BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA)

dokumen-dokumen yang mirip
ASEAN CHINA FREE TRADE AREA

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

BAB II ASEAN CHINA FREE TRADE AREA (ACFTA) penjelasan mengenai ASEAN, dan terbentuknya Asean Free Trade Area

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip umum perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan

4. Membentuk komite negara-negara penghasil minyak bumi ASEAN. Badan Kerjasama Regional yang Diikuti Negara Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan sudut pandang ilmu ekonomi, motivasi hubungan antar negara

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema

BAB I PENDAHULUAN. membuat perubahan dalam segala hal, khususnya dalam hal perdagangan. Era

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS ASEAN CINA BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (Studi Kasus : Dampak pada Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia (TPT))

BAB I PENDAHULUAN. sehingga perdagangan antar negara menjadi berkembang pesat dan tidak hanya

ASEAN ( Association of Southeast Asia Nations ) adalah organisasi yang dibentuk oleh perkumpulan Negara yang berada di daerah asia tenggara

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. Integrasi ekonomi merupakan kebijakan perdagangan internasional yang dilakukan

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara bertujuan agar posisi ekonomi negara tersebut di pasar internasional

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kemudian terbagi dalam beberapa divisi yang terpecah dan kemudian mendorong terbentuknya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penerapan Skema CEPT-AFTA Dalam Kerjasama Perdagangan

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. Bab 3

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

BAB I PENDAHULUAN. yaitu yang mencakup banyak bidang atau multidimensi yang melewati batas-batas

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah. mengarah kepada terbentuknya ekonomi global. Ekonomi global mulai

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

PERKEMBANGAN KERJA SAMA ASEAN PASCA IMPLEMENTASI AEC 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Menerjang Arus Globalisasi ACFTA dan Masa Depan Ekonomi Politik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33/M-DAG/PER/8/2010

Ketika cakar Sang Naga kian kuat mencengkeram

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

Implikasi perdagangan barang dalam ASEAN Free Trade terhadap perdagangan. Intra dan Ekstra ASEAN Tahun Dono Asmoro ( )

PENGATURAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM ASEAN-CHINA FREE TRADE AREAL (ACFTA) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

TANTANGAN EKSTERNAL : Persiapan Negara Lain LAOS. Garment Factory. Automotive Parts

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERLINDUNGAN INDUSTRI DALAM NEGERI MELALUI TINDAKAN SAFEGUARD WORLD TRADE ORGANIZATION

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat itu juga membutuhkan hubungan satu sama lainnya, lainnya untuk memenuhi kebutuhan negaranya.

: Determinan Intra-Industry Trade Komoditi Kosmetik Indonesia dengan Mitra Dagang Negara ASEAN-5 : I Putu Kurniawan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Conduct dan prosedur penyelesaian sengketa. GATT terbentuk di Geneva pada tahun 1947

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1. perubahan perilaku konsumsi dan transaksi dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON CUSTOMS (PERSETUJUAN ASEAN DI BIDANG KEPABEANAN)

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan tidak sekedar di tunjukan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi. perekonomian kearah yang lebih baik. (Mudrajad,2006:45)

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

BAB - III PEMBAHASAN. secara luas kepada negara-negara ASEAN dan China. Pembukaan pasar ini

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 7 PERDAGANGAN BEBAS

BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS AFTA. A. Tinjauan Umum tentang Perdagangan Bebas. 1. Sejarah dan Pengertian Perdagangan Bebas

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. artikan sebagai kesepakatan dari kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. mengikuti pesatnya laju globalisasi ekonomi dunia adalah munculnya blok-blok

Latar Belakang dan Sejarah Terbentuknya. WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO) Bagian Pertama. Fungsi WTO. Tujuan WTO 4/22/2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PRINSIP-PRINSIP PERDAGANGAN DUNIA (GATT/WTO)

Kinerja Ekspor Nonmigas November 2010 Memperkuat Optimisme Pencapaian Target Ekspor 2010

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. *

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

Kerja sama ekonomi internasional

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 59/M-DAG/PER/12/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya.

BAB I PENDAHULUAN. implikasi positif dan negatif bagi perkembangan ekonomi negara-negara

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

BAB IV PENUTUP. IV.1 Kesimpulan

2016, No c. bahwa Menteri Perdagangan melalui surat Nomor: 330/M- DAG/SD/4/2016 tanggal 14 April 2016 hal Permohonan Perubahan Peraturan Menter

Transkripsi:

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ASEAN CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA) Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak yang cukup luas pada perekonomian Indonesia. Dampak dari arus globalisasi ekonomi ini lebih terasa lagi setelah dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan dan didukung secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional. 39 ASEAN yang merupakan salah satu kerjasama regional merupakan bentuk kekuatan baru di benua Asia, karena menjadi salah satu kawasan dengan jumlah potensi pasar terbesar di dunia. Hal ini tentunya menarik minat negara-negara lain yang ingin mengembangkan potensi kerjasama mereka di wilayah Asia. Terlebih lagi rencana terbesar ASEAN yang akan membentuk ASEAN Economic Community (AEC) yang membawa kerjasama ekonomi ke arah yang lebih luas yaitu dalam satu kerangka komunitas ASEAN. Salah satu negara besar yang menunjukkan komitmen kerjasamanya sebagai mitra ASEAN adalah negara China, yang secara konkrit diimplementasikan dalam Perjanjian Kerjasama Perdagangan Bebas antara ASEAN dengan China. 40 39 Bismar Nasution, op. cit., hlm. 7. 40 Saepudin, Analisis Peluang dan Tantangan Serta Langkah Pemerintah Indonesia Terhadap Implementasi Penuh ASEAN-China FTA, http://saepudinonline.wordpress.com/2011/03/25/analisis-

A. Kesepakatan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) 1. Latar Belakang ACFTA Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN memang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara. Untuk tujuan tersebut, negara-negara anggota ASEAN telah berusaha untuk saling membantu dalam usaha-usaha yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama dari negara-negara anggota ASEAN, khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan termasuk masalah-masalah sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan antara lain dengan memanfaatkan secara efektif berbagai sektor seperti pertanian dan industri serta memperluas perdagangan mereka, termasuk perdagangan komoditi internasional. 41 Negara-negara anggota ASEAN juga bertekad untuk memerangi kemelaratan, kelaparan, penyakit dan buta huruf sebagai perhatian utama bagi negara-negara anggotanya. Untuk itu, ASEAN telah berusaha mengadakan kerjasama secara intensif di bidang ekonomi dan pembangunan sosial dengan mengutamakan peningkatan sosial dan perbaikan tingkat kehidupan rakyat di kawasan Asia Tenggara. Dalam KTT ASEAN di Bali tahun 1976 khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan peluang-dan-tantangan-serta-langkah-pemerintah-indonesia-terhadap-implementasi-penuh-aseanchina-fta/, diakses tanggal 14 Mei 2011. 41 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum internasional, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2007), hlm. 9.

