah yang berkaitan dengan segala transaksi elektronik yang dijalankan oleh instansi yang melayani kepentingan publik. Sedangkan untuk lingkup privat adalah berkaitan dengan transaksi elektronik antara pelaku usaha, pelaku usaha-konsumen, antarpribadi, dan sebagainya yang berkaitan dengan urusan privat. Dalam pada itu, Pasal 17 ayat (2) disebutkan pula bahwa para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik 51 Pasal 4 huruf c menyebutkan bahwa, hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 52 Pasal 17 ayat (1) jo ayat (2) UU ITE.

43 dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung. Ketentuan tersebut merupakan suatu prinsip yang juga dikembangkan atau ditulis kembali dari prinsip hukum perdata yang terkait dengan perjanjian yakni prinsip itikad baik. Sebagaimana diketahui bahwa, Pasal 1338 (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penulis meyakini bahwa rumusan pasal tersebut lah yang mengilhami para perumus UU ITE agar prinsip itikad baik yang merupakan perintah hukum tersebut dimasukan kembali untuk mengatur suatu aktivitas e-commerce yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU ITE. Penulis berpendapat pula bahwa, baik ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) hendak diletakan sebagai dasar penting dalam melakukan suatu transaksi elektronik (aktivitas e-commerce), yaitu segala transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan dalam lingkup publik maupun lingkup privat harus dilaksanakan dengan prinsip itikad baik oleh para pihak yang berkepentingan. Kedua, Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Ketentuan pasal tersebut hendak menggaris bawahi mengenai daya ikat dari suatu kontrak atau perjanjian yang dilakukan melalui transaksi elektronik. Artinya, meskipun perjanjian tersebut

44 dilakukan melalui suatu kontrak elektronik 53 namun perjanjian tersebut tetaplah perjanjian sebagaimana perjanjian konvensional yang mengikat para pihak, serta melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Mengenai hal tersebut, prinsip hukum yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE merupakan pengakuan terhadap prinsip pacta sunt servanda jika merujuk pada Pasal 1338 (1) yang menyebutkan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, Pasal 18 ayat (1) UU ITE juga tetap mengakui prinsip pacta sunt servanda, meskipun perjanjian yang dilakukan dalam konteks e-commerce dilakukan melalui cara yang berbeda dengan kegiatan perjanjian yang selama ini dikenal dan dipraktikan dalam aktivitas transaksi perdagangan. Di dalam Pasal 18 ayat (2) jo ayat (3) dan (4) berbicara tentang suatu transaksi elektronik berskala internasional. E-Commerce (transaksi elektronik) yang dilakukan antara para pihak yang berasal dari negara yang berbeda juga telah diatur. Artinya, ketentuan di dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (4) dan (5) merupakan lex specialis bagi suatu e-commerce atau transaksi elektronik internasional. Di dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa, para pihak memiliki 53 Pasal 1 angka 17 UU ITE mendefinisikan kontrak elektronik sebagai suatu perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.

45 kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Ketentuan tersebut secara hukum dikenal dengan sebutan Choice of Law oleh para pihak yang membuat perjanjian. Kaidah hukum yang terkandung di dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut merupakan manifestasi dari prinsip hukum yang sudah lama dikenal dalam praktik hukum perdata internasional. Artinya, kebebasan dari para pihak untuk menentukan hukum negara mana yang akan diterapkan dan mengikat kedua pihak diakui juga dalam transaksi elektronik internasional. Hal ini sekaligus menentukan Pengadilan mana yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang akan timbul, atau dalam istilah hukum internasional disebut Choice of forum. 54 Sebaliknya, rumusan tersebut tidak dimaknai bahwa suatu transaksi elektronik internasional akan secara otomatis tunduk pada hukum dari negara asal pelaku usaha. Sebagaimana dikatakan oleh A. Halim Barkatullah bawha, Konsumen akan sangat dirugikan, jika terpaksa menyelesaikan sengketa dengan menggunakan hukum dan forum pelaku usaha, yang jauh secara hukum itu accountable. Ketika klaimnya kecil atau sedang, penuntut individu sering tidak mampu membayar biaya mengajukan gugatan di forum asing. 55 54 Pasal 18 ayat (4) disebutkan bahwa, para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan atau arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Dengan demikian para pihak yang terikat pada suatu transaksi elektronik internasional secara hukum memiliki kuasa yang penuh untuk menentukan forum pengadilan atau arbitrase manakah yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi nantinya. 55 Ibid, hlm. 63.

