BAB II KETENTUAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUHPERDATA. a. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB III KEWARISAN DALAM HUKUM PERDATA. Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

HUKUM WARIS. Hukum Keluarga dan Waris ISTILAH

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

Waris Menurut BW Bab I Pendahuluan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pemberi Wasiat adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang

Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB IV. PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KUHPerdata

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

TINJAUAN YURIDIS AHLI AHLI WARIS AB INTESTATO MENURUT HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

PENERAPAN LEGITIME FORTIE (BAGIAN MUTLAK) DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUH PERDATA. SULIH RUDITO / D

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata


BAB I TENJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Daftar Terjemah. Lampiran 1

TINJAUAN HUKUM SURAT WASIAT MENURUT HUKUM PERDATA M. WIJAYA. S / D

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung?

BAB I PENDAHULUAN. dasar, antara lain bersifat mengatur dan tidak ada unsur paksaan. Namun untuk

BAB II PROSES PERALIHAN OBJEK WARISAN SECARA AB INTESTATO BILA DI TINJAU DARI HUKUM PERDATA

BAB I PENDAHULUAN. seseorang yang meninggal dunia itu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu :

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

HUKUM WARIS PERDATA BARAT

BAB III WASIAT DALAM KUH PERDATA. perbuatan pewaris pada masa hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila

Spirit Keadilan Dalam Warisan :Dirasah Hadis Edisi 37

BAB IV ANALISIS AH TERHADAP AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM PERDATA. A. Ahli waris pengganti menurut hukum perdata

BAB II. Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam. A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam

BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWARISAN DAN PERMOHONAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

PEMBAGIAN HAK WARIS KEPADA AHLI WARIS AB INTESTATO DAN TESTAMENTAIR MENURUT HUKUM PERDATA BARAT (BW)

BAB I PENDAHULUAN. Sistem hukum waris Adat diperuntukan bagi warga Indonesia asli yang pembagiannya

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB III WASIAT PENGANGKATAN AHLI WARIS (ERSFTELLING) DALAM KUHPERDATA. yaitu segala hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perorangan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam.

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. atau hak setelah ada seseorang yang meninggal dunia. Maka apabila ada

BAB I PENDAHULUAN. Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru

BAB IV ANALISIS TERHADAP TIDAK ADANYA HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT KARO DI DESA RUMAH BERASTAGI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO

BAB III KEUTAMAAN MATEMATIKA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR AN. agama-agama lain yang mampu menyamainya. Kesempurnaan Al-Qur an tidak

BAB IV MAKNA IDEAL AYAT DAN KONTEKSTUALISASINYA

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

bismillahirrahmanirrahim

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

HIBAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEWARISAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

BAB III PEMBAGIAN WARISAN DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF CLD KHI

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

KEWARISAN SAUDARA KANDUNG LAKI-LAKI/ SAUDARA SEBAPAK LAKI-LAKI BERSAMA ANAK PEREMPUAN TUNGGAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

Transkripsi:

BAB II KETENTUAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KUHPERDATA A. Kewarisan Menurut Hukum Islam 1. Dasar Kewarisan Menurut Hukum Islam a. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam Sebelum menguraikan mengenai waris menurut hukum islam, maka sebelumnya perlu diuraikan tentang pengertian waris menurut hukum islam. Waris dalam ajaran Islam disebut dengan istilah Faraid. Kata faraid adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang berarti ketetapan, pemberian (sedekah). 23 Fardu dalam Al-Qur an mengandung beberapa pengertian yaitu ketetapan, 24 Kewajiban. 25 Para ulama fikih memberikan definisi Ilmu Faraid sebagai berikut: 1. Penentuan bagian bagi ahli waris. 2. Ketentuan bagian warisan yang ditetapkan oleh Syariat Islam. 27 26 23 Louis Makluf, Al Munjid fi al- Lugah wa al I lam, (Beirut: Dar al- Masyriq, 1986), Hlm. 577 24 QS. Al-Baqarah (2) : 197. 25 QS. Al- Qasas (28) : 85 26 Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, Jld. III, ( Beirut: Dar al-kitab al- Arabi, 1984), Hlm. 202. 27 Taqiyuddin AbunBakar, Kifayah al- Akhyar, Juz II, ( Beirut: Dar al-fikri), Hlm. 17. 13

