BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perubahan pola hidup serta terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup secara tidak langsung menyebabkan manusia terus-menerus dihadapkan pada persoalan lingkungan tercemar, radiasi ultraviolet yang tinggi, paparan polutan dan radikal bebas lain yang mengakibatkan timbulnya stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan dalam tubuh. Hal ini terjadi akibat produksi radikal bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan antioksidan (Halliwell, 2006). Radikal bebas merupakan suatu atom, gugus atau molekul yang memiliki satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya sehingga mampu menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid dan protein. Radikal bebas biasanya berada dalam bentuk radikal hidroksil ( OH), radikal peroksil ( OOH) dan ion superoksida (O 2 ). Kehadiran radikal bebas dapat merusak makromolekul dalam sel seperti karbohidrat, protein, DNA, lemak dan sebagainya (Halliwel and Gutteridge, 1999). Kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas berimplikasi pada berbagai kondisi patologis, yaitu kerusakan sel, jaringan dan organ seperti hati, ginjal, jantung baik pada manusia maupun hewan. Kerusakan ini dapat berakhir pada kematian sel sehingga terjadi percepatan timbulnya berbagai penyakit degeneratif (Kevin et al., 2006 dan Valko et al., 2007). 1
2 Salah satu radikal bebas yang seringkali menyerang asam lemak tak jenuh dalam tubuh yaitu radikal bebas hidroksil. Radikal hidroksil dapat menimbulkan reaksi rantai yang dikenal dengan nama peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak merupakan proses yang bersifat kompleks akibat reaksi asam lemak tak jenuh penyusun fosfolemak membran sel dengan senyawa oksigen reaktif membentuk hidroperoksida (Setiawan et al., 2005). Peroksidasi lemak mengakibatkan terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel seperti malondialdehid (MDA), etana dan pentana (Marks et al., 2000). Tubuh hewan maupun manusia secara normal mempunyai strategi yang sistematis untuk memerangi pembentukan radikal bebas dengan tiga enzim antioksidan endogen, yaitu superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GPx) dan katalase (Cat). SOD merupakan salah satu antioksidan endogen yang berfungsi mengkatalisis reaksi dismutasi radikal bebas anion superoksida (O - 2 ) menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen (Halliwell, 2006). Peningkatan kondisi stres oksidatif dapat dipicu oleh beberapa faktor diantaranya puasa (Wresdiyati dan Markita, 1995), olahraga (Haaij, 2006), stres psikis dan inflamasi (Moller et al., 1996). Kondisi stres oksidatif menyebabkan terjadinya peningkatan produksi radikal bebas yang berlebihan sehingga dapat menurunkan kerja enzim antioksidan endogen serta menyebabkan kerusakan sel. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan peranan asupan antioksidan eksogen seperti vitamin, β-karoten, polifenol dan flavonoid untuk membantu kerja enzim
3 antioksidan endogen dalam mencegah kerusakan sel (Kuncahyo dan Sunardi, 2007). Beberapa vitamin yang berfungsi sebagai antioksidan antara lain vitamin A, C dan E (tokoferol). Penelitian yang dilakukan oleh Wresdiyati et al. (2013) menyatakan bahwa pemberian α-tokoferol sebanyak 60 mg/kg/bb/hari selama tujuh hari berpengaruh terhadap peningkatan SOD dan penurunan MDA pada jaringan hati tikus. Selain vitamin, senyawa flavonoid juga merupakan salah satu antioksidan sekunder. Flavonoid yang terkandung dalam buah terong belanda menarik perhatian bagi banyak peneliti karena potensinya sebagai antioksidan dalam tubuh (Syariah et al., 2011). Dewi ( 2014) telah meneliti aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat biji terong belanda yang memiliki nilai IC 50 sebesar 1162,61 mg/l dan mampu menurunkan kadar MDA plasma darah tikus dengan dosis 200 mg/kgbb/hari. Hasil penelusuran literatur menunjukkan belum ada laporan penelitian yang terkait dengan uji aktivitas ekstrak kulit buah terong belanda terhadap superoksida dismutase dan peroksidasi lemak. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Devi (2014) menunjukkan bahwa fraksi n-butanol kulit terong belanda memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dengan nilai IC 50 sebesar 68,14 mg/l dan total fenol sebesar 3,37 mg/g eq asam galat. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa fraksi n-butanol kulit terong belanda positif mengandung senyawa flavonoid. Devi (2014) telah mengidentifikasi salah satu senyawa flavonoid golongan isoflavon yang terkandung dalam fraksi n-butanol kulit terong belanda. Namun, beberapa
4 senyawa flavonoid yang lain belum berhasil diidentifikasi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dikaji pengaruh fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda secara in vitro dengan metode DPPH dan uji secara in vivo dengan mengukur aktivitas superoksida dismutase dan kadar malondialdehid pada tikus yang diberi perlakuan stres oksidatif. Aktivitas antioksidan fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda dibandingkan dengan aktivitas α-tokoferol dari Natur-E yang mengandung 100 IU D-α-tokoferol. Selain itu, kedua antioksidan eksogen tersebut dikombinasikan dengan dosis yang sama yaitu 60 mg/kg/bb/hari dan dilihat pengaruhnya terhadap aktivitas superoksida dismutase dan peroksidasi lemak. Pada akhir penelitian dilakukan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui golongan senyawa flavonoid yang terkandung dalam fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana aktivitas fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda terhadap superoksida dismutase pada jaringan hati tikus di bawah kondisi stres? 2. Bagaimana aktivitas fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda dalam menghambat reaksi peroksidasi lipid pada jaringan hati tikus di bawah kondisi stres? 3. Flavonoid golongan apakah yang terkandung dalam fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda?
5 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan, maka tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui aktivitas fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda terhadap superoksida dismutase pada jaringan hati tikus di bawah kondisi stres. 2. Untuk mengetahui aktivitas fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda dalam menghambat reaksi peroksidasi lipid pada jaringan hati tikus di bawah kondisi stres. 3. Untuk menentukan golongan flavonoid yang terkandung dalam fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menambah informasi mengenai aktivitas antioksidan fraksi n-butanol ekstrak kulit terong belanda ( Solanum betaceum Cav.) terhadap superoksida dismutase dan peroksidasi lemak pada jaringan hati di bawah kondisi stres yang dapat memicu timbulnya berbagai macam penyakit seperti kanker, tumor dan penyakit degeneratif lainnya. Selain itu, dapat memperkaya informasi mengenai golongan flavonoid yang aktif sebagai antioksidan yang bersumber dari kulit buah terong belanda. Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah menambah pengetahuan dan informasi bagi masyarakat tentang khasiat kulit terong belanda bagi kesehatan.