BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan. Begitu penting perannya, pangan dan gizi dapat dianggap sebagai kebutuhan dan modal dasar pembangunan serta dijadikan indikator atas keberhasilan program ketahanan pangan (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Pangan sebagai sumber energi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan manusia untuk mencapai hidup sehat dan sejahtera. Masalah gizi di Indonesia masih cukup tinggi, salah satunya yaitu gizi kurang. Masalah gizi kurang pada balita masih menjadi permasalahan dengan prevalensi 28,0% pada tahun 2005. Masalah gizi kurang juga dapat terjadi pada kelompok usia produktif, yang dapat diukur dengan Lingkar Lengan Atas (LLA) kurang dari 23,5 cm (LLA <23,5 cm). Ukuran ini merupakan indikator yang menggambarkan resiko Kekurangan Energi Kronis (KEK). Secara nasional, proporsi LLA <23,5 cm menurun dari 24,9% pada 1999 menjadi 16,7% pada 2003. Pada umumnya WUS (Wanita Usia Subur/Produktif) kelompok usia muda memiliki prevalensi KEK lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lebih tua. WUS dengan resiko KEK mempunyai resiko
melahirkan bayi BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007). Berdasarkan data dari BPPN tersebut sehingga perlu makanan sumber protein untuk memperbaiki status gizi balita dan wanita usia produktif. Selain KEK, pada kelompok usia produktif juga terdapat masalah kegemukan (IMT >25) dan obesitas (IMT >27). Kedua masalah gizi tersebut terjadi di wilayah kumuh, perkotaan maupun pedesaan. Hasil survei tahun 2001 di 4 kota (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya) menunjukkan bahwa prevalensi kegemukan pada WUS daerah kumuh perkotaan berkisar antara 18-25%, demikian juga di wilayah pedesaan provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan prevalensi kegemukan berkisar 10-21% (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007). Berdasarkan data dari BPPN tersebut, maka perlu konsumsi makanan sumber serat untuk memperbaiki status gizi wanita usia produktif. Status gizi dapat dipengaruhi oleh ekonomi atau daya beli masarakat terhadap pangan. Pada tahun 1999 tingkat konsumsi hampir semua jenis pangan menurun akibat krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997. Pada masa pemulihan ekonomi (2002-2005) konsumsi beras dan jagung menurun, dengan laju konsumsi beras tahun 2002-2005 adalah -8,1 %/th dan laju konsumsi jagung -2,9 %/th. Konsumsi pangan sumber protein baik daging, telur, susu maupun ikan juga menurun selama masa krisis. Konsumsi pangan protein tersebut kembali meningkat pada 2002-2005, meskipun konsumsi daging ruminansia 2
belum mencapai tingkat konsumsi sebelum krisis. Pada tahun 2002-2005 laju konsumsi daging ruminansia hanya 5,9 %/th, laju konsumsi daging unggas 13,9 %/th, laju konsumsi telur 8,9 %/th, laju konsumsi susu 7,7 %/th, laju konsumsi ikan 10,7 %/th dan laju konsumsi kacang-kacangan 4,5 %/th (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007). Penganekaragaman pangan merupakan salah satu cara memperbaiki status gizi masyarakat. Tidak ada satupun bahan pangan yang memiliki kandungan zat gizi yang lengkap. Bahan pangan yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Mengkonsumsi bahan pangan yang beraneka ragam, maka akan meningkatkan mutu gizi pangan. Usaha penganekaragaman pangan dapat dilakukan dengan mencari bahan makanan yang baru atau bahan pangan yang sudah ada dikembangkan menjadi pangan yang beraneka ragam (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Menurut penelitian Wulandari (2008) tingkat kebutuhan hidup yang semakin hari semakin meningkat, perlu adanya kreatifitas masyarakat untuk dapat menciptakan suatu produk yang dapat menambah pendapatan hidup. Pemanfaatan jamur tiram putih dalam pembuatan sosis merupakan upaya penganekaragaman pangan berbahan dasar lokal. Jamur tiram putih (Pleurotus oestreatus) memiliki kandungan protein tinggi, yaitu 20-30% protein kasar (persen berat kering jamur) dan serat 11,5% tiap 100 g (Sanmee, 2003). Penganekaraman pangan lokal dapat membantu mengurangi ketergantungan masyarakat tehadap pangan impor seperti tepung terigu, sehingga pangan yang dikonsumsi lebih beragam (Badan Ketahanan Pangan, 2010). 3