3. Ilmu Fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta mengetahui perhitungan dan kadar harta pusaka yang wajib dimiliki oleh orang yang berhak. 28 Dengan singkat ilmu Faraid dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan- ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu Faraid ini disebut dengan Hukum Waris yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia. 29 Dalam Pasal 171 ayat a KHI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan ( tirkah ) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing. 30 Dari pengertian di atas kita bisa mengambil pengertian Hukum Kewarisan, yaitu; Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari yang meninggal dunia. b. Dasar Hukum Kewarisan Islam 1) Al-Qur an Dalam Islam saling mewarisi antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan Al Quran dan hadist rasulullah. Diantaranya : a) Q.S.An-Nisa ayat 7 Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) 28 Assyarbaini, Mugni al- Muhtaj, Juz III, ( Beirut: Dar al-fikri,1984), Hlm. 3. 29 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), H lm. 50. 30 Pasal 171 ayat( a) KHI Tentang Hukum Kewarisan 14

dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. b) Q.S.An-Nisa ayat 8 Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. c) Q.S.An-Nisa ayat 11 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. d) Q.S.An-Nisa ayat 12 Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik lakilaki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak 15

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. e) Q.S.An-Nisa ayat 33 Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. f) Q.S.An-Nisa ayat 176 Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 31 Berdasarkan ayat-ayat diatas dapat dipahami bahwa peralihan harta dari yang meninggal (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris) jumlah 31 Al-Imam Abu Al-Husain bin Al-Hajaj Qusyari an-naisaburi Muslim, Sahih Muslim, (Semarang: Usaha Keluarga,t.t, Juz II, Hlm. 22 16

bagiannya terjadi tidak atas kehendak pewaris maupun ahli waris, tetapi atas kehendak Allah melalui Al-Qur an. Ini berarti mengandung arti bahwa terjadinya waris-mewarisi dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya adalah bersifat memaksa. Dalam terminologi hukum dikenal adanya dua sifat hukum yaitu hukum yang memaksa dan hukum yang mengikat. 2) Al-Hadits Sebelum diuraikan Hadits-Hadits dari para sahabat nabi, maka kita harus mengetahui dulu apa itu arti dari Al-Hadits. Al-Hadits yang artinya Allah telah menurunkan hukum waris bagi saudara-saudaramu yang prempuan itu dan allah telah menerangkan bahwa mereka mendapat bagian dua pertiga dari hartamu. a) Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits di atas, bahwa dalam pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli waris golongan ashhabulfurudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu), kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ashabah (ahli waris penerima sisa). b) Dari Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Sa'ad RA) datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya.lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin 17

tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad) Berdasarkan hadits di atas, bahwa dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya. c) Dari Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Abu Musa RA berkata: "Untuk anak perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah kepada Ibnu Mas'ud RA, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu perempuan seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara perempuan." (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) Berdasarkan hadits di atas, bahwa hadits tersebut menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang mendapat 1/6 bagian jika bersama dengan seorang anak perempuan yang mendapat 1/2 bagian. Sementara itu, saudara perempuan mendapat sisanya (dalam hal ini, saudara perempuan menjadi ashabah ma al-ghair dengan sebab adanya anak perempuan dan/atau cucu perempuan). 18

d) Mughirah bin Syu'bah RA berkata: "Saya pernah menghadiri majelis Nabi SAW yang memberikan hak nenek sebanyak seperenam." Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin Maslamah RA berdiri dan berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka akhirnya Abu Bakar RA memberikan hak warisan nenek itu." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah) Berdasarkan hadits di atas, bahwa hadits tersebut menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek mendapat 1/6 bagian jika cucunya meninggal dengan syarat tidak ada ibu. 32 c. Asas-asas Kewarisan Islam Yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan islam dapat digali dari ayatayat hukum kewarisan serta sunah nabi Muhammad SAW. Adapun asas-asas dari Kewarisan Hukum Islam yaitu : 1) Asas Ijbari Kata ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Hukum Kewarisan Islam dalam peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. 33 Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu : a. Dari peralihan harta. 32 https://achmadnosiutama.blogspot.co.id/2015/05/sumber-hukum-waris-islam-didalam-al.html diakses pada Hari Sabtu Tanggal 27 Mei 2017 Pukul 11.39 WIB 33 Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi KHI, ( Bandung: CV. Mandar Maju, 2009), Cet. I Hlm.37. 19

