BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia dewasa dan sudah memiliki pekerjaan, manusia baru akan memikirkan tentang perkawinan. Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting dimana hubungan persaudaraan berubah dan diperluas. Perkawinan juga merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yaitu untuk menjaga kesinambungan satu keluarga. Secara umum, perkawinan adalah penggabungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk sebuah rumah tangga. Dalam pelaksanaan sebuah perkawinan, diperlukan tata cara tertentu yang mengatur individu-individu yang bersangkutan. Sistem, nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang mengatur masyarakat sehubungan dengan perkawinan disebut dengan pranata perkawinan (Rifai Abu, 1984:51). Koentjaraningrat (1997:92), mengatakan bahwa hampir setiap masyarakat, hidupnya dibagi-bagi ke dalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan tingkat-tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak, masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan dan masa tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ke tingkat berikutnya, biasanya diadakan pesta atau upacara yang sifatnya universal.
Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang mana didalamnya mengandung unsur-unsur ritual dan nilai-nilai. Upacara perkawinan adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan (Depdikbud;1978/1979:10). Oleh perkembangan zaman, terutama karena kemajuan industrinya yang telah menempatkan Jepang sebagai negara maju, umumnya keluarga Jepang sekarang berubah menjadi keluarga-inti, yang terdiri dari suami, istri dan anakanak. Anakpun jumlahnya mulai dibatasi, karena kesulitan perumahan dan keuangan (Ajip Rosidi, 1981:94). Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang dikenal ada dua buah konsep keluarga yaitu keluarga sebagai Kazoku dan keluarga sebagai Ie. Keluarga (Kazoku) menurut Situmorang (2006:22), adalah hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie. Ie ( 家 ), yang banyak diungkapkan dengan katakana ( イエ ) adalah sekelompok orang yang tinggal di sebuah lingkungan rumah, memiliki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya di bidang kepercayaan (pemujaan), ekonomi dan moral (Situmorang, 2000:98).
Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2006:24), mengatakan bahwa pada awalnya Ie terbentuk karena adanya pernikahan yaitu terbentuknya keluarga inti. Tetapi setelah mereka mempunyai anak dan apabila suami atau ibu di dalam keluarga tersebut meninggal maka kepala keluarga tersebut diganti oleh anak lakilaki tertua. Jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki, maka suami dari anak perempuan dapat diangkat menjadi kepala keluarga. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling utama antara keluarga Kazoku dengan keluarga Ie adalah, bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau istri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan unsur keluarga Ie terbentuk minimal dua generasi, oleh karena itu Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut (Situmorang, 2006:23). Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan calon pengantin. Berdasarkan pendapat Martha (1995:6), perkawinan dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah Kekkon atau Kon in. Upacara perkawinan di Jepang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: Shinzen kekkon shiki (perkawinan berdasarkan agama Shinto), Butsuzen kekkon shiki (perkawinan berdasarkan agama Budha), Kiritsutokyoo kekkon shiki (perkawinan berdasarkan agama Kristen). Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara pernikahan modern yang dilangsungkan di Gereja dengan sistem agama Kristen dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di Kuil dengan sistem Budha atau Shinto. Masyarakat Jepang sendiri saat ini lebih tertarik pada upacara
pernikahan dengan cara yang modern, yaitu menikah dengan tata cara Kristen di Gereja meski keduanya tidak beragama Kristen, tetapi yang menikahkan keduanya tetap pendeta. Banyak diantara mereka tertarik dengan tata cara ini karena ingin memakai gaun pengantin berwarna putih yang indah serta disaksikan oleh keluarga, teman dan kerabat dekat. Sebelum diadakan upacara perkawinan biasanya pasangan pengantin terlebih dahulu mendaftarkan diri ke kantor catatan sipil untuk mendapatkan pengakuan yang sah sesuai hukum yang berlaku. Oleh karena itu dalam penelitian ini, suku Tapanuli Selatan diambil sebagai bahan perbandingan kebudayaan untuk mewakili bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sedangkan untuk kajian Jepang yang diambil secara keseluruhan karena kebudayaan Jepang dianggap bisa mewakili seluruh sub-sub di daerah tersebut. Jenis-jenis perkawinan di Tapanuli Selatan ada berbagai macam, tetapi di dalam penelitian ini penulis hanya fokus kepada jenis pernikahan berdasarkan agama, adat dan pemerintah/hukum. Pada masa sekarang ini, mayoritas masyarakat Tapanuli Selatan adalah penganut agama Islam. Setelah melakukan perkawinan berdasarkan agama islam, dan sudah mendaftarkan diri ke kantor urusan agama, biasanya mereka melanjutkan lagi dengan perkawinan berdasarkan adat. Masyarakat Tapanuli Selatan adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadatnya. Adat masyarakat Tapanuli Selatan lazim disebut adat Dalihan Natolu, karena setiap pelaksanaan aktivitas yang didasarkan kepada kaidah-kaidah adat, seperti pelaksanaan berbagai upacara, harus didukung oleh tiga unsur fungsional
