BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Induksi Persalinan a. Pengertian Induksi persalinan adalah suatu upaya atau intervensi yang dilakukan untuk memulai persalinan pada saat sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan cara merangsang timbulnya kontraksi uterus. Pengertian lain dari induksi persalinan, yaitu proses dimulainya terjadi kontraksi uterus dengan bantuan farmakologi medis atau tindakan medis sebelum onset persalinan normal. Pemberian induksi persalinan sebaiknya dengan mempertimbangkan keuntungan serta kerugian yang mungkin terjadi pada ibu dan bayi (1,7,12). Waktu yang baik untuk dilakukan induksi persalinan adalah pada saat serviks sudah atau mulai matang, yaitu saat kondisi serviks yang sudah lembek, dengan pendataran minimal 50%, dan pembukaan seviks satu jari. Metode yang sering digunakan untuk menilai kematangan serviks adalah skor bishop. Selain karena pemakaiannya yang mudah, metode ini juga dapat memprediksikan nilai yang paling tepat untuk mengevaluasi kematangan serviks. Penilaian skor bishop meliputi pembukaan serviks, pendataran, penurunan kepala, konsistensi, dan posisi dari serviks. Nilai terendah adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 13. Apabila nilai kurang dari 5 menunjukkan bahwa serviks belum matang, hal ini juga menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya kegagalan induksi, sehingga perlu dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu (7,13).
Tabel 2. Skor Bishop (14) Faktor Nilai 0 1 2 3 Pembukaan serviks (cm) 0 1-2 3-4 5-6 Penipisan serviks 0-30% 40-50% 60-70% >80% Penurunan bag. Bawah -3-2 -1 0 +1 - +2 janin Konsistensi serviks Keras Sedang Lunak - Posisi serviks posterior Medial anterior - Indikasi dilakukannya induksi persalinan, yaitu penyakit hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklamsia dan eklamsia, ketuban pecah dini, kematian janin dalam kandungan, diabetes melitus, penyakit ginjal berat, cacat bawaan, pendarahan antepartum, dan keadaan gawat janin atau gangguan pertumbuhan janin. Sedangkan induksi persalinan kontraindikasi pada keadaan disproporsi sefalopelvik dan ibu menderita penyakit jantung berat (7). Syarat dilakukannya induksi persalinan, yaitu presentasi harus kepala, usia kehamilan mendekati masa aterm, kepala bayi harus sudah memasuki panggul, serviks sudah matang dengan serviks sudah mendatar, panjang kurang dari 1,3 cm, lunak, sudah membuka untuk dimasuki minimal 1 jari dan baiknya 2 jari, dan maturitas janin (15). a. Persalinan Persalinan adalah serangakian proses pengeluaran janin hingga pengeluaran plasenta dan selaput janin dari tubuh ibu. proses persalinan terdiri dari kala pertama, kala kedua, dan kala ketiga. Pada persalinan kala aktif, kecepatan dilatasi serviks paling lambat adalah 1 cm/jam. Persalinan kala pertama terbagi atas fase laten dan fase aktif. Pada awal fase laten, kontraksi uterus tidak menyebabkan rasa nyeri dan tidak mengganggu pasien. Fase laten akan berlanjut, menyebabakan kontraksi lebih kuat dan sering, namun dilati serviks lambat. Pada akhir fase laten, ketuban dapat pecah secara spontan (16). Fase aktif, kondisi serviks akan membuka lebih cepat dan kemajuan persalinan normal apabila kecepatan dilatasi 0,5 1 cm/jam. Pada akhir fase aktif,
pasien akan merasakan nyeri yang hebat dan ingin mnegejan. Persalinan kala pertama berlangsung lebih dari 10 jam, maka persalinan harus segera dilakukan secara seksio sesaria. Persalinan kala kedua dimulai ketika serviks telah membuka lengkap dan berakhir dengan kelahiran janin. Pada kala kedua, kontraksi uterus akan lebih sering dan kuat, janin didorong paksa untuk keluar melalui jalan lahir (16). Persalinan kala ketiga adalah fase kelahiran bayi hingga pengeluaran plasenta dan selaput ketuban. Lama peralinan dapat dipengaruhi oleh faktorfaktor, seperti usia ibu, paritas, pengetahuan ibu mengenai proses melahirkan, besarnya janin, dan posisi janin di dalam uterus. Pada pasien nullipara (primigravida), membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pasien multipara. Pada pasien nullipara membutuhkan waktu 14 jam untuk mencapai kala III, dan pada pasien multipara membuutuhkan waktu 8 jam (16). b. Pematangan serviks Pada saat awal kehamilan, sekitar trimester pertama, terjadi perubahan jaringan ikat pada serviks. Selama trimester kedua kehamilan, secara fisik, serviks akan menjadi lunak. Pelunakan serviks dapat dinilai menggunakan pengukuran fisik dari sifat mekanis serviks, yaitu menggunakan cervicotonometer, yang memungkinkan pengukuran distensibility serviks manusia selama kehamilan. Perubahan yang terjadi pada sifat mekanis serviks akan meningkat pada akhir masa kehamilan. Pada banyak kasus, hal ini menunjukkan bahwa serviks sudah lembut dan matang ketika dimulainya kontraksi persalinan secara spontan (17).