telah ditetapkan suatu program aksi sebagai kerangka untuk kerja sama ASEAN antara lain: 42 a. Kerjasama mengenai komoditi dasar, khususnya makanan dan energi b. Kerjasama di bidang industri c. Kerjasama di bidang perdagangan d. Pendekatan bersama dalam menghadapi masalah komoditi internasional dan masalah ekonomi dunia lainnya e. Mekanisme untuk kerjasama ekonomi. Lingkungan ekonomi baik domestik maupun internasional telah mengalami perubahan yang cepat dan telah menimbulkan tantangan-tantangan bagi ASEAN. Walaupun sistem perdagangan global masih terbuka, kecenderungan timbulnya hambatan-hambatan tetap merupakan tantangan bagi ASEAN. Terlebih dengan semakin banyaknya pengelompokan-pengelompokan ekonomi secara cepat menyebar, seperti Pasaran Tunggal Eropa dan NAFTA. Hal ini jelas mempengaruhi sistem perdagangan internasional karena pengelompokan semacam itu bertujuan untuk meningkatkan rejim ekonomi internasional yang terbuka, yang hanya akan mendorong kerja sama ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Perjanjian perdagangan regional (RTA) ini tumbuh karena bersifat lebih mudah dan aplikatif karena tidak melibatkan terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi di WTO. Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral tersebutlah yang mendasari ketentuan pasal 24 ketentuan GATT tentang diperbolehkannya pembentukkan kerjasama- 42 Joint Communique Meeting of the second ASEAN economic Government, Bali 23-24 February 1976, sebagaimana dikutip dalam Sumaryo Suryokusumo, ibid.

kerjasama regional di bidang perdagangan. Ketentuan Pasal 24 GATT memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional (Regional Trade Agreement /RTA) tersebut tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral. 43 Hal inilah yang mendasari ASEAN mengambil langkah-langkah baru untuk meningkatkan kerja sama perdagangan dan industri yaitu dengan mencari mekanisme-mekanisme baru ke arah tercapainya harmonisasi dan integrasi ekonomi yang dapat menjamin lancarnya perdagangan dan investasi ASEAN. 44 Pada tahun 1991 para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN atau yang dikenal dengan AFTA yang pembentukannya berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun. Sebuah lembaga setingkat menteri dibentuk untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji pelaksanaan program menuju AFTA. Adapun isi persetujuannya berupa kerangka dalam meningkatkan kerja sama ekonomi ASEAN (Framework Agreement on Exchanging ASEAN Economic Coorporation- FAEAEC) yang ditandatangani presiden dan perdana menteri tiap-tiap negara ASEAN pada bulan Januari 1992. 45 Kelahiran AFTA ini merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didominasi oleh negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA 43 Saepudin, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO): Studi Kasus ASEAN Free Trade Area (AFTA), http://saepudinonline.wordpress.com/2011/05/05/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalamkerangka-world-trade-organization-wto-studi-kasus-asean-free-trade-area-afta/, diakses tanggal 20 Juni 2011. 44 Sumaryo Suryokusumo, op. cit., hlm. 15-16. 45 R. Hendra Halwani, loc.cit., hlm. 214.

merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya. Kesankesan tersebut juga timbul atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya. 46 AFTA merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. Tujuan lain adalah menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. 47 Persetujuan induk itu merupakan payung dari seluruh kerangka kerja sama ekonomi ASEAN. Jalan menuju AFTA ditempuh melalui mekanisme yang disebut CEPT (Common Effective Prefenrential Tariff). Setiap negara akan menurunkan tarif bea masuk atau mengurangi restriksi non tarif bagi sesama negara ASEAN, khususnya untuk produk yang masuk dalam kesepakatan yang berlaku di ASEAN. 48 Skema CEPT merupakan skema untuk satu tujuan yaitu mewujudkan AFTA melalui: penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. 49 Target AFTA adalah pengurangan tarif, bahkan menuju zero tariffs rate sebelum tahun 2003. Pemberlakuan kesepakatan AFTA terhadap enam negara penandatangan secara serentak akan efektif pada tahun 2010 sedangkan untuk 46 Saepudin, loc.cit. 47 Noviansyah Manap dikutip dari Martin Khor, Memperdagangkan Kedaulatan: Free Trade Agreement dan Nasib Bangsa, (Yogyakarta: Insist Press, 2010), hlm. 209. 48 Ibid. 49 Adminiatrator, AFTA dan Implementasinya, http://www.depdag.go.id/files/publikasi/djkipi/afta.htm, diakses tanggal 20 Juni 2011.

Vietnam tahun 2013, Laos dan Myanmar 2015, dan kamboja pada tahun 2017. Pada waktu yang ditentukan tersebut semua produk harus masuk ke dalam skema CEPT. 50 Belakangan, persyaratan sistem perdagangan bebas dunia barat terasa memberatkan negara ASEAN dan di sisi lain, dunia barat merasakan ASEAN menjadi pesaing tangguh di dunia, terutama di tahun 1980-an dan 1990-an. Bank Dunia kemudian menyebutnya sebagai macan-macan ekonomi atau dikenal juga dengan sebutan Asia Four Dragon. Bank Dunia menyatakan bahwa kemajuan ekonomi Asia Tenggara dengan cepat dapat menjadi ekonomi maju. Para pemimpin negara-negara Asia menjelaskan bahwa keberhasilan ekonomi yang sangat mengesankan tersebut berakar dalam nilai-nilai Asia yang sangat berbeda dengan nilai-nilai dunia Barat. 51 Pada tahun 1996, China secara resmi menjadi salah satu dialog partner serta mitra strategis bagi ASEAN, dan pada bulan November tahun 2000 bertepatan dengan diadakan KTT ASEAN-China, seluruh kepala negara menyepakati gagasan pembentukan ACFTA yang dilanjutkan dengan pembentukan ASEAN-China Economic Expert Group pada bulan Maret 2001. Kerjasama dengan China tidak dipungkiri merupakan potensi pengembangan pasar yang sangat besar bagi kurang lebih 1,3 milyar penduduk China yang merupakan potensi sebagai FTA terbesar didunia secara populasi dan terbesar ketiga di dunia secara ekonomi tersebut membuat kepala negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk menandatangani 50 Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 152. 51 Ibid.

Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between ASEAN and The PRC pada bulan November tahun 2002, yang diratifikasi oleh pemerintah pada tahun 2004 dalam bentuk Keppress yaitu Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat China, dalam hal ini negara Indonesia diwakili oleh Presiden Megawati Sukarnoputri. 52 Selama 2 (dua) tahun perundingan berjalan, akhirnya kesepakatan ACFTA pun disepakati dan ditandai dengan adanya penandatanganan Agreement on Trade in Goods pada bulan November tahun 2004, Indonesia pada saat itu diwakili oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. 53 Terdapatnya perbedaan dalam tingkat perkembangan ekonomi di kalangan negara sekawasan, selamanya merupakan kendala utama dalam usaha mewujudkan Wilayah Perdagangan Bebas yang mengharuskan dihapuskannya semua hambatan perdagangan, terutama bea masuk antara anggota untuk menggalakkan perdagangan intra-regional. 54 Interaksi ekonomi antarnegara pasca-perang Dunia II mengalami perubahan yang cukup berarti. Interaksi ekonomi dulu hanya sekedar didasari aspek kebutuhan 52 Andri Gilang Nugraha, Tantangan dan Peluang serta Langkah-Langkah yang Dilakukan Pemerintah Indonesia Terhadap Implementasi Penuh ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), http://ditjenkpi.depdag.go.id/umum/setditjen/buletin%202010/full%2002.pdf, diakses tanggal 9 Juni 2011. 53 Ibid. 54 M. Sabir, ASEAN Harapan dan Kenyataan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), hlm. 230-231.

akan adanya barang dari suatu negara terhadap negara lain, tetapi sekarang lebih dari sekedar itu, yakni adanya aspek persaingan antara satu negara dan negara lain. Aspek persaingan inilah yang nantinya akan menentukan apakah negara tersebut mampu mengambil keuntungan ataukah tidak. 55 2. Isi Kesepakatan ACFTA Dalam kesepakatan ACFTA tersebut para pihak, yakni ASEAN dan China sepakat untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui: 56 a. Penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang. Dalam hal penurunan dan penghapusan tarif perdagangan barang disepakati untuk menghapus pajak impor atau bea impor melalui 3 skenario yaitu Early Harvest Programme (EHP), Normal Track Programme, serta Sensitive dan Highly Sensitive. b. Liberalisasi secara progresif perdagangan jasa. Pelaksanaan liberalisasi dalam perdagangan jasa berarti akan memperlancar akses pasar jasa antar negara-negara anggota ACFTA. c. Membangun rezim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA. Hal ini dilakukan dengan menghapus dan mengupayakan kemudahan berinvestasi antar negara anggota ACFTA. Berdasarkan hal tersebut dalam persetujuan ACFTA terdapat 3 bidang yang disepakati diliberalisasikan, diantaranya yaitu: 55 Hisam Mansur, Jangan Salahkan Cina, http://jabar.tribunnews.com/index.php/read/artikel/14853, diakses 8 Mei 2011. 56 Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam, loc. cit.

a. Persetujuan Perdagangan Barang (Agreement on Trade in Goods) Persetujuan perdagangan barang ini disepakati pada tanggal 29 November 2002. Dalam persetujuan perdagangan barang yang disepakati tersebut terdapat beberapa tahapan skema penurunan tarif perdagangan barang yang meliputi: 57 (1). Tahap I Early Harvest Program (EHP) (a) Chapter 01 sampai dengan Chapter 08, yaitu: binatang hidup, ikan, dairy product, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan; (b) Kesepakatan Bilateral (produk spesifik), antara lain: kopi, minyak kelapa/cpo, coklat, barang dari karet, dan perabotan; (c) Tarif akan menjadi 0% pada tahun 2006. (2). Tahap II Normal Track I dan II (2006-2010). (a) Normal Track I, Tarif akan menjadi 0% pada tahun 2010 (dari 2009-2010 tahap terakhir dari 5% menjadi 0%); (b) Normal Track II, Tarif akan menjadi 0% pada tahun 2012. (3). Tahap III Sensitive/Highly Sensitive List (a) Sensitive List 58 57 Ibid. 58 Sensitive List merupakan suatu daftar berisi produk-produk yang disepakati para pihak dalam ACFTA sebagai produk-produk yang masuk kategori sensitif karena dianggap belum bisa bersaing dalam perdagangan bebas sehingga produk ini dikenakan penurunan tarif dalam kurun waktu

(1) Tahun 2012 = maksimum 20%; (2) Pengurangan menjadi 0-5% pada tahun 2018. Dengan 304 Produk, antara lain: Barang jadi kulit (tas, dan dompet); alas kaki (sepatu, casual, kulit); kacamata; alat musik (tiup, petik, gesek); mainan (boneka); alat olah raga; alat tulis; besi dan baja; spare part; alat angkut; glokasida dan alkaloid nabati; senyawa organik; Antibiotik; kaca; barang-barang plastik. (b) Highly Sensitive List Pada tahun 2015 tarifnya maksimum 50% dengan 47 produk yang terdiri dari: produk pertanian (beras, gula, jagung, dan kedelai); produk industri tekstil dan produk tekstil; produk otomotif; produk ceramic tableware. Untuk mendapatkan preferensi penurunan tarif dengan menggunakan ketiga skenario tersebut disepakati Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) atau Rules of Origin (ROO) dengan ketentuan kandungan lokal ASEAN China FTA sebesar 40% yang secara operasional menggunakan SKA Form E. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk dalam perdagangan bebas ASEAN-China dilakukan melalui proses secara bertahap 59 atas seluruh produk, hal ini dimaksudkan untuk tetap dimana dianggap bahwa produk-produk tersebut siap untuk diliberalisasikan, contoh: produk-produk pertanian bukan olahan. 59 Penurunan dan pengahapusan tarif bea masuk dalam perdagangan bebas ACFTA dilakukan secara bertahap berdasarkan kategori produk yang terbagi atas produk yang berdaya saing kuat, berdaya saing sedang, dan berdaya saing lemah, bahkan ada yang daya saingnya sangat lemah. Setiap pengelompokan produk sesuai kemampuannya bersaing memiliki jadwal penurunan tarif (normal track) yang berbeda waktu. Bea masuk produk berdaya saing kuat yang termasuk kategori normal track 2 dihapus menjadi 0% pada tahun 2012. Untuk produk berdaya saing lemah akan dihapuskan tariff bea masuknya pada tahun 2018, lihat. Fr. Sumarwan, ACFTA Juga Soal Jasa Dan Investasi, http://fr-

menjaga kepentingan perlindungan terhadap produk Indonesia yang dianggap belum mampu untuk bersaing dengan produk negara peserta FTA. 60 b. Persetujuan Perdagangan Jasa (Agreement on Trade in Services). Selanjutnya, dalam kesepakatan ACFTA tersebut juga disepakati tentang liberalisasi di sektor jasa yang disepakati pada tanggal 14 Januari 2007. Dengan adanya Persetujuan ini para penyedia jasa dikedua wilayah akan mendapatkan manfaat perluasan akses pasar jasa sekaligus national treatment untuk sektor dan subsector yang dikomitmenkan oleh masing-masing Pihak ACFTA. Paket pertama persetujuan jasa ACFTA mencakup kurang lebih 60 subsektor tambahan dari komitmen para Pihak di GATS/WTO. Dari sudut pandang tingkat ambisi liberalisasi, Paket Pertama tersebut mencerminkan tingkat komitmen yang cukup tinggi dari seluruh 4 modal penyediaan jasa baik cross-border supply, consumption abroad, commercial presence, dan movement of natural persons. Disamping memberikan manfaat dari meningkatnya arus perdagangan jasa antara kedua wilayah, Persetujuan Jasa diharapkan akan mendorong peningkatan investasi khususnya pada sektor-sektor yang telah dikomitmenkan oleh para pihak seperti: (1) Bisnis jasa seperti pelayanan yang berkaitan dengan komputer, jasa dibidang perumahan, riset pasar, konsultasi manajemen (business services such as sumarwan.blogspot.com/2011/05/acfta-juga-soal-jasa-dan-investasi.html, diakses tanggal 21 Juni 2011. 60 Firman Mutakin dan Aziza Rahmaniar Salam, op. cit.