dari sistem sosial masyarakat Tapanuli Selatan yang dinamakan Dalihan Natolu (tiga tumpuan). Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Natolu itu masingmasing disebut Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Mora merupakan anggota kerabat yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan (kelompok calon pengantin perempuan). Kahanggi adalah anggota kerabat satu keturunan atau satu klen. Anak Boru adalah anggota kerabat yang berstatus sebagai penerima anak dara dalam perkawinan (kelompok calon pengantin laki-laki). Antara para kerabat yang berstatus sebagai Mora dan berstatus sebagai Anak Boru terdapat hubungan afinal (perkawinan). Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai Kahanggi terdapat hubungan konsanguinial atau hubungan darah. Sehingga ada ungkapan yang berbunyi: Somba marmora elek maranak boru, manat-manat markahanggi yang artinya: hormat terhadap mora, pandai-pandai mengambil hati anak boru, bersikap cermat terhadap kahanggi menunjukkan hak dan kewajiban seseorang terhadap para kerabatnya yang punya status sebagai mora, anak boru dan kahanggi (Ritonga, 1997:5-7). Bagi masyarakat Tapanuli Selatan perkawinan bukan saja menyangkut penggabungan dua insan saja, tetapi lebih kepada penyatuan dua keluarga besar. Garis keturunan pada masyarakat Tapanuli Selatan adalah patrilineal (garis keturunan dari pihak Ayah). Berdasarkan garis keturunan yang patrilineal itu, masyarakat Tapanuli Selatan membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar yang disebut marga (clan) sebagai gabungan dari orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama (Ritonga, 1997:6).
Menurut kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan, orang-orang yang semarga tidak boleh kawin. Dengan demikian pembatasan jodoh dan perkawinan yang didasarkan pada prinsip eksogami marga. Sampai sekarang prinsip perkawinan eksogami marga itu masih terus diikuti oleh sebagian besar dari anggota masyarakat Tapanuli Selatan meskipun agama Islam atau agama Kristen yang mereka anut tidak melarang perkawinan antara orang-orang yang semarga. Terlarangnya orang-orang yang semarga melakukan perkawinan karena menurut prinsip adat masyarakat Tapanuli Selatan orang-orang yang semarga adalah keturunan dari seorang kakek bersama. Oleh karena itu mereka dipandang sebagai orang-orang yang sedarah atau markahanggi (berabang-adik) (Lubis,1998:166). Namun pada masa belakangan ini generasi muda masyarakat Tapanuli Selatan sudah tidak begitu terikat oleh prinsip perkawinan seperti yang dikemukakan di atas. Generasi muda sudah cenderung untuk dibebaskan memilih sendiri jodoh yang mereka sukai. Kemajuan pendidikan, keadaan pergaulan mudamudi yang sudah cukup bebas dan masuknya dengan mudah berbagai pengaruh dari luar melalui bermacam sarana komunikasi modern dan mass media, mungkin sekali merupakan faktor-faktor yang mendorong generasi muda untuk membebaskan diri dari prinsip perkawinan yang tradisional itu. Tetapi meskipun demikian, masih cukup banyak juga orang tua yang cenderung untuk mengkawinkan anak mereka dengan yang semarga, agar hubungan kekerabatan antara mereka tetap terpelihara keeratannya seperti yang dikehendaki oleh adat (Lubis, 1998:167).
Satu diantara kegiatan yang khas pada upacara perkawinan di Tapanuli Selatan adalah Mangaririt Boru. Yang dimaksud dengan Mangaririt Boru adalah tahapan meresek boru yang akan dipinang, dengan maksud mengetahui apakah boru itu telah dipinang oleh orang lain atau belum. Yang pergi untuk melakukan Mangaririt Boru ini adalah anak boru dari pihak laki-laki. Pada tradisi perkawinan di Tapanuli Selatan zaman dahulu yang juga dikenal dengan istilah Upacara Mengantar Tanda. Mengantar Tanda adalah pihak laki-laki menyerahkan kepada pihak wanita tanda sebagai ikatan dan wanita pun memberikan tanda sebagai balasannya. Biasanya tanda yang diberikan terdiri dari: sejumlah uang, emas, barang tekstil. Pihak wanita juga akan memberikan tanda balasan dan jumlahnya sama (Lubis, 1998:173). Upacara mengantar tanda juga terdapat pada tradisi upacara perkawinan di Jepang. Menurut Situmorang dalam Dani (2005:20), menjelaskan bahwa buktibukti janji perkawinan yang berasal dari calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan disebut Yuuino. Benda pengikat dari bukti tersebut disebut Yuinomono yang biasanya terdiri dari sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Hal ini dipertegas lagi oleh Wibowo (2005:19), bahwa tata cara untuk meresmikan kedua calon pengantin dalam masyarakat Jepang dimulai dari Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran barangbarang sebagai tanda pertunangan disebut Yuinoohin, sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin, pihak wanita akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya.