b. Dari segi jumlah harta yang beralih. c. Dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. 2) Asas Individual Bilateral Asas kewarisan secara individual ini terlihat, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi- bagi untuk dimiliki secara perseorang. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi- bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masingmasing. Ia berhak atas bagian yang didapatkannya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, yang didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban. 34 3) Asas Keadilan Berimbang Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Dalam sistem kewarisan Islam, baik laki-laki maupun perempuan samasama dapat menjadi pewaris dan ahli waris dari harta warisan ibu, bapak dan kaum kerabatnya, dengan tidak mengadakan pembedaan dari segi usia dan asalusul silsilah kekerabatan bagi ahli waris. Pembedaan kedua jenis ahli waris ini, 34 Ibid, Hlm. 38. 20

terletak pada jumlah perolehan mereka masing- masing, yakni bagian seorang anak laki- laki sama besar dengan bagian dua orang anak perempuan. 35 4) Asas Kewarisan hanya Akibat Kematian Asas ini menyatakan kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. 36 2. Rukun Dan Syarat Waris Hukum Islam Pada dasarnya terdapat tiga unsur, yang merupakan rukun mewaris dalam hukum kewarisan Islam, yakni : 1. Pewaris (muwarrits) Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan prinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris berlaku sesudah meninggalnya pewaris, maka kata pewaris itu sebenarnya tepat untuk pengertian seseorang yang telah mati. 2. Ahli waris ( warits) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai pertalian darah atau pertalian perkawinan dengan pewaris. Dengan ketuntuan mereka juga harus beragama Islam, tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris dan pula 35 Ibid, Hlm. 43. 36 Ibid, Hlm. 48. 21

tidak terdinding karena ada ahli waris lainnya. Dengan demikian ahli waris itu adalah mereka yang pada waktu meninggal pewaris mempunyai pertalian darah atau perkawinan dengan pewarisnya. 3. Harta Warisan Harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta peninggalan dengan harta warisan. Harta peninggalan adalah apa- apa yang ditinggalkan oleh yang meninggal, dengan arti lain ialah apa yang berada pada seseorang yang meninggal saat kematiannya, sedangkan harta warisan adalah harta yang berhak diterima dan dimiliki oleh ahli waris. 37 Dalam Syariat Islam, ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan yaitu : 1. Orang yang mewariskan ( muwarris ) benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak termasuk kedalam kategori waris- mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah. 37 Rachmadi Usman, Op.cit, Hlm. 62 22

2. Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam pengertian hidup disini adalah : a. Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia. b. Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup. Apabila dalam waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian warisannya dibagikan kembali kepada ahli waris. 3. Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yaitu : a. Hubungan nasab : ( keturunan, kekerabatan), baik pertalian garis lurus keatas, seperti : ayah, kakek dan lainnya, atau pertalian lurus kebawah seperti : anak, cucu, atau pertalian mendatar/ menyamping seperti : saudara, paman, dan anak turunannya. b. Hubungan pernikahan, yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan. c. Hubungan perbudakan (wala), yaitu seseorang berhak mendapatkan warisan dari bekas budak yang telah dimerdekakannya (dibebaskannya). Pembebasan seorang 23

budak berarti pemberian kemerdekaan, sehingga budak tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia lainnya. Apabila yang dimerdekakan itu meninggal dunia dan ia tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan nasab atau pernikahan, maka bekas tuan yang membebaskannya (mu tiq) berhak menerima warisan padanya. d. Karena hubungan agama islam, yaitu apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi, maka hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal ( perbendaharaan negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat islam. 38 3 Sebab-sebab Mewarisi Menurut Hukum Islam Apabila dianalisis penyebab adanya hak untuk mewarisi harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut Al-Qur an, Hadits, dan KHI pada Pasal 174, ditemukan adanya dua penyebab yaitu : 1. Hubungan Kekerabatan Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari 38 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan KHI, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), Cet. I, Hlm. 71. 24

