1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Berdasarkan data United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) tahun 2016, pada akhir tahun 2015 diperkirakan terdapat 36,7 juta orang penderita yang hidup dengan HIV dan sekitar 2,1 juta orang yang baru terinfeksi serta 1,1 juta orang meninggal karena AIDS. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen P2P Kemenkes RI), kasus baru HIV tahun 2015 sebanyak 30.935 kasus. Jumlah kumulatif infeksi HIV dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2016 sebanyak 198.219 kasus dan jumlah kumulatif AIDS sebanyak 78.292 kasus. Kasus HIV terbanyak terdapat di DKI Jakarta yaitu 40.500 kasus, sedangkan AIDS terbanyak di Jawa Timur yaitu 14.499 kasus disusul dengan Papua sebanyak 13.335 kasus. Infeksi HIV terbanyak terjadi pada kelompok usia produktif yaitu 25 49 tahun. Yogyakarta menempati urutan ke 14 dengan jumlah kasus sebanyak 3.405 untuk HIV dan 1.249 kasus AIDS (UNAIDS, 2016; Ditjen P2P Kemenkes RI, 2016). Patogenesis infeksi HIV merupakan proses multifaktorial yang terdiri dari tiga hal utama yaitu penurunan jumlah sel T CD4, aktivasi imun, disregulasi imun dan akhirnya kelelahan sistem imun. Karakteristik infeksi HIV adalah peningkatan aktivasi imun yang diinduksi oleh berbagai penyebab seperti antigen 1
2 virus ataupun karena proses infeksi yang memicu produksi sitokin inflamasi yang mengakibatkan berbagai mekanisme pada tubuh penderita (Moir et al., 2015). Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup pasien HIV (Ditjen PP & PL, 2011). Terapi kombinasi ARV mampu menekan replikasi HIV hingga ambang tidak terdeteksi, menurunkan aktivasi imun dan meningkatkan jumlah sel T CD4 (Zanni et al., 2016; Guihot et al., 2010). Pengobatan ARV juga terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah (Gunthard, 2016). Terapi ARV meskipun berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas, namun harapan hidup pasien HIV masih rendah dibandingkan individu tanpa infeksi HIV. Angka kematian individu terinfeksi HIV bisa mencapai 15 kali lebih tinggi dibandingkan populasi pada umumnya (Lohse et al., 2007). Penyebab utama kematian pada pasien sebelum penggunaan terapi ARV adalah AIDS, namun kejadian akibat non AIDS event (nade) menjadi lebih prominent terutama di daerah maju dan pada pasien dengan jumlah sel T CD4 tinggi setelah penggunaan terapi ARV (Lau et al., 2003; Palella et al., 2006). Non AIDS event (nade) merupakan gambaran klinis pada pasien HIV yang tidak termasuk dalam
3 definisi kejadian yang berhubungan dengan AIDS. Non AIDS event mencakup beberapa penyakit yang melibatkan berbagai sistem organ antara lain seperti kardiovaskuler, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit keganasan non AIDS, diabetes, dan sebagainya. Non AIDS event berhubungan dengan keparahan penyakit dibandingkan dengan kejadian akibat AIDS di era penggunaan terapi ARV (Hsu et al., 2013). Penanda aktivasi imun, inflamasi, dan koagulasi tidak sepenuhnya normal. Aktivasi imun masih berlangsung meskipun viral load ditekan. Aktivasi imun yang persisten dan inflamasi memberikan kontribusi pada non AIDS event. Salah satu penanda aktivasi imun yang telah banyak diteliti adalah ekspresi CD38 pada sel T CD8. Sel T CD8/38 berhubungan dengan progresi penyakit dan mampu memprediksi penurunan jumlah sel T CD4 serta memprediksi keberhasilan terapi pada pasien HIV (Deeks et al., 2004; Karim et al, 2013). Ekspresi penanda CD38 pada sel T CD8 merupakan salah satu prediktor terkuat pada progresi penyakit HIV (Moir et al., 2015). Keberhasilan terapi ARV dapat dipantau dengan perubahan pada respon penanda pada HIV. Berdasarkan panduan WHO 2006, pemeriksaan laboratorium untuk pemantauan terapi ARV pada pasien HIV dilakukan tiap 3 bulan untuk sel T CD4 dan 6 bulan untuk viral load. Peningkatan jumlah sel T CD4 pasien HIV/AIDS dengan terapi paling banyak terdapat pada 6 bulan pasca terapi dibandingkan bulan ke 12 dan 24 (Yasin et al., 2011; Guo et al., 2016). Penurunan persentase sel T CD8/38 paling optimal juga pada 6 bulan pasca terapi ARV (Guo et al., 2016).