Pada dasarnya tahapan-tahapan upacara perkawinan dalam masyarakat Tapanuli Selatan dan masyarakat Jepang sama-sama memiliki tiga fase yaitu: masa pra upacara perkawinan, upacara perkawinan, dan paska perkawinan. Disamping mempunyai perbedaan dalam substansi kegiatan pada fase tersebut, terdapat juga persamaan-persamaannya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini akan berusaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan melalui skripsi yang berjudul Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang dan Masyarakat Tapanuli Selatan. 1.2 Perumusan Masalah Dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal perkawinan. Persamaan dan perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar dalam sebuah konsep perbandingan. Salah satu contoh persamaan adalah dalam hal bentuk perkawinan yang berkaitan erat dengan bentuk keluarga. Kemudian dalam hal pertunangan, masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan sama-sama melakukan pertunangan dengan menyerahkan benda-benda berharga sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang perkawinan. Dalam masyarakat Jepang benda-benda tersebut dapat berupa sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Tetapi di Tapanuli Selatan, benda-benda yang dibawa adalah sejumlah uang, emas dan barang tekstil.
Satu hal lagi, masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan samasama melakukan tahapan upacara berdasarkan agama dan pemerintah/hukum. Tetapi yang berbeda adalah masyarakat Tapanuli Selatan juga menggunakan adat di dalam tahapan upacara perkawinan, sedangkan masyarakat Jepang tidak. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan akan dilihat dari persamaan dan perbedaan upacara serta sistem perkawinannya. Dalam bentuk pertanyaan permasalahannya adalah: 1. Apa saja tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan? 2. Apa saja persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan tradisional dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan? 1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Adanya persamaan dan perbedaan dalam upacara perkawinan dalam masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan merupakan hal menarik, karena Jepang dan Propinsi Tapanuli Selatan merupakan dua tempat yang berjauhan. Namun tidak menutup kemungkinan adanya persamaan unsur kebudayaan antara dua suku bangsa tersebut, terutama dalam tahapan upacara perkawinannya. Dengan demikian ruang lingkup pembahasannya terbatas pada persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan serta unsur-unsur yang mempengaruhinya, yaitu unsur agama, unsur pemerintah/hukum dan unsur adat.
Dalam menguraikan tahapan upacara perkawinan, penulis akan menggunakan beberapa konsep perkawinan dan kajian pranata perkawinan, juga mengenai bentuk keluarga, makna perkawinan dan tahapan upacara perkawinan pada kedua masyarakat tersebut. 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan biologisnya. Disamping itu perkawinan mempunyai beberapa fungsi yaitu melanjutkan generasi keluarga, memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami istri, tentu juga memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (Koentjaraningrat, 1997:93). Lebih lanjut Koentjaraningrat (1980:76), secara tegas menyatakan bahwa perkawinan mempunyai dua arti biologis dan sosiologis. Dipandang dari sudut biologis, perkawinan merupakan pengatur perilaku manusia yang berkaitan dengan seksual. Sedangkan dari sudut sosiologis, perkawinan memiliki beberapa fungsi yaitu memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap anak. Selain itu perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup dan memenuhi akan status dalam masyarakat. Dengan menikah sepasang suami istri akan membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya (Haviland, 1993:105). Selanjutnya William dalam Hendry (1987:322-323), menyatakan bahwa perkawinan merupakan rencana untuk meneruskan keturunan yang diberikan pada masyarakat umum, diakui oleh masyarakat sebagai
penyatuan seksual. Berdasarkan perjanjian perkawinan diuraikan hak dan kewajiban pasangan dan masa depan anak-anak. Di Jepang ada dua bentuk keluarga tradisional yaitu Kazoku dan Ie. Kazoku adalah general konsep dalam keluarga Jepang yaitu hubungan antar suami-istri dan hubungan antara orang tua dengan anak diperluas pada hubungan persaudaraan. Keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Dalam melanjutkan kehidupan keluarga tradisional tidak lepas dari pekerjaanpekerjaan yang religius. Keluarga yang telah mempunyai usaha, tradisi, simbolsimbol tertentu disebut dengan Ie. Jadi, yang dimaksud dengan Ie adalah keluarga yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi dan telah mempunyai tradisi tertentu (Situmorang, 2005:45). Pada masyarakat tradisional Jepang, perkawinan yang sering terjadi adalah Miai