ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UU 8/1994, PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI. Ekstradisi berasal dari kata latin axtradere (extradition = Inggris) yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional

UU 1/1979, EKSTRADISI. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:1 TAHUN 1979 (1/1979) Tanggal:18 JANUARI 1979 (JAKARTA) Tentang:EKSTRADISI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

BAB III EKSTRADISI TERPIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II TINJAUAN TERHADAP EKSTRADISI. A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional

Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Surastini Fitriasih

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR i. DAFTAR ISI ii

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM)

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Mutual Legal Assistance. Trisno Raharjo

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUATU TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA DAN REPUBLIK KOREA SELATAN. Alma Panjaitan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I Latar belakang Pengertian dan Perkembangan Ekstradisi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bab XXVIII : Kejahatan Jabatan

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Malaysia Selasa, 27 Juli :42

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

RUU KUHP - Draft II 2005 BUKU KEDUA TINDAK PIDANA BAB I TINDAK PIDANA TERHADAP KEAMANAN NEGARA. Bagian Kesatu Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

P E R K A R A P I D A N A

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

KAJIAN TENTANG PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA-MALAYSIA DALAM MEMBERANTAS KEJAHATAN DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA. Rika Erawaty

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Bab XXV : Perbuatan Curang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penipuan itu terdapat unsur unsur objektif yang meliputi perbuatan. (menggerakkan), yang digerakkan (orang), perbuatan itu ditujukan pada orang lain

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS. Cyber Law Drafting. Kuliah Sessi 4: Prosedural dan Kelembagaan

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

Transkripsi:

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992 (Sebagaimana Telah Diratifikasi dengan UU No.8 Th 1994, 2 Nopember 1994) A. PENGERTIAN EKSTRADISI Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australian tidak memberikan batasan tersendiri mengenai ekstradisi itu sendiri apa. Pada bagian awal perjanjian ekstradisi tersebut pada Pasal 1 langsung mengatur mengenai kesepakatan kedua belah pihak untuk saling mengekstradisi setiap orang yang dicari untuk penuntutan atau penjatuhan atau pelaksanaan hukuman di Negara Peminta atas suatu kejahatan yang dapat diekstradisi, tanpa menyebutkan definisi dari ekstradisi tersebut. Adapun pengertian ekstradisi dapat kita lihat pada ketentuan Undang- Undang No.1 Th 1979 tentang Ekstradisi dalam Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. L. Oppenheim menyatakan ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan. Sedangkan J.G. Starke mendefinisikan ekstradisi sebagai suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. 1

B. UNSUR-UNSUR PERJANJIAN EKSTRADISI B.1. Unsur Subyek Yang dimaksud Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni: 1. Negara Peminta, atau negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan yang kemudian meminta kepada negara dimana pelaku kejahatan berada untuk dapat menyerahkan pelaku kejahatan. 2. Negara Diminta, yaitu negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau si terhukum itu berada atau bersembunyi yang diminta untuk menyerahkan pelaku tersebut kepada negara yang memiliki yurisdiksi mengadili dan menghukum pelaku. Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini disebut negara peminta (the resqusthing state). Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat disebut negara diminta (the resquithing State). Terkait dengan unsur subyek Negara Peminta dan Negara Diminta, Perjanjian Ekstradisi RI dengan Australia tidak mendefinisikan secara khusus di dalam perjanjian namun dapat kita lihat adanya kedua pihak ini dalam bagian perjanjian tersebut disebutkan untuk pertama kalinya adanya Negara Pihak dalam hal ini Negara yang Diminta dalam Pasal 5, dan Negara Peminta disebutkan pertama kali dalam Pasal 7. 2

B.2 Unsur Objek Yang dimaksud Unsur Obyek adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai orang yang diminta. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Dalam perjanjian ekstradisi tersebut adanya unsur objek disebutkan dalam Pasal 2 yang mengatur siapa yang dapat diekstradisikan yaitu ses eorang yang melakukan perbuatan atau kealpaan yang merupakan salah satu dari kejahatankejahatan yang disebutkan dalam perjanjian itu dengan ketentuan bahwa kejahatan itu dapat dihukum menurut ketentuan kedua negara pihak dengan hukuman penjara minimal satu tahun atau dengan hukuman yang lebih berat. B.3 Unsur Kerjasama Internasional Dalam perjanjian ini disebutkan bahwasanya perjanjian antara RI dengan Australia tersebut merupakan kerjasama internasional antara dua negara sebagai wujud kerjasama efektif dalam memberantas kejahatan dan terutama mengatur dan meningkatkan hubungan antara kedua negara dalam masalah ekstradisi. Hal ini dapat dijumpai pada bagian pendahuluan naskah perjanjian tersebut. Desiring to make more effective the cooperation of the two countries in the repression of crime and specifically, to regulate and thereby promote the relations between them in matters of extradition C. SISTEM DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI C.1 Dengan Daftar Nama Kejahatan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan daftar kejahatan apa saja yang dapat diekstradisikan. Dimana terdapat 33 jenis kejahatan yang disebutkan didalamnya, yaitu : 1. pembunuhan berencana, pembunuhan; 2. kejahatan yang menyebabkan kematian orang; 3