Selama periode ini (tahun 2006 sampai sekarang), pola konsumsi pangan pokok (sumber karbohidrat) masih didominasi beras dan tepung terigu. Ketergantungan yang berlebihan pada beras menyebabkan tertutupnya sebagian besar peluang untuk memanfaatkan bahan-bahan pangan yang sebenarnya dapat mensubsitusi beras. Kerawanan pangan bertambah akibat diversifikasi konsumsi justru mengarah pada pangan olahan berbahan baku impor (gandum). Oleh karena itu, konsumsi pangan masyarakat perlu didorong agar mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti jagung, umbi-umbian, tepung dan mie (Badan Ketahanan Pangan, 2010). Mie merupakan jenis makanan yang sesuai dengan kesukaan konsumen Indonesia. Jamur tiram putih memiliki potensi untuk dijadikan bahan tambahan atau subsitusi pada berbagai jenis produk makanan, misalnya mie basah. Berbagai jenis mie yang menggunakan terigu sebagai bahan baku telah dikenal masyarakat. Selain mie instan, jenis mie yang dikenal cukup luas adalah mie basah, mie kering, dan mie telur. Jenis mie sangat beragam, tetapi tahap awal pembuatan mie tersebut sama, yaitu melalui tahap pengadukan, pencetakan lembaran (sheeting), dan pemotongan (cutting) (Munarso, 2010). Pengolahan mie dilakukan untuk menjadikan mie sebagai salah satu pangan alternatif pengganti nasi. Hal tersebut sangat menguntungkan ditinjau dari sudut pandang penganekaragaman konsumsi pangan. Konsumsi mie dapat terus meningkat, hal tersebut didukung oleh berbagai keunggulan yang dimiliki mie, terutama dalam hal tekstur, rasa, penampakan, dan kepraktisan penggunaannya. 4
Berdasarkan hal tersebut peluang usaha industri pengolahan mie, baik dalam industri skala kecil maupun besar masih sangat terbuka luas (Munarso, 2010). Pemanfaatan jamur tiram putih dalam pembuatan mie basah dapat membantu meningkatkan nilai gizi serta konsumsi pangan yang lebih bervariasi bagi masyarakat luas dan mendorong usaha diversifikasi pangan masyarakat serta pemenuhan kebutuhan zat gizi makro. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram pada pembuatan mie basah ditinjau dari kadar protein, kadar serat kasar dan daya terima. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan didukung oleh beberapa teori, maka perumusan masalah yang dikemukakan oleh penulis adalah bagaimana pengaruh perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram (Pleurotus sp) pada pembuatan mie basah terhadap kadar protein, kadar serat kasar dan daya terima? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram pada pembuatan mie basah terhadap kadar protein, kadar serat kasar dan daya terima. 5
2. Tujuan Khusus: a. Mengukur kadar protein pada mie basah dengan perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram yang berbeda. b. Mengukur kadar serat kasar pada mie basah dengan perbaningan tepung terigu dan tepung jamur tiram yang berbeda. c. Mengukur daya terima pada mie basah dengan perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram yang berbeda. d. Menganalisis pengaruh perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram yang berbeda terhadap kadar protein mie basah jamur tiram. e. Menganalisis pengaruh perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram yang berbeda terhadap kadar serat kasar mie basah jamur tiram. f. Menganalisis pengaruh perbandingan tepung terigu dan tepung jamur tiram yang berbeda terhadap daya terima mie basah jamur tiram. D. Manfaat Penelitian Penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat: a. Bagi peneliti, sebagai sumber informasi ilmiah dan acuan untuk penelitian yang lebih lanjut dan lebih mendalam. b. Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat digunakan untuk menerapkan ilmu tentang teknologi pangan yang telah dipelajari dan sebagai acuan yang dapat dipertanggungjawabkan apabila mengadakan penelitian yang sejenis. 6
c. Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang pemanfaatan tepung jamur tiram sebagai bahan tambahan dalam pembuatan mie basah maupun produk lain untuk alternatif makanan selain nasi dalam penganekaragaman pangan. d. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat digunakan dalam upaya peningkatan penganekaragaman pangan berbasis pangan lokal. 7