kekkon, yaitu perkawinan yang dijodohkan oleh pihak ketiga dengan tujuan meneruskan keturunan sistem Ie. Pada masa sekarang Miai kekkon sudah jarang terjadi yang digantikan oleh Ren ai kekkon, yaitu perkawinan atas dasar cinta. Sejak Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sejak tahun 1970, menurut Sitomurang (2005:18-19), bentuk-bentuk perkawinan menjadi beraneka ragam. Misalnya, perkawinan internasional, perkawinan tanpa melapor ke catatan sipil, perkawinan pisah rumah dan sebagainya. Tujuan perkawinan dalam masyarakat Jepang ada bermacam-macam. Pada masyarakat tradisional, perkawinan bertujuan untuk meneruskan keturunan Ie terutama bagi Shison (Putera pertama yang harus membawa istri ke dalam keluarga suami untuk menghasilkan keturunan). Sedangkan pada masyarakat modern, perkawinan dilaksanakan atas dasar cinta sebagai landasan tunggal dan
rasa saling membutuhkan antara kedua pihak yang melaksanakan perkawinan (Hendry, 1987:115). Dari penjelasan di atas ada kesamaan dari tujuan perkawinan menurut Koentjaraningrat, William dan Hendry yaitu perkawinan merupakan rencana untuk melanjutkan generasi keluarga. 1.4.2 Kerangka Teori Untuk membuktikan bahwa dalam sebuah perkawinan juga terdapat hal-hal yang mengungkapkan konsep perbandingan yaitu persamaan dan perbedaan, maka penulis akan menggunakan teori komparatif. Konsep perbandingan yang terdapat dalam kebudayaan yaitu perkawinan akan dijadikan sebagai tanda untuk diinterprestasikan dengan melihat perilaku dari masyarakat yang melaksanakannya. Teori komparatif yang mengelompokkan masyarakat-masyarakat yang sama besarnya maupun sistem ekonominya, akan menganalisa bagaimana organisasi masyarakat tersebut di susun. Teori ini juga memperhatikan urutan yang sungguh-sungguh terjadi, bukan urutan-urutan imajiner yang di susun dari masyarakat yang terpisah jauh. Ruang dan waktu adalah satu usaha untuk membahas masalah-masalah penting dengan cara strategis yang bermanfaat (Keesing, 1992:2). Menurut Staruss (2000:12), ada beberapa teori yang dapat menjelaskan penyebab adanya persamaan pada dua kebudayaan yang berbeda dalam ilmu antropologi, teori tersebut adalah:
1. Teori Strukturalisme, menyatakan bahwa kebudayaan sebagai perwujudan yang tampak dari struktur mental yang terpengaruh oleh lingkungan fisik dan sosial kelompok maupun sejarahnya. Dengan demikian, dalam kebudayaan banyak terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya meskipun struktur proses berpikir manusia dianggap elementer. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat universal sehingga menyebabkan kebudayaan itu dimana-mana sama. 2. Teori Difusianisme, menyatakan bahwa adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan pada berbagai tempat di muka bumi, sebagai akibat dari hubungan antara bangsa pemilik kebudayaan yang bersangkutan dimasa lampau. Jadi, untuk memahami perkawinan secara perbandingan kita harus melihatnya sebagai suatu hubungan yang legal, menentukan pihak-pihak yang terlibat, hak-hak dan barang berharga apa saja yaitu tukarkan. Semua itu ditujukan untuk siapa dibagi-bagikan, antara siapa dan kepentingan apa saja yang terdapat pada individu maupun kelompok yang akan mendapatkan keuntungan dari persetujuan kontrak yang seperti itu. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tahapan upacara perkawinan masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tahapan upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Tapanuli Selatan. 1.5.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah: 1. Untuk menambah ilmu dan pengetahuan mengenai tata cara perkawinan masyarakat Jepang dengan masyarakat Tapanuli Selatan bagi penulis maupun bagi orang lain. 2. Dapat dijadikan sebagai bahan referensi apabila ada penulis lain yang ingin menulis masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. 3. Diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi masyarakat luas. 1.6 Metode Penelitian Metode adalah alat untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Untuk itu, dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.
Disamping itu, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan studi aktifitas yang sangat penting dalam penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek perlu dicari dan diteliti meliputi: masalah, teori, konsep, dan penarikan kesimpulan (Nasution, 1946:14). Dengan kata lain studi kepustakaan adalah pengumpulan dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan. Teknik penelitian yang digunakan adalah meneliti data berupa buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Jadi teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research. Selain itu penulis juga memanfaatkan koleksi pribadi, dan berbagai informasi dari situs-situs internet yang membahas tentang masalah yang akan dibahas untuk melengkapi data-data dalam penelitian ini.