computer related services, real estate services, market research, management consulting); (2) Layanan dibidang teknik dan konstruksi (construction and engineering related services); (3) Pariwisata dan jasa travel (tourism and travel related services); (4) Jasa pengangkutan (transport services), layanan pendidikan (educational services); (5) Jasa telekomunikasi (telecommunication services); (6) Bidang kesehatan dan layanan sosial (health-related and social services); (7) Rekreasi (recreational), jasa dibidang olahraga dan kebudayaan (cultural and sporting services); (8) Jasa lingkungan (environmental services); dan (9) Layanan di bidang energi (energy services). c. Persetujuan Investasi (Agreement on Investation) Melalui Persetujuan Investasi yang disepakati tanggal 15 Agustus 2007 tersebut, pemerintah negara-negara Anggota ASEAN dan China secara kolektif sepakat untuk mendorong peningkatan fasilitasi, transparansi dan rezim investasi yang kompetitif dengan menciptakan kondisi investasi yang positif, disertai berbagai upaya untuk mendorong promosi arus investasi dan kerjasama bidang investasi. Disamping itu kedua pihak juga secara bersama-sama akan memperbaiki aturan investasi menjadi lebih transparan dan kondusif demi peningkatan arus investasi. Selain itu hal terpenting lainnya adalah ASEAN dan China sepakat untuk

saling memberikan perlindungan investasi. Kegiatan sosialisasi ini akan memaparkan kebijakan, peraturan, ketentuan, dan prosedur investasi. Dari sudut pandang investor, Persetujuan Investasi ASEAN China memberikan berbagai manfaat nyata seperti: 61 (1). jaminan perlakuan yang sama untuk penanam modal asal China ataupun ASEAN antara lain dalam hal manajemen, operasi, likuidasi; (2). pedoman yang jelas mengenai ekspropriasi, kompensasi kerugian dan transfer serta repatriasi keuntungan; (3). kesetaraan untuk perlindungan investasi dalam hal prosedur hukum dan administratif. Apabila terjadi sengketa yang muncul antar investor dan salah satu pihak, persetujuan ini memberikan mekanisme penyelesaian yang spesifik disamping adanya kesepakatan semua pihak untuk terus berupaya menjamin perlakuan yang sama atau non-diskriminatif. 3. Tujuan ACFTA Pasar bebas yang dibangun oleh negara-negara di suatu kawasan bertujuan: 62 a. Memperbesar pasar dan meningkatkan perdagangan. b. Menghilangkan hambatan perdagangan, membentuk spesialisasi dan meningkatkan efisiensi ekonomi. c. Meningkatkan prospek investasi d. Memberikan konsumen pilihan produk yang lebih baik dan lebih murah. 61 Ibid. 62 Noviansyah Manap, dalam Martin Khor, ibid., hlm 210.

Kesepakatan ACFTA yang merupakan salah satu bentuk perdagangan bebas juga memiliki beberapa kerangka tujuan yang tidak berbeda jauh dari tujuan normatif pembentukan kawasan perdagangan tersebut, yang intinya adalah peningkatan perekonomian di antara ASEAN dan China. Tujuan kerjasama ACFTA tersebut antara lain: a. Memperkuat dan meningkatkan perdagangan ASEAN-China; b. Liberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan dan penghapusan tarif; c. Mencari area baru dan pengembangan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan, serta; d. Mempermudah integrasi ekonomi yang lebih efektif antar negara-negara baru anggota ASEAN dan menjembetani gap diantara ASEAN dan China. Terjadinya liberalisasi perdagangan antara ASEAN dan China memudahkan perpindahan barang antara dua pihak tersebut. 63 4. Prinsip-Prinsip Perdagangan ACFTA Profesor Aleksander Goldštajn, seorang sarjana hukum perdagangan internasional memperkenalkan prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) dalam hukum perdagangan internasional. Prinsip-prinsip dasar tersebut, yaitu: 64 63 Khairil Muslim dan Arie Heraldin Hutama, Dua Sisi ACFTA, http://bacaekon.com/2011/04/dua-sisi-acfta/?wpmp_switcher=mobile, diakses tanggal 24 Mei 2011. 64 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 15.

a. Prinsip Kebebasan Para Pihak dalam berkontrak (the principle of the freedom of contract). Prinsip ini merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang. Kebebasan ini tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lainlain sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum. 65 b. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda Prinsip ini mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). 66 c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase. 67 Secara garis besarnya prinsip-prinsip hukum dalam perdagangan internasional menghendaki perlakuan tarif yang sama atas setiap produk baik terhadap produk impor maupun produk domestik. Tujuan penerapan prinsip tersebut adalah agar terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT. Selain prinsip-prinsip dasar tersebut, prinsip-prinsip perdagangan yang juga dianut dalam ACFTA adalah Prinsip-prinsip perdagangan yang terdapat dalam ketentuan WTO/GATT. Prinsip kerjasama tersebut meliputi: 65 Ibid. 66 Ibid., hlm. 16. 67 Ibid.