Perubahan sifat mekanis serviks (17,18) : Perubahan jaringan ikat Peningkatan prostaglandin: pelepasan sitokin pro-inflamasi, infiltrasi dengan sel darah putih Enzim degradatif (kolegenase, metriks metalloproteinase (MMP)) teraktifasi Penurunan konsentrasi kolagen dan perubahan molekul membentuk fibril kolagen (glukosaminoglikan) Konsentarsi asam hialuronat (menahan air) meningkat Terjadinya peningkatan hidrasi jaringan fibril kolagen menjadi padat selama kehamilan, akibatnya serat kolagen jarang dan tidak teratur c. Mekanisme Induksi Persalinan Induksi persalinan sangat baik dilakukan saat serviks telah matang. Ketika induksi dilakukan saat serviks belum matang, hal ini dapat menyebabkan penigkatan komplikasi. Ada berbagai cara untuk melakukan induksi, yaitu cara kimiawi atau farmakologsi, cara mekanis, dan kombinasi antara cara keduanya. Pada umumnya, awal induksi persalinan dilakukan dengan cara farmakologis, yaitu dengan cara memberikan obat untuk membantu kontraksi uterus. Obat-obat yang dapat yang membantu kontraksi uterus, yaitu oksitosin, prostaglandin, dan injeksi larutan hipertonik intraamnion (3,7). Prostaglandin (PG) memiliki peran yang sangat penting dalam proses kelahiran karena mampu mendorong kontraksi uterus dan pematangan serviks. Prostaglandin dari kelompok E dan F memiliki efek stimulasi yang sangat kuat terhadap myometrium. Pada subjek uji tikus, PGE2 dapat menyebabkan perubahan pada distribusi GAG, sehingga meningkatkan asam hialuronat dan kadar air yang menyebabkan terjadinya pematangan serviks (15,17).
Prostaglandin E2 telah terdaftar sebagai induksi persalinan di banyak negara. Negara-negara berkembang, harga PGE2 sangat mahal dan sangat sensitif terhadap perubahan suhu, sehingga harus disimpan dalam pendingin. Dibandingkan dengan PGE2, PGE1 (misoprostol) memiliki beberapa keunggulan, yaitu stabil pada suhu kamar, relatif murah, dan dapat diberikan melalui berbagai rute (oral, vagina, sublingual, rektal, dan bukal). Sehingga, penggunaan misoprostol lebih banyak digunakan sebagai induksi persalinan (3,19,20). Seperti prostaglandin lainnya, misoprostol dapat menimbulkan kontraksi myometrium pada uterus dan pematangan serviks. Selain itu, misoprostol juga dapat meningkatkan konsentrasi Ca 2+ bebas di intraseluler, sehingga menyebabkan terjadinya interaksi antara aktin dan myosin terfosforilasi. Pada saat yang sama, terjadi gap junction myometrium pada uterus yang membantu memudahkan terjadinya kontraksi terkoordinasi (21). 2.1.2 Misoprostol Misoprostol merupakan sebuah analog prostaglandin E 1 yang secara oral digunakan untuk mencegah dan mengobati kerusakan saluran cerna. Tablet misoprostol berwarna putih dan berbentuk bikonveks 10-11 mm. Memiliki inti yang mengandung 50 mg natrium diklofenak dan dikelilingi oleh lapisan luar yang mengandung misoprostol 200 mg. Susunan kimiawi misoprostol, yaitu C 22 H 38 O 5 dengan nama kimiawi Methyl 7-{3-hydroxy-2-{(E)-4-hydroxy-4- methyloct-enyl}-5-oxocyclopentyl}heptanote. (20,22) Gambar 2.1 Struktur Kimia Misoprostol dan PGE 1 alami (22) Misoprostol dipasarkan sejak tahun 1985 dan telah diterima di lebih 80 negara yang dikenal dengan nama Cytotec. Dibandingkan dengan analog prostaglandin yang lain, misoprostol memiliki beberapa manfaat, yaitu tidak
