BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di tingkat dunia, penyakit tidak menular (PTM) menjadi persoalan serius karena prevalensinya terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data WHO tahun 2012 mencatat terdapat sekitar 38 juta orang meninggal akibat PTM dari total 56 juta orang yang meninggal di tahun tersebut. Kematian terkait PTM ini sebagian besar disebabkan karena penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit pernafasan kronis, dan kanker (Lanuois, 2016). Di Indonesia, PTM menjadi penyebab kematian terbanyak dan angka mortalitas morbiditasnya makin meningkat. Berdasarkan 10 besar penyakit penyebab kematian, enam diantaranya tergolong PTM. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi 15,4%, disusul tuberkulosis 7,5%, hipertensi 6,8%, cedera 6,5%, diabetes melitus 5,7%, tumor 5,7%, penyakit jantung iskemik 5,1%, dan penyakit saluran nafas bawah 5,1%. Akibat transisi demografi, sosial, ekonomi dan budaya di masyarakat telah mengakibatkan perubahan pola penyakit yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke PTM. Diperkirakan jumlah ini akan semakin meningkat jika tidak ada usaha pengendalian (Kemenkes RI, 2014). 1
Pemerintah telah mengembangkan inovasi untuk mengendalikan PTM dengan cara memberdayakan masyarakat agar dapat mengendalikan faktor risiko PTM secara mandiri melalui kegiatan posbindu. Pemerintah DIY telah mencanangkan pembentukan 440 posbindu di setiap kelurahan atau desa. Melalui kegiatan posbindu diharapkan masyarakat dapat melakukan cek kesehatan secara rutin meskipun tidak sedang sakit. Jika ditemukan faktor risiko, maka kader posbindu akan memberi konseling dan akan merujuk ke dokter keluarga atau puskesmas jika diperlukan penanganan lanjutan (Antara, 2015). Pelaksanaan posbindu dapat berdaya guna jika kader trampil dalam memberi konseling. Ini sesuai dengan pendapat Fatmah tahun 2012 yang menyatakan bahwa sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat, maka kader perannya sangat penting dalam menyelenggarakan program posbindu. Kader perlu dibekali pengetahuan dan ketrampilan dalam memberi penyuluhan kepada masyarakat sehingga akan berpengaruh pada kesadaran masyarakat untuk skrining secara periodik. Pendapat ini sesuai dengan penelitian Susanti, 2013 yang menyimpulkan bahwa masyarakat mempunyai motivasi untuk berkunjung kembali ke posbindu setelah mendapat penyuluhan oleh kader secara langsung dan materinya mudah dipahami oleh peserta. Berdasarkan kajian literatur oleh Astuti dan Yuliana tahun 2016 menyimpulkan bahwa pelaksanaan posbindu masih menghadapi berbagai kendala antara lain kader enggan melakukan konseling di meja 5 alasannya kader merasa kurang percaya diri dan merasa kurang pengetahuannya tentang PTM. Penulis juga telah melakukan studi pendahuluan pada tanggal 14 Maret 2016 2
kepada 11 kader di Posbindu Ngudi Waras Dusun Tahunan didapatkan informasi bahwa selama ini tidak ada kegiatan konseling, ironinya meja 5 dibiarkan kosong padahal kegiatan ini sangat penting dan kader lebih senang jika ada dokter keluarga atau petugas puskesmas yang datang untuk memberi konseling. Pemerintah sudah memberikan modul pembelajaran berupa Buku Pintar Kader jilid 1,2,3,4, dan 5 tetapi kenyataannya kader merasa kesulitan untuk memahami modul tersebut. Hal ini dimaklumi karena sebagian besar kader mempunyai tingkat pendidikan rendah atau lulusan SD atau SMP. Sangat disayangkan program pemerintah yang bagus ini ternyata di lapangan tidak berjalan secara optimal. Berdasarkan informasi inilah menggerakkan keinginan peneliti yang saat ini sedang mendalami pendidikan Ilmu Kedokteran Keluarga yang diharapkan nantinya mempunyai peran sebagai garda terdepan dalam layanan primer untuk andil dalam upaya memberdayakan kader posbindu agar percaya diri dalam memberikan konseling dengan mengadakan pelatihan untuk menjembatani keterbatasan kader dalam memahami modul. I.2. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Kemenkes RI berupaya mengendalikan faktor risiko PTM dengan memberdayakan masyarakat melalui kegiatan posbindu tetapi dalam penerapannya belum berjalan optimal. 3