oleh siapapun karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang menyebabkan kelahirannya. 39 2. Hubungan Perkawinan Kalau hubungan perkawinan, dalam kaitannya dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Apabila seorang suami meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya. 4. Penghalang Mewaris (Mawani AL-IRS) Yang dimaksud dengan Mawani AL-IRS adalah penghalang terlaksananya waris-mewarisi, dalam istilah ulama Faraid adalah suatu keadaan/ sifat yang menyebabkan orang tersebut tidak dapat menerima warisan padahal sudah cukup syarat- syarat dn ada hubungan pewarisan. Pada awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan, tetapi oleh karena ada suatu keadaan tertentu, berakibat dia tidak mendapat harta. 39 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. I, Hlm. 111. 25

Keadaan-keadaan yang menyebabkan seorang ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut : 1. Pembunuhan Seseorang yang membunuh orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi harta orang yang terbunuh itu, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : Dari Amr bin Syu aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata : Rasulullah Saw. Bersabda: Orang yang membunuh tidak dapat mewarisi sesuatu pun dari harta warisan orang yang dibunuhnya. Ketentuan ini mengandung kemaslahatan agar orang tidak mengambil jalan pintas untuk mendapat harta warisan dengan membunuh orang yang mewariskan. 2. Beda Agama Beda agama dalam hukum waris Islam dimaksudkan bahwa seorang yang beragama Islam tidak dapat mewarisi kepada orang non-muslim, demikian juga sebaliknya sebagaimana sabda Rasulullah Saw: Dari Usamah bin Zaid ra, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: Tidak mewarisi orang Islam kepada orang kafir dan orang kafir tidak akan mewarisi kepada orang Islam. Menurut jamhur ulama fikih, yang menjadi ukuran dalam penetapan perbedaan agama adalah pada saat meninggal orang yang mewariskan. Apabila meninggal seorang muslim, sedangkan orang yang akan menerima warisan tidak 26

beragama Islam, maka ia terhalang mendapat warisan walaupun kemudian ia masuk agama Islam sebelum pembagian harta warisan dilaksanakan. 3. Perbudakan Seorang budak milik dari tuannya secara mutlak, karena itu ia tidak berhak untuk memiliki harta, sehingga ia tidak bisa menjadi orang yang mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapa pun sesuai dengan firman Allah Swt dalam Surat Al-Nahl [16]: 75. Allah memberikan perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak untuk sesuatu pun. 40 B. Kewarisan Menurut KUH Perdata 1. Dasar Kewarisan Menurut Hukum Perdata a. Pengertian Waris Menurut Hukum Perdata Sebelum menguraikan pengertian waris perlu diketahui bahwa KUHPerdata yang berlaku di Indonesia terdiri dari empat buku yaitu : 1. Buku kesatu tentang Orang. 2. Buku kedua tentang Kebendaan. 3. Buku ketiga tentang Perikatan. 4. Buku keempat tentang Pembuktian dan Daluarsa. Adapun mengenai waris diatur di dalam buku kedua yang disebut di dalam Pasal 830 yakni: Pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Jelasnya, menurut Pasal ini rumusan/ definisi hukum waris mencakup masalah yang begitu 40 Amin Husein Nasution, Op.cit, Hlm. 78 27

luas. Pengertian yang dapat dipahami dari kalimat tersebut ialah bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibanya beralih/ berpindah kepada ahli warisnya. 41 Hukum waris menurut KUHPerdata adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud: perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga. Karenanya kita baru berbicara tentang masalah pewarisan apabila : 1. Ada orang yang meninggal dunia 2. Ada harta yang ditinggalkan 3. Ada ahli waris Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan, sedangkan Ahli Waris adalah mereka-mereka yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya pewaris. Warisan yaitu kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. Komples aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama beberapa orang ahli waris disebut boedel. 42 b. Dasar Hukum Kewarisan Perdata (BW) Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumskan dalam Pasal 830 KUHPerdata yaitu Pewarisan hanya berlangsung karena kematian, 41 Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral ( Jakarta: Rineka Cipta, 1991), Cet. I. Hlm.11. 42 J. Satrio, op.cit, Hlm. 8-9 28