46 Dengan demikan jelas bahwa, dalam e-commerce yang berskala internasional sebagaimana diakui dalam UU ITE tersebut, para pihak harus memperhatikan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang mungkin dapat terjadi dalam e- commerce internasioanl itu. Namun, bagaimanakah jika para pihak tidak bersetuju mengenai choice of law manapun dalam suatu transaksi elektronik (ecommerce) internasional? jika hal tersebut terjadi, maka prinsip hukum apakah yang akan digunakan dalam hal tersebut? menjawab pertanyaan tersebut, maka Pasal 18 ayat (3) UU ITE secara tegas menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Oleh karena itu, ketiadaan kata setuju tentang choice of law dari para pihak dalam transaksi elektronik internasional tidak berarti dapat mengakibatkan kekosongan hukum, oleh karena prinsip hukum perdata internasional akan secara otomatis berlaku dengan sendirinya. Hal tersebut juga secara mutatis mutandis berlaku dalam hal para pihak tidak menentukan choice of forum dalam penyelesaian sengketa. 56 56 Pasal 18 ayat (5) UU ITE menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas hukum perdata internasional.

47 Ketiga, menyangkut ruang atau tempat dilakukannya suatu transaksi elektronik, maka di dalam Pasal 19 dikatakan bahwa, para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Sebelum menjelaskan mengenai rumusan tersebut, hal yang pertama harus dipahami adalah tentang sistem elektronik yang dimaksud. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE, sistem informasi adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Artinya, perangkat dalam sebuah komputer yang dipakai oleh para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) yang di dalamnya terdapat segala macam informasi mengenai suatu hal, maka perangkat yang demikian adalah sistem informasi. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 19 UU ITE, sistem informasi untuk melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) harus disepakati oleh para pihak. Sehingga, jika para pihak yang hendak melakukan transaksi elektronik harus memperhatikan sistem informasi manakah yang akan digunakan sebagai ruang atau tempat dilakukannya suatu transaksi elektronik. Hal tersebut juga penting untuk menyatakan bahwa suatu transaksi yang dilakukan itu adalah

48 transaksi elektronik (e-commerce) karena dilakukan di dalam suatu sistem informasi, dan tunduk pada kaidah dalam Pasal 19 UU ITE. Keempat, berkaitan dengan kapan terjadinya suatu transaksi elektronik (e-commerce)yang diselenggarakan dalam sebuah sistem informasi, maka di dalam Pasal 20 ayat (1) dikatakan: kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. Rumusan tersebut bermakna, suatu transaksi elektronik (e-commerce) secara hukum dikatakan telah terjadi apabila sudah dilakukan penerimaan penawaran oleh penerima. Namun, hal tersebut dapat saja tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain yakni bukan pada saat diterimannya suatu penawaran, melainkan bergantung pada kesepakatan dari para pihak. Sejalan dengan itu, untuk mengetahui telah terjadi penerimaan atas penawaran di dalam suatu transaksi elektronik, maka diperlukan suatu pernyataan penerimaan secara elektronik dari penerima. Sebagaimana ditulis dalam Pasal 20 ayat (2) bahwa, persetujuan atas penawaran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Dengan demikian, kedua kaidah hukum tersebut sudah secara tegas menyatakan bahwa suatu transaksi elektronik terjadi pada saat

49 diterimanya penawaran oleh penerima, dan persetujuan penerimaan penawaran tersebut harus dilakukan dalam pernyataan secara elektronik. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak berlaku secara imperatif bagi para pihak, mengingat kaidah tersebut dapat saja dinyatakan tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain dari kaidah-kaidah tersebut. Berkaitan dengan kapan terjadinyan suatu transaksi elektronik menurut UU ITE, maka sejatinya tidak dapat dilupakan atau dikesampingkan perihal kapan terjadinya suatu perjanjian sebagaimana dikenal selama ini di dalam hukum perjanjian Indonesia. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada empat prinsip yang digunakan untuk mengetahui kapan terjadinya suatu kesepakatan dalam perjanjian, yaitu: 57 a. Berdasarkan teori kehendak (wilstheorie), mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan. b. teori penerimaan (verzendstheorie), mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. 57 Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cetakan I, Alumni, Bandung, 1983. Hlm. 98.

50 c. teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa, pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. d. teori kepercayaan (vertrouventstheorie) mengajarkan bahwa, kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehedak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. Berdasarkan pada pendapat Mariam Darus Badrulzaman tersebut di atas, nampaknya transaksi elektronik (e-commerce) dalam UU ITE melalui Pasal 20 ayat (1) jo ayat (2) menerapkan prinsip yang kedua, yaitu teori penerimaan. Hal tersebut jelas dikatakan bahwa, transaksi elektronik dianggap terjadi jika pihak penerima telah menerima penawaran, dan melakukan pernyataan penerimaan secara elektronik. Sehingga, untuk menjustifikasi kembali bahwa secara hukum saat terjadinya suatu transaksi elektronik (e-commerce) jika tidak disepakati lain oleh para pihak adalah pada saat terjadi penerimaan penawaran oleh penerima, dan harus disertai dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Kelima, Pasal 21 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai subyek hukum yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik. Subyek hukum tersebut antara lain, Pengirim, Penerima (atau para pihak yang berjanji), pihak yang menerima kuasa, agen elektronik. Empat