memiliki efek pada bronkus dan pembuluh darah, dapat digunakan secara oral, vaginal, sublingual, bukal atau rektal. Pada dosis tertentu dapat menyebabkan diare dan gemetar yang dapat sembuh dengan sendirinya, serta harganya yang murah. Namun kini misoprotol banyak digunakan sebagai off-label untuk berbagai indikasi, termasuk aborsi, induksi persalinan, pematangan serviks, dan mengatasi pendarahan postpartum (24,25). a. Farmakokinetika Rute pemberian misoprostol, yaitu dapat melalui oral, vaginal, rektal, bukal, dan sublingual. Studi farmakokinetika meliputi konsentrasi puncak (Cmax), waktu untuk mencapai konsentrasi puncak (Tmax), dan daerah di bawah konsentrasi serum terhadap kurva waktu (AUC). Cmax menggambarkan kemampuan obat dapat diserap oleh tubuh, Tmax merupakan kecepatan obat dapat diserap, dan AUC merupakan gambaran bioavailabilitas yang menunjukkan jumlah paparan obat dan menilai kualitas medis suatu obat. 1. Misoprostol oral Misoprostol secara oral dapat cepat diabsorbsi yang kemudian membentuk asam misoprostol dan metabolit aktif. Konsentrasi plasma puncak (Cmax) dicapai lebih lambat dan mampu bertahan hingga 4 jam. Pada pemberian misoprostol 400 mcg dosis tunggal secara oral, kadar misoprostol dalam plasma mencapai puncak pada sekitar 30 menit kemudian menurun cepat setelah 120 menit. Pemberian misoprostol bersamaan dengan makanan atau antasid dapat menurunkan kecepatan absorbsi misoprostol sehingga memperlambat dan menurunkan konsentrasi plasma puncak metabolit aktif. Waktu paruh (T 1/2 ) untuk eliminasi melalui urin yaitu sekitar 20-40 menit (23). 2. Misoprostol vaginal Peningkatan konsentrasi plasma pada pemberian secara vaginal terjadi secara bertahap dan mencapai level maksimal setelah 70-80 menit, kemudian menurun secara perlahan. Kadar misoprostol dalam plasma masih terdeteksi setelah 6 jam pemberian. Berdasarkan nilai AUC, bioavailabilitas per vaginal lebih baik dibandingkan per oral. Namun absorbsi misoprostol per vaginal bervariasi pada setiap wanita, hal ini disebabkan perbedaan jumlah dan ph
lendir vagina. Pada pemberian secara sublingual, misoprostol tidak mengalami metabolisme oleh hati sehingga konsentrasi maksimal dapat dicapai dalam waktu singkat. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, pemberian misoprostol secara vaginal memiliki efektifitas yang lebih baik dibandingkan pemberian per oral (23). 3. Misoprostol sublingual Konsentrasi puncak yang dapat dicapai pada pemberian secara sublingual sama dengan pemberian secara oral, yaitu sekitar 30 menit. Rute sublingual membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk diabsorbsi. Pada pemberian 400mcg misoprostol secara sublingual, konsentrasi puncak dalam plasma lebih tinggi dibanding pemberian oral dan vaginal. Konsentrasi puncak yang tinggi disebabkan oleh penyerapan yang cepat melalui mukosa sublingual serta tidak terjadi metabolisme pertama di hati. Nilai AUC pada pemberian misoprostol secara sublingual memiliki nilai yang mirip dengan per vaginal (23). 4. Misoprostol bukal Pada rute bukal menunjukan nilai AUC dan konsentransi puncak lebih rendah serta memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan rute sublingual, namun absorbsi obat secara bukal dan sublingual sama (25). Tmax pada pemberian bukal yaitu 75 menit, mirip dengan rute vaginal, namun bioavailabilitas pada pemberian bukal hanya setengah dari pemberian vaginal. Selain itu bentuk kurva absorbsi pemberian secara bukal juga mirip dengan vaginal, namun kadar obat dalam plasma dicapai lebih rendah dalam waktu 6 jam (23). 