1. Most Favoured Nation (MFN) Prinsip MFN ini berisi ketentuan bahwa suatu negara memberikan perlakuan yang istimewa kepada negara mitra dagangnya dan hendaklah juga memberikan perlakuan yang sama istimewanya kepada negara-negara lain yang melakukan transaksi perdagangan dengan negara bersangkutan. Perlakuan yang sama itu harus tercermin dalam tarif impor, pajak ekspor, dan pungutan lain. Prinsip tersebut bertujuan agar semangat perdagangan bebas menjadi meluas sehingga manfaat yang timbul dari perdagangan bebas itu dapat dinikmati oleh seluruh negara yang melakukan transaksi perdagangan internasional. Selain itu, Prinsip tersebut juga bertujuan agar negara-negara yang melakukan transaksi perdagangan internasional lebih mengutamakan sistem multilateral yang bersifat kooperatif dari pada pembentukan aliansi bilateral dalam sistem perdagangan internasional. 68 Dalam ACFTA hal ini diatur dalam Pasal 9 Keppres Nomor 48 Tahun 2004 yaitu China harus menyetujui perlakuan MFN yang konsisten dengan peraturan dan persetujuan WTO terhadap seluruh pihak ASEAN yang bukan pihak WTO pada tanggal persetujuan ini ditandatangani. 69 2. National Treatment Memberikan perlakuan sama terhadap produk-produk impor baik barang maupun jasa, dengan produk sejenis di dalam negeri. Prinsip ini merupakan pencerminan dari pembatasan kedaulatan negara. Hal ini sering diperjanjikan dalam 68 R. Hendra Halwani, op.cit., hlm. 302. 69 Pasal 9 Keppres No.48 Tahun 2004.

rangka mewujudkan suatu kompromi antara kepentingan nasional dengan kepentingan Internasional yang sering bertentangan. Tujuan prinsip ini adalah untuk menciptakan harmonisasi perdagangan internasional agar tidak terjadi perlakuan yang diskriminatif di pasar domestik, sebab pasar domestik tidak terlepas dari pasar internasional suatu negara yang menginginkan barangnya laku di negara lain. 70 Dalam prinsip National Treatment ini terlihat konsep ekonomi liberal yaitu adanya peraturan yang membatasi campur tangan pemerintah dalam pasar perdagangan domestik, agar semua produk beredar dapat bersaing wajar. Namun, prinsip ini hanya mungkin terlaksana secara adil di negara-negara yang sudah kuat ekonominya. Sebab biasanya suatu negara yang masih kurang kuat ekonominya dan kedaulatannya lebih sulit mengakui prinsip ini dari pada negara yang ekonominya sudah kuat. Berdasarkan hal tersebut tampak jelas bahwa prinsip ini sesungguhnya adalah untuk melindungi barang-barang impor. Hal ini tentu saja menyulitkan kedudukan daya saing barang-barang buatan dalam negeri di negara berkembang, karena harga produksi barang-barang yang diimpor. 71 Prinsip ini juga terdapat dalam ACFTA yaitu pada pasal 3 angka (6) Keppres No.48 Tahun 2004. Ini berarti dalam ACFTA, pemerintah tidak boleh lebih mengistimewakan produk dalam negeri daripada produk impor yang dalam hal ini 70 Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Persaingan Usaha Industri Kecil di Era Pasar Bebas, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Persaingan Usaha Industri Kecil di Era Pasar Bebas, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan HAM RI, 2004), hlm. 12. 71 Ibid.

adalah produk dari China beredar di masyarakat serta produk dari negara-negara anggota ASEAN lainnya. 3. Transparansi (Transparency) Bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya. Prinsip ini mengandung arti bahwa dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan implementasi ACFTA, maka pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikasikan kebijakan tersebut sehingga negara anggota ACFTA dapat mengetahuinya. Prinsip transparansi ini terlihat dalam Pasal 1 ayat (b) Keppres No. 48 Tahun 2004 yaitu; meliberalisasikan secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu rezim investasi yang transparan, liberal dan mudah. 72 Selain itu prinsip ini juga tertuang dalam Pasal 3 angka 8 (f) Keppres No. 48 Tahun 2004 yang menyatakan; safeguard didasarkan pada prinsip-prinsip GATT, termasuk, tapi tidak terbatas, pada elemen-elemen berikut ini: transparansi, cakupan, kriteria obyektif untuk aksi, termasuk konsep kerugian yang serius atau ancaman, dan keadaan yang sementara 73 serta dalam Pasal 5 (b) Keppres No. 48 Tahun 2004 yaitu memperkuat kerjasama investasi, mempermudah investasi dan meningkatkan transparansi dari peraturan dan regulasi investasi; 74. 72 Pasal 1 (b) Keppres No. 48 Tahun 2004. 73 Pasal 3 angka 8 (f) Keppres No. 48 Tahun 2004. 74 Pasal 5 (b) Keppres No.48 Tahun 2004.

4. Mutual Benefit Saling menguntungkan antar negara anggota. Prinsip ini juga terdapat dalam ACFTA sebagaimana perjanjian dagang internasional lainnya. Ini berarti dalam kerjasama ACFTA perdagangan bebas yang dilakukan antara Indonesia dan China haruslah saling menguntungkan, tidak boleh ada pihak yang dirugikan. Hal ini tercermin dalam Pasal 2 ayat (e) dan (f) Keppres Nomor 48 Tahun 2004 yaitu: ketentuan fleksibilitas bagi para pihak dalam negosiasi ASEAN-China FTA untuk menanggulangi bidang-bidang yang sensitive dalam sektor-sektor barang, jasa dan investasi dimana fleksibilitas akan dinegosiasikan dan disepakati bersama berdasarkan prinsip timbal balik dan saling menguntungkan 75, dan dalam Pasal 2 (f) Keppres No. 48 Tahun 2004 yang menyatakan; pembentukan langkah-langkah fasilitas perdagangan dan investasi yang efektif, termasuk, tapi tidak terbatas pada, penyederhanaan prosedur kepabeanan dan pengembangan pengaturan pengakuan yang saling menguntungkan. 76 B. ACFTA dalam Perspektif Hukum Anzilotti, seorang ahli hukum internasional Italia menyatakan bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian internasional adalah karena prinsip mendasar yang disebut pacta sunt servanda. Menurut prinsip ini, negara terikat untuk melaksanakan dengan itikad baiknya kewajiban-kewajiban yang dipikulnya sesuai dengan perjanjian 75 Pasal 2 (e) Keppres No. 48 Tahun 2004. 76 Pasal 2 (f) UU No. 48 Tahun 2004.

tersebut. 77 Pada saat perjanjian tersebut berlaku, maka harus juga diberlakukan oleh negara-negara pihak dengan itikad baik. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional bahwa perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. 78 Oleh karena itu, negara sebagai subyek hukum internasional berkewajiban untuk melaksanakannya. Dalam hukum internasional, di dalam bahasa Inggris dikenal beberapa bentuk dari perjanjian internasional, diantaranya yaitu; treaty, convention, agreement, arrangement, declaration, charter, covenant, statute, protocol, pact, process verbal, modus Vivendi, act, final act, general act. 79 ACFTA jelas merupakan salah satu bentuk Agreement atau yang dalam bahasa Indonesianya disebut sebagai Perjanjian. Istilah perjanjian internasional adalah istilah yang secara khusus digunakan dalam bahasa hukum Indonesia, yang menurut artinya dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah dalam arti generik, yaitu suatu istilah yang dimaksudkan untuk mencakup segala bentuk, jenis, atau macam perjanjian internasional. Dan golongan yang kedua adalah dalam arti spesifik, yaitu istilah perjanjian internasional yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang jika ditinjau dari segi substansinya berkenaan dengan masalah yang tergolong penting dan besar 77 Sumaryo Suryokusumo, loc. cit., hlm. 41. 78 Pasal 38 angka 1 Statuta Mahkamah Internasional. 79 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 26.