51 subyek hukum yang disebutkan di atas adalah pihak-pihak yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik. 58 Pengirim atau penerima adalah para pihak yang berkepentingan langsung atau pihak yang melakukan perjanjian untuk melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkann pihak yang menerima kuasa adalah pihak yang menjalankan transaksi elektronik oleh karena menerima kuasa dari salah satu pihak yang berjanji untuk melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkan agen elektronik 59 adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang. Sehingga, jika dalam pelaksanaan sebuah transaksi elektronik yang seyogiyanya menimbulkan akibat hukum, maka segala akibat hukum yang ditimbulkan harus dipertanggung jawabkan. Mengenai hal tersebut, Pasal 21 ayat (2) menyebutkan, pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: - jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi; 58 Pasal 21 ayat (1) UU ITE sendiri berbunyi, Pengirim atau Penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik. 59 Pasal 1 angka 8 UU ITE.

52 - jika dilakukan melalui pemberi kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau - jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan transaksi elektronik baik itu oleh para pihak yang bertransaksi, penerima kuasa, maupun oleh agen elektronik masing-masing memiliki pertanggung jawaban hukum dalam hal terjadi suatu akibat hukum yang ditimbulkan dari pelaksanann transaksi elektronik tersebut. Selain menimbulkan akibat hukum, dalam hal terjadi kerugian yang ditimbulkan dari suatu pelaksanaan transaksi elektronik, maka akan diikuti pula dengan pertanggung jawaban hukum berupa ganti rugi dari pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Hal penting yang harus dipahami di sini adalah, dalam transaksi elektronik (ecommerce) segala kerugian yang ditimbulkan melalui pelaksanaan transaksi elektronik menjadi perhatian sepenuhnya dari Agen elektronik selaku penyelenggara sistem elektronik, tempat di mana suatu transaksi elektronik dilakukan. Berkaitan dengan itu, maka Pasal 21 ayat (3) menyatakan, jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap

53 sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. Menurut pendapat Penulis, rumusan tersebut secara implisit mengandung prinsip hukum caveat emptor yakni pelaku usaha harus berhati-hati. Dalam konteks ini, agen elektronik yang menawarkan jasanya sebagai penyelenggara sistem elektronik tempat di mana dilaksanakannya transaksi elektronik, harus benarbenar berhati-hati dalam menjalankan atau menyelenggarakan agen elektronik, agar tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang menjalankan transaksi elektronik. Hal yang sama juga berlaku bagi pengguna jasa layanan, di mana dalam Pasal 21 ayat (4) disebutkan, jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan. 60 Artinya, agen elektronik yang sudah menjalankan sistem elektronik dengan penuh hati-hati, namun oleh penyebab pengguna jasa layanan menimbulkan kerugian bagi pihak yang menjalankan transaksi elektronik, maka agen elektronik dalam hal ini lepas dari 60 Rumusan dalam Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE menurut pendapat Penulis menggunakan prinsip Presumption of liability (asusmsi bersalah), yakni pihak yang berada dalam suatu perikatan di mana menimbulkan kewajiban bagi dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, akan selalu dianggap bersalah jika kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal tersebut ternyata menimbulkan kerugian. Namun, perbuatan tersebut dapat dinyatakan sebaliknya jika ditemukan suatu bukti menyatakan bahwa kerugian tersebut bukan ditimbulkan oleh tindakan orang tersebut. Lihat, AbdulKadir Muhamad. Hukum Pengangkutan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung., Bandung, 2005. Hlm, 189.

54 tuntutan hukum untuk mengganti kerugian, namun yang bertanggung jawab adalah pengguna jasa layanan. Akan tetapi, baik agen elektronik maupun pengguna jasa layanan dapat tidak bertanggun jawab atas kerugian yang timbul dalam sebuah transaksi elektronik apabila terjadi keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. 61 Hal ini berarti, jika suatu kerugian yang ditimbulkan dalam transaksi elektronik bukan merupakan kesalahan atau kelalaian atau akibat dari perbuatan agen elektronik atau pengguna jasa layanan, maka yang bertanggung jawab adalah pengguna sistem elektronik. Keenam, Pasal 22 ayat (1) memberikan kewajiban bagi penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur yang memungkinkan perubahan informasi dalam suatu transaksi elektronik. Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) berbunyi, penyelenggara agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. Dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan fitur adalah fasilitas yang memberikan kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk melakukan 61 Pasal 21 ayat (5) UU ITE.

