BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan

PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA SMA NEGERI 1 WIROSARI. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tangguh baik secara fisik, mental maupun intelektual dan kepribadian. pendidikan di indonesia yaitu Madrasah Aliyah (MA).

BAB I PENDAHULUAN. belajar baik di sekolah maupun di kampus. Hasil survey Litbang Media Group

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena membolos di kalangan pelajar bukanlah baru di sekolah. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. 1. Pendidikan nasional Indonesia memiliki tujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kadang berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Salah satu yang

PENDAHULUAN. mengajar yang berkaitan dengan program studi yang diikutinya serta hasil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang

PERILAKU MENYONTEK DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi

SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA TAHUN AJARAN 2010/2011)

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, membentuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tugas merupakan suatu hal yang sangat dekat dengan perkuliahan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. Prilaku menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan jujur. Namun hingga saat ini, masih ada masalah ketidakjujuran mahasiswa.

1. PENDAHULUAN. kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah sebuah proses dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Persiapan Proses Pelaksanaan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi belajar mahasiswa merupakan salah satu faktor penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang masalah. Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak terlepas dan bersifat sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PAKET C DI PKBM NEGERI 17

BAB I PENDAHULUAN. mental sehingga menghasilkan perubahan-perubahan dalam bersikap (Ihsan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

ESSAY PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SEMANGAT KEBANGSAAN DEMI MASA DEPAN CEMERLANG

2016 KECENDERUNGAN INTEGRITAS AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dimana awal kehidupan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi, individu (remaja)

Livia Melda Christanti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar perkembangan manusia melalui

BAB I PENDAHULUAN. yang akan menjadi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan terus

LAMPIRAN. Lampiran 1 Skala Uji Coba Self Regulated Learning. Lampiran 2 Skala Penelitian Self Regulated Learning

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan. maupun karyawan (Menurut Sukmadinata, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Semua manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memprihatinkan kita semua, sekaligus menyisakan pekerjaan rumah bagi

HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DAN KREATIF DENGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Era globalisasi membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan kompetitif. Hal ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak sekali nilai-nilai dalam

BAB I PENDAHULUAN. yaitu guru dan siswa. Guru sebagai pengajar merupakan pencipta kondisi

BAB I PENDAHULUAN. sikap ( attitudes), perilaku (behaviours), motivasi (motivations) dan keterampilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki budi pekerti

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. matematika, diperlukan kemampuan pemecahan masalah sehingga siswa. diperlukannya kemampuan pemecahan masalah.

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan kehidupannya. Sekolah dipandang dapat memenuhi beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini.

Amanda Luthfi Arumsari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. belajar sesungguhnya tidak ada pendidikan. Demikian pentingnya arti belajar,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu persoalan penting bagi kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. dan menjadi perilaku yang tidak baik dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena

PENDAHULUAN. Layanan pendidikan menyangkut tentang keseluruhan upaya yang. dilakukan untuk mengubah tingkah laku manusia demi menjaga kesinambungan

sendiri seperti mengikuti adanya sebuah kursus suatu lembaga atau kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan lembaga formal yang secara khusus di bentuk untuk

BAB I PENDAHULUAN. karena dengan belajar manusia dapat berkembang dan berubah dalam sikap dan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. maju apabila rakyatnya memiliki pendidikan yang tinggi dan berkualitas,

Jurnal Swarnadwipa Volume 1, Nomor 2, Tahun 2017, E-ISSN PERAN GURU SEBAGAI MOTIVATOR DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KELAS X SMA N 6 METRO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kultur akademik sendiri menghendaki mahasiswa itu untuk melakukan proses

BAB I PENDAHULUAN. kalangan masyarakat. Berbagai macam seminar, diskusi, lokakarya, baik di