5. Misoprostol rektal Pada pemberian misoprostol secara rektal, bentuk kurva absorbsi mirip dengan pemberian vaginal, namun konsentrasi puncak maksimum dan bioavailabilitas rektal hanya sepertiga dari vaginal. Tmax pada pemberian per rektal adalah sekitar 40-65 menit. Namun pemberian misoprostol per rektal masih jarang digunakan pada praktek medis (23). Misoprostol sangat cepat diabsorbsi dan sangat mudah larut serta mengalami esterfikasi yang cepat menjadi asam lemak. Kemampuan absorbsi misoprostol pada berbagai rute pemberian memiliki hubungan dengan kejadian
efek samping yang lebih tinggi. Rute sublingual dengan Cmax tertinggi memiliki efek samping yang lebih tinggi dibandingkan dengan rute pemberian yang lain. Misoprostol diekskresikan melalui ginjal sekitar 80%, melalui fases 15%, dan sekitar 1% akan diekskresikan melalui urin (5,22). b. Kesesuaian Dosis Misoprostol secara off-label digunakan sebagai induksi persalinan. Pemberian misoprostol pada dosis yang berbeda akan menimbulkan efek yang ditimbulkan juga berbeda. Sebagai obat anti ulkus peptik, misoprostol diberikan 200 mcg secara oral setiap 6-12 jam sehari. Pada dosis 400 mcg pervaginal dengan interval 4 jam dapat menimbulkan efek abortus pada ibu hamil. Sebagai induksi persalinan misoprostol diberikan dosis 25 mcg setiap 3-6 jam (11). Dosis total pemberian misoprostol dalam sehari, yaitu 100 200 mcg. World Health Organization (WHO) merekomendasikan dosis dan interval waktu pemberian misoprostol sebagai induksi persalinan. WHO merekomendasikan 25mcg/2jam untuk per oral dan 25mcg/6jam per vaginal. Pada sebuah artikel obstetric and gynecology, misoprostol untuk melunakkan serviks dan induksi persalinan dapat diberikan 25 mcg secara vaginal setiap 4 6 jam. Pada penelitian lain, pemberian misoprostol secara vaginal, yaitu 25 50 mcg setiap 4-6 jam. SOGC Guidelines merangkum beberapa penelitian yang membandingkan misoprostol dosis 25 mcg dan 50 mcg. Pemberian misoprostol dosis 50 mcg memiliki efektivitas yang baik dibandingkan dosis 25 mcg, namun menimbulkan efek takisistol yang lebih besar. Induksi persalinan diberikan dalam waktu 24 hingga 48 jam. Induksi persalinan dikatakan memiliki efektivitas yang baik jika mampu menginduksi kurang dari 24 jam. Persalinan yang terjadi lebih dari 24 jam memiliki resiko terkena infeksi lebih besar (3).
Gambar 2.2. Rekomendasi Pemberian Misoprostol(12)
2.2 Keterangan Empiris Penggunaan induksi persalinan di Indonesia meningkat mencapai 10-20% dari seluruh persalinan. Penggunaan induksi persalinan di RSU Wates Yogyakarta pada tahun 2011 telah mencapai 29,24% dari total persalinan pervaginam. Pasien yang mendapatkan misoprostol, sebesar 81% pasien melahirkan dalam waktu 24 jam, sementara pada pasien yang mendapatkan oksitosin hanya 62%. Persalinan pervaginam terjadi pada 81% kelompok misoprostol dan 64% pada kelompok oksitosin. Pasien ketuban pecah dini di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2002, diberikan misoprostol oral 87,50% dan misoprostol vaginal 80,70%. Pemberian misoprostol dapat menurunkan resiko seksio sesaria sebesar 47% (1,5,6). 2.3 Kerangka Konsep Induksi Misoprostol Inklusi: 1. Mendapatkan misoprostol 2. Persalinan pervaginam Eksklusi: 1. Rekam medis tidak lengkap 2. Riwayat operasi sesar 3. Janin IUFD Variabel bebas: - Rute pemberian - Pemberian misoprostol Variabel tergantung: Efektifitas misoprostol