3. kejahatan terhadap hukum mengenai pengguguran kandungan; 4. membantu atau membujuk atau menasehati atau memberikan sarana kepada orang lain untuk melakukan tindakan bunuh diri; 5. dengan maksud jahat dan berencana melukai atau mengakibatkan luka berat, penyerangan yang menyebabkan luka; 6. penyerangan terhadap Hakim/Magistrat, pejabat polisi atau pejabat umum; 7. penyerangan di kapal atau di pesawat udara dengan maksud membunuh atau menyebabkan luka berat; 8. perkosaan atau penyerangan seks; 9. perbuatan cabul dengan kekerasan; 10. memberi sarana, atau memperjualbelikan wanita atau orang muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil pelacuran; setiap kejahatan lain terhadap hukum mengenai pelacuran; 11. bigami; 12. penculikan, melarikan wanita, memenjarakan secara tidak sah, perdagangan budak; 13. mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan anak secara melawan hukum; 14. kejahatan terhadap hukum mengenai penyuapan; 15. memberikan sumpah palsu, membujuk untuk memberikan sumpah palsu, menghalangi atau menggagalkan jalannya peradilan; 16. perbuatan menimbulkan kebakaran; 17. kejahatan yang berhubungan dengan pemalsuan uang dan surat-surat berharga; 18. kejahatan terhadap hukum mengenai pemalsuan atau terhadap hukum mengenai penggunaan apa yang dipalsukan; 19. kejahatan terhadap hukum mengenai pajak, bea cukai, pengawasan devisa, atau mengenai pendapatan negara lainnya. 20. pencurian; penggelapan; penukaran secara curang; pembukuan palsu dan curang, mendapatkan barang, uang, surat berharga atau kredit melalui 4

upaya palsu atau cara penipuan lainnya; penadahan, setiap kejahatan lainnya yang berhubungan dengan penipuan; 21. pencurian dengan pemberatan; pencurian dengan mengrusakan rumah; setiap kejahatan yang sejenis; 22. perampokan; 23. pemerasan atau pemaksaan dengan ancaman atau dengan penyalahgunaan wewenang; 24. kejahatan terhadap hukum mengenai kepailitan dan keadaan pailit; 25. kejahatan terhadap hukum mengenai perusahaan-perusahaan; 26. pengrusakan barang dengan maksud jahat dan berencana; 27. perbuatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan orang-orang yang bepergian dengan kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara atau membahayakan atau merusak kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara; 28. pembajakan; 29. perbuatan yang melawan hukum terhadap kekuasaan nakhoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara; 30. merampas secara melawan hukum, atau menguasai pengendalian atas kapal laut atau pesawat udara, dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau dengan setiap bentuk intimidasi lainnya; 31. perbuatan yang melawan hukum dari salah satu perbuatan yang ditentukan dalam ayat 1 Pasal 1 Konvensi mengenai Pemberantasan tindakantindakan Melawan Hukum Yang Mengancam Keamanan Penerbangan Sipil; 32. kejahatan terhadap hukum mengenai obat-obat berbahaya atau narkotika; 33. membantu, ikut serta, menasehati atau memberikan sarana, menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah sesuatu perbuatan dilakukan, atau mencoba atau berkomplot melakukan suatu kejahatan yang disebutkan diatas. 5

C.2 Tanpa Daftar Nama Kejahatan Selain dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Perjanjian tersebut, kejahatan lain yang tidak disebutkan daftar jenisnya juga dapat diekstradisikan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) yaitu bahwa ekstradisi juga diberikan berdasarkan kebijaksanaan Negara yang Diminta atas perbuatan atau kealpaan lain yang merupakan suatu kejahatan jika kejahatan itu, menurut hukum kedua Negara Pihak, adalah salah satu kejahatan yang ekstradisinya dapat diberikan. D. ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI D.1 Double Criminality Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta. Azaz Double Criminality dapat kita temui dalam perjanjian tersebut pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan:. punishable by the laws of both Contracting States. Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan Extradition may also be granted at the discretion of the Requested State for any other act or omission constituting an offence if the offence, according to the laws of both Contracting States, is one for which extradition can be granted. Bahkan dalam ayat (3) dijabarkan mengenai penentuan apakah suatu kejahatan adalah kejahatan terhadap hukum kedua Negara Pihak, yaitu bahwa kejahatan tersebut : a. tidak akan menjadi masalah apakah hukum Negara Pihak menempatkan perbuatan atau kealpaan yang merupakan kejahatan tersebut ke dalam golongan kejahatan yang sama atau menamakan kejahatan tersebut dengan istilah yang sama; b. keseluruhan perbuatan atau kealpaan yang disangkakan terhadap orang yang dimintakan ekstradisinya akan dipertimbangkan dan tidak akan menjadi 6