pengertian yang dapat dipahami dari kalimat di atas adalah, bahwa jika seseorng meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya. 43 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terutama Pasal 528, tentang hak mewarisi diidentikkan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan dari Pasal 584 KUHPerdata menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke-2 KUHPerdata (tentang benda). Penempatan hukum kewarisan dalam buku ke- 2 KUHPerdata ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum, karena mereka berpendapat bahwa dalam hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum benda saja, tetapi terkait beberapa aspek hukum lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan. 44 c. Asas-Asas Dalam KUH Perdata Dalam hukum waris asas bahwa hanyalah hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda yang dapat diwariskan ( dapat dinilai dengan uang ). Selain itu juga dalam hukum waris berlaku asas le mort saisit le vif, yaitu apabila seseorang meninggal, maka seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahliwarisnya. Pada Asasnya tiap orang, meskipun bayi yang baru lahir, adalah cakap untuk mewarisi. Pengalihan segala hak dan kewajiban dari orang yang meninggal dunia kepada para ahli waris itu dinamakan saisine, yaitu suatu asas di mana sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak 43 Sudarsono, op,cit, Hlm. 11. 44 Surini Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), (Jakarta: Ghali indonesia, 1983), hlm. 10 29

milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia. Terdapat suatu asas dalam KUHPerdata (BW), adalah asas kematian artinya pewarisan hanya karena kematian (Pasal 830 KUHPerdata). Demikian juga hukum kewarisan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek yang masih mengenal tiga asas lain, yaitu: 1. Asas Individual Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan buka kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 852 KUHPerdata. 2. Asas Bilateral Bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga saudara laki-laki mewaris dari saudara laki-lakinya, maupun saudara perempuannya, asas bilateral ini dapat dilihat dari Pasal 850, 853, dan 856 KUHPerdata yang mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau istri yang meninggal diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara baik laki-laki maupun saudara perempuan. 30

3. Asas Penderajatan Asas penderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya maka untuk mempermudah perhitungan penggolongan-penggolongan ahli waris. 45 Ada juga asas yang disebut dengan Hereditatis petition, yaitu hak dari ahli waris untuk menuntut semua yang termasuk dalam harta peninggalan dari si pewaris terhadap orang yang menguasai harta warisan tersebut untuk diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Asas ini diatur dalam Pasal 834 KUHPerdata. 46 2. Sebab-sebab Mewarisi Menurut Hukum Perdata Undang-Undang mengenal dua cara untuk mendapat suatu warisan yaitu : a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan UU (ab-intestanto). Dalam hal mewarisi menurut Undang-Undang (ab-intestanto) dalam Pasal 832 KUHPerdata. Menurut ketentuan undang-undang ini, maka yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama. b. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat = testamen ), dalam Pasal 899 KUH Perdata. 45 Nur Rokhmad, op.cit, Hlm. 53. 46 Anugrahjayautama.blogspot.co.id/2012/06.hukum-waris-menurut-bw.html?m=1 diakses pada hari Minggu pukul 20.33 WIB 31

Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen. 47 Pewarisan menurut Undang-Undang terdapat pengisian tempat (plaatsveruulling) artinya apabila ahli waris yang berhak langsung menerima warisan telah mendahului meninggal atau karena sesuatu hal tidak patut menjadi ahli waris, maka anak-anaknya berhak menggantikannya menjadi ahli waris. Menurut Undang-Undang pembagian waris, menetapkan adanya keluarga sedarah yang berhak mewaris dan keberadaan suami atau istri (yang hidup paling lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak menjadi pewaris ada empat golongan: 48 a. Golongan pertama, yang terdiri dari : 1) Suami /istri yang hidup terlama. 2) Anak. 3) Keturunan anak. b. Golongan kedua yang terdiri dari : 1) Ayah dan Ibu 2) Saudara. 3) Keturunan. c. Golongan ketiga yang terdiri dari : 1) Kakek dan nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu. 2) Orang tua Kakek dan nenek itu, dan seterusnya keatas. 47 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997), Hlm.4 48 Sudarsono,op.cit,Hlm.66 32