55 perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang. Dengan demikian, kewajiban penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur dalam sebuah transaksi elektronik adalah untuk memfasilitasi transaksi elektronik berjalan dengan lancar. 2. Kaidah Transaksi Elektronik (e-commerce) Dalam PP No. 82 Tahun 2012 Mengingat ketentuan tentang transaksi elektronik (e-commerce) tidak hanya terdapat dalam UU ITE, oleh karena beberapa ketentuan harus diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 sebagai aturan pelaksana UU ITE, maka Penulis juga akan meneliti kaidah-kaidah yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah a quo, yang dapat digunakan untuk melihat kedudukan e-commerce atau transaksi elektronik dalam perspektif UU ITE. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut, pengaturan tentang transaksi elektronik (e-commerce) diatur dalam Bab IV yakni dari Pasal 40 hingga Pasal 51. Pertama, ruang lingkup dari transaksi elektronik yakni e- commerce dalam konteks PP No. 82 Tahun 2012 adalah sama seperti yang diatur dalam UU ITE yaitu terdiri dari lingkup publik dan lingkup privat. 62 Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik oleh 62 Pasal 40 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sisitem Dan Transaksi Elektronik.

56 instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE. 63 Artinya, pihak yang dapat menyelenggarakan transaksi elektronik dalam lingkup publik adalah Instansi atau pihak lain yang memang diberikan tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan dalam UU ITE. Sedangkan untuk penyelengaraan transaksi elektronik lingup privat diatur dalam Pasal 40 ayat (3) yang berbunyi, penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi elektronik: a. antar- pelaku usaha; b. antara pelaku usaha dengan konsumen; c. antarpribadi; d. antar Instansi; e. antara Instansi dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, transaksi elektronik yang para pihaknya terdiri dari pihak-pihak yang disebutkan di atas, masuk dalam kategori transaksi elektronik lingkup privat. Dalam hal ini, pihakpihak yang sudah disebutkan tersebut dapat melakukan suatu 63 Pasal 40 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012.

57 transaksi elektronik yang menurut UU ITE merupakan bagian dari lingkup privat. Kedua, pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa untuk transaksi elektronik terdapat penyelenggaranya. Di dalam Pasal 41 PP No. 82 Tahun 2012, untuk penyelenggara transaksi elektronik dalam lingkup publik maupun privat dilengkapi dengan sertifikat keandalan dan/atau sertifikat elektronik. 64 Berbeda dengan penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat, penyelenggara transaksi elektronik lingkup publik wajib menggunakan sertifikat keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang terdaftar, atau jika menggunakan sertifikat elektronik maka wajib menggunakan sertifikat yang disertifikasi oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi. 65 Sedangkan untuk penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat hanya dikatakan dapat menggunakan sertifikat keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga sertfifikasi Keandalan Indonesia yang terdaftar, atau dapat pula menggunakan sertifikat elektronik yang disertifikasi oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi. 66 64 Pasal 1 angka 18 menyebutkan sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Sedangkan pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa, sertifikat keandalan adalah dokumen yang menyatakan pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik telah lulus audit atau uji kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan. 65 Pasal 41 ayat (2) dan (3). 66 Pasal 42 ayat (1), (2), dan (3).

58 Ketiga, Pasal 46 ayat (1) menyatakan, transaksi elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak. Rumusan tersebut hendak menegaskan kembali bahwa, transaksi elektronik yang sudah dinyatakan sah oleh para pihak, secara hukum akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Sehingga, nantinya para pihak yang terlibat di dalam transaksi elektronik tersebut wajib mempertanggung jawabkan segala akibat hukum yang timbul dari transaksi elektronik yang dilakukan. Selain itu, dalam menyelenggarakan transaksi elektronik para pihak wajib memperhatikan asas-asas yang terkandung di dalam penyelenggaraan transaksi elektronik. Asas-asas tersebut antara lain, a. asas itikad baik; b. prinsip kehati-hatian; c. transparansi; d. akuntabilitas; dan e. kewajaran. Mengenai asas itikad baik dalam suatu transaksi elektronik dalam kaitannya dengan suatu perjanjian, maka hal tersebut sejatinya adalah asas yang diambil dari hukum perdata, yang diatur dalam Pasal 1338 (3) yang menyebutkan bahwa, perjanjianperjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

59 Berkenaan dengan asas iktikad baik, Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan iktikad baik dengan istilah dengan jujur atau secara jujur. Sehingga suatu perjanjian yang dilakukan dengan iktikad baik bermakna, perjanjian itu harus dilaksanakan dengan penuh jujur antar para pihak. 67 Selanjutnya, Agus Yudha Hernoko juga menyatakan bahwa, pengaturan Pasal 1338 (3) yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik, maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. 68 Oleh karena itu, dalam konteks transaksi elektronik pun yang dilaksanakan menurut suatu perjanjian, maka asas iktikad baik harus dimaknai dan dilaksanakan seperti yang terdapat di dalam ketentuan hukum perdata Indonesia. Sedangkan prinsip kehati-hatian adalah prinsip dalam hukum adalah prinsip yang mewajibkan para pihak yang berjanji dalam hal ini melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) untuk selalu berhati-hati agar segala tindakan yang dilakukan nantinya tidak akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Prinsip transparansi sejatinya berkaitan dengan keterbukaan akan informasi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi elektronik. Oleh karena transaksi elektronik dilakukan melalui suatu media yang tidak mempertemukan para pihak secara 67 Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial), Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 134. 68 Ibid, hlm. 135.