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menyontek adalah salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan di Indonesia. Kurangnya pembahasan mengenai menyontek mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang sifatnya sepele, padahal masalah menyontek sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Masalah menyontek semakin canggih lagi, karena ada istilah ngakal tetapi berakal, menyontek pakai otak. Maksudnya menyontek tidak sama dengan menyalin pelajaran, ambil intinya saja, atau menggunakan kata-kata lain yang maksudnya sama dengan yang ada di buku dan jawaban teman. Anehnya perbuatan contek menyontek di kalangan pelajar sampai saat ini masih saja ada, tidak pernah terdengar ada sanksi, skorsing atau pengurangan nilai. Tidak pernah ada dalam rapat orang tua, guru, kepala sekolah, pengawas, dan pembina pendidikan membicarakan masalah menyontek, sekolah seakan menutup diri, seolah-olah semua siswa-siswinya bersih dalam praktek menyontek. Nugroho (2008) mengutip sebuah artikel dalam harian Jawa Pos yang memuat tentang hasil polling yang dilakukannya atas siswa-siswi SMP di Surabaya mengenai persoalan menyontek dengan hasil yang mengejutkan. Data itu menyebutkan bahwa, jumlah penyontek langsung tanpa malu-malu mencapai 89,6 persen, langsung bertanya kepada teman mencapai 46,5 persen, sedangkan 20 persen 1

2 lebih berhati-hati pakai kode dan 14,9 persen mengandalkan lirikan, jumlah responden yang lulus dari pengawasan sensor guru, sejumlah 65,3 persen. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Halida (2007) di enam kota besar di Indonesia (Makasar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Medan), yang menyebutkan hampir 70 % responden menjawab pernah melakukan praktik menyontek ketika masih sekolah maupun kuliah, artinya mayoritas responden penelitian pernah melakukan kecurangan akademik berupa menyontek. Survei yang melibatkan 480 responden dewasa yang dipilih secara acak dari petunjuk telepon residensial di kota-kota tersebut, serta dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur dan kuesioner juga menyebutkan, bahwa kecurangan akademik berupa menyontek muncul karena faktor lingkungan sekolah atau pendidikan Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa siswa dan guru yang berhasil penulis temui di SMA Negeri 7 Surakarta diketahui beberapa fenomena tentang menyontek, seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1 Alasan dan Cara menyontek Siswa Alasan menyontek Cara yang dilakukan Bodoh Tanya teman Malas SMS Tidak bisa Lihat teman Tidak percaya diri Kode contekan Tidak/belum belajar Fotocopy buku Soal Sulit Nulis dikertas Terpaksa Nulis dikursi Bahan terlalu banyak Kode tangan Takut nilai jelek Handphone Sumber : wawancara dengan siswa SMA 7 Surakarta Selain alasan dan cara menyontek, dari hasil wawancara juga diketahui, menurut pendapat siswa hampir semua siswa dalam kelas pernah atau melakukan perilaku menyontek. Adapun informasi dari para guru diketahui setiap kelas terdapat

3 20 sampai 30% siswa yang menyontek. Hal tersebut disebabkan karena faktor kurang percaya diri, kebiasaan, malas, tidak siap, terpengaruh teman. Sanksi yang diberikan oleh guru pada siswa yang menyontek antara lain: diperingatkan, diambil contekan, tidak diberi nilai (remidi), disidang dan dikeluarkan dari ruangan. Adapun upaya yang telah dilakukan oleh guru untuk meminimalisir perilaku menyontek, antara lain: buku, HP diletakan di depan, memindah tempat duduk siswa, mengawasi lebih ketat, memberikan peringatan sebelum ujian dimulai, memberi bimbingan agar lebih konsentrasi dan bekerja sendiri ketika mengerjakan soal. Menyontek adalah salah satu wujud dari perilaku, bahkan salah satu bentuk ekspresi dari kepribadian seseorang. Burt, seperti dikutip oleh Suryabrata (2000) mengemukakan ada tiga faktor yang berpengaruh pada tingkah laku manusia, yaitu faktor G (General), yakni dasar yang dibawa sejak lahir, faktor S (Specific) yang dibentuk oleh pendidikan dan faktor C (Common / Group) yang didapatkan dari pengaruh kelompok. Jika dihubungkan dengan perbuatan menyontek, maka aktivitas menyontek adalah merupakan pengaruh dari faktor C. Lebih lanjut dikatakan bahwa Faktor C lebih luas atau lebih kuat daripada faktor S. Dengan demikian, perilaku menyontek banyak diakibatkan oleh pengaruh kelompok di mana orang cenderung berani melakukan karena melihat orang lain di kelompoknya juga melakukan. Apabila kecenderungan ini berlangsung secara terus menerus, maka menyontek akan menjadi kebiasaan seseorang, yang akan ditransfer tidak hanya pada kegiatan sekolah lainnya tetapi kepada kegiatan kemasyarakatan pada umumnya berdasarkan prinsip transfer of learning. Menurut Alhadza (2004) ada empat faktor yang menjadi penyebab menyontek yaitu : faktor individual atau pribadi dari cheater, lingkungan atau pengaruh kelompok, faktor sistem evaluasi, dan faktor guru atau penilai.