baik bilateral maupun multilateral, baik yang berisi kaidah hukum yang khusus berlaku antara para pihak saja, maupun yang membentuk kaidah hukum yang berlaku umum atau bersifat terbuka, sedangkan untuk perjanjian yang substansi tergolong kurang penting atau lebih bersifat teknis, digunakan istilah persetujuan. 80 Berdasarkan hal ini, tampak bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara persetujuan dan perjanjian internasional, dalam hal ini ACFTA dikategorikan sebagai perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan pengertian perjanjian internasional menurut UU No. 24 Tahun 2000 dan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang memiliki perbedaan defenisi dengan versi Konvensi Wina 1969, menyebutkan Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik. 81 Selain itu dilihat dari ruang lingkupnya, ACFTA merupakan suatu bentuk perjanjian internasional regional atau kawasan, yang dalam hal ini kesepakatan diantara negara-negara yang tergabung dalam organisasi internasional. Perjanjian internasional regional adalah perjanjian internasional yang ruang lingkup berlakunya terbatas pada suatu kawasan tertentu saja. ini berarti, perjanjian tersebut mengikat 80 Ibid., hlm. 33 81 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 128.

negara-negara yang berada dalam suatu kawasan, yang sekaligus menunjukkan ciri regionalnya. 82 Pengaturan perdagangan regional (regional trading arrangements) di mana suatu kelompok negara sepakat untuk menghilangkan atau mengurangi rintanganrintangan terhadap impor dari sesama anggotanya, telah berlangsung di beberapa region dunia, seperti ME (sekarang European Union) dengan konsep pasar tunggalnya, ASEAN dengan AFTA-nya, dan lain-lain. GATT, dalam Pasal XXIV, mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui pengelompokanpengelompokan demikian itu sebagai suatu pengecualian dari aturan umum klausul MFN. 83 Dengan demikian, integrasi regional seperti itu harus berfungsi sebagai pelengkap bagi sistem perdagangan multilateral, dan bukan sebagai ancaman terhadapnya. Pengelompokan-pengelompokan regional menurut Pasal XXIV dapat berupa custom union atau free trade area. Dalam dua bentuk pengelompokan tersebut bea (duties) dan rintangan-rintangan lain terhadap semua perdagangan di antara negaranegara dalam kelompok tersebut harus dihilangkan. Dalam suatu free trade area, 82 Ibid., hlm. 49. 83 Prinsip MFN dalam WTO menghendaki setiap anggota memberikan perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagangnya. Akan tetapi sejak WTO mengalami kemandekan dalam perundingannya, hal ini mendorong negara-negara anggota untuk membentuk kawasan perdagangan regional untuk mengembangkan perdagangan mereka, bahkan perdagangan regional ini diperbolehkan oleh WTO sebagaimana diatur dalam Artikel XXIV GATT. Pasal ini mensyaratkan dibolehkannya negara-negara anggota WTO untuk membentuk organisasi ekonomi regional dengan syarat bahwa organisasi regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan bagi negara ketiga. Dalam hal inilah tampak pengecualian dari prinsip MFN, sebab pada dasarnya prinsip MFN justru bertentangan dengan pengaturan GATT/WTO dalam Artikel XXIV yang memperbolehkan negara-negara anggota untuk membentuk organisasi regional tersebut. Hal ini dikarenakan dalam perdagangan regional, yang justru terjadi adalah adanya rintangan pada negara diluar keanggotaan organisasi regional tersebut.

setiap anggota tetap menjalankan kebijaksanaan perdagangan eksternalnya, termasuk tarif, terhadap non anggota. 84 Persetujuan ACFTA berlaku di Indonesia setelah diratifikasi melalui Keppres Nomor 48 Tahun 2004 tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China. Dasar hukum pembuatan Perjanjian Internasional ditinjau dari sudut pandang hukum nasional di Indonesia diatur pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Perjanjian Internasional, memberikan hak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ratifikasi perjanjian ACFTA tersebut sah secara hukum? Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 ayat 3 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan amanah UUD 1945 tersebut maka terbitlah Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Maka, dasar hukum penandatanganan dan pemberlakuan Perjanjian ACFTA mengacu ke Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tersebut. 84 Huala Adolf dan A. Candrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, loc. cit., hlm. 20.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 4 (b) menyebutkan Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. 85 Dengan demikian itu ratifikasi ACFTA juga harus memperhatikan kepentingan nasional. Jika diperhatikan penandatangan ACFTA oleh pemerintah tampak kurang memperhatikan kepentingan nasional. Menurut penulis seharusnya pemerintah dapat mempertimbangkan secara matang apakah dengan kondisi perekonomian dan industri tanah air serta berbagai faktor lainnya termasuk infra struktur yang masih sangat minim serta cadangan energi yang juga sangat minim Indonesia dapat bersaing dalam ACFTA. Meskipun demikian persetujuan ACFTA tersebut sah menurut hukum positif di Indonesia apabila diperhatikan dari pembuatan dan pengesahannya. Mengenai pengesahan terhadap Perjanjian Internasional dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebutkan bahwa: Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: 86 a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 85 Pasal 4 (b) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. 86 Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000.

e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Selanjutnya dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 disebutkan bahwa Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. 87 Berdasarkan kedua pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tersebut maka tampak bahwa ratifikasi ACFTA sesungguhnya sah secara hukum sebab ACFTA diratifikasi melalui Keppres yaitu Keppres Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China. Selain itu, dengan diundang-undangkannya Piagam ASEAN oleh Pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 memiliki arti yang penting dalam menyangkut kekuatan berlakunya ACFTA di Indonesia. Setiap kesepakatan yang dibuat ASEAN termasuk semua perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan Negara lain juga akan berlaku untuk Indonesia. Hal ini tentunya akan semakin menambah efek negatif bagi pertumbuhan industri dalam negeri dan kehidupan dunia usaha di Indonesia. Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat 2 huruf (n) Piagam ASEAN mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi tunggal yang berarti pelaksanaan kesepakatan 87 Pasal 11 UU No. 24 Tahun 2000.