d. Golongan keempat yang terdiri dari : 1) Paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun ibu. 2) Keturunan Paman dan bibi sampai derajat keenam. 3) Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dari si meninggal. 49 Karena adanya sistem plaatsvervulling, maka secara otomatis apabila ahli waris golongan ke-1 sudah meninggal, maka hak kewarisan jatuh pada golongan ke-2 dan seterusnya. Dan hal inilah yang membedakan sistem pembagian waris Islam. Ahli waris karena ditunjuk dalam suatu wasiat menurut Pasal 875 KUHPerdata yang berbunyi : Surat wasiat atau testament adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya. 50 Suatu testament menimbulkan suatu perikatan, dan karenanya ketentuanketentuan mengenai perikatan berlaku terhadap testament, sepanjang tidak secara khusus ditentukan lain. Testament baru berlaku dan baru mempunyai effect kalau si pembuat testament telah meninggal dunia. Itulah sebabnya seringkali suatu testament disebut Kehendak Terakhir. Sebab sesudah matinya si pembuat testament, maka wasiatnya tak dapat diubah lagi. Testament juga dapat dicabut kembali, syarat ini penting, karena syarat inilah yang pada umumnya dipakai 49 Effendi Perangin, op.cit,hlm. 34 50 Ibid, Hlm. 232 33

untuk menetapkan apakah suatu tindakan hukum harus dibuat dalam bentuk surat wasiat atau cukup dalam bentuk lain. 51 Suatu testament dapat berisi pengangkatan waris untuk seluruh atau sebagian, daripada harta pewaris, misalnya 1/2, 1/3, 1/5. Sebenarnya lebih tepat kalau di sini berkata tentang suatu bagian yang sebanding daripada harta peninggalan. Karena, kalau pemberian melalui wasiat atas sebagian daripada harta peninggalan itu berupa suatu barang tertentu. 52 Yang paling lazim suatu testament berisi apa yang dinamakan suatu erfsteling, yaitu penunjukkan seorang atau beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Orang yang ditunjuk itu, dinamakan: testamentaire erfgenaam yaitu ahli waris menurut wasiat. Dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut Undang-Undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban yang meninggal orderalgemeene title suatu testament juga dapat berisikan suatu legaat, yaitu suatu pemberian suatu legaat dinamakan legataris. 53 Suatu erferstelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan pada suatu syarat atau voorwaarde, yaitu: Suatu kejadian di kemudian hari yang pada saat pembuatan testament itu belum tentu akan datang atau tidak. 54 Pasal 931 KUHPerdata menetapkan bahwa surat wasiat boleh dinyatakan, baik dengan akta yang ditulis sendiri atau olograpis, baik dengan kata umum, dengan akta rahasia atau tertutup. Dari Pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa Undang-Undang pada dasarnya mengenal 3 macam bentuk surat wasiat, yaitu: 51 J. Satrio, op.cit, Hlm.181. 52 Ibid, Hlm. 193. 53 Idris Ramulyo, op,cit, Hlm. 63. 54 Subekti, op.cit, Hlm. 109. 34

1. Surat wasiat olograpis. Adapun yang dimaksud dengan surat wasiat olograpis adalah surat wasiat yang dibuat dan ditulis sendiri oleh testateur. Surat wasiat yang demikian harus seluruhnya ditulis sendiri oleh testateur dan ditanda tangani olehnya (Pasal 932 KUHPerdata). Kemudian surat wasiat tersebut dibawa ke Notaris untuk dititipkan/disimpan dalam protokol Notaris. Notaris yang menerima penyimpanan surat wasiat olograpis, wajib, dengan dihadiri oleh 2 orang saksi, membuat akta penyimpanan atau disebut akta van depot. Sesudah dibuatkan akta van depot dan ditanda tangani oleh testateur, saksi-saksi dan notaris (Pasal 932 ayat 3), maka surat wasiat tersebut mempunyai kekuatan yang sama dengan wasiat umum, yang dibuat dihadapan seorang Notaris (Pasal 933 KUHPerdata). 2. Surat wasiat umum. Surat wasiat umum adalah surat wasiat yang dibuat oleh testeur dihadapan Notaris. Ini merupakan bentuk testament yang paling umum, yang paling sering muncul, dan paling sering dianjurkan (baik), karena Notaris, sebagai seorang yang ahli dalam bidang ini, kesempatan dan malahan wajib, memberikan bimbingan dan petunjuk, agar wasiat tersebut dapat terlaksana sedekat mungkin dengan kehendak testateur. 35