4 Putri (2010) pada penelitian tentang perilaku menyontek pada mahasiswa mengungkap alasan subjek menyontek sebagai berikut:...ya kurang PD (percaya diri) aja mbak!, takut nilainya jelek, harus ngulang ngambil kuliah lagi kan repot mbak, bayar lagi. Tapi saya nyontek tergantung mata kuliahnya mbak, kalau mata kuliah atau dosennya sulit, waktu ujian kalau ada kesempatan ya nyontek Banyak teman-teman yang seperti itu koq mbak. Malah sekarang banyak sekali tugas-tugas kuliah teman-teman isinya contekan dari semester sebelumnya, beli di Sriwedari atau copy paste dari internet. Itu kan sama saja menyontek mbak!. (kutipan wawancara oleh Putri, 2010) Ungkapan tersebut memaparkan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan menyontek adalah kurang percaya diri. Haryono, dkk. (2001) menyatakan bahwa menyontek yang menjadi kebiasaan akan berakibat negatif bagi diri pelajar sendiri maupun dalam skala yang lebih luas. Pelajar yang terbiasa menyontek akan senang menggantungkan pencapaian hasil belajarnya pada orang lain atau sarana tertentu dan bukan pada kemampuan dirinya sendiri. Penelitian Handayani (2008) menunjukkan sekitar 70 persen siswa dan 63 persen mahasiswa mengaku telah menyontek setidaknya sekali pada semester sebelumnya atau pada semester yang sedang berlangsung, yang lebih ironis justru tindakan mennyontek dilakukan secara terencana antara siswa dengan guru, tenaga kependidikan atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti yang terjadi pada saat Ujian Nasional. Menurut Thabrany (1995) perilaku menyontek yang dilakukan siswa pada hakikatnya merupakan perbuatan membohongi diri sendiri. Jika dibiarkan maka banyak pihak yang dirugikan, rekan yang dicontek tentunya telah terampas kemampuannya. Menyontek serumpun dengan perbuatan korupsi, ketika masih belajar di sekolah sudah gemar menyontek maka itu pertanda ketika sedang menjadi orang bekerja disuatu instansi akan cenderung melakukan korupsi.