60 langsung, maka sikap transparan akan segala macam informasi harus dikedepankan oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Akuntabilitas berkaitan dengan pertanggung jawaban para pihak atas informasi-informasi atau segala sesuatu yang terjadi dalam transaksi elektronik. Artinya, para pihak dalam transaksi elektronik dituntut untuk selalu dapat mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang terjadi dalam pelaksanaan transaksi elektronik. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajaran adalah mengacu pada unsur kepatutan yang berlaku sesuai dengan kebiasaan atau praktik bisnis yang berkembang. Sehingga, jika para pihak yang melakukan transaksi elektronik diwajibkan untuk tidak melakukan suseuatu hal yang berada di luar kebiasaan atau praktik bisnis yang berkembang atau yang selama ini dipraktikan. 69 Keempat, dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Rumusan pasal ini untuk menjustifikasi kembali bahwa sebuah transaksi elektronik dapat dilakukan melalui kontrak elektronik, atau bentuk-bentuk kontraktual lainnya sesuai dengan kesepakatan para pihak. 69 Penjelasan Pasal 46 ayat (2) huruf e.

61 Oleh karena itu, dalam transaksi elektronik sebuah kontrak dianggap sah apabila: 70 a. terdapat kesepakatan para pihak; b. dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan peraturan perundangundangan; c. terdapat hal tertentu; dan d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Jika ditelusuri lebih jauh, maka sejatinya syarat sahnya sebuah kontrak dalam transaksi elektronik tidak berbeda dengan syarat sahnya sebuah perjanjian dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320 disebutkan bahwa, untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat: a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu pokok persoalan tertentu; d. suatu sebab yang tidak terlarang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sahnya suatu perjanjian transaksi elektronik yang terjadi di dunia maya, secara hukum tetap merujuk pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana 70 Pasal 47 ayat (2).

62 diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang selama ini sudah dijalankan di Indonesia. Selain itu, dengan diaturnya syarat sah suatu transaksi elektronik yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320 KUHPerdata, sekaligus menunjukan bahwa, transaksi elektronik merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, sebagaimana juga yang telah ditulis oleh Subekti mengenai perikatan-periakatan baik yang lahir dari undang-undang maupun dari perjanjian oleh para pihak. 71 Kelima, di dalam transaksi elektronik terkait dengan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, terdapat beberap kewajiban yang dialamatkan kepada pelaku usaha khusus untuk suatu transaksi elektronik. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud antara lain: 72 a. pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan. b. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan. c. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim 71 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan ke- 31, Jakarta, 2003, hlm. 134. 72 Pasal 49 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5).

63 apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. d. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim. e. Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak. Sehingga, di dalam sebuah transaksi elektronik yang berkaitan dengan pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha dalam hal ini tidak dapat berbuat menyimpang dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Hal tersebut merupakan kewajiban bagi pelaku usaha dalam menjalankan suatu transaksi elektronik. Keenam, mengenai kapan suatu transaksi elektronik terjadi, kapan suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik terjadi, dan bagaimana cara untuk melakukan kesepakatan tersebut, maka menurut Pasal 50 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi elektronik terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak. Sedangkan untuk mengetahui kapan terjadinya kesepakatan, maka pada ayat (2) dinyatakan bahwa, kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirm oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima. Artinya, kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik

64 dikatakan terjadi setelah terdapat penerimaan dan persetujuan akan penawaran yang ditawarkan. Untuk mengetahui hal tersebut, maka kesepaktan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan atau tindakan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh pengguna sistem elektronik. 73 Sehingga, setidak-tidaknya suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik dapat dilakukan melalui dua cara yang disebutkan. Ketujuh, di dalam transaksi elektronik diatur pula mengenai jaminan yang dilakukan oleh para pihak dalam penyelenggaraan transaksi elektronik. Oleh karena itu di dalam Pasal 51 ayat (1) menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib menjamin pemberian data dan informasi yang benar serta ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian pengaduan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan bagi para pihak dalam melakukan suatu transaksi elektronik di mana para pihak masih ragu atau belum memperoleh suatu informasi yang pasti mengenai suatu hal yang berkaitan dengan transaksi elektronik. Selain itu, dalam transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan pilihan hukum (choice of law) dalam melaksanakan suatu transaksi 73 Pasal 50 ayat (3).