2. Kegiatan konseling di meja 5 sangat krusial tetapi kader posbindu merasa tidak percaya diri melakukannya. 3. Tingkat pengetahuan kader yang rendah menyebabkan kesulitan untuk memahami modul. I.3. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini dirumuskan masalah bahwa kegiatan posbindu di lapangan ternyata belum berjalan optimal karena kader kesulitan memahami modul sehingga tidak percaya diri dalam memberikan konseling di meja 5. Dokter keluarga sebagai garda terdepan dalam layanan primer perlu memberi pelatihan konseling untuk menjembatani kesulitan kader memahami modul. I.4. Pertanyaan Penelitian Apakah tingkat pengetahuan kader dapat meningkat setelah mendapat pelatihan konseling oleh dokter keluarga? Apakah ada peningkatan pengetahuan kader setelah dilatih dibandingkan dengan kader yang membaca modul? Apakah tingkat pengetahuan peserta dapat meningkat setelah mendapat konseling oleh kader yang dilatih? 4
I.5. Keaslian Penelitian Berdasarkan survei awal, penelitian mengenai dampak pelatihan konseling oleh dokter keluarga terhadap kinerja kader di Posbindu Ngudi Waras Dusun Tahunan Kabupaten Gunungkidul belum pernah dilakukan. Sumber ini diperoleh dari petugas pemegang program posbindu di Puskesmas Paliyan. Berdasarkan kajian literatur, ada beberapa penelitian tentang program posbindu tetapi belum ada penelitian yang menganalisa tentang dampak pelatihan konseling tentang faktor risiko perilaku PTM oleh dokter keluarga. Fatmah tahun 2013 melakukan penelitian tentang pengaruh pelatihan bermain peran (role play) di Posbindu Kota Depok dengan desain quasy experimental menggunakan alat ukur pre-post kuisioner dengan tujuan untuk menganalisa pengetahuan dan ketrampilan kader dalam melakukan penyuluhan obesitas dan hipertensi, sedangkan di penelitian kami memfokuskan tentang konseling faktor risiko perilaku PTM. Astuti, et al, tahun 2016 mengritisi program kegiatan posbindu dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam yang menunjukkan bahwa proses kegiatan di Posbindu PTM Al-Mubarok di Puskesmas Sempu belum sesuai dengan juknis dan pedoman umum posbindu. Penelitian tersebut mengkritisi program posbindu secara umum, sedangkan di penelitian kami menganalisa secara khusus tentang kinerja kader posbindu. Marlina tahun 2013 melakukan penelitian kuantitatif di posbindu Tenayan Pekanbaru dengan desain deskriptif korelasi menggunakan pendekatan cross 5
sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan peserta mengunjungi posbindu, sedangkan di penelitian kami menganalisa tingkat pengetahuan peserta dan kader posbindu. Samiasih tahun 2010 melakukan penelitian secara descriptive correlatif dengan pendekataan cross sectional terhadap pengetahuan kader posbindu di Kelurahan Sendangmulyo Tembalang Semarang. Pada penelitian ini tidak dilakukan intervensi pendahuluan, sedangkan di penelitian kami dilakukan intervensi dengan melatih konseling kader dengan metode bermain peran (role play) dan sebagai kontrolnya adalah kader yang membaca modul. I.6. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai apakah dampak pelatihan kader oleh dokter keluarga dapat meningkatkan kinerja kader dalam memberikan konseling dibandingkan dengan yang membaca modul. I.7. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Sebagai dokter keluarga di layanan primer dapat berperan aktif dalam pendampingan UKBM (usaha kesehatan berbasis masyarakat) dengan menerapkan prinsip kedokteran keluarga sebagai community oriented care dan 6
memberikan umpan balik kepada pemangku kebijakan apakah program sudah berjalan optimal, kendala apa yang terjadi dan memberikan solusi yang terbaik. 2. Bagi masyarakat Mendukung pemberdayaan masyarakat agar berperan aktif secara mandiri dalam mengenali faktor risiko PTM di masyarakat dan mengusahakan penyelesaian yang tepat untuk mengatasinya. 3. Bagi pemerintah Memberi masukan bagi Kemenkes bahwa program posbindu sangat baik untuk mengendalikan faktor risiko PTM tetapi di lapangan belum berjalan optimal karena kader kesulitan memahami modul sehingga tidak percaya diri dalam melakukan konseling. 4. Bagi aspek penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan referensi bahwa metode pelatihan bermain peran (role play) adalah metode yang tepat bagi kader yang kesulitan melakukan konseling. 7