3. Surat wasiat rahasia Wasiat ini dibuat oleh testateur sendiri dan kemudian diserahkan kepada Notaris dalam keadaan tertutup/ tersegel. Notaris yang menerima penyerahan surat wasiat yang demikian, harus membuat akta pengamatan atau akta super scriptie, dengan dihadiri 4 orang saksi. Diluar ketiga macam surat wasiat tersebut di atas, Undang-Undang masih mengenal satu macam lagi surat wasiat, yaitu surat wasiat yang dibuat dalam keadaan darurat (vide Pasal 946, 947, 948 B.W). 55 Dalam hukum waris yang berhubungan dengan wasiat terkenal juga istilah fidie commis dan fidie commis de resiiduo. Fidie berarti kepercayaan. Fidie commis berarti: Suatu pemberian warisan kepada ahli waris dengan ketentuan bahwa ahli waris itu diwajibkan menyimpan warisan itu. Setelah ahli waris itu meninggal dunia, harta peninggalan itu harus diserahkan kepada orang lain yang ditetapkan dalam surat wasiat. Dalam Undang-Undang, fidie commis ini juga dinamakan pemberian warisan secara melangkah atau lompat tangan. 56 Pada umumnya, fidie commis ini dilarang oleh Undang-Undang (Pasal879 ayat 1) dengan alasan bahwa: Dianggap suatu rintangan bagi kelancaran lalu lintas hukum seolah-olah harta ini disingkirkan dari lalu lintas hukum, yang diperbolehkan adalah fidie commis de residuo (Pasal 973 ayat 1). 57 Pasal 973 ayat 1 KUHPerdata (BW): Barang-barang yang dikuasai sepenuhnya oleh orangtua, boleh mereka hibah wasiatkan, seluruhnya atau 55 J. Satrio, op.cit, Hlm.185-186 56 Subekti, op.cit, Hlm. 112. 57 Idris Ramulyo, op.cit, Hlm. 64. 36

sebagian, kepada seorang anak mereka atau Iebih, dengan perintah untuk menyerahkan barang-barang itu kepada anak-anak mereka masing-masing, baik yang telah lahir maupun yang belum lahir. Bila seorang anak telah meninggal lebih dahulu, maka penetapan wasiat yang sama boleh dibuat untuk keuntungan satu orang cucu mereka atau lebili, dengan perintah menyerahkan barang-barang itu kepada anak-anak mereka masing-masing, baik yang telah lahir maupun yang belum lahir. 58 Jadi, pewarisan perdata disini juga memberikan kebebasan kepada pewaris untuk menunjuk seseorang (berwasiat) baik itu keluarga sendiri atau bukan untuk dijadikan pewaris, dan pembagian warisan seperti ini pula tidak terdapat dalam pewarisan Islam, karena dalam pewarisan Islam wasiat berdiri sendiri di luar ahli waris. 3 Penghalang Mewaris Menurut Hukum Perdata Dalam hukum perdata terdapat orang-orang yang tidak pahit (tidak pantas) menerima warisan. Orang-orang ini adalah orang-orang mempunyai pertalian darah dengan pewaris, tetapi karena perbuatannya tidak patut menjadi waris. Adapun orang-orang yang terhalang untuk mewarisi dimuat dalam Pasal 838 dan Pasal 912 KUHPerdata. Menurut pasal 838 KUHPerdata orang yang terhalang mewarisi adalah: a. Mereka yang telah dihukum (telah ada keputusan hakim) karena mencoba membunuh pewaris. 58 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, op.cit, Hlm. 254. 37

b. Mereka yang dengan keputusan hakim dipersalahkan dengan fitnah mengajukan pengaduan terhadap pewaris tentang sesuatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun lamanya. c. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut testament. Disamping itu Undang-Undang juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan anak dan pergantian mawaris bagi seseorang yang tidak patut (tidak pantas) menjadi ahli waris (pasal 840-848) KUH Perdata. Misalnya, pasal 840, anak dari seseorang yang telah dinyatakan tak patut menjadi waris atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah mereka karena kesalahan orang tuanyalah yang tidak boleh ikut menikmati. 38