masalah apakah menurut hukum Negara-negara Pihak unsur-unsur utama dari kejahatan itu berbeda. D.2 Asas Specialist / Kekhususan Dalam asas ini apabila si pelaku kejahatan akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula untuk kejahatan apa si pelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni: Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana si pelaku tersebut diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut si pelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi orang yang diminta. Dalam Pasal 8 Perjanjian khusunya dalam ayat (1) dapat kita jumpai Asas Kekhususan seperti diatas yaitu a person extradited under this Treaty shall not : (a) be detained or tried, or be subject to any other restriction of his personal liberty, in the territory of the Requesting State for any offence committed before his extradition other than an offence for which the extradition was granted or any other offence described in Article 2 in respect of which the Requested State consents to his being so detained, tried or subjected to a restriction of his personal liberty; or (b) be detained in the Requesting State for the purpose of his being extradited to a third State for an offence committed before his surrender unless the Requested State consents to his being so detained. D.3 Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality) Sesuai asas ini, Negara Diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya 7

sehingga warga negara tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili dinegaranya sendiri. Dalam Pasal 5 perjanjian tersebut disebutkan bahwasanya masing masing negara berhak menolak untuk mengekstradisikan warga negaranya. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana proses hukum terhadap pelaku kejahatan tersebut? Ketentuan selanjutnya dalam pasal ini menentukan bahwa jika Negara Diminta tidak mengktradisikan warga negaranya, maka Negara itu atas permintaan Negara Peminta wajib mengadili pelaku kejahatan melalui pejabat yang berwenang di negaranya. Tetapi apabila ternyata pejabat tersebut tidak memiliki yurisdiksi Negara Diminta wajib mengekstradisi pelaku kejahatan tersebut. D.4 Asas Retroaktif Sesuai Pasal 2 ayat (4) Perjanjian tersebut, ekstradisi dapat diberikan tanpa mengindahkan waktu kapan dilakukannya kejahatan. Artinya ekstradisi dapat juga berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan sebelum adanya perjanjian ektradisi tersebut. D.5 Asas Ne Bis In Idem Pasal 6 Perjanjian Ekstradisi tersebut mengatur bahwa Ekstradisi atas seseorang tidak akan diberikan jika orang itu telah diadili dan diputus bebas atau dibebaskan dari segala tuntutan oleh pengadilan yang berwenang, atau telah menjalani hukuman di Negara yang Diminta atau di Negara ketiga sehubungan dengan perbuatan atau kealpaan yang merupakan kejahatan yang dapat dimintakan ekstradisinya. D.6 Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of Political Criminal) Asas ini menegaskan bahwa Seseorang tidak akan diekstradisikan jika kejahatan yang dimintakan ekstradisinya itu merupakan kejahatan politik, atau yang karena keadaan dimana kejahatan yang diduga telah dilakukan atau telah 8

dilakukan itu, merupakan kejahatan yang bersifat politik. Asas ini dapat kita temui dalam Pasal 4 perjanjian ekstradisi tersebut mengenai Kejahatan Politik. Soal penentuan apakah suatu perkara merupakan kejahatan politik atau kejahatan yang bersifat politik, keputusan yang menentukan ada pada Keputusan Pejabat Berwenang dari Negara yang Diminta. Dengan demikian negara peminta harus mempertimbangkan apabila dipandang bahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain, karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta. D.7 Asas Permintaan Berganda (Multiple Request) Pasal 17 perjanjian tersebut mengatur apabila terdapat permintaan ekstradisi yang diterima dari dua negara atau lebih yaitu dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Bila permintaan-permintaan diterima dari dua negara atau lebih untuk mengekstradisikan orang yang sama baik untuk kejahatan yang sama, maupun untuk kejahatan yang berbeda,negara yang Diminta wajib menentukan kepada negara mana orang itu harus diekstradisikan dan harus memberitahu Negara Peminta mengenai keputusannya. 2. Dalam menentukan kepada negara mana seseorang akan diekstradisi, Negara yang Diminta wajib memperhatikan semua keadaan yang berkaitan dan, terutama, mengenai : a. jika permintaan-permintaan tersebut mengenai kejahatan-kejahatan yang berada, berat ringannya kejahatan itu secara relatif; b. waktu dan tempat masing-masing kejahatan itu dilakukan; c. masing-masing tanggal permintaan tersebut; d. kewarganegaraan dari orang tersebut; e. tempat biasanya orang tersebut berdiam; dan f. kemungkinan ekstradisi yang berikutnya ke negara lain. 9