perdagangan ASEAN itu harus sama (homogen). Pasal itu menjadi landasan bagi ASEAN untuk melakukan perdagangan bebas dengan negara-negara di luar kawasan. 88 C. Posisi Indonesia dalam ACFTA Perdagangan bebas menyatukan dunia dalam distribusi barang. Tidak ada diskriminasi antara barang impor dengan produk domestik. Sebelum penerapan perdagangan bebas, barang impor akan dikenai pungutan negara berupa bea masuk. Pengenaan bea masuk ini menjadikan barang impor mengalami kenaikan harga. ACFTA yang merupakan persetujuan antara negara-negara anggota ASEAN dan China merupakan kesepakatan yang bersifat regional. Oleh karena itu, dengan ikut menandatangani kesepakatan tersebut, maka Indonesia terikat dalam sebuah perjanjian internasional yang tentunya harus dilaksanakan. Meskipun, ternyata dalam implementasinya telah memberikan dampak yang tidak baik bagi beberapa sektor industri nasional. 89 Indonesia semestinya lebih matang mempertimbangkan keputusan untuk menyetujui kesepakatan ACFTA tersebut yaitu pada tahun 2002 yang lalu saat 88 Salamuddin Daeng dikutip dalam Administrator, UU Ratiifikasi Piagam ASEAN Diuji ke MK, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dc2cf078aa3e/uu-ratifikasi-piagam-asean-diuji-ke-mk-, diakses tanggal 26 Mei 2011. 89 Dampak negatif dalam pelaksanaan ACFTA yang dimaksud adalah terhadap sektor-sektor industri yang tidak mampu bersaing dengan produk China. Sektor-sektor industri tersebut khusnya adalah bidang sektor industri manufaktur atau sektor non migas. Hal ini disebabkan karena produk impor China memiliki similaritas dengan produk industri nasional sehingga dengan membanjirnya produk impor China yang lebih murah daripada produk industri nasional mengakibatkan produk industri nasional kalah bersaing bahkan untuk pasar domestik.

kesepakatan tersebut ditandatangani. Sebab pada kenyataannya China adalah pemain global yang sangat kuat saat ini. Ditengah dunia digempur krisis keuangan global, China justru mengalami kelebihan devisa yang luar biasa yang diperoleh dari surplus perdagangannya. Tahun-tahun kedepan China akan mengalami surplus perdagangan yang lebih besar lagi khususnya terhadap ASEAN dan Indonesia. Diperkirakan angka impor Indonesia akan mencapai 104,038 miliar dollar AS dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya sebesar 68,6 miliar dollar AS. Sebab pada tahun 2004 hingga tahun 2008 neraca perdagangan tumbuh negatif dengan rata-rata pertumbuhan -17,96% dimana sektor manufaktur berkontribusi paling besar terhadap defisit tersebut dengan pertumbuhan -11,69%. Sedangkan pertumbuhan ekspor ratarata hanya mencapai 17,18%, berada jauh dibawah rata-rata pertumbuhan impor yang mencapai 25,83%. Hal ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara net importer. 90 Adapun faktor yang menjadi keunggulan Indonesia dalam ACFTA adalah ekspor yang berbasis kepada sumber daya alam dan bukan produk manufaktur. Sebaliknya, China sangat unggul dalam ekspor produk olahan dan barang jadi. Berdasarkan hal ini, tampak bahwa ACFTA merupakan ancaman bagi industri manufaktur di Indonesia sebab produk impor China yang masuk ke Indonesia memiliki similaritas dengan produk hasil industri dalam negeri. 90 Rully Indrawan, Percepatan Reformasi Birokrasi Dalam Meningkatkan Daya Saing Bangsa Di Era ACFTA, disampaikanpada pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XXVIII, LAN, 14 Oktober 2010.

Jika dicermati, kedudukan Indonesia dalam kesepakatan ACFTA bila dilihat dari dalam pertumbuhan industri bahkan ketahanan terhadap dampak negatif pemberlakuan ACFTA tidaklah pada posisi yang kuat. Bahkan lebih lemah dibanding dengan negara-negara tetangga Indonesia sendiri seperti Singapura, Malaysia, Filiphina bahkan Thailand. Dalam kerangka ACFTA, terlihat bahwa industri dalam negeri khusnya sektor manufaktur dirugikan sebab tidak memiliki daya saing. 91 Pelaksanaan ACFTA sejak satu tahun yang lalu memperlihatkan ketidaksiapan Indonesia dalam pemberlakuan ACFTA ini. D. Aspek Hukum Perlindungan Industri Dalam Negeri dalam Kerangka ACFTA Semangat yang dimiliki Indonesia dan negara berkembang lainnya dalam mengikutsertakan dirinya dalam WTO sebagai organisasi perdagangan dunia didasarkan antara lain oleh harapan untuk mendorong terciptanya perdagangan dunia yang bebas dari hambatan secara menyeluruh. Berdasarkan hal tersebut, tanpa adanya perjanjian yang mengikat secara multilateral, dalam keadaan dan juga kenyataan bahwa semua negara di dunia menerapkan berbagai macam kebijakan untuk 91 Kerugian industri nasional akibat implementasi ACFTA tampak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Institute for Global Justice. Menurut hasil penelitian Institute for Global Justice, sepanjang tahun 2006-2008 tercatat 1.650 industri nasional mengalami kebangkrutan akibat tidak mampu bersaing dengan produk impor China dan sebanyak 140.584 tenaga kerja terpaksa kehilangan pekerjaan karena perusahaan gulung tikar, lihat. Administrator, Minta ACFTA Distop Untuk Sementara, http://bataviase.co.id/node/644345, diakses tanggal 22 Juni 2011.

melindungi negaranya masing-masing dari gejolak pasar dunia sampai saat ini, tatanan perdagangan yang tanpa distorsi mustahil tercapai. 92 Dalam hal ini negara berkembang menyadari bahwa tingkat kematangan ekonomi dan pertumbuhan pembangunan antar negara anggota tidaklah sama. Berkaitan dengan hal ini, berbagai pasal dan ayat dalam dokumen perundingan, mengakui adanya perbedaan antar negara sehingga negara berkembang sebetulnya berhak mendapatkan berbagai pengecualian-pengecualian. Ini tampak dalam Pasal XXXVI GATT 1994 ayat 3 yang menyebutkan perlunya upaya-upaya positif yang ditujukan untuk menjamin negara berkembang mendapat bagian yang pasti dalam pertumbuhan perdagangan internasional bersamaan dengan pembangunan perekonomian. 93 Hal inilah yang melatarbelakangi pengaturan mekanisme perlindungan industri dalam negeri dalam ketentuan GATT/WTO. Dengan perkiraan jumlah penduduk yang mencapai 1,7 miliar jiwa, secara populasi ACFTA merupakan FTA terbesar di dunia. Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN dengan penduduk paling besar tentu akan menjadi sasaran utama bagi ekspansi/perluasan produk-produk China. Terlebih dengan meningkatnya proteksionisme pada sejumlah negara-negara mitra dagang utama China, Amerika Serikat, Jepang dan Eropa, Rusia serta beberapa negara lain, mengakibatkan volume 92 Budiman Hutabarat dan Bambang Rahmanto, Aturan Dan Mekanisme Perlindungan Terhadap Dampak Liberaslisasi Perdagangan Untuk Siapa?, http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/fae25-1e.pdf, diakses tanggal 22 Juni 2011. 93 Ibid.