65 elektronik, sebagaimana juga telah diatur secara tegas di dalam UU ITE. 74 B. KEDUDUKAN E-COMMERCE SEBAGAI SUATU PERJANJIAN Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan Hukum Siber. Istilah hukum siber diartikan sebagai padanan kata dari cyber law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology) hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. 75 Dalam konteks transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan di Indonesia, telah diatur secara rinci di dalam UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik serta peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan 74 Pasal 51 ayat (2) menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib menentukan pilihan hukum secara setimbang terhadap pelaksanaan transaksi elektronik. 75 H. Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 1.

66 dokumen-dokumen dibuat di kertas, 76 sekaligus transaksi elektronik (ecommerce) dalam pelaksanaannya juga tetap mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum perjanjian sebagaimana diterapkan pada perjanjian-perjanjian konvensional selama ini. Oleh karena itu, berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis, maka untuk menjawab rumusan masalah yang ada pada penelitian ini, adapun analisa terhadap kedudukan e- commerce dalam perspektif UU ITE adalah sebagai berikut. 1. Ruang Lingkup E-Commerce Dalam UU ITE Berbicara tentang kegiatan e-commerce yang dilakukan setiap hari, maka hal yang tidak dapat dipungkiri adalah ruang lingkup dari e-commerce itu sendiri. Hal ini adalah sebuah keniscayaan mengingat, kegiatan e-commerce yang selama ini dilakukan melalui dunia maya tersebut hampir tidak memiliki ruang lingkup yang pasti, atau dalam bahasa lain limitless. Hal ini benar adanya, oleh karena ruang siber (cyber space) tidak memiliki batasan-batasan tertentu, seperti dalam kehidupan nyata. Sehingga, hal tersebut berdampak pada kegiatan e-commerce dan membuat kegiatan e-commerce seperti tidak terbatas pada suatu batasan tertentu, atau dengan kata lain tidak ada pemilahan ruang lingkup dari suatu kegiatan e- commerce (transaksi elektronik), mengenai subyek hukum mana 76 Ibid, hlm. 3.

67 sajakah yang melakukan kegiatan e-commerce dalam ruang siber itu. 77 Namun, sebagai payung hukum dari kegiatan e- comemrce di Indonesia, maka UU ITE sudah memberikan batasan ruang lingkup dari suatu kegiatan e-commerce atau transaksi elektronik. Secara hukum, kegiatan e-commerce (transaksi elektronik) adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya. 78 Pembatasan tersebut tidak hanya pada definisi mengenai apa itu transaksi elektronik, akan tetapi secara hukum ruang lingkup dari suatu transaksi elektronik atau e-commerce juga telah dibagi dalam dua kategori, yang di dalam UU ITE disebut sebagai transaksi elektronik lingkup publik dan transaksi elektronik lingkup privat. 79 1.1 E-Commerce Lingkup Publik Ruang lingkup dalam suatu transaksi elektronik (ecommerce) dalam rezim UU ITE telah dibagi menjadi dua lingkup. Lingkup publik adalah penyelenggaraan transaksi elektronik yang dilaksanakan oleh Instansi atau pihak lain yang 77 Ibid, hlm. 3. 78 Pasal 1 angka 2 UU ITE. 79 Pasal 17 ayat (1) UU ITE.

68 menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang. 80 Berdasarkan pada ketentuan tersebut, Instansi dalam hal ini adalah Instansi Pemerintah, atau dalam hal ini penyelenggara negara. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, Undang- Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat. 81 Artinya, e-commerce dalam konteks lingkup publik adalah kegiatan e-commerce yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau penyelenggara negara atau pihak lain yang diberikan wewenang untuk itu oleh karena perintah undang-undang. Sehingga jika dilihat secara seksama, maka jenis e-commerce tersebut masuk dalam kategori perikatan yang lahir dari undangundang. Atau dengan kata lain, undang-undang memberikan kewajiban kepada subyek hukum dalam hal ini Instansi Pemerintah atau pihak lain untuk melakukan suatu e-commerce (transaksi elektronik). Bukti bahwa transaksi elektronik (e-commerce) lingkup publik merupakan perikatan yang lahir undang-undang adalah adanya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, di 80 Pasal 40 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012. 81 Penjelasan Pasal 17 ayat (1) UU ITE.