5 Alasan menyontek menurut penelitian Antion dan Michel (2004) terhadap 148 pelajar menemukan bahwa kombinasi dari faktor kognitif, afektif, personal, dan demografi lebih signifikan sebagai prediktor perbuatan menyontek daripada jika faktor tersebut berdiri sendiri, dengan kata lain perbuatan menyontek lebih dipengaruhi oleh kombinasi variabel-variabel daripada variabel tunggal. Haryono, dkk. (2001) menambahkan bahwa pelajar menyontek karena berbagai alasan. Ada yang menyontek karena malas belajar, takut mengalami kegagalan, ada pula yang dituntut orang tuanya untuk memperoleh nilai yang baik. Faktor-faktor ini menyebabkan para siswa hanya memfokuskan pada nilai yang baik, seperti yang dikemukakan oleh Coleman (dalam Sarwono, 2000) bahwa ada beberapa kelompok siswa yang menekankan pada prestasi sekolah. Di kelompok ini ditemukan bahwa nilai yang dominan di antara mereka adalah nilai-nilai ulangan semata. Terjadi persaingan untuk mendapat nilai bagus dan hanya yang terbaik dalam angka ulangan yang mendapat penghargaan dari kawan-kawannya. Berdasarkan latar belakang di atas maka diasumsikan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan menyontek adalah kepercayaan diri. Menurut Jailani (199) kepercayaan diri sering merupakan fungsi langsung dari interpretasi seseorang terhadap keterampilan atau kemampuan yang dimilikinya. Kepercayaan diri sebagai ekspresi aktif dan efektif dari perasaan bagian dalam dari harga diri, penghargaan diri dan pemahaman diri. Pengertian ini mengandung maksud bahwa, orang yang percaya diri akan lebih mungkin mendapatkan kualitas yang besar dalam hal harga diri, penghargaan diri dan pemahaman diri Lauster (1997) menyatakan kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan

6 untuk memperoleh hasil yang diharapkan dan mampu menangani segala situasi dengan tenang. Kepercayaan diri akan muncul pada saat individu tidak mempunyai ketergantungan kepada orang lain karena adanya perasaan yakin dengan potensi yang ada pada dirinya dan yakin pula terhadap kemampuan yang dimilikinya. Kurangnya kepercayaan diri dapat menyebabkan kecenderungan menyontek semakan tinggi dan selanjutnya perilaku menyontek tersebut menjadi kebiasaan, siswa akan senang menggantungkan pencapaian hasil belajarnya pada orang lain atau sarana tertentu dan bukan pada kemampuan dirinya sendiri. Oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan karena melihat pada kondisi atau kenyataan pada masa sekarang banyak pelajar atau siswa yang sering menyontek, sehingga perlu dicermati variabel-variabel apa yang menyebabkannya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu menelaah secara empiris bagaimana keterkaitan kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek Berdasarkan uraian tersebut maka penulis dapat menarik suatu rumusan masalah, Apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA? Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kecenderungan Menyontek pada Siswa SMA. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Hubungan antara kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA. 2. Sumbangan atau peran kepercayaan diri terhadap kecenderungan menyontek pada siswa SMA. 3. Tingkat kepercayaan diri dan kecenderungan menyontek pada siswa SMA.

7 C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi kepala SMA Negeri 7 Surakarta Hasil penelitian ini memberi masukan dan informasi mengenai hubungan antara keercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA, sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk meminimalisir kecenderungan menyontek pada siswa SMA. 2. Bagi Guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 7 Surakarta Penelitian ini memberikan hasil empiris mengenai hubungan antara kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA, sehingga guru Bimbingan konseling dapat lebih intensif untuk mencermati dan mencari solusi yang palin tepat untuk mengurangi kecenderungan perilaku menyontek. 3. Bagi siswa SMA Negeri 7 Surakarta Memberi masukan dan informasi mengenai hubungan antara kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA, sehingga dapat mengembangkan dan memanfaatkan kepercayaan diri sebagai salah satu karakter kepribadian untuk mengurangi kecenderungan perilaku menyontek. 4. Bagi Departemen Pendidikan Nasional Hasil ini sebagai informasi akademis mengenai hubungan antara kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA, sehingga dapat dijadikan sebagai suatu pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam pendidikan, mengurangi kecenderungan menyontek pada siswa SMA

8 5. Bagi ilmuwan psikologi Memberikan sumbangan informasi mengenai hubungan antara kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA sehingga dapat digunakan sebagai kajian dan pengembangan ilmu-ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan. 6. Bagi Peneliti Selanjutnya Memberikan informasi empiris dan pemahaman yang lebih luas tentang hubungan antara kepercayaan diri dengan kecenderungan menyontek pada siswa SMA sehingga dapat digunakan sebagai bahan penelitian selanjutnya.