4 Pemeriksaan viral load di negara berkembang jarang digunakan untuk pemantauan terapi karena harga pemeriksaan yang mahal dan alat yang lebih kompleks. Sebagian besar monitoring terapi hanya menggunakan jumlah sel T CD4, sedangkan jumlah sel T CD4 tidak sepenuhnya mencerminkan keberhasilan terapi. Tidak semua pasien memberikan respon imunologis sejalan dengan respon virologis. Perbaikan respon imunologis hanya mencapai 86,8% - 70,9% dan respon virologis sebesar 79,2% - 75,1% pada 6 bulan pertama terapi ARV. Discordant respon imunologis pada pasien HIV dengan terapi ARV mencapai 33,8% (Tan et al, 2008; Tuboi et al, 2007; Moore et al, 2005). Pemantauan pasien HIV selain pemeriksaan sel T CD4 dan viral load, aktivasi imun diperlukan untuk mengetahui prognostik pasien. Meskipun kadar viral load ditekan hingga kadar yang tidak terdeteksi dengan terapi ARV, aktivasi imun masih dapat terus berlangsung. Persistensi aktivasi imun dipengaruhi penyebab yang multifaktor seperti infeksi virus, proses infeksi virus, koinfeksi, translokasi mikroba, dan sebagainya (Slim dan Saling, 2016; Rajasuriar et al., 2013). Pemberian terapi tambahan untuk menekan tingkat aktivasi imun dan inflamasi masih menjadi perdebatan. Beberapa penelitian memperlihatkan penurunan aktivasi imun yang signifikan dengan penambahan terapi dibandingkan dengan pemberian terapi kombinasi ARV tunggal (Murray et al., 2010; Hunt et al., 2011; Calza et al., 2015). Penelitian yang membedakan aktivasi imun dan jumlah sel T CD4 belum banyak diteliti terutama di Indonesia. Bagaimana respon terapi ARV pada bulan
5 ke enam setelah inisiasi pemberian ARV dan perbedaan respon imun pada kadar virus yang berbeda perlu diteliti lebih lanjut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Prevalensi infeksi HIV di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. 2. Infeksi HIV menyebabkan penurunan sel T CD4, disregulasi sistem imun pada hampir semua aspek sistem imun tubuh yang mengakibatkan imunodefisiensi berat hingga terjadi AIDS. 3. Terapi ARV dapat menekan replikasi virus sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas AIDS, namun di sisi lain terjadi peningkatan morbiditas non AIDS event (nade). 4. Tidak semua pasien menunjukkan respon terapi yang baik. Ketidaksesuaian antara peningkatan sel T CD4 dan penurunan viral load masih banyak terjadi pada pasien HIV dengan terapi ARV. 5. Aktivasi imun pada pasien HIV diduga masih tetap berlangsung walaupun kadar viral load ditekan dengan terapi ARV. Aktivasi imun yang persisten dapat menginduksi inflamasi sehingga meningkatkan risiko terjadinya nade yang memerlukan terapi tambahan lain untuk menurunkan insidensi nade. 6. Sel T CD4 dan persentase sel T CD8/38 diperlukan utk pemantauan terapi namun belum banyak dilakukan.
6 C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbedaan jumlah sel T CD4 dan persentase sel T CD8 teraktivasi (CD8/38) pada pasien HIV viremia dan aviremia pasca 6 bulan terapi ARV? D. Keaslian Penelitian Tabel 1. Keaslian Penelitian No. Peneliti, tahun Judul 1. Guo et al., Baseline Naive CD4+ T cell 2016 Level Predicting Immune Reconstitution in Treated HIV infected Late Presenters Hasil Dalam 8 tahun terapi ARV, penurunan persentase sel T CD8/38 paling besar terdapat dalam 6 bulan setelah terapi disertai peningkatan cepat jumlah sel T CD4. 2. Carvalho et al., 2016 CD38+8 and CD38+4+ T Cells and IFN Gamma (+874) Polymorphism Are Associated with a Poor Virological Outcome Tidak terdapat perbedaan ekspresi CD38 pada sel T CD4 dan CD8 pada kelompok viremia dan aviremia 3. Pozo-Balado et al., 2010 CD4 + CD25 +/hi CD127 lo Phenotype Does Not Accurately Identify Regulatory T Cells in All Populations of HIV Infected Persons Persentase sel T CD8/38 pasien viremia lebih tinggi dibandingkan pasien aviremia dengan terapi ARV dalam waktu minimal 6 bulan (p= 0,03), namun tidak terdapat perbedaan jumlah sel T CD4 pada pasien aviremia dan viremia paska terapi ARV (p=0,503).
7. 4. Steel et al., 2008 CD38 expression on CD8 T cells has a weak association with CD4 T-cell recovery and is a poor marker of viral replication in HIV-1-infected patients on antiretroviral therapy. Tingkat aktivasi sel T CD8 lebih rendah dan jumlah sel T CD4 lebih tinggi pada pasien HIV dengan aviremia dibandingkan pasien viremia pasca terapi ARV (p<0,0001). Penelitian tentang perbedaan jumlah sel T CD4 dan persentase sel T CD8 (CD8/38) pada pasien HIV yang telah mendapatkan terapi ARV sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan di Indonesia. Perbedaan dengan beberapa penelitian sebelumnya adalah populasi sampel penelitian merupakan pasien dewasa dengan HIV di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan RSUP Dr. Kariadi Semarang, serta mendapatkan terapi selama 6 bulan setelah didiagnosis HIV. E. Tujuan Penelitian Mengetahui perbedaan jumlah sel T CD4 dan persentase sel T CD8 teraktivasi (CD8/38) pada pasien HIV viremia dan aviremia pasca 6 bulan terapi ARV. F. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pengetahuan dan bukti ilmiah mengenai aktivasi imun pada pasien dengan kadar viral load tersupresi.
8 2. Manfaat Praktis Memberikan informasi mengenai keberhasilan terapi ARV pada pasien HIV pada 6 bulan pasca terapi secara virologis dan imunologis serta tindak lanjut pada pasien terkait hasil yang didapat.