69 mana disebutkan bahwa: dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan sistem informasi yang bersifat nasional. 82 Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan bahwa, Sistem informasi yang bersifat nasional berisi informasi seluruh penyelenggaraan pelayanan yang diperlukan untuk merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik. 83 Artinya, segala macam informasi tentang pelayanan publik akan dimuat dalam sistem informasi yang juga tunduk pada rezim UU ITE. Oleh karenanya, jika dalam pelayanan publik tersebut menyelenggarakan transaksi elektronik (e-commerce) maka hal tersebut secara otomatis tunduk pada kaidah hukum UU ITE mengenai transaksi elektronik lingkup publik. Dengan demikian, transaksi elektronik (e-commerce) yang dapat dikategorikan sebagai perikatan yang lahir dari undang-undang turut melahirkan kewajiban pada pihak yang dituju sehingga tindakan pihak tersebut adalah tindakan yang sah. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Pasal 1353 KUHPerdata yang menyebutkan: perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akbat perbuatan orang, muncul dari suatu perbuatan yang sah, atau dari perbuatan yang melanggar hukum. 82 Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. 83 Penjelasan Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009.

70 Dalam contoh yang diuraikan dari UU No. 25 Tahun 2009 adalah bentuk dari tindakan yang sah oleh karena penyelenggara negara diberikan kewajiban untuk menjalankan suatu pelayanan publik melalui sistem informasi, yang akan dilakukan melalui suatu transaksi elektronik bagi publik. Contoh lain yang dapat dikaitkan dengan e-commerce dalam lingkup publik adalah pembayaran listrik dan air oleh orang atau badan hukum secara on line kepada PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT. Perusahaan Air Minum Negara (PAM) yang menyelenggarakan e-commerce, dalam hal ini menerima bayaran secara on line oleh karena diberikan kewajiban oleh undang-undang untuk melaksanakan itu. Sehingga dimensi transaksi elektronik (e-commerce) lingkup publik yang diatur di dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 merupakan bentuk dari perikatan yang lahir dari undang-undang, oleh karena e-commerce dalam lingkup publik merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang. 1.2 E-Commerce lingkup Privat Selain e-commerce yang diselenggarakan dalam lingkup publik, terdapar pula e-commerce atau transaksi elektronik yang diselenggarakan dalam lingkup privat. Sebagaimana diatur dalam UU ITE yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik lingkup privat meliputi, transaksi elektronik antara pelaku

71 usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen, antarpribadi, antarinstansi, dan antar Instansi dengan pelaku usaha. 84 Dari rumusan tersebut jelas bahwa, e-commerce atau transaksi elektronik dalam lingkup publik adalah transaksi elektronik yang dilakukan berdasarkan pada perjanjian dari para pihak. Atau singkat kata, transaksi elektronik (e-commerce) lingkup privat lahir dari perjanjian antara para pihak. Jika transaksi elektronik lingkup publik melibatkan banyak pihak, yaitu antara negara dengan warga negara, maka dalam transaksi elektronik lingkup privat terbatas pada para pihak yang ada di dalamnya. Atau dengan kata lain, sifat dari transaksi elektronik tersebut terbatas antara pihak yang berjanji tersebut. Hal tersebut juga sama dengan sifat perjanjian dalam hukum perjanjian yang selama ini dipraktikan dalam suatu transaksi antara para pihak. Di mana kalau seorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan pada orang lain, meskipun yang diperjanjikan adalah soal barang atau sesuatu hal, akan tetapi pada dasarnya hubungan hukum timbul antara para pihak. 85 Dipilah berdasarkan pada subyek hukum yang menjalankan transaksi elektronik di atas, maka kelima subyek 84 Pasal 17 ayat (1) UU ITE jo Pasal 40 ayat (3) PP No. 82 Tahun 2012. 85 Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 7.

72 hukum yang disebutkan di atas adalah para pihak yang selama ini menjalankan transaksi elektronik (e-commerce) baik itu jual beli barang, sewa-menyewa, atau pemakaian jasa menurut UU ITE. Sebgai contoh, dapat saja dikatakan bahwa, Perusahaan A yang memproduksi celana Jeans membeli kain jeans dari produsen kain jeans yang dalam hal ini Perusahaan B. Kedua perusahaan tersebut melakukan transaksi melalui on line, yaitu segala kontrak dan pembayaran dilakukan secara on line. Hal tersebut adalah contoh transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha. Sedangkan untuk contoh pelaku usaha dengan konsumen, dapat saja dicontohkan dengan program Internetan Super Murah dari Kartu AsTelkomsel, di mana para pengguna jasa telepon seluler yang ingin menikmati tarif murah internet melalui telepon seluer, maka dapat mengaksesnya lewat menekan tombol *100*99#. Untuk selanjtnya pengguna kartu AsTelkomsel dapat melakukan transaksi elektronik dengan mengikuti syarat-syarat yang berlaku. Contoh tersebut adalah praktik transaksi elektronik (ecommerce) yang terjadi secara on line di mana pelaku usaha melakukan transaksi elektronik dengan konsumen, di mana