perdagangan China mengalami kemerosotan. ACFTA menjadi momentum bagus bagi China mengembalikan surplus perdagangan luar negerinya. 94 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa ACFTA merupakan salah satu produk kapitalisme. Maka, sesungguhnya kesepakatan tersebut juga sama dengan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya yang lebih mengakomodir kepentingan pihak yang kuat, yaitu negara- negara maju yang dalam hal ini adalah negara China, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darusalam. Sebagaimana dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya, pihak yang lemah cenderung dirugikan akibat dampak negatif dari pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas tersebut. Berkaitan dengan pemberlakuan ACFTA di Indonesia, tampak jelas bahwa industri dalam negeri semakin terpuruk akibat membanjirnya produk China. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan bagi industri dalam negeri yang terkena dampak negatif pemberlakuan ACFTA. Berdasarkan hal tersebut, konsep perlindungan yang dimaksud disini adalah menyangkut perlindungan hukum yang diberikan negara dalam melindungi industri dalam negerinya dari dampak negatif pelaksanaan kesepakatan ACFTA. Pengaturan hukum mengenai perlindungan industri dalam negeri dalam ACFTA diatur dalam Article 3 (8 f and g) Trade In Goods Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Beetween the Association of South Asian Nations and the People s Republic of China yang diratifikasi dalam Keppres Nomor 94 Edy Burmansyah, ACFTA dan Perlindungan Industri Nasional-Bagian 1, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=1568&type=4, diakses tanggal 24 April 2011.

48 Tahun 2004 Tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China, Pasal 3 angka 8 (f). Tindakan-tindakan dalam upaya perlindungan hukum yang diperbolehkan bagi industri dalam negeri tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Safeguard (Pengamanan Perdagangan). Ketentuan mengenai tindakan Safeguard ini disebutkan dalam Article 3 (8 f) Trade In Goods Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Beetween the Association of South Asian Nations and the People s Republic of China sebagaimana diratifikasi melalui Keppres No. 48 Tahun 2004 Tentang Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China, pasal 3 angka 8 (f) yang tetap mengacu pada prinsip GATT. Safeguard ini merupakan bentuk perlindungan terhadap industri dalam negeri yang mengalami kerugian atau ancaman kerugian yang disebabkan oleh meningkatnya impor dengan membatasi barang-barang impor yang impornya mengalami peningkatan. Tindakan Safeguard dimaksudkan untuk menghindari keadaan, dimana anggota WTO menghadapi suatu dilema antara membiarkan pasar dalam negeri mereka yang sangat terganggu oleh barang impor atau menarik diri dari kesepakatan. 95 95 Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), Perlindungan Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Safeguard Wold Trade Organization, (Jakarta: KPPI, 2005), hlm 1-2.

Ketentuan mengenai pengaturan safeguard di Indonesia ada dalam Keppres Nomor 84 tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor (Safeguard). Tindakan penyelamatan safeguard dilakukan lebih ke arah penyelidikan pada peningkatan impor secara umum yang terjadi dalam periode dan keadaan tertentu. Peningkatan impor yang dimaksud terjadi dalam praktek perdagangan yang fair atau dalam persaingan yang normal. Apabila terbukti kuat bahwa terjadinya lonjakan impor 96 dari barang terselidik telah mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri, maka tindakan pengamanan sementara dapat dikenakan. 97 Berdasarkan ketentuan internasional, artikel XIX GATT 1994 dan Safeguard Agreement (SA), ada dua persyaratan yang harus dipenuhi dalam penentuan peningkatan impor yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan safeguard. Pertama, peningkatan impor yang terjadi harus disebabkan oleh adanya perkembangan yang tidak diperkirakan sebelumnya sebagai akibat dari tindakan memenuhi kewajiban internasional dalam rangka liberalisasi perdagangan. Kedua, 96 Lonjakan impor yang dimaksud dalam hal ini adalah peningkatan impor yang tajam dan sangat signifikan serta menimbulkan kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri. Pada dasarnya tidak semua peningkatan impor yang terjadi dapat dikenakan safeguard. Peningkatan impor yang dapat dikenakan safeguard adalah peningkatan impor yang terbukti memiliki hubungan kausalitas dengan ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri tersebut. Faktor-faktor untuk menilai kerugian tersebut diatur dalam Artikel 4.2 (a) SA, yang meliputi jumlah dan prosentase peningkatan impor barang yang diselidiki secara absolute dan relatif; pangsa pasar yang direbut oleh meningkatnya barang impor; tingkat perubahan dari penjualan, produksi, produktivitas, penggunaan kapasitas, untung dan rugi, dan tenaga kerja. (Lebih lanjut lihat dalam Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), Ibid., hlm. 16). 97 Ramziati, Pengamanan Perdagangan Dalam Negeri (Safeguard) Dalam Teori Dan Praktek, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006), hlm. 57.

peningkatan impor tersebut mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri. Dalam artikel 2.1 SA terdapat pedoman dalam mengidentifikasi peningkatan impor, yaitu bahwa barang impor yang masuk dalam wilayah kepabeanan suatu negara meningkat dalam jumlah secara absolut dan relatif 98 dibanding dengan produksi dalam negeri serta mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri yang menghasilkan barang yang serupa atau secara langsung tersaingi oleh barang impor tersebut. 99 Berkaitan dengan persyaratan untuk menunjukkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam artikel 2.1 SA dapat terpenuhi, yaitu khususnya tingkat dan jumlah peningkatan impor secara absolut dan relatif dan berapa besar pangsa pasar dalam negeri yang direbut oleh peningkatan impor tersebut. 100 Penentuan "kerugian serius meliputi pembuktian bahwa terjadinya peningkatan impor barang tertentu mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius bagi industri dalam negeri yang menghasilkan barang serupa atau secara langsung tersaingi dengan barang impor tersebut. Pembuktian ini merupakan persyaratan utama dalam melakukan tindakan safeguards. 101 Dalam safeguard, kerugian serius ditunjukkan oleh menurunnya secara keseluruhan indikator kinerja 98 Peningkatan impor secara absolut (misalnya, dalam ton atau satuan ukur lainnya) sedangkan perbandingan secara relatif terhadap produksi dalam negeri atas barang serupa atau barang yang secara langsung tersaingi. Berdasarkan Artikel 2.1 SA, ketentuan absolut dan relatif merupakan persyaratan yang bersifat alternatif, ini berarti untuk menetukan peningkatan impor cukup dipenuhi salah satunya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penentuan peningkatan impor adalah ketentuan tentang kuantitas yang menjadi fokus bahasan, bukan dalam bentuk nilai. (Lihat dalam KPPI, op.cit., hlm. 10-11). 99 Ibid., hlm. 5. 100 Ibid., hlm. 6. 101 Ibid., hlm. 15.