73 transaksi elektronik tersebut dapat terjadi apabila terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak. Contoh menarik lainnya mengenai transaksi elektronik lingkup publik dalam hal Instansi dengan pelaku usaha adalah dalam kasus Federal Trade Commission (FTC) melawan American Online, Inc., Compuserve, dan Prodigy Services Corp. Setelah munculnya keluhan-keluhan bahwa jasa-jasa online ini tidak memberitahukan dengan semestinya kepada konsumen, bahwa biaya secara otomatis akan dikenakan setelah kadaluarsa suatu periode percobaan yang gratis. Padahal, kontrak membutuhkan pemberitahuan yang jelas tentang semua hal dan melarang penggambaran keliru atas barang yang ditawarkan dengan syarat-syarat penawaran. 86 Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa transaksi elektronik lingkup privat sebagaimana diatur dalam UU ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 pada dasarnya adalah transaksi elektronik yang dilaksanakan berdasarkan pada perjanjian anatar para pihak. Dengan kata lain, jika dilihat dari persepktif hukum perdata jenis perikatan dalam transaksi elektronik lingkup privat lahir dari sebuah perjanjian. 86 Abdul Halim Barkatullah. Op., Cit., hlm. 139.

74 2. Asas-Asas E-Commerce Dalam UU ITE Setelah mengetahui ruang lingkup dari transaksi elektronik (e-commerce) dalam UU ITE, maka selanjutnya hal yang akan dijelaskan adalah tentang asas hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan suatu transaksi elektronik (ecommerce) yang terdapat dalam UU ITE dan aturan pelaksanaannya yaitu PP No. 82 Tahun 2012. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, pada dasarnya dalam suatu aktivitas e-commerce yang dilakukan secara virtual tidak secara otomatis menghilangkan prinsipprinsip hukum yang ada sebelumnya. 87 Seperti contoh dalam perjajian jual beli secara online, asas-asas yang melandasi kedua belah pihak untuk melakukan perjanjian pada dasarnya sama seperti asas-asas hukum yang berlaku pula dalam hukum perdata Indonesia. Oleh karena itu, Penulis akan menjelaskan tentang asas-asas hukum suatu aktivitas e-commerce berdasarkan pada kaidahkaidah atau aturan-aturan yang dituliskan di dalam UU ITE maupun aturan pelaksanannya yakni PP No. 82 Tahun 2012. 2.1 Asas Personalia Berbicara mengenai asas personalia, maka hal yang tidak dapat dihindari adalah rumusan dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang 87 Lihat Hasil Penelitian, Sub pokok 1.2 dan 1.3.

75 berbunyi, pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri. Rumusan Pasal 1315 tersebut menjadi titik penting untuk mengetahui letak dari asas personalia. Namun, apakah yang dimaksud dengan asas personalia itu? Dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. 88 Di dalam pengaturan mengenai transaksi elektronik dalam hal ini e-commerce yang diatur dalam UU ITE, khususnya di dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Rumusan tersebut jelas, bahwa siapa saja dapat melakukan perjanjian atas namanya sendiri, dan mengikat dirinya sehingga akan melahirkan kewajiban atasnya. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa, setiap orang bebas untuk melakukan e-commerce atas dan untuk dirinya, dan terikat dalam perjanjian e-comemrce tersebut. Oleh karena itu, UU ITE pun menyadari bahwa setiap orang memiliki hak untuk melakukan perjanjian dengan siapa saja melalui dunia maya, sehingga terikat oleh perjanjian itu, dan hal tersebut tidak mungkin akan dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang. 88 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 15.

76 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa: Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya yang berbeda, yaitu tidak untuk kepetingan dirinya sendiri, maka kewenangannya harus disertai bukti yang menunjukan bahwa memang orang perorangan tersebut tidak membuat dan/atau menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri. 89 Artinya, tidak mungkin seorang dapat terikat pada suatu perjanjian yang bukan atas kehendaknya sendiri atau yang bukan dilakukannya. Hal ini secara hukum juga dikenal dalam Hukum Dagang, yakni pada Pasal 107 KUHD tentang wesel yaitu: Tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya di dalam sesuatu surat wesel sebagai wakil orang lain atas nama siapa ia berwenang untuk bertindak, ia pun dengan diri sendiri terikat karena surat wesel itu, dan apabila telah membayarnya, memperoleh juga hak-hak yang sama yang sedianya ada pada orang yang katanya diwakili itu. Akibatakibat yang sama berlaku abgi seorang wakil yang bertindak dengan melampaui batas kewenangannya. Oleh karena itu, asas personalia dalam e-commerce menjadi sangat penting terlebih aktivitas di dunia maya yang tidak mengenal ruang dan waktu, sehingga asas ini harus diletakkan sebagai asas fundamental dalam pelaksanaan transaksi elektronik (e-commerce). Asas ini juga diterapkan dalam kegiatan e-commerce untuk menjamin bahwa, orang yang sudah melakukan suatu perjanjian e- commerce, maka atas orang itu terjadi perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban atasnya. 89 Ibid, hlm. 15-16.